Hai semua pembaca dan penikmat kisah pewayangan! Mumpung sedang senggang, penulis kali ini menceritakan kisah Prabu Sri Kresna menjadi duta pembawa pesan kedamaian namun berakhir dengan kegagalan. Hal ini mengakibatkan Perang Bharatayuda sudah tak bisa dielakkan lagi. Kisah ini mengambilsumber dari Kitab Mahabharata karya Mpu Vyasa, Serial Kolosal India Mahabharat Starplus dan Radha Krishna Starbharat, https://caritawayang.blogspot.com/2012/09/kresna-duta.html, dan http://kerajaandongeng.blogspot.com/2011/12/kresna-duta.html dengan pengubahan dan penambahan seperlunya.
Alkisah, Di kerajaan
Hastinapura, Patih Sengkuni baru aja datang dari Dwarawati membawa kabar kalau
putra Sri Kresna yakni Sitija telah gugur di tangan ayahnya sendiri. Prabu
Duryudhana bertanya " bagaimana itu bisa terjadi, paman? Setahuku Sitija sangat
menghormati ayahnya dan begitupun Sri Kresna sendiri sangat sayang kepada
Sitija?" Patih Sengkuni berkata " aku telah membuat Arjuna bimbang
dan ragu tentang keselamatan cucunya sehingga ia membuatnya menyerang Patih
Pacadnyana dan menciptakan perang besar tempo hari.....hahaha...sekarang,
Pandawa tidak akan bisa berkutik lagi, keponakanku. Mungkin sekarang Kresna
yang licik itu kehilangan rasa hormat dari para Pandawa..." Prabu
Duryudhana gembira dan bisa membuat alasan untuk tidak menyerahkan Amarta
kepada para Pandawa.
Namun tak disangka, beberapa
bulan kemudian, Para Pandawa berniat mendatangkan duta perdamaian demi
stabilitas dan menagih janji Prabu Duryudhana untuk menyerahkan Amarta setelah
hukuman 13 tahun atas usul Sri Kresna. Kabar dari itu telah membuat para Kurawa
ketar-ketir. Patih Sangkuni sudah menduga kalau hal ini akan terjadi dan ia
sudah menyiapkan banyak cara agar Pandawa tidak mendapatkan Amarta lagi. Patih
Sengkuni datang ke Upalawaya lalu berkata " anak-anakku, jangan dulu
membawa duta. Kita harus mengadakan jajak pendapat dulu baru setelah itu jika
tidak tercapai kesepakatan, kalian bisa mengirimkan duta perdamaian." Para
Pandawa awalnya mau saja toh ini demi menghindarkan dari Perang Bharatayudha.
Beberapa hari kemudian, Sengkuni membuat tipu hela dengan membuat acara jajak
pendapat jadi penuh kecurangan. Ia mengumpulkan rakyat Amarta untuk jajak
pendapat, mau memilih Amarta dikuasai Pandawa atau Kurawa. Mayoritas memilih
Pandawa. Namun dilaporkan pada para pandawa mayoritas pilih Kurawa. Jelas
Pandawa kesal dengan tipu hela itu. Kakek Semar datang menjernihkan keadaan dan
ia sudah merundingkan dengan Kresna agar diadakan penghantaran duta perdamaian.
Awalnya Prabu Drupada dijadikan duta namun para Kurawa enggan memberikan Amarta
bahkan Begawan Dorna kembali menyulut kemarahan Drupada. Lalu datang Dewi
Kunthi datang sebagai duta. Namun ucapannya tak digubris para keponakannya
yakni Para Kurawa.
Setelahnya duta-duta Pandawa terus menerima kata tidak dari Para Kurawa soal kejelasan Amarta. Para Pandawa sudah mulai kehabisan sabar. Begitupun para putra-putri, menantu, juga rakyat Amarta. Prabu Sri Kresna atas pertimbangan Semar menawarkan diri sebagai duta perdamaian Pandawa yang terakhir. Jika cara ini gagal, maka perang Bharatayudha sudah tak terelakkan lagi.
Sri Kresna berangkat ke Hastinapura sebagai duta pembawa pesan |
Maka berangkatlah Kresna
yang dikusiri Sencaki dan ditemani beberapa dewa yakni Batara Narada sang
maharesi kahyangan, Batara Parashurama, avatar/titisan Wisnu sebelum Kresna
yang merupakan guru Maharesi Bhisma, Begawan Dorna, dan Adipati Karna. Turut
dihadirkan pula Batara Janaka leluhur Kresna yang merupakan ayah Dewi Sinta dan
Dewaresi Kanwa yakni Bambang Palasara, ayah Maharesi Abiyasa leluhur Pandawa
dan Kurawa.
Prabu Sri Kresna datang
Ke Hastinapura sebagai duta para Pandawa setelah masa hukuman pengasingan dan
nyamur berakhir. Kedatanagannya menaiki kereta Jaladara diiringi Batara
Parashurama, titisan Wisnu sebelumnya sekaligus guru Maharesi Bhisma, Batara
Janaka, dan Batara Kanwa sebagai saksi. Dalam sidang itu, Kresna merundingkan
masalah sengketa Amarta dan Hastinapura. "adhi Prabu Suyudana, ketahuilah
bahwa adik-adik kita, para Pandawa telah menyelesaikan masa hukuman tiga belas
tahunnya dan sesuai kesepakatan bersama dahulu setelah peristiwa dadu, hak
kemerdekaan Amarta harus diluluskan setelah mereka habis masa hukuman."
Prabu Suyudana/Duryudhana tetap keukeuh untuk memiliki Amarta dengan
berdalih"tidak bisa, kakang Prabu Sri Kresna. Sewaktu di Wirata, Pandawa
ketahuan ikut berperang maka masa hukuman bertambah." "tidak bisa
begitu, adhi prabu. Mereka membuka samaran saat masa hukuman selesai tepat satu
tahun lewat sehari." Perundingan berjalan alot ditambah lagi Patih
Sengkuni yang terus memanas-manasi Prabu Duryudhana sang keponakan tercinta. Menyadari,
Prabu Duryudhana masih keukeuh, Prabu Sri Kresna menawarkan saja lima kota di
Amarta untuk para Pandawa sebagai ganti seluruh Amarta, namun sang prabu
Hastinapura tidak mau. Lalu ditawar lagi lebih rendah dengan hanya meminta lima
desa saja berikut kampungnya namun tetap saja tidak diberikan. Akhirnya Prabu
Sri Kresna meminta lima hektar tanah di hutan Wanamarta saja, tapi Prabu Suyudana
tetap tidak mau "sudahi saja penawaran ini, kakang prabu. Mau sampai
kiamat nanti, tidak akan kuberikan Amarta pada para Pandawa walau seujung jarum
pun!"
Sri Kresna merasa kesal lalu ia memohon izin untuk kembali ke Upalawaya untuk memberi tahukan hasil perundingan. Prabu Duryudhana merasa tersinggung “Beginikah sikap seorang duta perdamaian? Sopankah kau begitu? Dasar kau gembala hina! Dursasana, cepat rantai Prabu Sri Kresna.!” “baik, kakang prabu!” Seisi pasewakan kaget “Duryudhana! Apa yang kau lakukan?! Beraninya seorang raja sepertimu memperlakukan duta pembawa kedamaian seperti ini!” bentak maharesi Bhisma. “Paman, biarkan saja dia! Apa yang dilakukan ananda prabu sudah benar.
Arya Dursasana merantai Prabu Sri Kresna |
Ketika membuka mata,
Prabu Duryudana kaget ia masih di dunia nyata dan mendapati Prabu Sri Kresna
ada di hadapannya. Maharesi Bhisma lalu berkata “Duryudhana, kesombonganmu
sudah mematikan akalmu! Hentikan kebodohanmu! Serahkan apa yang jadi hak para Pandawa!”
Prabu Duryudhana murka dan membentak Maharesi Bhisma “ini semua karena ilusi
Sri Kresna. Dia menipu pikiranku!” Prabu Sri Kresna semakin murka. Wajahnya memerah
padam menahan kemarahan” hati-hati dengan ucapanmu, Duryudhana! Hentikan semua
kebebalanmu! Bangkitkan hati nuranimu! kau sudah gagal memenjarakanku! Pikirkan
apa yang terjadi ke depannya. Sikap aroganmu akan menghancurkan seluruh Wangsa
Baharata.” Prabu Duryudhana makin murka
mendengar ucapan Sri Kresna “Sudah Cukup, Basudewa Kresna! Ilusimu tidak akan
membuatku luluh! Bukan wangsa Baharata yang akan hancur tapi Wangsa Yadawa-mu
yang akan hancur! Sekarang aku sendiri yang akan merantai dan membawamu ke
tiang gantungan!" seisi pasewakan makin ketakutan mendengar niat Prabu
Duryudhana untuk menghukum mati Sri Kresna. Prabu Sri Kresna sudah meledak
kemarahannya “JIKA KAU BERANI DURYUDHANA, SILAKAN RANTAI DIRIKU! PERGI SANA
BAWA RANTAI ITU LALU BAWA AKU KE TIANG GANTUNGAN!” Prabu Duryudhana membawa
seikat rantai besar. Ajaib, rantai itu tak cukup besar dan kurang panjang
" bagaimana mungkin, rantai ini bisa kurang panjang?" Prabu Sri
Kresna dengan mudah dan tenang melepas rantai itu dan berkata "KENAPA KAU
BAWA RANTAI KECIL, DURYUDHANA? KAU SUDAH GAGAL UNTUK MENGURUNGKU DI PENJARA,
SEKARANG KAU AKAN MEMBUNUH SEORANG DEWA, DURYUDHANA?! PERBUATAN DOSAMU
BENAR-BENAR TIDAK BISA DITOLONG!!" Secara tiba-tiba, semua orang di
pasewakan itu melihat cahaya yang begitu terang dari tubuh Sri Kresna.
Duryudhana kaget dan ketika membuka mata lagi, ia seakan berada di sebuah ilusi
dimana ia berada di tengah padang pasir dan berlari melihat wujud raksasa. Lalu
ia jatuh terjungkal dan paha kirinya dipukuli berkali-kali. Ketika ia mengerang,
ia kembali ke dunia nyata dan mendapati balairung keraton hancur berantakan
lalu ketika melihat di depannya ada pemandangan yang sangat mengerikan. Namun
seketika matanya silau karena cahaya yang maha terang menyelimuti seisi balairung
istana. Prabu Sri Kresna murka luar biasa dengan Cakra Widaksana sudah berada
di tangannya lalu ia berubah wujud. Sementara itu, Adipati Dretarastra yang
tunantra sejak lahir atas seizin Sanghyang Widhi tiba-tiba bisa melihat di
depannya Prabu Sri Kresna sudah bertukar wujud menjadi Triwikrama Brahalasewu.
Besarnya tak terkira diseliputi cahaya yang lebih terang dari seribu matahari.
Mukanya garang bagai menyimpan kemarahan dengan rambut panjang gimbal yang
awut-awutan. Kulitnya hitam legam bagai malam. Tangannya besar berkuku tajam
dan memegang banyak senjata di masing-masing tangan. Adipati Dretarastra
ketakutan setengah mati melihat betapa ngerinya titisan Batara Wisnu. "
Hyang Widhi, apa ini? Sihir apakah ini? pemandangan mengerikan apakah ini? Aku
tak sanggup melihatnya. Aku mohon kembalikan saja mataku jadi buta lagi. Tak sanggup
aku melihatnya." Maka ia kembali tak dapat melihat seperti sebelumnya.
Adipati Dretarastra lalu membujuk anaknya untuk menyerahkan apa yang diminta
sang prabu " anakku, serahkan saja lima desa dan kampung kepada
Pandawa...patuhi Sri Kresna. Jangan mengundang kehancuran wangsa kita."
Prabu Duryudhana tetap tidak mau" Tidak akan, ayah! Aku tidak akan
menyerahkannya apapun pada para Pandawa." Maharesi Bhisma memarahi
Duryudhana," jangan bodoh, kau Duryudhana! Kesombonganmu telah
menghancurkan dirimu. Melawan Sri Kresna sama saja mengundang mautmu
sendiri." Begawan Dorna berkata " anakku, jangan membuat kami
berdosa. Cepat turuti permintaan Sri Kresna." Meski dibujuk sekalipun,
Prabu Duryudhana tetap tidak mau “Tidak Akan! Aku Tidak Akan Menyerahkan Apapun
Kepada Para Pandawa! Mau Sampai Aku Mati, Aku Tidak Rela Menyerahkan Apapun
Pada Pandawa!”
Triwikrama Prabu Sri Kresna semakin marah. Semua orang ketakutan. Ia berkata pada Duryudhana dan Dursasana "KALIAN SANGAT BEBAL. KALIAN MANUSIA TERBODOH YANG ADA DI ALAM DUNIA INI. KESOMBONGANMU TELAH MENELANMU SAMPAI TAK BERSISA NURANI DI HATIMU. LIHAT AKU! LIHAT AKU BAIK-BAIK." Prabu Duryudana dan Arya Dursasana pun mendongak ke atas. Saat itu mereka melihat Sri Kresna menjadi wujud yang sangat mengerikan. Sang Gopala telah menjadi wujud kemarahan Batara Wisnu.
Prabu Sri Kresna murka dan menjadi Triwikrama |
Tak lama kemudian, datang
cahaya yang jauh lebih terang lagi. Rupanya itu Batara Dharma. Ia menasehati
sang triwikrama jangan terus murka. Triwikrama berkata " AKU TAK AKAN
MENGUBAH TAKDIR DENGAN MURKA TERUS. DHARMA, PARASURAMA, KANWA, DAN JANAKA!
KALIAN AKAN AKAN JADI SAKSI GAGALNYA PERUNDINGAN DAMAI INi." Batara Dharma
dan keempat dewa yang mendampingi Sri Kresna pun kembali ke kahyangan membawa
kabar itu. Sang Triwikrama lalu berkata kepada setiap orang di balairung istana
"YANG AKU HARAPKAN HANYA KEDAMAIAN. AKU SUDAH MENGUSAHAKAN TAPI TETAP SAJA
KEDAMAIAN MASIH SAJA BELUM TIBA DI NEGERI INI! KERAJAAN INI PENUH DENGAN
ORANG-ORANG YANG TIDAK BENAR, BUTA, BISU, DAN TULI. PENUH DENGAN PENJILAT
SEPERTI SENGKUNI DAN ORANG BEBAL NAN SOMBONG SEPERI KAU DURYUDHANA! . SEKARANG BIARLAH
SENJATA YANG AKAN BICARA! PERBINCANGAN TELAH BERAKHIR! DAN PERANG AKAN DIMULAI!
INI ADALAH AWAL KEHANCURAN DARI PERANG BESAR. PERANG BESAR BHARATAYUDHA AKAN
DIGELAR!" Lalu Triwikrama meniupkan terompet Pancajanya miliknya. Suaranya
bergema di seluruh Jawadwipa dan Hindustan. Bahkan Para Pandawa, para raja di
seantero negeri, dan para dewa-dewi di kahyangan terkaget-kaget mendengarnya.
Setelah meniupkan terompetnya, Triwikrama kembali ke wujud Prabu Sri Kresna
semula. Maharesi Bhisma lalu berkata “anakku Sri Kresna, kau sudah meniut
terompet Pancajanya, dengan ini tanda peperangan sudah dipastikan akan terjadi.”
“karena ini sudah cukup, kakek Maharsi! Duryudhana sangat cinta akan dunianya. Aku
sudah berusaha memberinya peringatan tapi dia tetap daam kebebalannya!” meski
mereda, Sang Narayana pun masih dalam kemarahannya berkata kepada Prabu
Duryudhana “Kalian Semua! Khususnya Kau Duryudhana, Segera Tentukan Waktu Dan
Tempat Perangnya! Disitulah Kita Akan Bertemu!” Prabu Sri Kresna pun pergi
berlalu seraya meminta maaf pada semuanya karena kekacauan yang terjadi. Maka
ia pun kembali ke Upalawaya untuk memberitahukan hasil perundingan yang tidak
berhasil itu. Prabu Duryudhana berusaha kembali menahan Sri Kresna “Kau mau
pergi kemana Sri Kresna?! Prajurit, cepat tahan dia!” namun entah dengan
kekuatan apa, para prajurit tak mampu menahannya.
Di Panggombakan, Dewi
Kunthi menerima kedatangan sang putra sulung, Adipati Karna. Adipati Karna
mengabarkan bahwa perang antara Pandawa dan Kurawa sudah tak terelakan yang
aritnya takdir bahawa dirinya dengan Arjuna akan saling berperang sudah tak
terhindarkan. Dewi Kunthi menjadi berduka. Ia memberanikan diri membujuk sang
Aradeya supaya membela Pandawa.
“Suryatmaja putra
pertamaku, ketahuilah perang besar akan segera terjadi. Namun ini perang
saudara, Ibu sangat ngeri.”
“Saya tak pernah bersama
Pandawa saudara-saudara mudaku itu. Duryudhana juga saudaraku, kami sama-sama
menantu Rama Prabu Salya. Dan yang terpenting, para Kurawa selalu
menghargaiku.”
“Tidakkah kau melihat
para Pandawa itu telah menderita 13 tahun dan masih saja Kurawa tak mau
mengalah sedikitpun?”
“Saya tahu, Ibu. Tapi
mungkin itu urusan mereka. Saya hanya merasa harus berterima kasih kepada
Duryudana dan para Kurawa atas semua yang dilewati selama ini.”
“Ibu masih membayangkan
apa yang terjadi nanti, kengerian yang terjadi. Dan tidak sanggup melihat
putra-putra Ibu akan saling bertarung.”
“Ini seperti sudah
digariskan dalam takdir, Ibu. Soal itu kita lihat nanti bagaimana kami saling
bersikap. Namun aku telah memikirkan apa yang aku pilih.” jawaban sang
Suryaputra membuat hari Kunthi agak tenang namun juga perih dan risau tak
terkira. Hati ibu mana yang tega rela membiarkan garis takdir yang kejam
mengantarkan kedua putranya akan saling membunuh satu sama lain.
Di Upalawaya, para
Pandawa juga prabu Matswapati sekeluarga yang juga turut hadir di sana menerima
kedatangan Prabu Sri Kresna. Kedatangan sang prabu bersamaan dengan sembuhnya
Bambang Irawan. Bambang Irawan mengucapkan selamat atas pernikahan kedua sang
kakak, Abimanyu dengan Dewi Utari dan tidak bisa hadir di resepsi pernikahan
sang kakak karena serangan Ditya Lembusana tempo hari. Lalu, Prabu Sri Kresna
berkata dengan raut wajah yang kesal mengabarkan bahwa perundingan tak berhasil
dan tidak mungkin cara damai dipakai. " Perundingan sangat alot bahkan
setelah aku memberi kesempatan berkali-kali, Duryudhana tidak mau memberikan
Amarta. Perang Bharatayudha sudah tidak bisa dielakkan.." Maka Pandawa
segera mengirim utusan ke negara-negara sahabat juga sekutu mereka dan segara
membentuk aliansi persekutuan untuk persiapan perang Bharatayudha.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar