Senin, 13 November 2023

Sencaki Kembar, Sencaki Krama

 Hai pembaca dan penikmat kisah pewayangan, kisah kali ini menceritakan kilas balik pernikahan Arya Sencaki (Setyaki) dan bagaimana Arya Sencaki mendapatkan pusaka Nagabanda yang sakti. Kisah ini mengambil sumber dari blog albumkisahwayang.blogspot.com dengan perubahan dan penambahan seperlunya.

Alkisahnya setelah serangan Prabu Mohasura, Prabu Setyajid dan Prabu Garbanata menemui para pandawa di Alas Kamyaka. Mereka datang bersama Arya Sencaki dan Dewi Garbarini juga anak mereka Raden Jaya Sangasanga. Para Pandawa menyambut mereka. Lalu datang para putra pandawa, diantaranya yakni Raden Pancawala, Arya Yodeya, Raden Abimanyu, Bambang Irawan, Bambang Wisanggeni, Prabu Gatotkaca, Pangeran Arya Antareja, Haryapati Antasena, Prabuanom Srenggini, dan Wasi Sri Pancasena. Mereka baru kali ini bertemu anak Arya Sencaki lalu mereka bertanya “paman Sencaki, kok kami baru tahu kalau paman punya anak sebaya dengan kami?”

Arya Sencaki dan Jaya Sangasanga bercerita masa lalu
Arya Sencaki menjawab “ohh itu karena Jaya Sangasanga jarang aku ajak ke luar. Dia fokus belajar segala ilmu kanuragan dan ilmu lainnya.” para Putra Pandawa lalu meminta Arya Sencaki bercerita bagaimana ia bisa menikahi Dewi Garbarini. Setelah mendapat persetujuan dari ayah dan mertuanya, Arya Sencaki pun bercerita:

Sekitar beberapa tahun lalu, saat itu setelah Sesaji Rajasuya di Amarta. Kerajaan Lesanpura gempar karena Arya Sencaki pergi dari istananya di Lesanpura. Bersamaan dengan hal itu, sang ayah yakni Prabu Ugrasena alias Setyajid Mendapatkan kabar kalau pasukan tidak dikenal mendekat ke istana Lesanpura. Dikirimlah pasukan telik sandi untuk mencari tahu. Singkat cerita, pasukan telik sandi datang membawa kabar “ ampun Gusti Prabu, pasukan yang akan menyerang Lesanpura itu dari Paranggubarja. Dia raja baru, bukan keturunan Jungkungmardeya. Namanya Garbanata.” Prabu Setyajid seperti mengingat nama itu lalu ia teriangat masa lalu. Sang raja pun mempersilakan para telik sandi berjaga-jaga. Lalu Dewi Warsini bertanya “kakanda, siapa yang menyerang kita?” “dinda, kau ingat si Garbanata? “ Dewi Warsini berkata tidak ingat. Prabu Setyajid bercerita “Garbanata itu musuh lamaku. Dulu ketika sayembaramu, Garbanata bersama Narasoma menyerangku bersama-sama dan keroyokan. Tapi berkat bantuan kakang Aryaprabu dan kakang Pandu, aku bisa mengalahkannya dan Narasoma. Setelahnya, aku dengar kabar, Paranggubarja diserang Jungkungmardeya dan ia menyelamatkan diri ke gunung. Aku rasa ia kembali bertakhta kembali setelah Jungkungmardeya dikalahkan Srikandhi. Jangan-jangan ia mau balas dendam lagi kemari. Baik nya kau bersedia diri, dinda.” Dewi Warsini pun bersiap-siap untuk melarikan diri. Singkat cerita, Prabu Garbanata dan Patih Saradenta telah berangkat memimpin pasukan Paranggubarja. Mereka disambut Prabu Setyajid dan Patih Setyabasa yang juga sudah bersiaga dengan pasukan Lesanpura. Pertempuran pun meletus di antara kedua pihak. Perang berlangsung begitu sengit. Mula-mula pihak Lesanpura berhasil mendesak mundur barisan Garbaruci. Ketika kemenangan sudah di depan mata, tiba-tiba Prabu Garbanata mengubah siasat, yaitu menantang Prabu Setyajid bertanding satu lawan satu.

Prabu Setyajid menerima tantangan tersebut. Sebagai mantan panglima perang Kerajaan Mandura, ia tidak pernah takut kepada musuh. Namun, Prabu Garbanata sendiri selama ini sudah menyepi di padepokan Resi Garbasumanda selalu melatih diri dan mengasah ilmu kesaktiannya. Sebaliknya, Prabu Setyajid sudah semakin berumur dan jarang berolah raga. Lama-lama ia terdesak dan berhasil diringkus oleh Prabu Garbanata. Kerajaan Lesanpura pun ditaklukan Paranggubarja. Prabu Setyajid dijebloskan ke penjara “Garbanata, awas saja kau! Putraku pasti akan mengalahkanmu!” Prabu Garbanata tertawa “hahahahahaha.....kalau dia di sini akan ku habisi dia sekarang juga. Tapi dia tidak disini dan malah menghilang. Sekarang membusuklah kau dipenjaramu sendiri!” tanpa pikir panjang, Prabu Garbanata memerintahkan pasukannya mencari Arya Sencaki bahkan ke Amarta, istana para para Pandawa. para pandawa yang mendengar kabar takluknya kerajaan Lesanpura segera mengirimkan pesan kepada Prabu Sri Kresna untuk membantu pencarian Arya Sencaki sebelum keduluan pasukan Paranggubarja.

Di tempat lain, yakni Alas Minangsraya, arya Burisrawa melakukan pembalasan dendam atas perlakuan Sencaki dahulu saat pernikahan Dewi Sumbadra. Ia melakukan tapa brata kepada Batari Durga meminta ilmu berubah wujud. Batari Durga pun datang dan memberikannya aji Kawrastrawam. Setelah mendapatkannya, Batari Durga memberi tahu kalau akan turun pusaka dari kahyangan dan menyarankan sang putra Mandaraka itu mendapatkannya. Arya Burisrawa berterima kasih dan ia segera melakukan tapa brata sekali lagi demi mendapatkan pusaka yang dimaksud. Tak lama kemudian, Batara Narada telah berangkat melaksanakan tugas dari Batara Guru untuk menurunkan pusaka Nagabanda kepada Arya Sencaki yang sedang bertapa di alas Minangsraya. Ia melayang terbang dan melihat dari kejauhan Arya Sencaki sedang duduk bersamadi di bawah pohon besar. Batara Narada segera membangunkan Arya Sencaki dan mengatakan “Anakku, Batara Guru telah mengabulkan permintaanmu yang ingin memiliki pusaka dari kahyangan. Pusaka ini berupa cambuk dari baja emas, bernama Nagabanda. terimalah! ” Arya Sencaki dengan senang hati menerima pusaka tersebut “Terima kasih Pukulun. Sudah lama hamba menginginkan pusaka ini. Hamba mohon pamit untuk kembali ke Swalabumi.” Batara Narada termangu-mangu dan merasa ada yang tidak beres. Ia lalu terbang ke angkasa dan melihat ada Arya Sencaki lain sedang duduk bersamadi di atas batu datar. Batara Narada segera turun dan membangunkannya untuk bertanya “lho la lhe... Sencaki? Kenapa kamu masih bertapa lagi padahal sudah memperoleh pusaka Nagabanda?” Arya Sencaki bangun dan menyembah. Ia berkata Lha...pukulun... aku sampai sekarang belum pernah menerima pusaka Nagabanda. Sudah beberapa hari ini aku bertapa. Sebagai panglima angkatan perang Kerajaan Dwarawati, akan penting sekali jika aku punya pusaka andalan buatan para dewa, di samping Gada Wesikuning....” Batara Narada akhirnya paham bahwa ia telah ditipu oleh Arya Sencaki palsu. Kejadian saat penyerahan Panah Konta terulang lagi. Batara Narada lalu menyela dan berkata ada Arya Sencaki lain yang telah merebut pusaka yang harusnya diberikan padanya. Mendengar ada orang lain yang menyamar sebagai dirinya, Arya Sencaki segera mohon pamit untuk mengejar orang itu dan merebut pusaka Nagabanda dari tangannya.

Arya Sencaki asli akhirnya berhasil mengejar Arya Sencaki palsu. “hoi, peniru...beraninya kau mengambil hakku! Serahkan Nagabanda itu!” “Enak saja! Kau itu yang palsu! Kalau kau ingin Nagabanda ini, ayo bertarung denganku! Kita Duel Satu Lawan Satu!”

Sencaki Kembar
Arya Sencaki asli pun meladeninya. Mereka pun bertarung seru sama-sama mengaku sebagai yang asli. Arya Sencaki yang satu memegang Gada Wesikuning, sedangkan yang satu lagi memegang pecut Nagabanda. Lalu ketika Arya Sencaki palsu mencambukkan Pecut Nagabanda ke arah Sencaki asli, keduanya saling beradu dan tarik menarik satu sama lain. Kedua senjata itu beradu, tiba-tiba Nagabanda melilit dan memilin erat Gada Wesikuning dan keduanya sama-sama terlempar ke udara.

Tepat pada saat itu Prabu Sri Kresna bersama kedua Pandawa dan para punakawan kebetulan lewat. Prabu Sri Kresna segera melesat terbang ke udara untuk menyambar Gada Wesikuning dan Nagabanda. Kedua senjata pusaka itu kini menjadi satu tidak terpisahkan. Cambuk Nagabanda melilit pada Gada Wesikunimg seperti seekor ular melilit pada dahan pohon. Bentuk Gada Wesikuning menjadi lebih indah sekaligus juga menjadi lebih ampuh. Prabu Sri Kresna, Arya Wrekodara, dan Arjuna gembira bertemu Arya Sencaki yang mereka cari-cari, tetapi sekaligus juga bingung karena sepupu mereka itu kini berubah menjadi dua. “waduh kakang Madhawa, bagaimana ini? Adhi Sencaki nya ada dua...gimana cara membedakannya?” “benar, Parta, aku juga agak bngung harus pilih yang mana?” Batara Narada muncul dan menceritakan bahwa ada orang lain yang menyamar sebagai Arya Sencaki untuk merebut pusaka Nagabanda pemberian dewa. Ia menjelaskan bahwa Arya Sencaki yang asli memegang Gada Wesikuning, sedangkan yang palsu memegang Nagabanda. Arya Wrekodara menjawab, “lha gusti batara, ciri-ciri begitu itu sudah tidak berlaku. Kedua pusaka kui sudah menjadi satu. Saiki kedua adhi Arya Sencaki sama-sama tidak pakai senjata dan bertarung tangan kosong.”

Prabu Sri Kresna lalu melerai kedua Arya Sencaki yang bertarung sengit. “wes-wes, kalian Berdua...hentikan perkelahian kalian...Gak malu apa dilihat dewa disini.” Keduanya segera berhenti dan menyembah penuh hormat. Prabu Sri Kresna pun berunding dengan Arya Wrekodara bagaimana caranya membongkar penyamaran Arya Sencaki yang palsu. Arya Wrekodara mendapat akal, “Ngene ae kakang prabu dan kalian berdua... Aku bakal uji kalian. Akan aku hantamkan Gada Rujhapala milikku. Seng sekali hantam langsung berubah wujud, berarti de’e Sencaki palsu. Gusti Batara Narada, mohon jadi saksi atas ujian ini” “aku menerima menjadi saksinya!”

Arya Sencaki yang berdiri di belakang langsung menjawab setuju, sedangkan yang di depan agak ragu-ragu. Arya Wrekodara mulai membaca gelagat tidak baik namun harus mendapatkan bukti nyata. Ia pun mengangkat Gada Rujhapala yang berukuran sangat besar kemudian menghantamkannya kepada Arya Sencaki yang berdiri di depan. Dalam sekali hantam, Arya Sencaki tersebut menjerit kesakitan lalu berubah wujud kembali ke asalnya yakni Arya Burisrawa. Dengan tubuh terluka ia pun melarikan diri kembali ke tempat Batari Durga untuk meminta perlindungan. Batara Narada senang melihatnya. “syukurlah sekarang kebenaran sudah terang. Sri Kresna, sekarang Serahkan Gada Wesikuning dan Nagabanda kepada Arya Sencaki yang satu lagi.” Arya Wrekodara tidak setuju “gak isok ngunu pukulun Batara. Sesuai kesepakatan, keduanya harus harus sama-sama diuji demi membuktikan keasliannya.” Batara Narada keberatan “Lha yang palsu sudah terbongkar, untuk apa yang asli harus menderita pula.” Arya Wrekodara berkata “kita harus jaga-jaga, gusti Batara, jangan-jangan ia juga samaran orang lain. Nah daripada kita ambil resiko, Arya Sencaki yang tinggal satu ini pun harus membuktikan keasliannya.” Arya Sencaki menjawab “aku bersedia. Silakan kau hantam dari mana saja.”  Dengan penuh keyakinan ia meminta Arya Wrekodara untuk segera menghantamkan Gada Rujhapala kepadanya. Arya Wrekodara menuruti. Ia pun mengayunkan gada besar tersebut hingga tepat memukul kepala Arya Sencaki. Akan tetapi, sedikit pun Arya Sencaki tidak goyah dan tidak terluka. Ini berarti ia telah membuktikan bahwa dirinya memang benar-benar yang asli. Sesuai kesepakatan, Prabu Sri Kresna pun menyerahkan Gada Wesikuning yang sudah terlilit oleh Pecut Nagabanda kepada Arya Sencaki. Sekarang Gada Wesikuning juga boleh disebut dengan nama Gada Nagabanda. Arya Sencaki pun mencoba pusaka itu “Wesikuning! Dadi Pecut!” seketika Gada Wesikuning berubah jadi pecut Nagabanda. Ketika dicambukkan ke bumi, bumi seketika bergetar. Langit ikut bergemuruh. Lalu Arya Sencaki mencoba lagi “Nagabanda! Balik Dadi Gada!” seketika Pecut Nagabanda kembali menjadi Gada Wesikuning. Arya Wrekodara mengucapkan selamat dan memberikan julukan baru kepada Arya Sencaki yang telah membuktikan dirinya kebal terhadap pukulan Gada Rujhapala. Julukan baru tersebut adalah Sang Bhima kunting alias Bhima kecil.

Sementara itu di Kerajaan Lesanpura, Prabu Garbanata telah memenjarakan Prabu Setyajid. Tiba-tiba anak dan istrinya datang menyusul. Anak perempuan tersebut sudah berusia remaja dan berwajah cantik, bernama Dewi Garbarini. Ia datang bersama ibunya, yaitu Dewi Danasari untuk memohon kepada sang ayah agar menyudahi perang dan membebaskan Prabu Setyajid “ayahanda prabu, sudah cukup...jangan turuti dendam dan hawa nafsu setan. Dendam dibalas dengan dendam hanya akan seperti lingkaran yang berputar-putar tiada habisnya. Begitulah nasihat kakek maharesi sebelum wafat dulu. Tolong pikirkan lagi. Apa di hati ayahanda tidak punya rasa iba dan kasihan? Lihatlah paman prabu Setyajid. Pikirkan juga kondisinya. Apakah dengan memenjarakannya, hati ayahnda menjadi puas?” Prabu Garbanata termenung mendengar ucapan anak dan istrinya. Selama ini ia menyimpan dendam membara kepada Prabu Setyajid. Namun, begitu berhasil mengalahkan musuhnya itu, ternyata ia tidak merasa lega seperti yang ia bayangkan dulu. Apa yang diinginkan begitu dalam, ketika hal itu bisa diraih ternyata rasanya hanya begitu saja. Melihat Prabu Setyajid meringkuk di penjara, dalam hati Prabu Garbanata tumbuh perasaan iba. Tiba-tiba di luar istana terdengar suara teriakan menantang. Prabu Garbanata pun keluar menghadapi. Ternyata Arya Sencaki telah datang. Ia mendengar cerita dari Prabu Sri Kresna bahwa ayahnya kini menjadi tawanan Prabu Garbanata. Maka, ia pun bergegas pergi mendatangi Kerajaan Lesanpura untuk membebaskan Prabu Setyajid.

Prabu Garbanata merasa tertarik jika ia menyiksa Arya Sencaki di hadapan Prabu Setyajid. Maka, ia pun memerintahkan Patih Saradenta untuk menghadirkan raja Lesanpura tersebut agar menjadi saksi pertarungan antara dirinya degan Arya Sencaki. Tampak pula Prabu Sri Kresna, Arya Wrekodara, dan Raden Arjuna datang untuk menyaksikan pertarungan ini. Prabu Setyajid telah hadir dengan tangan terikat. Prabu Garbanata dan Arya Sencaki pun memulai pertarungan. Dengan senjata Gada Nagabanda, Arya Sencaki menyerang Prabu Garbanata. Keduanya pun bertarung sengit. Prabu Garbanata lama-lama menyukai ketangkasan lawannya dan tidak lagi memiliki rasa benci kepada Arya Sencaki. Hingga akhirnya, gada yang ada di tangannya pun hancur remuk dihantam Gada Wesikuning Nagabanda. Arya Sencaki lalu men-summon Pecut nagabanda miliknya “Wesikuning! Dadi pecut!”Gada Wesikuning pun bertukar wujud jadi Pecut Nagabanda. Sang Bhima Kunthing pun menyabetkan cambuk baja emas itu. Dan seketika, tubuh Prabu Garbanata bergetar melihatnya. Di saat ia lengah, tanpa terasa pundak kanannya terkena sabetan pecut nagabanda. Prabu Garbanata jatuh terduduk di tanah menahan sakit.

Melihat ayahnya kalah, Dewi Garbarini berlari maju dan menghalangi di depan Arya Sencaki. Ia memohon agar Prabu Garbanata diampuni, “Tolong, tuanku..ampuni ayahanda prabu....biarlah aku saja yang dihukum mati menggantikan ayahanda prabu.!”  Melihat sorot mata Dewi Garbarini yang berserah diri membuat tangan Arya Sencaki gemetar. Entah mengapa Gada Wesikuning Nagabanda pun terlepas dari genggaman dan jatuh ke tanah. Prabu Garbanata kembali teringat kepada nasihat-nasihat mendiang Resi Garbasumanda yang penuh cinta kasih dan hendaknya melupakan semua dendam. Akhirnya prabu Garbanata bertekuk lutut tanda menyerah “Sencaki, aku mengaku kalah, tapi jangan sakiti putriku!” Prabu Garbanata pun melepaskan ikatan Prabu Setyajid. Prabu Garbanata lalu kembali berlutut menyerahkan dirinya “silakan hukum aku, aku siap bertanggung jawab karena lancang berani menyerang Lesanpura.” Prabu Setyajid sendiri juga telah hilang kemarahannya begitu melihat kemenangan Arya Sencaki. “Sudahlah, Garbanata, dendam masa lalu kita akhiri saja... bagaimana kalau permusuhan ini diubah menjadi persaudaraan. Aku melihat putraku gemetar memandang putrimu. Bagaimana jika mereka berdua kita nikahkan saja. Dengan begitu, Lesanpura dan Paranggubarja bisa menjadi keluarga, tidak perlu lagi melanjutkan permusuhan.” Prabu Garbanata terharu mendengar ucapan Prabu Setyajid yang memaafkan dirinya. Kedua raja itu kemudian berpelukan menjadi teman. Mereka lalu menanyai Arya Sencaki dan Dewi Garbarini apakah bersedia untuk dinikahkan. Arya Sencaki menjawab bersedia, sedangkan Dewi Garbarini tersipu malu. Kedua raja pun tertawa lepas, sedangkan Prabu Sri Kresna dan kedua Pandawa segera mengucapkan selamat.

Demikianlah kisah permusuhan antara Prabu Setyajid dengan Prabu Garbanata telah berakhir dan berubah menjadi persaudaraan. Pada hari yang dianggap baik, dilaksanakanlah upacara pernikahan antara Arya Sencaki dan Dewi Garbarini. Kedua negara, yaitu Lesanpura dan Paranggubarja dapat dikatakan sama-sama menang, tidak ada yang kalah. Adapun kemenangan dapat dilambangkan dengan angka sembilan, yang dalam bahasa Jawa disebut “sanga”. Oleh sebab itu, Arya Sencaki pun berjanji apabila kelak Dewi Garbarini melahirkan anak nanti, maka akan diberi nama yang mengandung angka sanga atau sembilan demi mengenang peristiwa ini. Benar saja, setahun setelah pernikahan itu, lahirlah anak lelaki dari Sencaki dan Garbarini. Nak itu diberi nama Raden Jaya Sangasanga.

Begitulah Arya Sencaki menceritakan kehidupan pernikahannya dan bagaimana kerajaan Lesanpura dan Paranggubarja bisa menjadi sekutu walau di masa lalu pernah bermusuhan. Para Putra pandawa pun terkesan dengan kisah itu. Lalu di akhir pertemuan itu, kerajaan Lesanpura dan Paranggubarja mengumumkan dukungan mereka kepada para Pandawa dan membantu mereka dengan sejumlah bantuan demi pembangunan istana baru di Alas Kamyaka yang saat itu baru setengah jadi itu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar