Hai semua pembaca dan penikmat kisah pewayangan, kali ini penulis mengisahkan awal mula permusuhan antara Gatotkaca dengan Prabu Boma Sitija. Semua bermula dari pelantikan Arya Gatotkaca sebagai panglima perang Amarta sekaligus pangeran mahkota Pringgondani. dan perebutan restu dewa yang berupa pulung/wahyu berwujud topeng. Kisah ini bersumber dari blog albumkisahwayang.blogspot.com dan beberapa sumber dari internet.
Alkisahnya, Prabu Boma
Sitija bercerita kepada kakeknya, Batara Naga Ekawarna sedang gelisah hati
karena ia tidak bisa mengabdi di negara Amarta. Kegelisahan itu bermula muncul
sejak mendengar kata-kata Patih Sengkuni saat ingin menjebak Samba dulu "
anak prabu ini kan putra Sri Kresna yang hebat, kok gak jadi panglima di
Amarta. Agaknya nasib anak prabu tidak kurang atau lebih sama dengan Samba.
Anak prabu sudah dikucilkan ayahanda sendiri. Ayahanda anak prabu terlalu
sayang kepada para Pandawa dan putra mereka." Datanglah mereka berdua ke
Dwarawati. Kegelisahan Sitija pun makin menjadi saat Prabu Kresna membicarakan
tentang restunya untuk Arya Gatotkaca jadi raja muda Pringgondani sekaligus
panglima besar negara Amarta. Prabu Boma Sitija protes keras "ayahanda
Prabu, kenapa harus Dinda Gatotkaca yang jadi panglima besar?! Kan masih ada
orang lain. Misal aku, Dinda Partajumena, atau Dinda Samba." Prabu Kresna
berkata "anakku, kau sudah jadi raja di Trajutrisna. Kok kamu malah
menambah bebanmu dengan jadi panglima di negara lain? Anakku, jadi panglima itu
berat apalagi yang sudah jadi raja atau perdana menteri." Boma Sitija
menjawab " ya itu kan bentuk darmabaktiku kepada paman-paman Pandawa.
Kalau pecah perang besar kelak, aku bisa bantu apa saja." Prabu Kresna
mengatakan kalau cita-cita anaknya itu luhur tapi pemilihan Gatotkaca sebagai
panglima karena ia sudah mendapat restu dewa. Batara Ekawarna memaksa mantunya
itu untuk mendahului restu dewata itu misal meminta secara khusus pada pemilik
restu itu atau apapun yang membuat sang pemilik restu mengalihkan restunya
kepada Boma Sitija. Prabu Kresna merasa ini bukan hal baik, mendahulukan
keinginan anak diatas perdamaian dunia. Tapi karena terus didesak, dengan
sangat terpaksa ia menuruti keinginan mertua dan sang putra. Ia pun duduk
bersila di atas dampar kencana lalu menutup matanya tanda bermeditasi.
Lalu datanglah Arya
Sadewa bersama Arya Antareja dan Bambang Srenggini ke tengah pasewakan
Dwarawati. Mereka meminta Prabu Kresna mengobati Gatotkaca karena sekarang ia
tengah sakit padahal beberapa hari lagi pelantikannya sebagai panglima. Prabu
Boma Sitija menghalangi Arya Sadewa. Ia lalu berkata "maaf pamanda Sadewa,
ayahanda prabu sedang tidak bisa diganggu. Dia sedang meditasi." Arya
Sadewa kesal hati. " Boma, jangan halangi aku bertemu kakang Prabu
Narayana. Sudah jelas-jelas kakang prabu duduk di dampar kencana sambil menutup
mata, itu masih dibilang tidak bisa diganggu? Tolong, Boma. Jangan jadi
penghalang kami." Prabu Boma dengan kasar membentak Arya Sadewa. Ia
menyuruh Arya Sadewa pulang saja karena ayahnya itu sedang benar-benar tidak
bisa diganggu. Sementara itu di tengah dalamnya meditasi, jiwa Prabu Kresna
bertemu kakek Semar dan Batara Wisnu. Ia meminta saran terhadap dilema yang ia
alami ini. Kakek Semar memberi saran " duhh blegedag-blegedug...ndoro
prabu....dilema ini sangat berat. Kalau menurut saranku, lebih baik turuti saja
dulu anakmu. Biara anakmu itu bisa belajar." Batara Wisnu pun setuju
" benar pamanda Semar, Boma harus belajar kalau di dunia ini ada takdir
dan nasib yang mau bagaimanapun diubah jalurnya pasti akan kembali kepada
pemilik asalnya." Prabu Kresna pun bangun dari meditasinya. Ia tahu kalau
tadi Prabu Boma Sitija membentak dan mengusir Sadewa juga Antareja dan
Srenggini. Ia menegur putra tertuanya itu untuk segera minta maaf pada Sadewa.
Prabu Boma Sitija merasa terhina harus disuruh minta maaf, ia lalu berkata
"lebih baik aku mati sendiri daripada minta maaf ke yang derajatnya lebih
rendah dariku." Prabu Boma Sitija lantas pergi berlalu menyusul Sadewa,
Arya Antareja, dan Srenggini.
Setelah keluar dari
keraton Dwarawati, sembari meninggalkan negara, Sadewa cerita kepada Antareja
dan Srenggini tentang kecurigaannya" Antareja! Srenggini! aku curiga kalau
kakang prabu sudah kena pengaruh anaknya. Firasatku setelah kejadian ini, semua
tidak akan sama lagi seperti dulu." Srenggini dan Antareja tidak paham
" jadi maksudnya gimana, paman?" Benar paman, tidak sama seperti dulu
itu apa?" Sadewa tidak mau gamblang mengungkap apa isi firasatnya karena
ia telah disumpah di hadapan para dewa kalau sampai membocorkan firasatnya
secara gamblang, maka ia akan mati saat itu juga.
Ketika sudah mendekati gerbang negara, Prabu Boma mencegat Sadewa, Antareja, dan Srenggini. Ia berkata kalau ingin membawa ayahnya, mereka harus menghadapi dirinya dulu. Antareja dan Srenggini marah masa gara-gara hal begini sampai dibesar-besarkan. Maka mereka pun berperang tanding. Tanding mereka semakin lama semakin sengit.
Sitija menghadang Sadewa, Antareja, dan Srenggini |
Antareja merasa yang
dikatakan Sitija ada benarnya. Srenggini jadi heran sikap kakaknya jadi
berubah. Srenggini berusaha mengeraskan hati kakaknya agar tidak terpancing.
Boma Sitija lalu bilang kepada Srenggini "Srenggini ,apa kau juga tidak
sadar kalau capit di kepalamu akan membuatmu dipandang aneh oleh orang di
sekitarmu?" Srenggini merasa makjleb juga. Tapi Srenggini berkata dengan
setengah membentak " Apa Maksud Kakang? Capitku Urusanku." Sitija
terus memengaruhi pendirian Srenggini "adhiku, walau kau putra Wrekodara
yang perkasa, kau berpotensi akan jadi bahan gunjingan masyarakat. Kita
berpikir realistis saja. Apa adhi tidak risih dengan capit di kepala adhi? Aku
takut penilaian masyarakat terhadap adhi jadi buruk." Srenggini mencoba
abaikan kata-kata Sitija agar tak terpancing emosinya. Menyadari kalau Antareja
dan Srenggini lengah, dengan licik Boma memukul dagu Antareja ke atas lalu
menyepak Srenggini ke samping. Menyadari kalau itu tadi hanya siasat, Antareja
segera menerbangkan bebatuan dan tahan keras di sekitarnya lalu melarikan diri
lewat bawah tanah menuju kadipaten Jangkarbumi. Sementara Srenggini segera
menyetrum Sitija lalu ia kabur menuju Kadipaten Tempurserayu. Boma Sitija gagal
membuat Antareja dan Srenggini keok maka ia akan ke Amarta menjenguk Gatotkaca.
Sebelum ia berangkat ia didatangi kakeknya, Batara Ekawarna. Ia membekali
cucunya itu sandal bakiak miliknya, Gamparan Kencana untuk berjaga-jaga.
Singkat cerita, Sadewa
sudah sampai di Amarta. Ia bertemu Arya Antasena dan Bambang Wisanggeni. Ia
bercerita kepada kalau Prabu Kresna tidak diperbolehkan pergi oleh anaknya,
Prabu Boma Sitija dan sekarang, Antareja dan Srenggini belum juga kembali
setelah berperang tanding dengan Boma. Ia takut kalau Prabu Kresna dan mereka
berdua benar-benar kena pengaruh Boma Sitija. Wisanggeni lalu membuka
terawangannya. Ia menyaksikan dari mata batinnya, Prabu Kresna dan Batara
Ekawarna ada di Jonggring Saloka bertemu Batara Guru. Wisanggeni lalu berkata
dengan tenang " ini sesuai dugaan paman dan dugaanku. Sekarang uwa prabu
ada di kahyangan arep ngrebut hak milik kakang Gatot. Paman, segera temui
kakang Gatot. Aku dan Antasena akan ke kahyangan." "Ayo Wisanggeni,
kita obyak-obyok uwa prabu biar dia sadar." Singkat cerita mereka sampai
di kahyangan dan mendapati Batara Guru dan Batara Narada sudah seperti
linglung. Wisanggeni dengan kekuatannya menciptakan jurus api pengetahuan.
Seketika api murni berwarna-warni melingkupi seluruh kahyangan. Setelah api
padam, tersadarlah dua pimpinan para dewa. "Lho kakang Narada, mana Wahyu
Senapati buat Gatotkaca?" Narada lalu teringat " welah dalah, adhi
Guru. Kita benar-benar kêtiwasan. Tadi kita berikan kepada Prabu Kresna."
Di tengah kepanikan itu datang Batara Wisnu dan kakek Semar. Mereka memberikan
klarifikasi kalau mereka berdua yang memberikan saran kepada Kresna biar Boma
Sitija sadar akan takdirnya. Bagaimanapun kesalnya mereka, tindakan Wisnu dan
Semar sudah benar. Batara Guru berterima kasih pasa Wisanggeni sudah dibantu
pulih dari ilusi Kresna. Mengenai nasib Wahyu Senapati, Batara Guru mendapat
akal. Ia memerintahkan Empu Ramayadi dan para dewa pandai besi menciptakan
topeng baru dari perunggu untuk berjaga-jaga jika Topeng Waja rusak dan Wahyu
Senapati keluar.
Sementara itu, Prabu
Kresna dan Batara Ekawarna yang hendak kembali ke Dwarawati dihadang Wisanggeni
dan Antasena meminta agar Topeng Waja dikembalikan. Prabu Kresna dan Batara
Ekawarna tidak berkenan. Wisanggeni berkata " uwa prabu, awakmu sudah
mendahulukan kepentingan pribadi diatas kepentingan perdamaian dunia."
Batara Ekawarna malah mengatai kalau Wisanggeni dan Antasena tidak tahu sopan
santun sama orang tua. Karena sudah tidak ada yang bisa ditutupi lagi, mereka
pun bertarung satu sama lain. Tanpa disadari Prabu Kresna, Topeng Waja jatuh ke
bumi dan melesat menuju Amarta. Mereka pun segera turun ke bumi.
Di tempat lain, para
keluarga Pandawa berada di Jodipati, menjenguk Gatotkaca yang sedang sakit.
Boma Sitija juga ada disana menjenguk sang sepupu. Sebelumnya, ia minta maaf
kapada Arya Sadewa atas sikap arogannya tempo hari. Ia lalu duduk bersimpuh di
samping Gatotkaca lalu berbisik menggunakan kata yang halus namun nyelekit
"duh, adhiku....kasihan kamu sakit begini. Kalau saja adhi jadi panglima
mungkin adhi akan bergerak dengan cepat menghajar musuh-musuh adhi."
Gatotkaca yang tidur dipangku sang ayah tak kuat menahan kata-kata nyelekit
Sitija tapi ia tidak berdaya. Sitija lalu berkata "mungkin sebentar lagi
datang keajaiban dari dewa. Adhi bisa sembuh dan kita bisa latih tanding
bersama lagi." Tak dinyana, Topeng Waja jatuh dari langit dan langsung
menempel di wajah Gatotkaca. Seketika Gatotkaca sembuh dari sakitnya lalu
menyeret Sitija ke tengah alun-alun Amarta. " Nah Kakang...aku sudah sehat
lho. Mana janji kakang mau latih tanding denganku lagi?" Perang tanding
pun terjadi begitu sengit. Sitija menyerang Gatotkaca dengan membabi buta.
Begitupun Gatotkaca, diserangnya titik-titik buta Sitija. "Apa ini kakang Sitija....serangan
kakang melempem." Lama kelamaan Sitija terdesak dengan kekuatan Gatotkaca
berkat Topeng Waja. Ia lalu melihat ayah dan kakeknya ada disana. Ia menyangka
sang ayah tidak setulus hati membantunya. " Kalau aku tidak dapat Topeng
Waja, maka Gatotkaca tidak boleh dapat juga." Maka ia mengeluarkan bakiak
Gamparan Kencana. Ditamparlah wajah Gatotkaca dengan sendal sakti itu. Serangan
itu sangat cepat bahkan tak mampu dihindari Gatotkaca. Gamparan Kencana dan
Topeng Waja pun pecah bersamaan dan Gatotkaca pun membentur pohon beringin
alun-alun dan jatuh koma. Wajah Gatotkaca pun rusak dan cacat. Di saat
bersamaan, Batara Narada segera menangkap Wahyu Senapati yang keluar dari
Topeng Waja yang rusak lalu dimasukkan kembali kedalam Topeng Perunggu.
Arya Wrekodara murka luar biasa mendapati anaknya pingsan dan rusak wajahnya "Kakang Jlithêng, Apa-Apaan ini? Anak Kakang Merusak WAJAH Anakku. Kakang Kudu Tanggung Jawab. Cepat Sembuhkan Anakku." Prabu Kresna mau tidak mau mengeluarkan Cangkok Wijayakusuma miliknya. Disapukan lah bunga sakti itu. Seketika luka-luka berdarah dan koyak di wajah Gatotkaca menutup. Gatotkaca pun sadarkan diri namun Prabu Kresna bilang kepada Wrekodara " adhiku, karena terkena benturan dua barang buatan para dewa, cacat putramu akan permanen seumur hidup, tidak bisa disembuhkan lagi. Wajah Gatotkaca akan rusak selamanya." Arya Wrekodara berduka. Lalu Batara Narada datang menolong. " Wrekodara, jangan kecil hati dulu. Aku punya topeng lagi untuk membantu pemulihan putramu."
Topeng Perunggu untuk Gatotkaca |
Melihat hal demikian,
Prabu Boma Sitija kesal hati maka ia langsung berlalu pergi bersama kakeknya.
Prabu Kresna duduk bersimpuh memohon maaf karena perbuatannya, Gatotkaca sampai
kena celaka. Para Pandawa memaafkan kesalahan sang raja Dwarawati karena wajar
jika orang tua membantuk cita-cita anaknya. Tapi Batara Narada tidak segampang
itu. Karena ulahnya, para dewa sampai kelimpungan dibuatnya. Sebagai hukuman
Batara Narada mengutuk pasu Prabu Kresna " semua ini terjadi karena ulah
anakmu, maka akan berimbas kembali ke anakmu. Di masa depan, dua anakmu akan
menyebabkan kehancuran Trah Yadawa! Salah satunya akan terbunuh oleh tanganmu
sendiri! Ingat itu!" Prabu Kresna tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Ia
terima lapang dan ikhlas. Batara Narada pun kembali ke kahyangan. Sebelum
benar-benar pergi, ia diam-diam mengambil pecahan-pecahan Gamparan Kencana dan
Topèng Waja untuk dibuat Anjang-Anjang Kancana. Kelak salah satu putra Prabu
Kresna akan mati di atas jaring ajaib itu. Keadaan kini telah tenang kembali.
Keesokan harinya, ibu Gatotkaca yakni Maharani Arimbi dan para adiknya yakni
kadang Braja (Patih Brajadhenta, Arya Brajamusthi, Arya Brajawikalpa, Arya
Prabakesha, dan Arya Kalabendana) juga Dewi Bimandari, Arya Antasena dan
Bambang Wisanggeni datang ke pelantikan Gatotkaca. Dalam suasana khidmat, Prabu
Yudhisthira diiringi Arya Wrekodara sebagai jaksa agung, Raden Arjuna sebagai
komandan pasukan panah, Arya Nakula sebagai komandan pasukan pedang, dan Arya
Sadewa sebagai komandan pasukan keris melantik Arya Gatotkaca sebagai panglima
besar negara Amarta. Hari itu pula, Maharani Arimbi dan Patih Brajadhenta
secara resmi mengukuhkan Arya Gatotkaca sebagai Prabu Anom (pangeran mahkota)
negara Pringgondani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar