Hello guys, kali ini saya menceritakan kisah pendadaran para Pandawa dan Kurawa yang baru saja lulus dari pendidikan ilmu perang. Dikisahkan pula kedatangan Aradeya menantang Permadi dan derajatnya kemudian dinaikkan oleh Raden Suyudana. Sumber yang saya gunakan berasal dari Kitab Mahabharata karya Mpu Vyasa yang dipadukan dengan serial kolosal India Mahabharat Starplus dengan sedikit pengembangan dari saya sendiri dan diberi unsur-unsur pedalangan Jawa
Lima
tahun telah berlalu, kini para Pandawa dan Kurawa sudah mahir dan menyerap
berbagai ilmu perang dari Resi Dorna. Kini saatnya ujian pendadaran untuk mereka
sekaligus unjuk kebolehan di hadapan khalayak ramai. Patih Arya Sengkuni
mengusulkan untuk mengundang raja dan pangeran negara-negara tetangga. Selain
itu, hendaknya unjuk kebolehan ini bukan sekadar pertunjukan namun sebuah adu
tanding. “Kakang Prabu, aku punya usul. Kita jadikan saja unjuk kebolehan ini
bukan sekadar unjuk kebolehan. Kita jadikan adu tanding. Siapapun yang jadi
juaranya, dia yang pantas menjadi putra mahkota Hastinapura.” Awalnya Prabu
Dretarastra, Maharesi Bhisma, dan Arya Widura tidak setuju. Namun, Resi Dorna
ikut bicara “Hmmm..... aku setuju dengan usul rayi Sengkuni. Tapi untuk format
pertandingannya, jangan sampai ada pangeran yang terluka. Pertandingan ini
untuk persaudaraan. Yang menang adalah yang mampu bertahan tanpa keluar arena.
Siapapun yang menyebabkan lawan terluka parah atau berdarah, dia
didiskualifikasi.” Karena itu mereka berunding lagi dan akhirnya mereka setuju
dan Patih Arya Sengkuni diserahi tugas untuk mengurus segala persiapan sarana dan
prasarananya. Maharesi Bhisma menunjuk Resi Dorna dan Bambang Aswatama sebagai
juri pertandingan. Untuk masalah siapa yang akan tampil, Arya Widura meminta
agar yang tampil ditentukan lewat undian.
Di
waktu yang sama, Aradeya dan Adimanggala telah menyelesaikan pendidikan dari
Batara Ramabargawa. Pada suatu hari untuk menguji ketahanan tubuh para
muridnya, Batara Ramabargawa mengirimkan sepasang labah-labah. Labah-labah itu
menggigit paha Adimanggala dan Aradeya yang sedang terlelap tidur. Meskipun
terasa sangat menyakitkan, dalam tetap kondisi tidur pun, mereka mampu menahan
rasa sakit sampai paha mereka berdarah.
|
Aradeya dan Adimanggala selesai menempuh pendidikan |
Dari kejadian itu, Batara Ramabargawa
menyimpulkan bahwa kedua muridnya adalah keturunan orang-orang linuwih. “anak-anakku,
sudah saatnya ku kembali ke kahyangan. Kembalilah kalian ke negara kalian di
Hastinapura. Aku mendapat kabar dari para bidadari dan bidadara bahwa sebentar
lagi bakal ada adu tanding para pangeran Hastinapura.” Aradeya tertarik untuk
datang dan berniat membalas sakit hatinya pada Resi Dorna sekaligus ingin
menunjukkkan bahwa dirinya yang seorang putra kusir bisa menjadi pemanah
terhebat di dunia. Batara Ramabargawa marah, tidak suka dengan sifat angkuh
Aradeya lalu memberikan kutukan padanya “Aradeya, aku ingatkan. Kalau kau tidak
bisa mengendalikan sifat angkuhmu, kelak di saat pertarungan antara hidup dan
mati, kau akan lupa semua ilmu mu!!!”Aradeya tercekat kaget dan memohon ampun
“Ampun, Guru. Saya tak bermaksud demikian. Saya tak tahu cara menghilangkan
sifat angkuhku ini. Tolonglah cabut kutukan itu, guru!!” “Meskipun aku seorang
dewa, aku tak bisa mencabut kutukan yang telah ku lontarkan tapi aku sarankan
bersikaplah dermawan. Sikap dermawanmu akan menjadi penyeimbang sifat
angkuhmu.” Aradeya merasa mendapat harapan baru kemudian bersumpah “Terima
kasih, guru. Mulai saat ini aku akan menjadi orang yang dermawan dan aku
bersumpah, siapapun yang meminta sedekah padaku, siapapun orangnya dan apapun
yang dia minta, akan ku berikan dengan penuh keikhlasan” Sumpah itu disertai
gelegar halilintar pertanda sumpah itu didengar dewata. Setelah itu, mereka
pamit meninggalkan hutan Jatiraga. Di tengah perjalanan, Aradeya dan
Adimanggala bertemu dengan ayah mereka, Ki Adiratha. Adiratha kemudian mengajak
mereka kembali ke Hastinapura untuk menyaksikan unjuk kebolehan para pangeran.
Hari
unjuk kebolehan pun tiba. Unjuk kebolehan itu dilangsungkan di sebuah lapangan raksasa
di selatan pegunungan Himayan yang mampu menampang ratusan juta manusia.
Lapangan itu oleh kawula Hastinapura dinamai Tegal Kurusetra. Seluruh rakyat
Hastinapura, raja dan pangeran negara sahabat datang berbondong-bondong ke
tengah lapangan itu bagaikan semut mengerubungi gula. Nampaklah Prabu
Matsyapati dari Wiratha, Prabu Salya, kakak Dewi Madrim yang kini menjadi raja
di Mandaraka, Prabu Hanggayaksa dari Gandara, dan Pangeran Adipati Kangsa dari
Mandura duduk di kursi VIP. Hanya kerajaan Pancalaradya yang tidak ada yang
mewakilkan. Di singgasana duduklah Prabu Dretarastra yang disebelahnya ada Arya
Sanjaya, putra sulung Arya Widura. Disamping kanan, Dewi Kunthi dan Dewi
Gendari duduk bersebelahan dengan Dewi Durshilawati dan di samping kiri,
duduklah Maharesi Bhisma, Resi Dorna, Arya Widura, dan Mpu Krepa. Setelah
seluruh undangan dan rakyat Hastinapura datang menyesaki tribun, Resi Dorna berdiri
memberikan sekilas peraturan pertandingan “pertandingan ini tidak untuk saling
menjatuhkan apalagi membunuh. Pertandingan ini adalah duel satu lawan satu
hingga didapat satu yang terbaik. Satu yang terbaik adalah dia yang mampu
bertahan sampai akhir saat matahari terbenam dan yang kalah cukup dapat dilihat
siapa yang keluar dari panggung lebih dulu atau menyerah baik-baik, karena tak
boleh ada yang terluka, siapapun yang menyebabkan pihak lawan terluka parah
atau berdarah akan didiskualifikasi. Sekian pengumuman dari saya dan mari kita
mulai pertandingannya !!”
Begitu
Resi Dorna selesai menyampaikan pengumuman, Patih Arya Sengkuni mulai melakukan
undian, yang pertama kali keluar adalah Arya Bratasena melawan Arya Dursasana.
Mereka saling memukulkan gada. Tak sampai sepuluh menit, Arya Dursasana sudah
tumbang dan terlempar keluar arena. Kemuadian diadakan undian lagi. Kali ini
keluarlah nama Arya Durmagati dan hasilnya sama, Durmagati jatuh terlempar
keluar arena oleh Bratasena. Setelah itu keluar nama Raden Citraksa dan
Citraksi dan hasilnya sama juga. Begitulah nama
para Kurawa terus keluar hingga nama Raden Suyudana keluar untuk melawan
Bratasena. Raden Suyudana menjalankan siasatnya agar Bratasena
didiskualifikasi, bermain gada sambil mencaci Bratasena. “ Hei, Sena. Aku akui
kekuatanmu. Maklumlah, kau dan seluruh saudaramu kan anak hasil main-main ibumu
dengan para dewa...hahaha!!!” “tutup mulut kotormu. Aku bisa membunuhmu dalam
sekejap.” Saking kesalnya, Bratasena memukul gadanya terlalu keras dan menghantam
mulut Raden Suyudana membuat mulutnya berdarah. Suyudana semakin kalap dan
terus memukul Bratasena tapi Bratasena malah memiting tangannya dan langsung membanting
jatuh keluar arena. Para Kurawa yang kesal melihat kakak tertua mereka dilukai
naik gelanggang dan mengeroyok Bratasena. Suasana unjuk kebolehan menjadi riuh
dan tak terkendali. Para Pandawa lainnya berusaha melerai dan menenangkan
Bratasena. Resi Dorna dan Bambang Aswatama turun ke gelanggang dan
mendiskulifikasi Arya Bratasena.
Setelah
suasang kembali kondusif, Patih Arya Sengkuni kembali melempar undian dan yang
keluar adalah nama Raden Permadi. Pertama, Raden Permadi melawan Arya
Widandini. Belum sampai lima menit, Widandini terkurung oleh panah-panah yang
dilontarkan Permadi dan mengaku kalah. Patih Arya Sengkuni kembali melempar
undian lalu keluarlah nama Pinten. Karena segan, Raden Pinten mengundurkan
diri. Begitu pula ketika nama Raden Tangsen keluar, belum sampai pertandingan
selesai, dia langsung mengundurkan diri. Begitulah, Patih Arya Sengkuni terus
melempar undian dengan sulap sehinggalah Raden Permadi melawan kakaknya,
Puntadewa. Rupanya hal itu tak membuat Raden Permadi maupun Raden Puntadewa merasa
segan. Mereka tetap melanjutkan pertandingan dengan adil dan jujur. Meskipun
Raden Puntadewa jarang bertarung namun kemampuannya melemparkan galah dan
tombak mampu membuat Permadi cukup kelabakan, malah sebagai pengakhiran dari
melawan kakak sendiri, Raden Permadi mengeluarkan Aji Naracabala*1 dan begitu panah ditembakkan ke
angkasa, bermunculan hujan anak panah yang menghancurkan seluruh galah dan
tombak Puntadewa lalu mengurungnya didalam kurungan panah emas buatannya
kemudian Permadi menghaturkan sembah kepadanya “Terima kasih, kakang Puntadewa.
Mohon restumu untuk mengakhirkan pertandingan ini” Puntadewa merasa bangga dan
merestuinya“Restuku akan selalu bersamamu, adikku. Aku bangga bisa dikalahkan
olehmu.”
Kini
tinggallah Raden Suyudana yang belum melawan Raden Permadi. Tanpa diundi,
mereka langsung unjuk kebolehan. Raden Suyudana berusaha memukul Raden Permadi
dengan gadanya, namun Permadi mampu menahan serangan dengan busur panahnya.
Berkali-kali Suyudana berusaha memukul Permadi, namun Permadi selalu bisa
menghindari pukulannya. Pertarungan mereka bagai harimau yang sedang mengejar
merpati yang sedang terbang . Setelah bertahan cukup lama, Raden Permadi
mengeluarkan serangan balasan. Raden Permadi kemudian membaca mantra Aji Pangasrepan*2, lalu
menembakkan panahnya ke angkasa dan tiba-tiba, udara di seluruh Tegal Kurusetra
berubah menjadi dingin lalu muncul pusaran badai es yang mengurung dan
menggulung tubuh Suyudana. Suyudana yang tak bisa berkutik hanya meringkuk
kedinginan. Resi Dorna bersorak gembira dan segera mengumumkan pemanah terbaik di
dunia “Hebat, anakku Permadi. Mulai hari ini aku umumkan Permadi sebagai
pemanah terbaik tiada tanding di dunia.”
Tiba-tiba
dari tribun penonton, muncullah seorang anak muda berwajah tampan yang naik
gelanggang dan menembakkan panah berajian Hanggeniastra*3.
Panah itu melesat dan mengeluarkan puting beliung api yang menghangatkan
seluruh Tegal Kurusetra dan melenyapkan badai es yang menggulung Raden
Suyudana. Semua orang di tribun terkagum-kagum termasuk para bangsawan keraton.
Pemuda itu keberatan kalau Raden Permadi ditetapkan sebagai pemanah terbaik di dunia
“Aku keberatan kalau tuan guru Dorna menetapkan Raden Permadi sebagai pemanah
tanpa tanding di dunia dan dihadapan seluruh penonton, para raja, dan pangeran,
aku menantang Raden Permadi untuk adu panah satu lawan satu denganku.” Resi
Dorna lalu bertanya pada pemuda itu darimana asalnya. Sang pemuda hanya
terdiam. Tiba-tiba datanglah ayah dan adik dari pemuda itu, yaitu kusir Ki
Adiratha dan Bambang Adimanggala “Aradeya, cepat kembali kesini. Bikin malu
saja. Ehh maaf tuan guru Dorna. Maaf atas kelancangan putra hamba menantang
Raden Permadi. Kami benar-benar mohon maaf” “Adiratha, ketahuilah. Dalam
berperang atau bertanding pun ada tatakramanya. Semua harus sederajat. Raja
harus melawan raja. Pangeran juga harus melawan pangeran. Senopati melawan
senopati juga. Putramu Aradeya tidak sederajat bila harus melawan Permadi.
Saranku saja ya, sebaiknya pulanglah kembali ke Awangga.” Arya Bratasena yang
ada di luar gelanggang juga menyoraki Aradeya sebagai pemuda yang tak tahu
tatakrama istana dan menyuruh Ki Adiratha untuk mendidiknya sopan santun. Raden
Puntadewa menegur adik nomor duanya itu “Bratasena, tidak seharusnya kamu
bicara begitu. Kau mudah sekali ngomong begitu sedangkan dirimu sendiri juga
harusnya belajar bersopan santun.” Bratasena hanya terdiam tak berani
membantah.
Aradeya
merasa sangat kecewa karena hanya karena kedudukannya sebagai orang sudra, dia
hanya dipandang sebelah mata. Tiba-tiba Suyudana menahannya pulang “Tunggu,
Aradeya. Jangan pergi dulu. Kau sudah menolongku saat terkurung badai es buatan
Permadi tadi dan atas persetujuan ayahku Prabu Dretarastra, aku mengubah status
Desa Awangga menjadi kadipaten, aku mengangkat ayahmu sebagai Adipati Awangga
dan kamu, Aradeya dan saudaramu boleh menyandang gelar raden didepan nama
kalian.” Ki Adiratha, Aradeya, dan Adimanggala menunduk dan tak berani menerima
anugerah ini. “Maafkan hamba, pangeran. Kami tidak berani menerima hadiah
sebesar ini. Kedatangan hamba kesini untuk beradu tanding, bukan untuk mencari
hadiah.” “Bangun, Aradeya. Anugerah ini
bukan apa-apa bagiku. Ini adalah bentuk terima kasihku karena kau sudah
menyelamatkanku di atas gelanggang tadi dan mulai sekarang kami, Para Kurawa
menjadikanmu sebagai saudara tua kami. Kau dan aku sahabat selamanya.” Aradeya
kemudian bangun dan berterima kasih kepada Raden Suyudana. “Terima Kasih, raden
emm maksudku rayi Suyudana. Mulai sekarang dan seterusnya saya akan melindungi
Raden Suyudana. Izinkan saya untuk melanjutkan adu tanding dengan Raden
Permadi.” Suyudana memberikan restunya dan Resi Dorna mempersilahkannya masuk
gelanggang. Sebelum pergi, Adipati Adiratha memberitahukan bahwa Aradeya lahir
dengan nama Suryaputra dan menyuruh Aradeya menggunakan nama itu.
Pertarungan
antara Suryaputra melawan Permadi pun dimulai. Panah-panah mereka saling beradu,
berdesing, menimbulkan suara riuh dan gaduh di angkasa. Para penonton, para
raja negara sahabat, Para Pandawa dan Kurawa saling terkagum-kagum.
|
Raden Suryaputra/Aradeya vs Raden Permadi |
Mereka
ibarat Sri Rama dan Laksmana yang saling beradu panah. Kedua-duanya sama hebat
dan seimbang. Tak ada yang menang maupun yang kalah. Hari mulai beranjak petang
dan tidak ada satupun dari mereka yang menyerah kalah ataupun terjatuh dari
gelanggang. Raden Permadi menembakkan panah terakhirnya bersamaan dengan terbenamnya
matahari. Dipukullah bende tanda pertandingan harus diakhiri. Raden Suryaputra
meletakkan busur panahnya dan tak berusaha menangkis panah itu. Dia menerima
panah itu dengan dadanya. Seketika itu pula anting yang dipakai Raden
Suryaputra menyala terang dan di dadanya muncul cahaya menyilaukan bagaikan sinar matahari dan brak! Anak panah itu patah menjadi dua saat menyentuh dada
Raden Suryaputra.
Dewi
Kunthi yang menonton di samping Prabu Dretarastra dan Dewi Gendari terkejut
melihatnya. Teringatlah dia kejadian saat dia diperintahkan ayah dan gurunya, Prabu
Kuntiboja dan Resi Durwasa untuk membuang putra sulungnya, Karna Basusena yang
sejak bayi sudah memakai anting Suryakundala dan baju zirah Suryakawaca di
Bengawan Gangga. Seketika Dewi Kunthi terjatuh pingsan setelah menyadari bahwa
putra sulungnya telah muncul dihadapannya dan kini melawan adiknya sendiri.
Arya Bratasena segera menggendong ibunya disusul Raden Puntadewa dan si kembar
Pinten-Tangsen.Raden Permadi dan Suryaputra masih di gelanggang dan saling
berjanji untuk melanjutkan pertandingan kelak di hari lain. Setelah Raden
Permadi pergi, Raden Suyudana, Arya Dursasana, dan Para Kurawa yang lain
menjunjung tinggi-tinggi tubuh Raden Suryaputra bagai pahlawan yang baru menang
perang. Sementara itu, di keraton Hastinapura, Resi Dorna dan Bambang Aswatama
berniat pamit kembali ke Sokalima namun ditahan oleh Patih Arya Sengkuni.”
Tunggu kakang Dorna, anakku Aswatama. Sebelum kalian pulang, baiknya kita
saling berfikir jangka panjang. Lebih baik kita bekerjasama saja. Aku sudah
meminta pada raka Prabu Dretarastra untuk melantik kakang sebagai penasihatnya
bersamaku dan putramu Aswatama mulai sekarang bisa menjadi nayaka praja*4 di rumahku di Palasajenar dan aku sudah
mengusulkan kucuran dana yang lebih besar pada raka prabu untuk Sokalima agar
menjadikan padepokan kakang menjadi perguruan terbesar di pulau Jawa. Kau boleh
menerima murid dari negeri manapun dengan syarat dia harus bisa menjadi sekutu
Hastinapura. Bagaimana, Kakang? apa kau tidak tertarik? Pikirkan itu” setelah
berpikir dengan matang, Resi Dorna tertarik dan bersedia bekerjasama karena
merasa jalan untuk menyerang Drupada dan Arya Gandamana semakin dekat. Bambang
Aswatama merasa gembira karena pintu untuk menaikan derajatnya demi menyaingi
Permadi semakin terbuka lebar. Mulai saat itu, padepokan Sokalima dibenahi dan
diberi kucuran dana dari keraton Hastinapura sehingga berubah menjadi perguruan
terbesar di pulau Jawa. Hal itu mulai membuat Prabu Drupada di Pancalaradya
semakin khawatir akan perkembangan Sokalima dan akan mengaburkan tapal batas
antara negara Hastinapura dan Pancalaradya.
*1 Aji Naracabala adalah ajian yang dimiliki para pemanah handal. Bila
ajian ini dirapalkan sambil merentangkan busur panah, maka anak panah yang
ditembakkan akan berubah menjadi berlipat ganda bahkan hingga menjadi hujan anak
panah. Ajian ini dikuasai terutama oleh Arjuna dan Karna
*2 Aji Pangasrepan, ajian yang mampu mengubah cuaca dalam radius
tertentu menjadi dingin/bersalju dan mampu menciptakan badai es/hujan es. Bila dirapal
sambil memainkan senjata, maka lawan yang terkena senjata itu akan membeku atau
terkurung angin dingin.
*3 Aji Hanggeniastra adalah ajian yang bisa mengeluarkan api atau
udara panas dan mampu membuat Aji Pangsrepan menjadi tawar. Bila dirapalkan
pada senjata, maka lawan yang terkena akan kepanasan atau bahkan terbakar.
*4 Nayaka praja adalah jabatan di keraton yang setara dengan juru
tulis/sekretaris dan setingkat dengan menteri.