Hai pembaca dan penikmat kisah pewayangan, kisah kali ini menceritakan kilas balik pernikahan Arya Sencaki (Setyaki) dan bagaimana Arya Sencaki mendapatkan pusaka Nagabanda yang sakti. Kisah ini mengambil sumber dari blog albumkisahwayang.blogspot.com dengan perubahan dan penambahan seperlunya.
Alkisahnya setelah serangan Prabu Mohasura, Prabu Setyajid dan Prabu Garbanata menemui para pandawa di Alas Kamyaka. Mereka datang bersama Arya Sencaki dan Dewi Garbarini juga anak mereka Raden Jaya Sangasanga. Para Pandawa menyambut mereka. Lalu datang para putra pandawa, diantaranya yakni Raden Pancawala, Arya Yodeya, Raden Abimanyu, Bambang Irawan, Bambang Wisanggeni, Prabu Gatotkaca, Pangeran Arya Antareja, Haryapati Antasena, Prabuanom Srenggini, dan Wasi Sri Pancasena. Mereka baru kali ini bertemu anak Arya Sencaki lalu mereka bertanya “paman Sencaki, kok kami baru tahu kalau paman punya anak sebaya dengan kami?”
Arya Sencaki dan Jaya Sangasanga bercerita masa lalu |
“Sekitar
beberapa tahun lalu, saat itu setelah Sesaji Rajasuya di Amarta. Kerajaan
Lesanpura gempar karena Arya Sencaki pergi dari istananya di Lesanpura.
Bersamaan dengan hal itu, sang ayah yakni Prabu Ugrasena alias Setyajid
Mendapatkan kabar kalau pasukan tidak dikenal mendekat ke istana Lesanpura.
Dikirimlah pasukan telik sandi untuk mencari tahu. Singkat cerita, pasukan
telik sandi datang membawa kabar “ ampun Gusti Prabu, pasukan yang akan
menyerang Lesanpura itu dari Paranggubarja. Dia raja baru, bukan keturunan
Jungkungmardeya. Namanya Garbanata.” Prabu Setyajid seperti mengingat nama itu
lalu ia teriangat masa lalu. Sang raja pun mempersilakan para telik sandi
berjaga-jaga. Lalu Dewi Warsini bertanya “kakanda, siapa yang menyerang kita?”
“dinda, kau ingat si Garbanata? “ Dewi Warsini berkata tidak ingat. Prabu
Setyajid bercerita “Garbanata itu musuh lamaku. Dulu ketika sayembaramu,
Garbanata bersama Narasoma menyerangku bersama-sama dan keroyokan. Tapi berkat
bantuan kakang Aryaprabu dan kakang Pandu, aku bisa mengalahkannya dan Narasoma.
Setelahnya, aku dengar kabar, Paranggubarja diserang Jungkungmardeya dan ia
menyelamatkan diri ke gunung. Aku rasa ia kembali bertakhta kembali setelah
Jungkungmardeya dikalahkan Srikandhi. Jangan-jangan ia mau balas dendam lagi kemari.
Baik nya kau bersedia diri, dinda.” Dewi Warsini pun bersiap-siap untuk melarikan
diri. Singkat cerita, Prabu Garbanata dan Patih Saradenta telah berangkat
memimpin pasukan Paranggubarja. Mereka disambut Prabu Setyajid dan Patih
Setyabasa yang juga sudah bersiaga dengan pasukan Lesanpura. Pertempuran pun
meletus di antara kedua pihak. Perang berlangsung begitu sengit. Mula-mula
pihak Lesanpura berhasil mendesak mundur barisan Garbaruci. Ketika kemenangan
sudah di depan mata, tiba-tiba Prabu Garbanata mengubah siasat, yaitu menantang
Prabu Setyajid bertanding satu lawan satu.
Prabu Setyajid menerima
tantangan tersebut. Sebagai mantan panglima perang Kerajaan Mandura, ia tidak
pernah takut kepada musuh. Namun, Prabu Garbanata sendiri selama ini sudah menyepi
di padepokan Resi Garbasumanda selalu melatih diri dan mengasah ilmu
kesaktiannya. Sebaliknya, Prabu Setyajid sudah semakin berumur dan jarang
berolah raga. Lama-lama ia terdesak dan berhasil diringkus oleh Prabu
Garbanata. Kerajaan Lesanpura pun ditaklukan Paranggubarja. Prabu Setyajid
dijebloskan ke penjara “Garbanata, awas saja kau! Putraku pasti akan mengalahkanmu!”
Prabu Garbanata tertawa “hahahahahaha.....kalau dia di sini akan ku habisi dia
sekarang juga. Tapi dia tidak disini dan malah menghilang. Sekarang membusuklah
kau dipenjaramu sendiri!” tanpa pikir panjang, Prabu Garbanata memerintahkan
pasukannya mencari Arya Sencaki bahkan ke Amarta, istana para para Pandawa. para
pandawa yang mendengar kabar takluknya kerajaan Lesanpura segera mengirimkan
pesan kepada Prabu Sri Kresna untuk membantu pencarian Arya Sencaki sebelum
keduluan pasukan Paranggubarja.
Di tempat lain, yakni
Alas Minangsraya, arya Burisrawa melakukan pembalasan dendam atas perlakuan Sencaki
dahulu saat pernikahan Dewi Sumbadra. Ia melakukan tapa brata kepada Batari
Durga meminta ilmu berubah wujud. Batari Durga pun datang dan memberikannya aji
Kawrastrawam. Setelah mendapatkannya, Batari Durga memberi tahu kalau akan
turun pusaka dari kahyangan dan menyarankan sang putra Mandaraka itu
mendapatkannya. Arya Burisrawa berterima kasih dan ia segera melakukan tapa
brata sekali lagi demi mendapatkan pusaka yang dimaksud. Tak lama kemudian,
Batara Narada telah berangkat melaksanakan tugas dari Batara Guru untuk
menurunkan pusaka Nagabanda kepada Arya Sencaki yang sedang bertapa di alas
Minangsraya. Ia melayang terbang dan melihat dari kejauhan Arya Sencaki sedang
duduk bersamadi di bawah pohon besar. Batara Narada segera membangunkan Arya Sencaki
dan mengatakan “Anakku, Batara Guru telah mengabulkan permintaanmu yang ingin
memiliki pusaka dari kahyangan. Pusaka ini berupa cambuk dari baja emas,
bernama Nagabanda. terimalah! ” Arya Sencaki dengan senang hati menerima pusaka
tersebut “Terima kasih Pukulun. Sudah lama hamba menginginkan pusaka ini. Hamba
mohon pamit untuk kembali ke Swalabumi.” Batara Narada termangu-mangu dan
merasa ada yang tidak beres. Ia lalu terbang ke angkasa dan melihat ada Arya Sencaki
lain sedang duduk bersamadi di atas batu datar. Batara Narada segera turun dan
membangunkannya untuk bertanya “lho la lhe... Sencaki? Kenapa kamu masih
bertapa lagi padahal sudah memperoleh pusaka Nagabanda?” Arya Sencaki bangun
dan menyembah. Ia berkata Lha...pukulun... aku sampai sekarang belum pernah
menerima pusaka Nagabanda. Sudah beberapa hari ini aku bertapa. Sebagai
panglima angkatan perang Kerajaan Dwarawati, akan penting sekali jika aku punya
pusaka andalan buatan para dewa, di samping Gada Wesikuning....” Batara Narada akhirnya
paham bahwa ia telah ditipu oleh Arya Sencaki palsu. Kejadian saat penyerahan
Panah Konta terulang lagi. Batara Narada lalu menyela dan berkata ada Arya
Sencaki lain yang telah merebut pusaka yang harusnya diberikan padanya. Mendengar
ada orang lain yang menyamar sebagai dirinya, Arya Sencaki segera mohon pamit
untuk mengejar orang itu dan merebut pusaka Nagabanda dari tangannya.
Arya Sencaki asli akhirnya berhasil mengejar Arya Sencaki palsu. “hoi, peniru...beraninya kau mengambil hakku! Serahkan Nagabanda itu!” “Enak saja! Kau itu yang palsu! Kalau kau ingin Nagabanda ini, ayo bertarung denganku! Kita Duel Satu Lawan Satu!”
Sencaki Kembar |
Tepat pada saat itu Prabu
Sri Kresna bersama kedua Pandawa dan para punakawan kebetulan lewat. Prabu Sri
Kresna segera melesat terbang ke udara untuk menyambar Gada Wesikuning dan
Nagabanda. Kedua senjata pusaka itu kini menjadi satu tidak terpisahkan. Cambuk
Nagabanda melilit pada Gada Wesikunimg seperti seekor ular melilit pada dahan
pohon. Bentuk Gada Wesikuning menjadi lebih indah sekaligus juga menjadi lebih
ampuh. Prabu Sri Kresna, Arya Wrekodara, dan Arjuna gembira bertemu Arya Sencaki
yang mereka cari-cari, tetapi sekaligus juga bingung karena sepupu mereka itu
kini berubah menjadi dua. “waduh kakang Madhawa, bagaimana ini? Adhi Sencaki
nya ada dua...gimana cara membedakannya?” “benar, Parta, aku juga agak bngung
harus pilih yang mana?” Batara Narada muncul dan menceritakan bahwa ada orang
lain yang menyamar sebagai Arya Sencaki untuk merebut pusaka Nagabanda
pemberian dewa. Ia menjelaskan bahwa Arya Sencaki yang asli memegang Gada
Wesikuning, sedangkan yang palsu memegang Nagabanda. Arya Wrekodara menjawab, “lha
gusti batara, ciri-ciri begitu itu sudah tidak berlaku. Kedua pusaka kui sudah
menjadi satu. Saiki kedua adhi Arya Sencaki sama-sama tidak pakai senjata dan bertarung
tangan kosong.”
Prabu Sri Kresna lalu
melerai kedua Arya Sencaki yang bertarung sengit. “wes-wes, kalian
Berdua...hentikan perkelahian kalian...Gak malu apa dilihat dewa disini.” Keduanya
segera berhenti dan menyembah penuh hormat. Prabu Sri Kresna pun berunding
dengan Arya Wrekodara bagaimana caranya membongkar penyamaran Arya Sencaki yang
palsu. Arya Wrekodara mendapat akal, “Ngene ae kakang prabu dan kalian
berdua... Aku bakal uji kalian. Akan aku hantamkan Gada Rujhapala milikku. Seng
sekali hantam langsung berubah wujud, berarti de’e Sencaki palsu. Gusti Batara
Narada, mohon jadi saksi atas ujian ini” “aku menerima menjadi saksinya!”
Arya Sencaki yang berdiri
di belakang langsung menjawab setuju, sedangkan yang di depan agak ragu-ragu.
Arya Wrekodara mulai membaca gelagat tidak baik namun harus mendapatkan bukti
nyata. Ia pun mengangkat Gada Rujhapala yang berukuran sangat besar kemudian menghantamkannya
kepada Arya Sencaki yang berdiri di depan. Dalam sekali hantam, Arya Sencaki tersebut
menjerit kesakitan lalu berubah wujud kembali ke asalnya yakni Arya Burisrawa.
Dengan tubuh terluka ia pun melarikan diri kembali ke tempat Batari Durga untuk
meminta perlindungan. Batara Narada senang melihatnya. “syukurlah sekarang
kebenaran sudah terang. Sri Kresna, sekarang Serahkan Gada Wesikuning dan
Nagabanda kepada Arya Sencaki yang satu lagi.” Arya Wrekodara tidak setuju “gak
isok ngunu pukulun Batara. Sesuai kesepakatan, keduanya harus harus sama-sama diuji
demi membuktikan keasliannya.” Batara Narada keberatan “Lha yang palsu sudah
terbongkar, untuk apa yang asli harus menderita pula.” Arya Wrekodara berkata “kita
harus jaga-jaga, gusti Batara, jangan-jangan ia juga samaran orang lain. Nah
daripada kita ambil resiko, Arya Sencaki yang tinggal satu ini pun harus
membuktikan keasliannya.” Arya Sencaki menjawab “aku bersedia. Silakan kau
hantam dari mana saja.” Dengan penuh
keyakinan ia meminta Arya Wrekodara untuk segera menghantamkan Gada Rujhapala
kepadanya. Arya Wrekodara menuruti. Ia pun mengayunkan gada besar tersebut
hingga tepat memukul kepala Arya Sencaki. Akan tetapi, sedikit pun Arya Sencaki
tidak goyah dan tidak terluka. Ini berarti ia telah membuktikan bahwa dirinya
memang benar-benar yang asli. Sesuai kesepakatan, Prabu Sri Kresna pun
menyerahkan Gada Wesikuning yang sudah terlilit oleh Pecut Nagabanda kepada
Arya Sencaki. Sekarang Gada Wesikuning juga boleh disebut dengan nama Gada
Nagabanda. Arya Sencaki pun mencoba pusaka itu “Wesikuning! Dadi Pecut!”
seketika Gada Wesikuning berubah jadi pecut Nagabanda. Ketika dicambukkan ke
bumi, bumi seketika bergetar. Langit ikut bergemuruh. Lalu Arya Sencaki mencoba
lagi “Nagabanda! Balik Dadi Gada!” seketika Pecut Nagabanda kembali menjadi
Gada Wesikuning. Arya Wrekodara mengucapkan selamat dan memberikan julukan baru
kepada Arya Sencaki yang telah membuktikan dirinya kebal terhadap pukulan Gada Rujhapala.
Julukan baru tersebut adalah Sang Bhima kunting alias Bhima kecil.
Sementara itu di Kerajaan
Lesanpura, Prabu Garbanata telah memenjarakan Prabu Setyajid. Tiba-tiba anak
dan istrinya datang menyusul. Anak perempuan tersebut sudah berusia remaja dan
berwajah cantik, bernama Dewi Garbarini. Ia datang bersama ibunya, yaitu Dewi
Danasari untuk memohon kepada sang ayah agar menyudahi perang dan membebaskan
Prabu Setyajid “ayahanda prabu, sudah cukup...jangan turuti dendam dan hawa
nafsu setan. Dendam dibalas dengan dendam hanya akan seperti lingkaran yang
berputar-putar tiada habisnya. Begitulah nasihat kakek maharesi sebelum wafat
dulu. Tolong pikirkan lagi. Apa di hati ayahanda tidak punya rasa iba dan
kasihan? Lihatlah paman prabu Setyajid. Pikirkan juga kondisinya. Apakah dengan
memenjarakannya, hati ayahnda menjadi puas?” Prabu Garbanata termenung
mendengar ucapan anak dan istrinya. Selama ini ia menyimpan dendam membara
kepada Prabu Setyajid. Namun, begitu berhasil mengalahkan musuhnya itu,
ternyata ia tidak merasa lega seperti yang ia bayangkan dulu. Apa yang
diinginkan begitu dalam, ketika hal itu bisa diraih ternyata rasanya hanya
begitu saja. Melihat Prabu Setyajid meringkuk di penjara, dalam hati Prabu
Garbanata tumbuh perasaan iba. Tiba-tiba di luar istana terdengar suara
teriakan menantang. Prabu Garbanata pun keluar menghadapi. Ternyata Arya Sencaki
telah datang. Ia mendengar cerita dari Prabu Sri Kresna bahwa ayahnya kini
menjadi tawanan Prabu Garbanata. Maka, ia pun bergegas pergi mendatangi
Kerajaan Lesanpura untuk membebaskan Prabu Setyajid.
Prabu Garbanata merasa
tertarik jika ia menyiksa Arya Sencaki di hadapan Prabu Setyajid. Maka, ia pun
memerintahkan Patih Saradenta untuk menghadirkan raja Lesanpura tersebut agar
menjadi saksi pertarungan antara dirinya degan Arya Sencaki. Tampak pula Prabu Sri
Kresna, Arya Wrekodara, dan Raden Arjuna datang untuk menyaksikan pertarungan
ini. Prabu Setyajid telah hadir dengan tangan terikat. Prabu Garbanata dan Arya
Sencaki pun memulai pertarungan. Dengan senjata Gada Nagabanda, Arya Sencaki
menyerang Prabu Garbanata. Keduanya pun bertarung sengit. Prabu Garbanata
lama-lama menyukai ketangkasan lawannya dan tidak lagi memiliki rasa benci
kepada Arya Sencaki. Hingga akhirnya, gada yang ada di tangannya pun hancur
remuk dihantam Gada Wesikuning Nagabanda. Arya Sencaki lalu men-summon Pecut
nagabanda miliknya “Wesikuning! Dadi pecut!”Gada Wesikuning pun bertukar wujud
jadi Pecut Nagabanda. Sang Bhima Kunthing pun menyabetkan cambuk baja emas itu.
Dan seketika, tubuh Prabu Garbanata bergetar melihatnya. Di saat ia lengah,
tanpa terasa pundak kanannya terkena sabetan pecut nagabanda. Prabu Garbanata
jatuh terduduk di tanah menahan sakit.
Melihat ayahnya kalah,
Dewi Garbarini berlari maju dan menghalangi di depan Arya Sencaki. Ia memohon
agar Prabu Garbanata diampuni, “Tolong, tuanku..ampuni ayahanda prabu....biarlah
aku saja yang dihukum mati menggantikan ayahanda prabu.!” Melihat sorot mata Dewi Garbarini yang
berserah diri membuat tangan Arya Sencaki gemetar. Entah mengapa Gada Wesikuning
Nagabanda pun terlepas dari genggaman dan jatuh ke tanah. Prabu Garbanata
kembali teringat kepada nasihat-nasihat mendiang Resi Garbasumanda yang penuh
cinta kasih dan hendaknya melupakan semua dendam. Akhirnya prabu Garbanata
bertekuk lutut tanda menyerah “Sencaki, aku mengaku kalah, tapi jangan sakiti
putriku!” Prabu Garbanata pun melepaskan ikatan Prabu Setyajid. Prabu Garbanata
lalu kembali berlutut menyerahkan dirinya “silakan hukum aku, aku siap bertanggung
jawab karena lancang berani menyerang Lesanpura.” Prabu Setyajid sendiri juga
telah hilang kemarahannya begitu melihat kemenangan Arya Sencaki. “Sudahlah,
Garbanata, dendam masa lalu kita akhiri saja... bagaimana kalau permusuhan ini
diubah menjadi persaudaraan. Aku melihat putraku gemetar memandang putrimu.
Bagaimana jika mereka berdua kita nikahkan saja. Dengan begitu, Lesanpura dan Paranggubarja
bisa menjadi keluarga, tidak perlu lagi melanjutkan permusuhan.” Prabu
Garbanata terharu mendengar ucapan Prabu Setyajid yang memaafkan dirinya. Kedua
raja itu kemudian berpelukan menjadi teman. Mereka lalu menanyai Arya Sencaki
dan Dewi Garbarini apakah bersedia untuk dinikahkan. Arya Sencaki menjawab bersedia,
sedangkan Dewi Garbarini tersipu malu. Kedua raja pun tertawa lepas, sedangkan
Prabu Sri Kresna dan kedua Pandawa segera mengucapkan selamat.
Demikianlah kisah
permusuhan antara Prabu Setyajid dengan Prabu Garbanata telah berakhir dan
berubah menjadi persaudaraan. Pada hari yang dianggap baik, dilaksanakanlah
upacara pernikahan antara Arya Sencaki dan Dewi Garbarini. Kedua negara, yaitu
Lesanpura dan Paranggubarja dapat dikatakan sama-sama menang, tidak ada yang
kalah. Adapun kemenangan dapat dilambangkan dengan angka sembilan, yang dalam
bahasa Jawa disebut “sanga”. Oleh sebab itu, Arya Sencaki pun berjanji apabila
kelak Dewi Garbarini melahirkan anak nanti, maka akan diberi nama yang
mengandung angka sanga atau sembilan demi mengenang peristiwa ini. Benar saja,
setahun setelah pernikahan itu, lahirlah anak lelaki dari Sencaki dan
Garbarini. Nak itu diberi nama Raden Jaya Sangasanga.”
Begitulah Arya Sencaki
menceritakan kehidupan pernikahannya dan bagaimana kerajaan Lesanpura dan
Paranggubarja bisa menjadi sekutu walau di masa lalu pernah bermusuhan. Para
Putra pandawa pun terkesan dengan kisah itu. Lalu di akhir pertemuan itu,
kerajaan Lesanpura dan Paranggubarja mengumumkan dukungan mereka kepada para
Pandawa dan membantu mereka dengan sejumlah bantuan demi pembangunan istana
baru di Alas Kamyaka yang saat itu baru setengah jadi itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar