Kamis, 27 Juli 2023

Sri Pancasena Takon Rama

Hai semua pembaca dan penikmat kisah-kisah pewayangan. Kisah kali ini kembali mengulik kisah lintas gagrak, yakni gagrak Banyumasan. Kisah ini menceritakan perjalanan putra kelima Arya Wrekodara alias Bhima yaitu Sri Pancasena, anak Bhima yang lahir dari seorang putri pendeta bernama Endang Sri Giyanti lewat ajian Rabi Batin. Kisah ini juga menceritakan penyalamatan Arya Wrekodara dari penumbalanyang dilakukan Prabu Bayu Kusuma, raja Jongbiru. Kisah ini mengambil sumber dari rekaman video pagelaran lakon "Sri Pancasena Takon Rama " Ki Kukuh Bayu Aji.

Alkisahnya, di sebuah kerajaan bernama Jongbiru diperintah oleh sang raja yang bernama Prabu Bayu Kusuma dengan patihnya, Patih Liman Yaksha. Kabarnya negara itu terkena paceklik dan pagebluk. Lalu datanglah Patih Sengkuni dan Begawan Dorna ke sana untuk melihat negara baru itu. Begawan Dorna lalu berkata " wah wah.ela elo...emprit Ganthil...eehh emprit ganthil.....ada cara untuk menghentikan pagebluk dan paceklik ininl....anak prabu harus mengorbankan kepala dan kepala itu yakni kepala Panegak Pandawa, murid kinasihku Wrekodara Bhima." Begawan Dorna nampaknya tak merasa bersalah berkata demikian. Prabu Bayu Kusuma berkata " le lah...bapa resi...aku ini raja negara baru...aku gak isok membunuh orang begitu saja dengan alasan pagebluk saja...apalagi kita tahu kalau Wrekodara itu orang sakti, kuat,dan perkasa. Kau bilang juga dia termasuk murid kinasihmu yang terkuat. Bagaimana caranya dia bisa dikalahkan?" " Makanya itu, aku sudah siap dengan pertanyaan anak prabu. Aku punya murid yang punya dendam sama Wrekodara...." Lalu muncullah sosok tinggi besar berpakaian apik. Ia lah Prabu Baranjana, adik dari prabu Kirmira, raja Ekacakra. Kirmira dan Baranjana merupakan putra Prabu Baka, raja yang pernah dikalahkan Wrekodara saat dalam pengembaraan setelah berhasil selamat dari pembakaran istana Bale Sigala-gala. Prabu Baranjana siap untuk menghabisi Wrekodara kapan saja. Maka ia setelah mendapat titah dari Prabu Bayu Kusuma, ia pun segera berangkat ke Amarta tepatnya ke Kadipaten Jodipati.

Prabu Baranjana berangkat bersama pasukan Yaksha bertemu dengan Hanoman, saudara tunggal Bayu dari Wrekodara. Hanoman bertanya pada sang raja Yaksha itu "hooii, raja Yaksha. Hendak kemana engkau? Jangan membuat rusuh." Prabu Baranjana dengan penuh dendam berkata dengan lugas " hoi Hanoman, aku tak punya urusan denganmu. Aku punya urusan dengan Wrekodara. Dia sudah membunuh ayahku, Prabu Baka. Sekarang dia harus merasakan hal yang sama. Akna kupenggal kepalanya dan ku tanam kepala itu di negara Jongbiru." Hanoman murka mendengarnya. Terjadilah pertarungan antara Hanoman melawan Prabu Baranjana dan pasukan Yaksha. Awalnya para pasukan Yaksha berhasil dipukul mundur namun ketika Prabu Baranjana maju, ia mengeluarkan senjata saktinya yakni Limpung Rucit. Ketika diarahkan ke tubuh Hanoman, seketika muncul gelombang kejut yang membuat Hanoman terpental jauh ke atas pohon. Gelombang kejut itu juga turut menyedot seluruh kekuatan Hanoman. Saking kuatnya, Hanoman jadi sangat lemas bahkan tidak sanggup melepaskan diri dari cabang pohon dan akar rambat yang menjeratnya. Prabu Baranjana pun meninggalkan Hanoman sendirian terjebak di sana.

Sementara itu, di padepokan Cendana Wasiat, tersebutlah seorang resi bernama Begawan Sridewa bersama cucunya, Sri Pancasena. Setelah sang ibu, Endang Sri Giyanti berpulang, Sri Pancasena selalu bertanya-tanya dalam hati siapa dirinya. Dimanakah ayahnya dan bagaimana ayah dan ibunya bisa bertemu. Keingintahuan itu tak lagi bisa dibendung maka ia bertanya kepada kakeknya " ampun eyang resi, aku sudah lama ingin menanyakan ini. Aku tidak bisa menahannya lagi. Katakan siapakah ayahku dan bagaimana ayah dan ibu bisa bertemu." Begawan Sridewa kaget namun ia sudah menduga pertanyaan itu cepat atau lambat akan datang. Sudah saatnya sang cucu tahu siapa dirinya. Begawan Sridewa lalu berkata " cucuku, sebenarnya kakekmu ini berat untuk bercerita tapi sudah saatnya kamu harus tau siapa ayahmu. Ayahmu adalah Bratasena atau Wrekodara. Nama asli ayahmu yakni Raden Harya Bhima. Ayahmu adalah anak kedua Prabu Pandhu Dewanata, raja Hastinapura. Uwakmu adalah raja Amarta, bernama Prabu Yudhistira sedangkan pamanmu ada tiga yakni Arjuna, Nakula, dan Sadewa. Mereka mendirikan negara bernama Amarta. Kamu putra kelima dari enam anak Wrekodara." Sri Pancasena bertanya siapa saja saudaranya.

Begawan Sridewa mewariskan Ajian Sasragundala
Begawan Sridewa menjawab "cucuku... saudaramu ada lima.Mereka adalah Antareja, kakakmu sulung dari ibu Nagagini, lalu kakangmu yang nomor dua Gatotkaca dari ibu Arimbi, lalu kakang Antasena dari ibu Urangayu, kakang Srenggini dari ibu Rekathawati dan yang terakhir adalah adhimu Dewi Bimandari dari ibu seorang bidadari." Bambang Sri Pancasena pun terkejut" Bagaimana mungkin itu, kakek? Selama ini aku mengira aku adalah anak haram hasil zina. tapii.....duh dewata......takdir apakah ini....bagaimana caranya ayah dan ibu bisa bertemu padahal jarak Amarta dan desa kita sangat jauh?"

Lalu Begawan Sridewa bercerita bagaimana ayah dan ibunya bisa bertemu.

Dikisahkan sekitar 15 tahun yang lalu, Arya Wrekodara pernah melakukan tapa brata dan mendapatkan ilmu berupa ajian yakni Ajian Rabi Batin. Dengan ajian ini, orang yang mengamalkannya bisa menikah dan melakukan hubungan suami-istri tanpa saling bertemu secara fisik, melainkan jiwa atau sukmanya yang bertemu di alam mimpi. Arya Wrekodara pun mencoba ajian ini. Tak lama setelah merapal ajian, ia pun tertidur dan sukmanya mengembara. Kebetulan ada juga orang yang mencoba ajian Rabi Batin ini. Yakni Endang Sri Giyanti, putri Begawan Sridewa dari Cendana Wasiat. Sukma Wrekodara dan Sri Giyanti pun saling bertemu. Keduanya saling suka dan saling cinta. Mereka pun bersatu di alam mimpi. Mereka berdua berada di atas ranjang terbaik dengan kasur dan bantal empuk layaknya kapas, berlapiskan kain sutra dan mastuli, dan kelambu dari kain linen dengan renda-renda cindhe berwarna-warni tengah melakukan hubungan suami-istri dengan sangat bergairah, selayaknya pasangan di saat malam pertama setelah pernikahan. Keduanya memuaskan dan menumpahkan rasa masing-masing. Setelah sama-sama puas, mereka pun bergegas membersihkan badan. Setelah itu, tau-tau sudah berganti babak mimpi. Kejadian meloncat seolah sudah empat bulan setelah hubungan itu. Endang Sri Giyanti tau-tau sudah mengandung empat bulan. Sang putri Cendana Wasiat itu takut dan cemas karena dengan ajian Rabi Batin pula, ia akan bisa punya anak. Masalahnya jika ia bilang ia dapat anak itu dari mimpi, orang-orang akan menganggapnya gila. Ia minta Wrekodara bertanggungjawab "kakanda, bagaimana ini kakanda? Aku harus bilang apa pada bapa resi dan penduduk Cendana Wasiat? Tiba-tiba anak seorang resi hamil tanpa kawin. Kumohon kanda datang juga di alam nyata untuk bertanggungjawab. " Arya Wrekodara pun berpikir hal yang sama. Mereka berdua pun berpisah dan terbangun dari mimpi masing-masing. Arya Wrekodara lalu menuju ke padepokan Cendana Wasiat. Keduanya pun saling bertemu di alam nyata dan saling bertukar rindu. Keduanya kemudian betul-betul menikah secara lahir dan batin di alam nyata. Sejak hamil empat bulan itu hingga bulan ke sembilan, Arya Wrekodara menemani Sri Giyanti dengan sangat mesra dan penuh kasih sayang namun mendekati hari kelahiran si jabang bayi, tiba-tiba datang panggilan dari Amarta. Mau tidak mau, Arya Wrekodara harus kembali. Sebelum ia pergi, ia membuat sebuah permintaan kepada isterinya itu " waaa....Dindaku Sri Giyanti.....dindaku yang ayu, comel, dan molek.......kakandamu iki kudu balik ke Amarta..aku gak isok lihat anak kita lahir....ne' anak kita lahir, namai dia Sri Pancasena. Sri itu dari namamu, Panca itu lima dan Sena itu namaku. " Sri Giyanti pun mengingat permintaan sang suami. Tak lama setelah itu, Endang Sri Giyanti melahirkan seorang anak laki laki. Sesuai permintaan sang suami, anak itu diberi nama Sri Pancasena.

Begitulah, Begawan Sridewa menceritakan kisah pertemuan ayah dan ibu sang cucu. Kini, sudah bulat tekad Sri Pancasena bertemu sang ayah. Ia memohon untuk bertemu sang ayah. Begawan Sridewa merestuinya. Ia hanya mampu mendoakan keselamatan untuk sang cucu. Sebelum pergi Begawan Sridewa meminta Sri Pancasena mengulurkan tangannya. Seketika seberkas cahaya keluar dari tubuhnya dan manjing ke telapak tangan Sri Pancasena. Begawan Sridewa menjelaskan " cucuku, aku sudah memberikan ajian daktuku padamu. Ajian ini bernama Sasragundala. Bila kau gunakan ajian ni, maka tanganmu bisa menciptakan tebasan cakar tajam dan dalam. Jika diarahkan ke udara, bisa membuat gelombang kejut berbentuk cakar tajam. Tapi ingat, jangan adigang adigung adiguna. Gunakan ajian ini untuk menolong orang." "Baik, kakek resi. Pesanku akan selalu ku ingat. Cucumu berangkat, ngghi." Berangkatlah Sri Pancasena menuju Amarta.

Sementara itu, Kadipaten Jodipati geger. Arya Wrekodara tiba-tiba menghilang padahal ia sedang sakit keras karena tiba-tiba kehilangan kuku Pancanaka nya. Para putra Wrekodara yakni Arya Antareja, Arya Gatotkaca, Arya Antasena, dan Prabuanom Srenggini bergegas mencari keberadaan ayah mereka. Ketika melewati sebuah hutan mereka mendengar suara tebasan lalu suara barang jatuh. Mereka segera menuju asal suara itu. Begitu sampai di sumber suara, mereka melihat ada seorang pemuda dan Resi Hanoman yang sedang lemas. Mereka mengira pemuda itu mencelakai Hanoman. Gatotkaca dengan nada tinggi berkata" heii...apa yang kau lakukan pada paman Hanoman?" Pemuda itu berkata" Aku tidak melakukan apapun, aku hanya menolongnya saja." Prabuanom Srenggini tidak percaya " kau pasti dusta. Kau hendak mencelakai paman Hanoman. Mengaku saja!" Pemuda itu rupanya Sri Pancasena, terus mengatakan yang sebenarnya kalau dia tidak punya niat apa-apa. Ia hanya ingin ke Amarta. Murkalah mereka mengira ia lah penculik sang ayah. Antareja berkata " sudah, adhi-adhiku, hajar dia sampai dia mengaku." Maka terjadilah perang tanding antara para putra Wrekodara. Kekuatan tiga pemuda itu menggemparkan jagat, hanya Antasena saja yang tidak ikut ikutan. Ia membantu Resi Hanoman.

Perang tanding tiga lawan satu itu berlangsung sangat sengit. Gatotkaca membuat angin kencang dan Antareja mengangkat bongkahan tanah dan batu lalu menghancurkannya. Tanah beterbangan dibawa angin. Srenggini lalu menembakkan sambaran petir. Tercipta badai debu yang menghalangi .namun serangan mereka bertiga mentah dan memantul balik ketika mengenai aji Sasragundala milik Pancasena.

Serangan ajian Sasragundala membalikkan serangan tiga putra Wrekodara
Ketiga pemuda itu terombang-ambing terbawa angin dan sambaran kilat. Lalu datang kakek Semar dan para Punakawan. Kakek Semar melihat para kakak dan adik Antasena bertarung dengan seorang pemuda. Antasena menceritakan semuanya. Kakek Semar segera berlari dan melerai pertikaian itu. " Helah salah lo le salah.....jangan bertengkar, jangan main hakim sendiri.......kita tanya dulu baik-baik siapa anak ini." Ketiga putra Wrekodara pun menghentikan pertarungan dan kakek Semar memberikan kesempatan pemuda itu bicara. Pemuda itu memperkenalkan dirinya. "Aku Sri Pancasena. Aku berniat ke Amarta demi bertemu ayahku, Arya Wrekodara alias Bratasena. Nama aslinya Raden Bhima, putra Pandhu dan Kunthi. Ibuku Sri Giyanti. Kakangku ada empat, Antareja, Gatotkaca, Antasena, Srenggini dan adhiku yang perempuan namanya Bimandari." Kagetlah keempat putra Wrekodara itu. Mereka punya lagi satu orang saudara. Kakek Semar dan Resi Hanoman pun menceritakan asal-usul Pancasena. Antasena lalu berkata pada Sri Pancasena kalau ayah mereka menghilang. Resi Hanoman pun berkata " pasti ini ulah Baranjana. Dia pasti sudah membawa adhi Wrekodara ke negara Jongbiru untuk jadi tumbal raja Bayu Kusuma." Para putra Wrekodara pun geram mendengarnya. Mereka segera berangkat ke negara Jongbiru.

Di negara Jongbiru, Arya Wrekodara dalam keadaan tidak berdaya mengumpat prabu Baranjana " wooo....Baranjana! Bajingan kau!" Prabu Bayu Kusuma pun senang sangat dengan keberhasilan Prabu Baranjana. Prabu Bayu Kusuma lalu berniat menyembelih sang Panegak Pandawa. Ketika senjata sang prabu hampir mengenai lehernya, datang para putra Wrekodara membuat kekacauan. Prabu Baranjana maju menyerang mereka. Gatotkaca lalu menerbangkan para prajurit ke udara...lalu Srenggini memutar-mutar capitnya lalu membuat ajian Guntursewu. Meledaklah petir dan kilat menyambari para prajurit itu di udara. Antareja masuk ke tanah dan membuat celah tanah sehingga langkah Prabu Baranjana kewalahan karena harus bolak balik terperosok tanah ambles. Antasena dan Pancasena ikut membantu. Sesungut udang dan ajian tapak Tirtastra milik Antasena berhasil menghanyutkan sekaligus menyetrum para pasukan Jongbiru di dalam air dan cakaran tapak aji Sasragundala milik Pancasena menghasilkan gelombang kejut yang membuat para prajurit yang tersisa kucar kacir sekaligus membebaskan Arya Wrekodara. Kelima putra Wrekodara itu segera menyatukan kekuatan mereka dan berhasil mengalahkan prabu Baranjana hingga tewas. Arya Wrekodara lalu mendekati Pancasena dan berkata "wooo...apa iki anakku? Kau anak Sri Giyanti kan?" Pancasena mengiyakan. Arya Wrekodara bersyukur " wooo...aku senang , anakku...akhire kita bisa bertemu.”Arya Wrekodara memeluk putra kelimanya lalu berkata Wooo...ayo nak, bantu kakang-kakangmu..." patih Liman Yaksha dan Prabu Bayu Kusuma membalas kematian Prabu Baranjana menyerang para putra Wrekodara. Lalu sang Panegak Pandawa maju dan menghajar Prabu Bayu Kusuma dan Patih Liman Yaksha. Patih Liman Yaksha pun tewas lalu bertukar wujud jadi kuku Pancanaka. Begitu kuku itu didapat kembali, dengan mudah pula Prabu Bayu Kusuma dikalahkan. Seketika tubuh Prabu Bayu Kusuma lenyap bertukar sebagai cahaya dan merasuk ke tubuh Arya Wrekodara.

Pancasena bertemu kembali dengan ayahnya
Datanglah suara dari langit berkata kalau sebenarnya minggatnya Kuku Pancanaka dari Wrekodara untuk menyambut Ajian Bayu Langgeng yang telah turun ke dunia. Sekarang setelah Kuku Pancanaka kembali ke pemiliknya, maka Ajian Bayu Langgeng pun ikut merasuk ke pemilik sebenarnya. Wrekodara bahagia karena selain mendapat ajian baru, ia dapat bertemu dengan putranya yang nomor lima. Mereka pun bersama-sama pulang ke Jodipati dan mengadakan pesta syukuran menyambut kedatangan Sri Pancasena.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar