Rabu, 22 November 2023

Kresna Duta

 Hai semua pembaca dan penikmat kisah pewayangan! Mumpung sedang senggang, penulis kali ini menceritakan kisah Prabu Sri Kresna menjadi duta pembawa pesan kedamaian namun berakhir dengan kegagalan. Hal ini mengakibatkan Perang Bharatayuda sudah tak bisa dielakkan lagi. Kisah ini mengambilsumber dari Kitab Mahabharata karya Mpu Vyasa, Serial Kolosal India Mahabharat Starplus dan Radha Krishna Starbharat, https://caritawayang.blogspot.com/2012/09/kresna-duta.html, dan  http://kerajaandongeng.blogspot.com/2011/12/kresna-duta.html dengan pengubahan dan penambahan seperlunya.

Alkisah, Di kerajaan Hastinapura, Patih Sengkuni baru aja datang dari Dwarawati membawa kabar kalau putra Sri Kresna yakni Sitija telah gugur di tangan ayahnya sendiri. Prabu Duryudhana bertanya " bagaimana itu bisa terjadi, paman? Setahuku Sitija sangat menghormati ayahnya dan begitupun Sri Kresna sendiri sangat sayang kepada Sitija?" Patih Sengkuni berkata " aku telah membuat Arjuna bimbang dan ragu tentang keselamatan cucunya sehingga ia membuatnya menyerang Patih Pacadnyana dan menciptakan perang besar tempo hari.....hahaha...sekarang, Pandawa tidak akan bisa berkutik lagi, keponakanku. Mungkin sekarang Kresna yang licik itu kehilangan rasa hormat dari para Pandawa..." Prabu Duryudhana gembira dan bisa membuat alasan untuk tidak menyerahkan Amarta kepada para Pandawa.

Namun tak disangka, beberapa bulan kemudian, Para Pandawa berniat mendatangkan duta perdamaian demi stabilitas dan menagih janji Prabu Duryudhana untuk menyerahkan Amarta setelah hukuman 13 tahun atas usul Sri Kresna. Kabar dari itu telah membuat para Kurawa ketar-ketir. Patih Sangkuni sudah menduga kalau hal ini akan terjadi dan ia sudah menyiapkan banyak cara agar Pandawa tidak mendapatkan Amarta lagi. Patih Sengkuni datang ke Upalawaya lalu berkata " anak-anakku, jangan dulu membawa duta. Kita harus mengadakan jajak pendapat dulu baru setelah itu jika tidak tercapai kesepakatan, kalian bisa mengirimkan duta perdamaian." Para Pandawa awalnya mau saja toh ini demi menghindarkan dari Perang Bharatayudha. Beberapa hari kemudian, Sengkuni membuat tipu hela dengan membuat acara jajak pendapat jadi penuh kecurangan. Ia mengumpulkan rakyat Amarta untuk jajak pendapat, mau memilih Amarta dikuasai Pandawa atau Kurawa. Mayoritas memilih Pandawa. Namun dilaporkan pada para pandawa mayoritas pilih Kurawa. Jelas Pandawa kesal dengan tipu hela itu. Kakek Semar datang menjernihkan keadaan dan ia sudah merundingkan dengan Kresna agar diadakan penghantaran duta perdamaian. Awalnya Prabu Drupada dijadikan duta namun para Kurawa enggan memberikan Amarta bahkan Begawan Dorna kembali menyulut kemarahan Drupada. Lalu datang Dewi Kunthi datang sebagai duta. Namun ucapannya tak digubris para keponakannya yakni Para Kurawa.

Setelahnya duta-duta Pandawa terus menerima kata tidak dari Para Kurawa soal kejelasan Amarta. Para Pandawa sudah mulai kehabisan sabar. Begitupun para putra-putri, menantu, juga rakyat Amarta. Prabu Sri Kresna atas pertimbangan Semar menawarkan diri sebagai duta perdamaian Pandawa yang terakhir. Jika cara ini gagal, maka perang Bharatayudha sudah tak terelakkan lagi.

Sri Kresna berangkat ke Hastinapura sebagai duta pembawa pesan
Maka dari itu, Kakek Semar dengan kapasitasnya sebagai Batara Ismaya meminta kebenaran pada Batara Guru agar para dewa juga turut dijadikan saksi perundingan damai kali ini.

Maka berangkatlah Kresna yang dikusiri Sencaki dan ditemani beberapa dewa yakni Batara Narada sang maharesi kahyangan, Batara Parashurama, avatar/titisan Wisnu sebelum Kresna yang merupakan guru Maharesi Bhisma, Begawan Dorna, dan Adipati Karna. Turut dihadirkan pula Batara Janaka leluhur Kresna yang merupakan ayah Dewi Sinta dan Dewaresi Kanwa yakni Bambang Palasara, ayah Maharesi Abiyasa leluhur Pandawa dan Kurawa.

Prabu Sri Kresna datang Ke Hastinapura sebagai duta para Pandawa setelah masa hukuman pengasingan dan nyamur berakhir. Kedatanagannya menaiki kereta Jaladara diiringi Batara Parashurama, titisan Wisnu sebelumnya sekaligus guru Maharesi Bhisma, Batara Janaka, dan Batara Kanwa sebagai saksi. Dalam sidang itu, Kresna merundingkan masalah sengketa Amarta dan Hastinapura. "adhi Prabu Suyudana, ketahuilah bahwa adik-adik kita, para Pandawa telah menyelesaikan masa hukuman tiga belas tahunnya dan sesuai kesepakatan bersama dahulu setelah peristiwa dadu, hak kemerdekaan Amarta harus diluluskan setelah mereka habis masa hukuman." Prabu Suyudana/Duryudhana tetap keukeuh untuk memiliki Amarta dengan berdalih"tidak bisa, kakang Prabu Sri Kresna. Sewaktu di Wirata, Pandawa ketahuan ikut berperang maka masa hukuman bertambah." "tidak bisa begitu, adhi prabu. Mereka membuka samaran saat masa hukuman selesai tepat satu tahun lewat sehari." Perundingan berjalan alot ditambah lagi Patih Sengkuni yang terus memanas-manasi Prabu Duryudhana sang keponakan tercinta. Menyadari, Prabu Duryudhana masih keukeuh, Prabu Sri Kresna menawarkan saja lima kota di Amarta untuk para Pandawa sebagai ganti seluruh Amarta, namun sang prabu Hastinapura tidak mau. Lalu ditawar lagi lebih rendah dengan hanya meminta lima desa saja berikut kampungnya namun tetap saja tidak diberikan. Akhirnya Prabu Sri Kresna meminta lima hektar tanah di hutan Wanamarta saja, tapi Prabu Suyudana tetap tidak mau "sudahi saja penawaran ini, kakang prabu. Mau sampai kiamat nanti, tidak akan kuberikan Amarta pada para Pandawa walau seujung jarum pun!"

Sri Kresna merasa kesal lalu ia memohon izin untuk kembali ke Upalawaya untuk memberi tahukan hasil perundingan. Prabu Duryudhana merasa tersinggung “Beginikah sikap seorang duta perdamaian? Sopankah kau begitu? Dasar kau gembala hina! Dursasana, cepat rantai Prabu Sri Kresna.!” “baik, kakang prabu!”  Seisi pasewakan kaget “Duryudhana! Apa yang kau lakukan?! Beraninya seorang raja sepertimu memperlakukan duta pembawa kedamaian seperti ini!” bentak maharesi Bhisma. “Paman, biarkan saja dia! Apa yang dilakukan ananda prabu sudah benar.

Arya Dursasana merantai Prabu Sri Kresna
Penawaran Sri Kresna sudah tidak benar!” kilah Adipati Drestarastra demi membela putranya. Maharesi Bhisma berkata dengan nada meninggi” Benar? Ananda sudah dibutakan kasih sayang butamu. Gunakan etika, Drestarastra!” Maka Arya Dursasana membawa seikat rantai besar lalu melempar rantai itu ke arah Prabu Sri Kresna. Sang prabu Dwarawati itu lalu berbalik dan berkata "adhi prabu Duryudhana, seperti ini kah caramu memperlakukan seorang duta pembawa pesan perdamaian? Aku tahu kalau ini semua atas rencanamu dan Patih Sengkuni! Ingatlah satu hal! Aku bernama Kresna Yang Bermakna Gelap, Maka Aku Akan Membawamu ke Keadaan Tergelap dari Hidupmu!" maka Arya Dursasana dengan tertawa-tawa membawa Prabu Sri Kresna ke penjara namun ketika sampai di penjara, tiba-tiba Prabu Sri Kresna menghilang. Malah Duryudhana yang terkurung dalam penjara. Ketika Duryudhana mencari sang Danardana, tiba-tiba ia melihat semua orang di pasewakan itu berwajah mirip Kresna. Prabu Duryudhana ketakutan setengah mati.  Lalu datang suara "kau mau mengurungku kan Duryudhana? Kau mau mengurung seorang dewa. Bodoh! Kau Benar-benar Bodoh." Seketika muncul cahaya amat terang membuat matanya silau. Ketika di dekati, rupanya Prabu Sri Kresna membuat suatu ilusi dimana Arya Dursasana berada dalam air dan dijambak-jambak rambutnya. Ketika membuka mata ia ditarik lagi dan dihempaskan ke tanah. Lalu Duryudhana melihat bayangannya sendiri di air berubah menjadi mirip Prabu Sri Kresna. Bayangan Kresna ada di setiap orang dan hubungan “Ini tidak nyata! Hanya bayangan! Kresna!! Hentikan semua ilusimu!”  tiba-tiba datang suara Adipati Drestarastra “Anakku Duyudhana! Ada apa? Kenapa kau berteriak?!”

Ketika membuka mata, Prabu Duryudana kaget ia masih di dunia nyata dan mendapati Prabu Sri Kresna ada di hadapannya. Maharesi Bhisma lalu berkata “Duryudhana, kesombonganmu sudah mematikan akalmu! Hentikan kebodohanmu! Serahkan apa yang jadi hak para Pandawa!” Prabu Duryudhana murka dan membentak Maharesi Bhisma “ini semua karena ilusi Sri Kresna. Dia menipu pikiranku!” Prabu Sri Kresna semakin murka. Wajahnya memerah padam menahan kemarahan” hati-hati dengan ucapanmu, Duryudhana! Hentikan semua kebebalanmu! Bangkitkan hati nuranimu! kau sudah gagal memenjarakanku! Pikirkan apa yang terjadi ke depannya. Sikap aroganmu akan menghancurkan seluruh Wangsa Baharata.”  Prabu Duryudhana makin murka mendengar ucapan Sri Kresna “Sudah Cukup, Basudewa Kresna! Ilusimu tidak akan membuatku luluh! Bukan wangsa Baharata yang akan hancur tapi Wangsa Yadawa-mu yang akan hancur! Sekarang aku sendiri yang akan merantai dan membawamu ke tiang gantungan!" seisi pasewakan makin ketakutan mendengar niat Prabu Duryudhana untuk menghukum mati Sri Kresna. Prabu Sri Kresna sudah meledak kemarahannya “JIKA KAU BERANI DURYUDHANA, SILAKAN RANTAI DIRIKU! PERGI SANA BAWA RANTAI ITU LALU BAWA AKU KE TIANG GANTUNGAN!” Prabu Duryudhana membawa seikat rantai besar. Ajaib, rantai itu tak cukup besar dan kurang panjang " bagaimana mungkin, rantai ini bisa kurang panjang?" Prabu Sri Kresna dengan mudah dan tenang melepas rantai itu dan berkata "KENAPA KAU BAWA RANTAI KECIL, DURYUDHANA? KAU SUDAH GAGAL UNTUK MENGURUNGKU DI PENJARA, SEKARANG KAU AKAN MEMBUNUH SEORANG DEWA, DURYUDHANA?! PERBUATAN DOSAMU BENAR-BENAR TIDAK BISA DITOLONG!!" Secara tiba-tiba, semua orang di pasewakan itu melihat cahaya yang begitu terang dari tubuh Sri Kresna. Duryudhana kaget dan ketika membuka mata lagi, ia seakan berada di sebuah ilusi dimana ia berada di tengah padang pasir dan berlari melihat wujud raksasa. Lalu ia jatuh terjungkal dan paha kirinya dipukuli berkali-kali. Ketika ia mengerang, ia kembali ke dunia nyata dan mendapati balairung keraton hancur berantakan lalu ketika melihat di depannya ada pemandangan yang sangat mengerikan. Namun seketika matanya silau karena cahaya yang maha terang menyelimuti seisi balairung istana. Prabu Sri Kresna murka luar biasa dengan Cakra Widaksana sudah berada di tangannya lalu ia berubah wujud. Sementara itu, Adipati Dretarastra yang tunantra sejak lahir atas seizin Sanghyang Widhi tiba-tiba bisa melihat di depannya Prabu Sri Kresna sudah bertukar wujud menjadi Triwikrama Brahalasewu. Besarnya tak terkira diseliputi cahaya yang lebih terang dari seribu matahari. Mukanya garang bagai menyimpan kemarahan dengan rambut panjang gimbal yang awut-awutan. Kulitnya hitam legam bagai malam. Tangannya besar berkuku tajam dan memegang banyak senjata di masing-masing tangan. Adipati Dretarastra ketakutan setengah mati melihat betapa ngerinya titisan Batara Wisnu. " Hyang Widhi, apa ini? Sihir apakah ini? pemandangan mengerikan apakah ini? Aku tak sanggup melihatnya. Aku mohon kembalikan saja mataku jadi buta lagi. Tak sanggup aku melihatnya." Maka ia kembali tak dapat melihat seperti sebelumnya. Adipati Dretarastra lalu membujuk anaknya untuk menyerahkan apa yang diminta sang prabu " anakku, serahkan saja lima desa dan kampung kepada Pandawa...patuhi Sri Kresna. Jangan mengundang kehancuran wangsa kita." Prabu Duryudhana tetap tidak mau" Tidak akan, ayah! Aku tidak akan menyerahkannya apapun pada para Pandawa." Maharesi Bhisma memarahi Duryudhana," jangan bodoh, kau Duryudhana! Kesombonganmu telah menghancurkan dirimu. Melawan Sri Kresna sama saja mengundang mautmu sendiri." Begawan Dorna berkata " anakku, jangan membuat kami berdosa. Cepat turuti permintaan Sri Kresna." Meski dibujuk sekalipun, Prabu Duryudhana tetap tidak mau “Tidak Akan! Aku Tidak Akan Menyerahkan Apapun Kepada Para Pandawa! Mau Sampai Aku Mati, Aku Tidak Rela Menyerahkan Apapun Pada Pandawa!”

Triwikrama Prabu Sri Kresna semakin marah. Semua orang ketakutan. Ia berkata pada Duryudhana dan Dursasana "KALIAN SANGAT BEBAL. KALIAN MANUSIA TERBODOH YANG ADA DI ALAM DUNIA INI. KESOMBONGANMU TELAH MENELANMU SAMPAI TAK BERSISA NURANI DI HATIMU. LIHAT AKU! LIHAT AKU BAIK-BAIK." Prabu Duryudana dan Arya Dursasana pun mendongak ke atas. Saat itu mereka melihat Sri Kresna menjadi wujud yang sangat mengerikan. Sang Gopala telah menjadi wujud kemarahan Batara Wisnu.

Prabu Sri Kresna murka dan menjadi Triwikrama
Begitupun para Kurawa lainnya juga Patih Sengkuni, Adipati Aswatama, dan Prabu Anom Burisrawa. Mereka semua berdesakan lari dari balairung mencari tempat perlindungan. Namun secara ajaib, Triwikrama Prabu Sri Kresna menciptakan seribu Wrekodara dengan gada Rujhapala dan Seribu Arjuna membawa Gandewa dan panah Pasopati menghadang para Kurawa. Prabu Duryudhana ngeri sehingga hampir pingsan. Sementara itu, Maharesi Bhisma bersama Mpu Krepa, Adipati Dretarastra, Arya Widura, Begawan Dorna, dan Adipati Karna menyembah hormat tanpa rasa takut mohon pada Gusti kang Murbeng Jagat agar sang titisan Batara Wisnu jangan menampakkan kemurkaannya.

Tak lama kemudian, datang cahaya yang jauh lebih terang lagi. Rupanya itu Batara Dharma. Ia menasehati sang triwikrama jangan terus murka. Triwikrama berkata " AKU TAK AKAN MENGUBAH TAKDIR DENGAN MURKA TERUS. DHARMA, PARASURAMA, KANWA, DAN JANAKA! KALIAN AKAN AKAN JADI SAKSI GAGALNYA PERUNDINGAN DAMAI INi." Batara Dharma dan keempat dewa yang mendampingi Sri Kresna pun kembali ke kahyangan membawa kabar itu. Sang Triwikrama lalu berkata kepada setiap orang di balairung istana "YANG AKU HARAPKAN HANYA KEDAMAIAN. AKU SUDAH MENGUSAHAKAN TAPI TETAP SAJA KEDAMAIAN MASIH SAJA BELUM TIBA DI NEGERI INI! KERAJAAN INI PENUH DENGAN ORANG-ORANG YANG TIDAK BENAR, BUTA, BISU, DAN TULI. PENUH DENGAN PENJILAT SEPERTI SENGKUNI DAN ORANG BEBAL NAN SOMBONG SEPERI KAU DURYUDHANA! . SEKARANG BIARLAH SENJATA YANG AKAN BICARA! PERBINCANGAN TELAH BERAKHIR! DAN PERANG AKAN DIMULAI! INI ADALAH AWAL KEHANCURAN DARI PERANG BESAR. PERANG BESAR BHARATAYUDHA AKAN DIGELAR!" Lalu Triwikrama meniupkan terompet Pancajanya miliknya. Suaranya bergema di seluruh Jawadwipa dan Hindustan. Bahkan Para Pandawa, para raja di seantero negeri, dan para dewa-dewi di kahyangan terkaget-kaget mendengarnya. Setelah meniupkan terompetnya, Triwikrama kembali ke wujud Prabu Sri Kresna semula. Maharesi Bhisma lalu berkata “anakku Sri Kresna, kau sudah meniut terompet Pancajanya, dengan ini tanda peperangan sudah dipastikan akan terjadi.” “karena ini sudah cukup, kakek Maharsi! Duryudhana sangat cinta akan dunianya. Aku sudah berusaha memberinya peringatan tapi dia tetap daam kebebalannya!” meski mereda, Sang Narayana pun masih dalam kemarahannya berkata kepada Prabu Duryudhana “Kalian Semua! Khususnya Kau Duryudhana, Segera Tentukan Waktu Dan Tempat Perangnya! Disitulah Kita Akan Bertemu!” Prabu Sri Kresna pun pergi berlalu seraya meminta maaf pada semuanya karena kekacauan yang terjadi. Maka ia pun kembali ke Upalawaya untuk memberitahukan hasil perundingan yang tidak berhasil itu. Prabu Duryudhana berusaha kembali menahan Sri Kresna “Kau mau pergi kemana Sri Kresna?! Prajurit, cepat tahan dia!” namun entah dengan kekuatan apa, para prajurit tak mampu menahannya.

Di Panggombakan, Dewi Kunthi menerima kedatangan sang putra sulung, Adipati Karna. Adipati Karna mengabarkan bahwa perang antara Pandawa dan Kurawa sudah tak terelakan yang aritnya takdir bahawa dirinya dengan Arjuna akan saling berperang sudah tak terhindarkan. Dewi Kunthi menjadi berduka. Ia memberanikan diri membujuk sang Aradeya supaya membela Pandawa.

“Suryatmaja putra pertamaku, ketahuilah perang besar akan segera terjadi. Namun ini perang saudara, Ibu sangat ngeri.”

“Saya tak pernah bersama Pandawa saudara-saudara mudaku itu. Duryudhana juga saudaraku, kami sama-sama menantu Rama Prabu Salya. Dan yang terpenting, para Kurawa selalu menghargaiku.”

“Tidakkah kau melihat para Pandawa itu telah menderita 13 tahun dan masih saja Kurawa tak mau mengalah sedikitpun?”

“Saya tahu, Ibu. Tapi mungkin itu urusan mereka. Saya hanya merasa harus berterima kasih kepada Duryudana dan para Kurawa atas semua yang dilewati selama ini.”

“Ibu masih membayangkan apa yang terjadi nanti, kengerian yang terjadi. Dan tidak sanggup melihat putra-putra Ibu akan saling bertarung.”

“Ini seperti sudah digariskan dalam takdir, Ibu. Soal itu kita lihat nanti bagaimana kami saling bersikap. Namun aku telah memikirkan apa yang aku pilih.” jawaban sang Suryaputra membuat hari Kunthi agak tenang namun juga perih dan risau tak terkira. Hati ibu mana yang tega rela membiarkan garis takdir yang kejam mengantarkan kedua putranya akan saling membunuh satu sama lain.

Di Upalawaya, para Pandawa juga prabu Matswapati sekeluarga yang juga turut hadir di sana menerima kedatangan Prabu Sri Kresna. Kedatangan sang prabu bersamaan dengan sembuhnya Bambang Irawan. Bambang Irawan mengucapkan selamat atas pernikahan kedua sang kakak, Abimanyu dengan Dewi Utari dan tidak bisa hadir di resepsi pernikahan sang kakak karena serangan Ditya Lembusana tempo hari. Lalu, Prabu Sri Kresna berkata dengan raut wajah yang kesal mengabarkan bahwa perundingan tak berhasil dan tidak mungkin cara damai dipakai. " Perundingan sangat alot bahkan setelah aku memberi kesempatan berkali-kali, Duryudhana tidak mau memberikan Amarta. Perang Bharatayudha sudah tidak bisa dielakkan.." Maka Pandawa segera mengirim utusan ke negara-negara sahabat juga sekutu mereka dan segara membentuk aliansi persekutuan untuk persiapan perang Bharatayudha.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar