Sabtu, 22 Juli 2023

Wisatha Krama

Hai semua pembaca dan penikmat kisah pewayangan. Kisah kali ini mengisahkan pernikahan putra pertama Prabu Baladewa (Balarama) yakni Arya Wisatha (Nisatha) dengan Dewi Nilasari, putri Arjuna. Demi menikahinya,Arya Wisatha harus mendapatkan benda dari seekor burung legendaris yakni Garudha Sempati. Kisah ini mengambil sumber dari blog albumkisahwayang.blogspot.com dan beberapa sumber di internet.

Prabu Baladéwa (Balarama) dihadap dua putranya yakni Arya Wisatha dan Arya Walmuka (Ulmukha). Patih Pragota dan Patih Prabawa juga datang di sana. Mereka membahas tentang rencana pernikahan putra pertamanya, Arya Wisatha (Nisatha). Sang raja Mandura menasehati putranya agar segera menikah karena para sepupunya sudah pada menikah. Sudah saatnya sang putra mahkota Mandura punya sesandhingan. Arya Wisatha berkata " bapa, aku harus menikahi siapa, sedangkan aku aja begini. Ananda belum kerasa pantas." Prabu Baladewa mengatakan" nak, ku dengar pamanmu, Arjuna punya satu anak cewek lagi, Nilasari namanya. Coba kita kesana melamar dia". Maka berangkatlah Prabu Baladewa dan Arya Wisatha ke Madukara. Di tengah jalan, mereka bertemu Prabu Danuasmara alias Bambang Partajumena, putra sulung Prabu Kresna. Ia mendapat tugas dari sang ayah, Prabu Kresna untuk menemani Arya Wisatha.

Sementara itu di Madukara, Arjuna kedatangan Patih Sengkuni dan Begawan Dorna yang ingin melamarkan Raden Lesmana Mandrakumara dengan Endang Nilasari. Arjuna hendak menerima lamaran itu, tapi datanglah Prabu Baladewa, Prabu Danuasmara dan Arya Wisatha membawa hasil bumi Mandura yakni madu dan susu terbaik. Mereka punya keinginan yang sama yakni melamar Endang Nilasari. Patih Sengkuni mengejek Prabu Baladewa " lah elah dalah....anak prabu baru kali ini berani datang hendak menjodohkan putramu. Sepertinya kau dan putramu itu baru mengenal cinta." Prabu Baladewa marah anaknya disepelekan" heeh...paman patih...asih mending anakku masih mau melamar bersamaku daripada anak mas Lesmana. Kepingin punya istri tapi gak mau datang sendiri." Perdebatan tak berfaedah itu baru berhenti setelah Arjuna menengahi " cukup paman patih! Kakang Balarama! Lebih baik kalian tanya saja apa keinginan putriku". Arjuna pun memanggil sang putri Endang Nilasari dan bertanya seperti apa calon suaminya. Endang Nilasari lalu menyampaikan isi hatinya " hadirin sekalian...aku Nilasari tidak menginginkan pertumpahan darah antar saudara di sini. Aku disini untuk memberitahu siapa calon suamiku. Calon suamiku harus lah yang bisa membawa payung sakti milik Garuda Sempati, Wulu Garuda Layang. Jika salah satu dari kalian sanggup membawanya untukku, aku bersedia menikah." Patih Sengkuni dan Prabu Baladewa menyatakan sanggup. Mereka pun segera pergi untuk memenuhi syarat dari Endang Nilasari.

Sementara itu, raja Timbul taunan yakni Prabu Durgamakara dilanda angsu kepada Endang Nilasari. Sang prabu bertanya siapa Nilasari itu kepada patihnya, Patih Karadurgama. Sang patih berkata " Nilasari itu putrinya Arjuna, seorang dari pangeran Pandawa Lima dari Amarta. Begitulah setahuku." Prabu Durgamakara kurang puas lalu ia bertanya pada embannya, Emban Durgamangrusit. Sang emban berkata "orang yang kau cari itu benar putri Arjuna. Sama seperti ayahnya, Nilasari memang cantik sekali, mewarisi ketampanan ayahnya. " Begitu mendengar kalau Endang Nilasari sangat cantik, ia menggebu ingin menculiknya dari Arjuna. Maka ia berangkat bersama dengan patih dan embannya ke Madukara. Di tengah jalan, mereka bertemu dengan rombongan Hastinapura yang baru saja keluar dari Madukara. Terjadi pertempuran yang sengit. Prabu Durgamakara dan Patih Karadurgama melarikan diri lalu bertemu dengan rombongan Mandura. Namun dengan mudahnya, rombongan dari Mandura membuat pasukan Timbultaunan jadi ketar-ketir. Emban Durgamangrusit memutuskan akan membantu sang raja dengan menculik Nilasari secara diam-diam.

Sepeninggal mereka dari istana Madukara, Prabu Baladewa lalu berkata pada putranya untuk menemui Resi Jembawan, kakek Bambang Gunadewa dan Radèn Samba. Sebagai resi yang dekat dengan para hewan pasti ia tahu tentang Garuda Sempati dan Payung Garuda Layang. Maka berangkatlah Arya Wisatha dan Prabu Danuasmara menuju Astana Gandamadana. Singkat cerita, mereka pun sampai di Astana leluhur Mandura itu. Setelah beramah tamah dengan Bambang Gunadewa, mereka menyampaikan maksud kedatangan mereka. Resi Jembawan lalu berkata " anakmas Partajumena dan Wisatha, kalau ingin mencari Garuda Sempati, coba cari ia di Kutharunggu. Aku dengar ia berada di sana bahkan sebelum kedatangan Begawan Kesawasidhi dan Begawan Wibatsuh ke sana." Arya Wisatha dan Prabu Danuasmara berterima kasih kepada kakek resi lalu mereka pamitan untuk berangkat mencari Garuda Sempati. Namun tanpa disadari, Patih Sengkuni dan rombongan Hastinapura sudah mencuri dengar pembicaraan mereka. Mereka pun segera pergi buat mendahului Arya Wisatha dan Prabu Danuasmara.

Benar saja, Patih Sengkuni, Begawan Dorna, para Kurawa, dan Radèn Lesmana Mandrakumara sudah sampai duluan di bukit Kutharunggu. Di sana mereka mendapati seekor burung kecil gundul. Burung kecil itu berkata kalau dia Garuda Sempati. Raden Lesmana Mandrakumara dengan agak jijik mendekat lalu berkata pada burung kecil itu "Sempati, serahkan Payung Garuda Layang padaku. Akan ku beri harta kekayaan berlimpah-limpah untuk mengurus tubuh gundulmu." "Maaf, pangeran muda. Aku sudah tidak tertarik dengan harta. Kalau kamu semua ingin mendapatkan payung Garuda Layang, kalian harus bisa bertahan dari kepakan sayapku." Burung kecil jelmaan Sempati pun mengepakkan sayapnya yang tanpa bulu. Raden Lesmana Mandrakumara dan para Kurawa tertawa dengan tingkah konyol burung gundul itu. Tapi mendadak datang angin kencang menderu dari kepakan sayap Sempati menghempaskan apa saja. Wujud Sempati juga ikut berubah jadi burung raksasa. Kekuatan kepakan sayapnya makin kuat dan angin pun semakin kencang. Para Kurawa, Raden Lesmana Mandrakumara dan yang lainnya tak kuat menahan terpaan angin itu lalu mereka terhempas hingga jauh meninggalkan bukit Kutharunggu.

Tak lama kemudian, datang Arya Wisatha dan Prabu Danuasmara. Mereka memberi hormat kepada burung tua itu. Arya Wisatha lalu mengutarakan maksud kedatangannya " ampun, Hyang Sempati....kedatanganku dan saudaraku ini untuk meminjam payung Garuda Layang sebagai syarat pernikahanku." Garuda Sempati senang dengan sikap sopan Wisatha dan Danuasmara.

Garudha Sempati menguji Wisatha dan Danuasmara
Tapi mereka berdua harus tetap diuji agar tau apakah mereka pantas atau tidak. Arya Wisatha dan Prabu Danuasmara tidak keberatan untuk diuji. Maka Garuda Sempati mengepakkan sayapnya yang gundul itu. Angin kencang menderu dengan kuat. Namun kedua pemuda itu tetap teguh tak mampu digoyahkan. Lalu Garuda Sempati berubah ke wujud aslinya yakni sebagai burung raksasa dan tetap mengepakkan sayapnya. Angin pun semakin kencang berhembus bagaikan taufan badai. Namun, kedua pemuda itu menyambut dengan cara berdiri tegak sambil mengheningkan cipta. Semakin kuat kepakan sayap Garuda Sempati, semakin kuat pula kaki mereka menapak di tanah. Garuda Sempati menghentikan kepakan sayapnya dan kedua pemuda itu dinyatakan lolos ujian. Sang Garuda menyerahkan payung Garuda Layang kepada mereka. Rupanya payung itu terbuat dari bulu-bulu Garuda Sempati yang sempat tercecer akibat dicabuti Prabu Rahwana. Arya Wisatha berjanji akan mengembalikan payung sakti ini kalau sudah selesai pernikahan.

Di tengah jalan, Arya Wisatha dan Prabu Danuasmara dikepung pasukan Kurawa. Mereka berdua berusaha mempertahankan payung Garuda Layang. Prabu Danuasmara berkata pada sepupunya itu " Adhi, pinjam sebentar payungnya. Aku punya ide." Arya Wisatha segera melemparkan payung itu ke tangan Danuasmara. Begitu payung dibuka dan dikibas-kibaskan, tiba-tiba angin puting beliung datang menderu, menerbangkan apa saja termasuk para Kurawa dan rombongan. Mereka pun terlempar jauh kembali ke Hastinapura. Singkat cerita, hari pernikahan antara Wisatha dan Nilasari tiba. Mempelai pria datang dipayungi sang adik, Arya Walmuka dengan payung Garuda Layang. Di belakangnya ada Prabu Baladewa, Prabu Kresna dan keluarga besar Yadawa. Di tengah kebahagiaan itu, Endang Adiningsih yang tak lain ibu dari Endang Nilasari berlari panik lalu ia berkata " aduh...suamiku...ketiwasan....putri kita diculik raksasi...duhh Hyang Widhi...Bagaimana ini, suamiku?" Arjuna menenangkan isterinya itu. Arya Wisatha marah mendengar penculikan calon istrinya itu. Maka ia segera mengejar si penculik itu disusul Prabu Danuasmara dengan membawa payung Garuda Layang.

Penculik Endang Nilasari tidak lain adalah Emban Durgamarungsit dan Patih Karadurgama. Ia membawa gadis tersebut kepada Prabu Durgamakara yang menunggu di perbatasan Amarta. Melihat mereka datang, Prabu Durgamakara menyambut dengan gembira. Endang Nilasari ketakutan dan meronta minta dibebaskan. Pada saat itulah Wisatha dan Danuasmara muncul melabrak sang raja Timbultaunan. Pangeran mahkota Mandura itu pun bertarung satu lawan satu denran Prabu Durgamakara. Dalam pertarungan sengit tersebut, Arya Wisatha segera membuka payung Garuda Layang dan mengibas-kibaskan payung itu. Seketika Prabu Durgamakara terhempas angin hingga kepalanya pecah membentur batu. Tewaslah sang raja Timbultaunan. Patih Karadurgama dan Emban Durgamangrusit tidak terima atas kematian raja mereka. Keduanya pun maju menyerang. Arya Wisatha segera melindungi Endang Nilasari, sedangkan Prabu Danuasmara berhasil menewaskan kedua lawannya tersebut. Keadaan telah aman. Endang Nilasari berterima kasih atas pertolongan calon suaminya. Arya Wisatha dan Prabu Danuasmara pun mengantarnya kembali ke Madukara. Sesampainya di sana, mereka disambut Radèn Arjuna, Prabu Baladewa, dan para hadirin lainnya. Arya Wisatha dan Endang Nilasari lalu dinikahkan di bawah kemegahan Payung Garuda Layang.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar