Selasa, 21 November 2023

Gonjalisuta (Samba Juwing)

 Hai semua pembaca dan penikmat kisah pewayangan. Kisah kali ini mengisahkan tentang perang Gonjalisuta, perang antara Prabu Boma Sitija melawan ayahnya, Sri Kresna. Dalam kisah ini juga dikisahkan Samba dikutuk hamil lalu melahirkan sebuah moshala (gada besi) akibat mengejek Batara Narada dan kelak karena gada itulah kejayaan Wangsa Yadawa akan berakhir dan akan menumbalkan nyawa Sri Kresna. Kisah ini juga prolog pertama menuju Bharatayudha.  Kisah ini mengambil sumber dari Kitab Mahabharata karya Mpu Vyasa,  https://albumkisahwayang.blogspot.com/2019/04/perang-gojalisuta.html, https://www.kompasiana.com/jayakardi/550d93d8a33311781b2e3ccc/kisah-boma-2-anak-yang-terbunuh-oleh-ayahnya, https://caritawayang.blogspot.com/2015/05/samba-juwing.html, dan https://www.balipost.com/news/2022/09/24/293961/Samba,Tukang-Onar.html dengan perubahan dan penambahan seperlunya.

Setelah menyelesaikan masalah di Upalawaya, Prabu Sri Kresna kembali ke kerajaan dan mendapati Raden Samba tiba-tiba hamil. Para pemuda Yadawa berkata kalau Samba berbuat nakal dengan berpura-pura jadi wanita hamil dan menggoda Batara Narada yang menyamar menjadi sorang pendeta. Para pemuda menirukan Samba saat itu "Maharesi, aku permaisuri Arya Babru, punggawa Sri Kresna. Apakah aku akan melahirkan bayi? laki-lakikah? atau perempuankah?" Batara Narada marah dan mengutuk Samba "Kurang ajar! kau bukan istri Babru! kau Samba anak Basudewa Sri Kresna! yang kau kandung itu bukan bayi! Kau mengandung sebuah senjata penghancur Trah Yadawa!" para pemuda juga mengatakan kalau Batara Narada juga mengutuk Samba akan mengalami dua kematian yang tragis. Prabu Sri Kresna marah sekali mendengarnya, lalu ia membedah perut Samba secara gaib dan mengambil senjata penghancur itu. Senjata itu berupa gada besi (moshala). Prabu Sri Kresna segera menghancurkan senjata itu dan menyebarkan abunya ke laut.

Samba melahirkan sebilah gada besi
Raden Samba diperintahkan bapaknya untuk bertapa demi merenungi kesalahannya " Samba, Kau Sudah Berbuat Macam-macam dengan Déwa. Sebagai Hukuman, Pergilah dari sini dan bertapa sana !" Samba pun kaget dengan kemarahan sang ayah dan segera pergi ke Astana Gandamadana, tempat tinggal sang kakak, Resi Gunadewa. Selama ia bertapa, ia teringat pada iparnya, Dewi Hagnyanawati. Ia selalu terbayang-bayang akan ayu paras kakak iparnya itu.  Ia jatuh cinta. Maka ia curhat kepada sang kakak " kakang, aku tidak bisa menghilangkan Yunda Hagnyanawati dari pikiranku. Sepertinya aku jatuh cinta padanya. Bantu aku kakang agar akau bisa bertemu dengannya." Resi Gunadewa kaget mendengarnya dan berkata " Samba, kau ini benar-benar gila! Hagnyanawati itu kakak iparmu, isteri kakang prabu Sitija. Buang pikiranmu yang ngeres itu. Kau sendiri punya anak dan isteri. Ingat-ingat Harya Dwara dan Dinda Sunggatawati." Raden Samba tersinggung " kakang tega! Sungguh kau bukan kakangku lagi. Aku akan menjemput Yunda Hagnyanawati baik dengan restumu atau tidak. Persetan dengan itu!." Maka pergilah Samba menuju Trajutrisna meninggalkan sang kakak.

Di kerajaan Trajutrisna, Dewi Hagnyanawati baru melahirkan putranya dengan Prabu Boma Sitija yakni Bambang Kismaka. Setelah selesai masa nifas, Dewi Hagnyanawati kembali tidak mau disentuh sang suami. Prabu Boma Sitija berkata " isteriku, kenapa kau ini? Jangan buat aku berdosa dengan tak memberikan nafkah batin." "Kakanda, aku hanya lelah dengan ini. Tapi rasa lelah ini akan hilang jika kakanda mau membuatkan jalan lurus dari Trajutrisna dengan Giyantipura." Tanpa pikir panjang, Tumenggung Ancakogra dan Tumenggung Yayahgriwa diperintahkan membuat jalan itu. Meski siapapun yang menghalangi, lebih baik disingkirkan saja. Jalan lurus itu rupanya harus memotong Astana Gandamadana. Resi Gunadewa tidak berkenan karena Astana ini adalah tempat leluhur Trah Yadawa bersemayam dan wilayahnya ada di Mandura. Maka ia memanggil sang kakak sepupu yakni Arya Wisatha, putra mahkota Mandura untuk menengahi. Meskipun demikian, tetap tak ada jalan tengah untuk masalah ini. Tumenggung Yayahgriwa tetap memaksa Resi Gunadewa menandatangani akta kontrak pembebasan lahan. Arya Wisatha marah " kau benar-benar tidak beretika, tumenggung. Jangan memaksakan kehendak. Rajamu, Dinda Sitija pasti sedang sakit jiwa karena menuruti keinginan Dinda Hagnyanawati. Kami lebih baik mati berkalang tanah daripada membiarkan leluhur kami tersiksa di akhirat." Tak terima sang raja dihina, terjadilah perang di Gandamadana. Perang tanding tak terelakkan. Tumenggung Yayahgriwa mengabulkan perkataan Resi Gunadewa dan Arya Wisatha. Ia lantas menghantam kepala resi muda dan putra mahkota Mandura itu menggunakan gada di tangannya. Resi Gunadewa pun gugur seketika dengan kepala remuk.

Sengketa Astana Gandamadana
Namun Arya Wisatha yang sudah terluka parah masih bisa membunuh Tumenggung Yayahgriwa dengan meremukkan kepalanya. Setelah berhasil, Arya Wisatha akhirnya gugur menyusul adik sepupunya itu. Patih Pragota segera memanggil bala bantuan dan berhasil mengusir pasukan Trajutrisna dengan kedatangan Arya Sencaki. Arya Sencaki berkata "masalah ini bisa diselesaikan oleh tiga raja negara masing-masing . Kakang Prabu Baladéwa, kakang Prabu Sri Kresna, dan Ananda Prabu Boma harus berunding masalah ini." Mereka pun setuju namun Tumênggung Ancakogra tidak setuju maka ia menyerang Sencaki lalu tak berapa lama, tewaslah Ancakogra bersama Tumênggung Yayahgriwa. Arya Sencaki dan Arya Pragota membawa jasad Gunadewa dan Wisatha juga dua tumenggung Trajutrisna itu untuk segera dikebumikan secara layak.

Sementara itu, Samba bertemu Arjuna dan Prabu Gatotkaca. Arjuna mengajak keponakannya yang masih berduka karena kematian Kalabendana untuk hendak menjenguk isteri dan anak Samba yang tak lain putri dan cucu Arjuna yakni Dewi Sunggatawati dan Harya Dwara. Samba berkata pada mertuanya kalau dia ingin menikah lagi dengan Dewi Hagnyanawati. Arjuna marah besar mendengar " Samba! Kau sungguh tak punya hati! putriku hendak kau madu dan kau akan memadunya dengan iparmu. Kau benar-benar memalukan!" Samba balas menjawab " ayah sendiri apa bedanya? Kau sendiri berapa isterimu? Tak salah buatku untuk menikah lebih dari satu orang!" Arjuna terkena skakmat. Ia sadar kalau ia sendiri isterinya banyak tapi ia berkata "kalau itu mau lakukan lah, tapi aku tetap tidak akan merestuimu merebut isteri saudaramu sendiri!" Gatotkaca segera membawa Samba ke Trajutrisna" nah turunlah, aku hanya bisa mengantar sampai sini. Setelahnya usahakan sendiri. Aku tidak mau terlibat drama ini."

Di tempat lain, Prabu Boma Sitija bertemu ibunya, Dewi Pertiwi. Ia menanyakan tentang kejelasan rumah tangganya. Dewi Pertiwi berkata " anakku, tak perlu kau pusingkan isterimu itu. Dia tidak mungkin setia kepadamu. Hatinya tertambat pada yang lain sekarang. Tepatnya pada Samba, adikmu." " Apa ibu Bilang...? Kurang Ajar Si Samba..." Dewi Pertiwi menyabarkan putranya itu. " Anakku, tunggu dulu....kau ingin menghukum adikmu karena hal ini? Coba pikirkan lagi....Apa gunanya menyalahkan Samba apabila Hagnyanawati ternyata bukan wanita setia? Kecuali jika Samba yang memaksa, boleh kiranya ananda membela istrimu. Namun, Hagnyanawati sendiri juga melayani Raden Samba tanpa mengajukan syarat aneh-aneh segala." Prabu Boma terdiam merenungi ucapan ibunya. Ia lalu mohon pamit kembali ke Kerajaan Trajutresna untuk menceraikan Dewi Hagnyanawati dan menyerahkannya kepada Samba.

Di keraton Trajutrisna, Samba bertemu Dewi Hagnyanawati di taman keputren secara diam-diam. Sang permaisuri yang baru melahirkan itu awalnya cuek dengan Samba. Lama-lama ia luluh dan terjebak rayuan gombal Samba. " Yunda ehh sayang....kalau kau bosan dengan kakang Sitija, ceraikan saja dia lalu menikahlah denganku." " Ahhh dimas....bisa aja." Perbuatan amoral Samba dan Hagnyanawati itu diketahui para dayang dan segera diberitahukan kepada Patih Pacadnyana. Sang patih murka mendapati kabar itu, adik sang raja yang ia junjung tinggi justru bermain asmara dengan istri rajanya itu. Patih Pacadnyana menuju keputren dan menangkap Samba. Sang Patih mars besar dengan berkata " Kau Binatang! Kau Memadu Kasih dnegan Iparmu Sendiri. Benar-benar Kau Aib Trah Yadawa!" Samba berteriak minta tolong ketika hendak diseret oleh Patih Pacadnyana. Suara teriakannya terdengar oleh Prabu Gatotkaca yang masih menunggu di luar istana. Prabu Gatotkaca pun melesat terbang lalu menerjang turun untuk menolong Samba. Patih Pacadnyana ditendangnya hingga jatuh terjungkal. Sejumlah prajurit raksasa pun tewas oleh amukan Prabu Gatotkaca. Namun, Prabu Gatotkaca tidak mau memperpanjang masalah. Ia mengajak Samba untuk segera pulang ke Kerajaan Dwarawati. Dewi Hagnyanawati ingin ikut serta karena ia merasa dirinya sudah menjadi milik Samba. Samba juga tidak mau pulang apabila tidak bersama kekasihnya tersebut. Prabu Gatotkaca terpaksa menggendong mereka berdua dan melesat terbang ke angkasa meninggalkan Patih Pacadnyana yang memanggil bala bantuan. Prabu Boma Sitija yang baru kembali mendapati kabar kalau Samba membawa Hagnyanawati menjadi lega. Ia mengutus Patih Pacadnyana untuk mengirimkan surat cerai kepada isterinya.

Singkat cerita, Prabu Sri Kresna dan Baladéwa bersama Arjuna baru saja melaksanakan upacara ngaben untuk Resi Gunadewa, Arya Wisatha, Tumênggung Ancakogra, dan Tumênggung Yayahgriwa. Di sana juga ada Patih Sengkuni yang ikut berkabung karena bagaimanapun, Wisatha adalah keponakan Prabu Duryudhana. Di sana datanglah Samba dan Dewi Hagnyanawati diturunkan oleh Prabu Gatotkaca di Kerajaan Dwarawati dan mereka langsung menghadap Prabu Sri Kresna. Prabu Sri Kresna sangat marah melihat ulah putranya itu. “Samba! Kau Benar-benar Tak Punya Moral. Kakangmu, Gunadewa dan Wisatha baru saja gugur secara kesatria mempertahankan Astana Gandamadana, Kau Malah Melakukan Hal Nista! Ulahmu sama sekali bukan perbuatan kesatria, Kau Benar-benar seorang pengecut yang memalukan." Dewi Hagnyanawati menyela ikut bicara membela Samba. "Tunggu ayahanda, bukan salah dimas Samba yang membawanku kabur, tetapi aku sendiri yang ingin ikut dibawa kemari.” Prabu Sri Kresna semakin marah dan menyebut Dewi Hagnyanawati perempuan tercela " Hagnyanawati! Kau Benar-benar Jalang!!! Tidak Bisa Menjaga Kehormatan Diri, Maruah Suami, juga Maruah Rumah Tangga!! Karena Keinginan Anehmu, Putraku Gunadewa, Keponakanku Wisatha, dan Tumenggung Yayahgriwa juga Ancakogra tewas karenamu!!" Dewi Hagnyanawati tertunduk malu bercampur takut. Raden Samba yang seumur hidup selalu dimanja oleh Prabu Sri Kresna, baru kali ini ia ketakutan melihat sang ayah marah besar kepadanya. Prabu Sri Kresna menyuruh dua manusia candala itu mandi kembang dan menunggu hukuman selanjutnya.

Lalu tak lama kemudian datang Patih Pacadnyana membawa surat cerai dari Prabu Boma Sitija untuk Dewi Hagnyanawati. Di dalam surat itu bahkan putranya dan Pertiwi itu bersedia membiayai pernikahan mereka. Prabu Sri Kresna terenyuh hatinya dengan kebesaran hati putranya itu dan meminta sang patih menunggu di sana. Ia pun memanggil Raden Samba dan Dewi Hagnyanawati untuk menjelaskan kehendak Prabu Boma kepada mereka. Raden Samba dan Dewi Hagnyanawati merasa takut apabila kembali ke Kerajaan Trajutrisna, namun Prabu Sri Kresna menjamin mereka akan baik-baik saja. Karena sang ayah sudah menjamin demikian, maka Samba dan Dewi Hagnyanawati pun bersedia ikut bersama Patih Pacadnyana. Patih Sengkuni lalu mendekati Arjuna dan memberikan pendapatnya soal ini. "Arjuna...apa kau tidak curiga kok bisa Sitija selegawa itu. Jangan-jangan ada udang di balik batu. Bisa jadi itu hanya alasan untuk menghukum Samba. Apa kau mau kalau cucumu, Dwara jadi anak yatim?" Ucapan Sengkuni menancap di pikiran Arjuna. Ia pun minta izin pada Sri Kresna untuk menyusul Patih Pacadnyana dan berkata kalau ia takut Samba akan dibunuh dan cucunya menjadi yatim. Prabu Sri Kresna kaget mendengar ucapan ipar sekaligus sepupunya itu. Hendak ia mencegah namun terlambat, dengan mengandalkan Aji Sepi Angin, Arjuna berhasil menyusul Patih Pacadnyana. Tanpa banyak bicara ia menendang patih raksasa tersebut, lalu membawa Samba beserta Dewi Hagnyanawati kembali ke Kerajaan Dwarawati.

Patih Pacadnyana merasa dipermainkan oleh drama antara rajanya dan Arjuna. Maka ia menulis sebuah surat palsu dengan darahnya. Ketika ia datang, ia menyerahkan surat itu seolah-olah ditulis oleh Arjuna sebagai tantangan perang dan berkata tak akan menyerahkan Samba kecuali dengan perang. Boma Sitija marah dan merobek-robek surat itu. Sejak tadi ia menahan marah karena istrinya berselingkuh dengan adiknya sendiri. Meskipun ia mencoba ikhlas, namun isi surat yang kabarnya ditulis Arjuna telah menyakiti harga dirinya. "KURANG AJAR SI ARJUNA. KEBAIKANKU DIANGGAP PALSU, INI PENGHINAAN BAGIKU!" Prabu Boma Sitija pun memerintahkan Patih Pacadnyana untuk mempersiapkan semua pasukan Trajutrisna. Bersama-sama mereka berangkat menggempur Kerajaan Dwarawati. Prabu Boma tampak gagah duduk di atas kendaraannya yang berwujud burung garuda berkepala raksasa, bernama Paksi Wilmuna. Dalam perjalanan itu, Prabu Boma melihat Arya Wrekodara seorang diri. Ia pun mendarat menemui pamannya tersebut. Rupanya Arya Wrekodara sedang dalam perjalanan menuju Kerajaan Dwarawati untuk menyusul Arjuna dan Prabu Gatotkaca. Setelah mendengar cerita Prabu Boma tentang perselingkuhan Samba dengan Hagnyanawati, juga tentang Arjuna yang menantang perang dirinya, Arya Wrekodara merasa sangat terkejut. " Lah dalah...si Jlamprong kok sek sempat gawé masalah. Kudu diluruskan pikirane si Jlamprong ki." Dasar watak Arya Wrekodara yang selalu bersikap adil, ia pun ikut bergabung di pihak Prabu Boma untuk menemani keponakannya itu menuntut keadilan. Singkat cerita, perang terjadi sangat sengit. Perang antara saudara terjadi begitu mengerikan. Arjuna berperang dengan kakaknya. "Jlamprong, kau sungguh tega. Ulahmu gawe kerajaan iki banjir darah." " Apa aku salah kakang demi melindungi cucuku agar tak jadi yatim?" Arya Wrekodara menyadarkan Arjuna kalau khawatir itu boleh tapi tidak baik khawatir berlebihan. Arjuna sadar dan kini menyerah dengan sang kakak. Sementara Baladewa dan Gatotkaca melawan patih Pacadnyana dan pasukan Trajutrisna. Arjuna pun melawan Patih Pacadnyana yang telah memfitnahnya. Dengan sekali panah, sang patih Trajutrisna itu tewas.

Dalam kekacauan itu, Prabu Boma tidak ingin terlibat lebih jauh. Ia segera naik ke punggung Paksi Wilmuna untuk kemudian terbang mencari Samba dan Hagnyanawati.

Samba Juwing (Samba Sebit)
Rupanya kedua orang itu sedang berkasih-kasihan di dalam Taman Banoncinawi. Prabu Boma pun turun mendarat di hadapan mereka. Samba yang sedang memeluk Dewi Hagnyanawati dari belakang merasa terkejut. Prabu Boma berusaha ikhlas melihatnya, namun pikirannya terbayang betapa selama ini ia berusaha untuk bisa mendapatkan perhatian Dewi Hagnyanawati, ternyata semuanya sia-sia belaka. Paksi Wilmuna melihat rajanya sedang bimbang. Ia pun berbisik agar Prabu Boma memantapkan hati. Bagaimanapun juga Samba adalah penjahat yang sudah merusak rumah tangga orang lain. Hukum harus ditegakkan. Prabu Boma termakan ucapan Paksi Wilmuna. Ia lalu menarik tangan Raden Samba yang masih memeluk Dewi Hagnyanawati. Raden Samba pun menjerit kesakitan. Rupanya kedua lengannya telah putus akibat tarikan Prabu Boma yang terlalu keras. Dewi Hagnyanawati menjerit ketakutan, sedangkan mata Samba melotot menahan sakit, jangan sampai ia menangis di hadapan sang kekasih. Prabu Boma sebenarnya menyesal telah menarik putus lengan Raden Samba. Namun teringat akan ucapan Paksi Wilmuna, ia kembali terbakar amarah. Dalam amarahnya itu, jari tangan Prabu Boma bergerak kejam mencongkel kedua bola mata Raden Samba hingga terjulur keluar, bergantung-gantung di pipi kiri dan kanan.

Menyadari keadaannya sudah cacat parah, Raden Samba tidak merintih, tetapi justru tertawa pahit karena merasa kutukan yang diucapkan Batara Narada tidak akan lama lagi akan terjadi. Sebaliknya, Prabu Boma justru menangis tersedu-sedu karena telah berbuat sedemikian kejam kepada sang adik. Namun Prabu Boma kembali terbakar amarah dan tangannya pun merobek mulut Samba hingga menganga lebar. Prabu Boma tidak bisa mengendalikan dirinya lagi. Seperti kesetanan, ia menarik kepala Samba hingga leher putus, serta mengeluarkan isi perut adiknya itu hingga berserakan di tanah. Meski demikian Samba masih tetap hidup seakan ia tersiksa. Dewi Hagnyanawati yang menyaksikan peristiwa itu tidak bisa menangis lagi. Air matanya seolah kering dan mulutnya seolah bisu. Prabu Boma berdiri menghampirinya dan mengajak Dewi Hagnyanawati pulang ke Kerajaan Trajutrisna. Namun, Dewi Hagnyanawati berlari mendekati Samba uang sudah sekarat, mengambil keris yang terselip di pinggang kekasihnya itu, lalu bunuh diri menusuk leher sendiri. Seperti orang kerasukan, Prabu Boma Sitija menginjak-injak jasad dua pelaku perbuatan nista itu. Kutukan Samba yakni mengalami dua kematian yang mengerikan yakni dengan cara di juwing (termutilasi) dan diinjak-injak oleh kakaknya sendiri.

Prabu Sri Kresna yang sedang di istana mengamankan orang-orang kaget melihat Samba dan Hagnyanawati sudah tewas bersimbah darah. Lebih-lebih jasad Samba yang telah termutilasi dengan kejam dan remuk diinjak-injak oleh Sitija. Dewi Jembawati pingsan mengetahui fakta itu. Dua putranya tewas. Ia pun dipapah oleh Dewi Radha, Dewi Rukmini, dan Dewi Setyaboma. Jembawati lemas dan menangis " Radha, Rukmini....bencana apa yang telah aku buat....Anak-anakku harus tewas dengan cara begini." Dewi Rukmini sambil menangis menyabarkan madunya itu " tenanglah Jembawati.....tabahkan hatimu......" Dewi Radha memeluk sahabatnya itu " Jembawati.....ini takdir kita....bersabarlah....tabahkan hatimu...." Dewi Setyaboma menyodorkan air untuk menenangkan hati Jembawati " minum lah dulu, yunda...tenangkan hatimu...." Keempat isteri Kresna itu bersujud memohon doa " Dewata, dosa apakah yang menyebabkan bencana seperti ini." Prabu Sri Kresna marah besar. lalu mengajak perang antara ayah dan anak.

Prabu Boma Sitija terjun ke tanah menghadapi Prabu Danuasmara alias Partajumena/Pradyumna dan Arya Saranadewa, putra-putra Prabu Sri Kresna dengan Dewi Rukmini. Kematian Resi Gunadewa dan Arya Wisatha membuat Partajumena tidak lagi menganggap Prabu Boma sebagai saudara tua. Ia pun menghujani Prabu Boma dengan ratusan anak panah. Prabu Boma tidak mampu menghindar dan akhirnya tewas terkena panah-panah itu. Namun, Aji Pancasonya yang dimiliki Prabu Boma membuatnya hidup kembali begitu jasadnya menyentuh tanah. Prabu Partajumena kembali menyerang Prabu Boma dengan panah-panahnya. Prabu Boma berkali-kali tewas, namun selalu saja hidup kembali ketika menyentuh tanah. Pertarungan ini membuat Raden Partajumena letih dan ganti dirinya yang terdesak oleh serangan Prabu Boma. Namun, tiba-tiba Arya Setyaka, putra Prabu Sri Kresna dengan Dewi Setyaboma muncul menyambar tubuh kakaknya dan membawanya kabur. Prabu Partajumena marah karena dihalangi untuk mati "Dimas, Kau Keterlaluan! Aku lebih baik mati daripada meninggalkan pertempuran seperti ini." Arya Setyaka menampar sang kakak dan menjawab "sadarlah kakang, kumohon kakang!!...hiduplah demi aku, demi ayahanda, demi ibu kita, demi yunda Rukmawati dan nanda Anirudha! Aku sudah jengah...sudah cukup kita kehilangan kakanda Gunadewa, kakanda Wisatha, dan kakanda Samba. Aku tidak mau kehilangan satu orang saudara lagi. Prabu Partajumena pun terkejut mendengar Samba sudah meninggal pula. Arya Saranadewa juga berkata " kakang, kumohon kita hidup lebih baik......kita harus bersatu. Berjanjilah kita akan hidup lebih panjang dan lebih mulia." Prabu Boma lalu menerjang Gatotkaca namun kaki ini Gatotkaca memurti menjadi wujud Krodhanya. Tak mau kalah, Boma ikut memurti/krodha menjadi raksasa. Kekuatannya keduanya setara namun karena aji Pancasonya, Gatotkaca kelabakan. Boma melemparkan senjatanya ke arah Gatotkaca namun ia dihalangi panah dari Arjuna. Boma Sitija marah dan menyerang sang panengah Pandawa. Arjuna luka-luka namun ia mampu bertahan.

Prabu Sri Kresna murka karena sang kusir dharma yang ia persiapkan diserang putranya sendiri. Ia lalu mengheningkan cipta dan sukmanya yakni Sukma Wisnuhari bertemu ibu Sitija yakni Dewi Pertiwi. " Dinda aku tau ini berat. Tapi jika terus dibiarkan, Sitija bisa menghancurkan jagat. Kalau itu terjadi Bharatayuda tak akan bisa digelar dan dunia akan tenggelam dalam kejahatan. Aku mohon dengan hati yang paling dalam bantu aku membebaskan putra kita dari lingkaran dosa ini." Dewi Pertiwi sedih. Ia sudah menduga kalau perang ini akan terjadi. Maka ia mengambil jaring Anjang-anjang Kencana dan menyerahkannya kepada sang suami. Seketika jaring yang tercipta dari pecahan Gamparan Kencana dan Topeng Waja itu telah terhampar di tengah medan laga. Di sana Prabu Gatotkaca, Prabu Patajumena/Danuasmara, Arya Setyaka, dan Arya Saranadewa sudah memegangi ke empat ujung jaring ajaib itu. Prabu Sri Kresna menyuruh Gatotkaca menarik perhatian Boma. Di saat yang tepat, Prabu Sri Kresna melemparkan Cakra Widaksana ke arah Boma Sitija. Terpenggallah kepala Sitija dan ia pun roboh. Namun kepala dan badannya tertahan Anjang-anjang Kencana sehingga tak menapak tanah. Aji Pancasonya tak berfungsi lagi. Sebelum ia menghembuskan nafas terakhirnya Sitija bertanya " ayahanda, kenapa bagimu paman Arjuna sangat istimewa?"

Sitija Gugur, Perang Gonjalisuta berakhir
Dengan berlinang air mata, Prabu Sri Kresna berkata " karena dia juga bagian dari diriku. Ketika Aku turun ke dunia bersama kedua ibumu, aku membelah diriku dengannya. Jika aku adalah Wisnu maka dia adalah Jisnu. Jika aku adalah Narayana maka dia adalah Nara. Bagaimanapun, Kami berdua adalah ayahmu." Sitija bersedih hati tapi ia merasa lega bisa kembali ke surga berkat perantaraan dua ayahnya itu. Sitija pun gugur dengan tubuh masih tertahan Anjang-anjang Kencana.

Tidak lama kemudian datang pula Dewi Pertiwi. Ia menemui Prabu Sri Kresna untuk menjemput pulang sukma/jiwa Boma Sitija. Prabu Sri Kresna mempersilakan. Perlahan-lahan sukma Prabu Boma keluar setelah terjebak di dalam Anjang-Anjang Kencana. Bersama sang ibu, sukma Sitija kembali bernama Batara Sitija, mohon pamit kepada Prabu Sri Kresna untuk kemudian kembali ke kahyangan. Kematian Prabu Boma Sitija membuat yang berperang sangat terpukul namun rupanya Sengkuni yang telah menghasut Arjuna justru bahagia. Calon senapati hebat yang mampu membantu Pandawa seperti Sitija telah ia singkirkan. Sementara itu, Arjuna menyalahkan dirinya sendiri. Karena keegoisannya lah penyebab perang ini terjadi. Sekarang ketakutannya yakni Harya Dwara menjadi yatim telah terpenuhi. Maka ia pergi dari sana dan memutuskan bertapa brata untuk beberapa waktu. Gatotkaca yang berniat menghilangkan duka malah kembali menciptakan duka lagi. Arya Wrekodara memeluk putranya itu demi menyembuhkan luka batin di hatinya. Akhirnya, Kerajaan Dwarawati mengambil alih sementara Trajutrisna sampai ahli waris yakni Bambang Kismaka, putra Boma Sitija dewasa. Sejak perang itu, era kemunduran trah Yadawa sudah mulai di depan mata.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar