Hai semua pembaca dan penikmat kisah pewayangan. Kisah kali ini mengisahkan tentang perang Gonjalisuta, perang antara Prabu Boma Sitija melawan ayahnya, Sri Kresna. Dalam kisah ini juga dikisahkan Samba dikutuk hamil lalu melahirkan sebuah moshala (gada besi) akibat mengejek Batara Narada dan kelak karena gada itulah kejayaan Wangsa Yadawa akan berakhir dan akan menumbalkan nyawa Sri Kresna. Kisah ini juga prolog pertama menuju Bharatayudha. Kisah ini mengambil sumber dari Kitab Mahabharata karya Mpu Vyasa, https://albumkisahwayang.blogspot.com/2019/04/perang-gojalisuta.html, https://www.kompasiana.com/jayakardi/550d93d8a33311781b2e3ccc/kisah-boma-2-anak-yang-terbunuh-oleh-ayahnya, https://caritawayang.blogspot.com/2015/05/samba-juwing.html, dan https://www.balipost.com/news/2022/09/24/293961/Samba,Tukang-Onar.html dengan perubahan dan penambahan seperlunya.
Setelah menyelesaikan masalah di Upalawaya, Prabu Sri Kresna kembali ke kerajaan dan mendapati Raden Samba tiba-tiba hamil. Para pemuda Yadawa berkata kalau Samba berbuat nakal dengan berpura-pura jadi wanita hamil dan menggoda Batara Narada yang menyamar menjadi sorang pendeta. Para pemuda menirukan Samba saat itu "Maharesi, aku permaisuri Arya Babru, punggawa Sri Kresna. Apakah aku akan melahirkan bayi? laki-lakikah? atau perempuankah?" Batara Narada marah dan mengutuk Samba "Kurang ajar! kau bukan istri Babru! kau Samba anak Basudewa Sri Kresna! yang kau kandung itu bukan bayi! Kau mengandung sebuah senjata penghancur Trah Yadawa!" para pemuda juga mengatakan kalau Batara Narada juga mengutuk Samba akan mengalami dua kematian yang tragis. Prabu Sri Kresna marah sekali mendengarnya, lalu ia membedah perut Samba secara gaib dan mengambil senjata penghancur itu. Senjata itu berupa gada besi (moshala). Prabu Sri Kresna segera menghancurkan senjata itu dan menyebarkan abunya ke laut.
Samba melahirkan sebilah gada besi |
Di kerajaan Trajutrisna, Dewi Hagnyanawati baru melahirkan putranya dengan Prabu Boma Sitija yakni Bambang Kismaka. Setelah selesai masa nifas, Dewi Hagnyanawati kembali tidak mau disentuh sang suami. Prabu Boma Sitija berkata " isteriku, kenapa kau ini? Jangan buat aku berdosa dengan tak memberikan nafkah batin." "Kakanda, aku hanya lelah dengan ini. Tapi rasa lelah ini akan hilang jika kakanda mau membuatkan jalan lurus dari Trajutrisna dengan Giyantipura." Tanpa pikir panjang, Tumenggung Ancakogra dan Tumenggung Yayahgriwa diperintahkan membuat jalan itu. Meski siapapun yang menghalangi, lebih baik disingkirkan saja. Jalan lurus itu rupanya harus memotong Astana Gandamadana. Resi Gunadewa tidak berkenan karena Astana ini adalah tempat leluhur Trah Yadawa bersemayam dan wilayahnya ada di Mandura. Maka ia memanggil sang kakak sepupu yakni Arya Wisatha, putra mahkota Mandura untuk menengahi. Meskipun demikian, tetap tak ada jalan tengah untuk masalah ini. Tumenggung Yayahgriwa tetap memaksa Resi Gunadewa menandatangani akta kontrak pembebasan lahan. Arya Wisatha marah " kau benar-benar tidak beretika, tumenggung. Jangan memaksakan kehendak. Rajamu, Dinda Sitija pasti sedang sakit jiwa karena menuruti keinginan Dinda Hagnyanawati. Kami lebih baik mati berkalang tanah daripada membiarkan leluhur kami tersiksa di akhirat." Tak terima sang raja dihina, terjadilah perang di Gandamadana. Perang tanding tak terelakkan. Tumenggung Yayahgriwa mengabulkan perkataan Resi Gunadewa dan Arya Wisatha. Ia lantas menghantam kepala resi muda dan putra mahkota Mandura itu menggunakan gada di tangannya. Resi Gunadewa pun gugur seketika dengan kepala remuk.
Sengketa Astana Gandamadana |
Sementara itu, Samba
bertemu Arjuna dan Prabu Gatotkaca. Arjuna mengajak keponakannya yang masih
berduka karena kematian Kalabendana untuk hendak menjenguk isteri dan anak
Samba yang tak lain putri dan cucu Arjuna yakni Dewi Sunggatawati dan Harya
Dwara. Samba berkata pada mertuanya kalau dia ingin menikah lagi dengan Dewi Hagnyanawati.
Arjuna marah besar mendengar " Samba! Kau sungguh tak punya hati! putriku
hendak kau madu dan kau akan memadunya dengan iparmu. Kau benar-benar
memalukan!" Samba balas menjawab " ayah sendiri apa bedanya? Kau
sendiri berapa isterimu? Tak salah buatku untuk menikah lebih dari satu
orang!" Arjuna terkena skakmat. Ia sadar kalau ia sendiri isterinya banyak
tapi ia berkata "kalau itu mau lakukan lah, tapi aku tetap tidak akan
merestuimu merebut isteri saudaramu sendiri!" Gatotkaca segera membawa Samba
ke Trajutrisna" nah turunlah, aku hanya bisa mengantar sampai sini.
Setelahnya usahakan sendiri. Aku tidak mau terlibat drama ini."
Di tempat lain, Prabu
Boma Sitija bertemu ibunya, Dewi Pertiwi. Ia menanyakan tentang kejelasan rumah
tangganya. Dewi Pertiwi berkata " anakku, tak perlu kau pusingkan isterimu
itu. Dia tidak mungkin setia kepadamu. Hatinya tertambat pada yang lain
sekarang. Tepatnya pada Samba, adikmu." " Apa ibu Bilang...? Kurang
Ajar Si Samba..." Dewi Pertiwi menyabarkan putranya itu. " Anakku,
tunggu dulu....kau ingin menghukum adikmu karena hal ini? Coba pikirkan
lagi....Apa gunanya menyalahkan Samba apabila Hagnyanawati ternyata bukan
wanita setia? Kecuali jika Samba yang memaksa, boleh kiranya ananda membela
istrimu. Namun, Hagnyanawati sendiri juga melayani Raden Samba tanpa mengajukan
syarat aneh-aneh segala." Prabu Boma terdiam merenungi ucapan ibunya. Ia
lalu mohon pamit kembali ke Kerajaan Trajutresna untuk menceraikan Dewi
Hagnyanawati dan menyerahkannya kepada Samba.
Di keraton Trajutrisna,
Samba bertemu Dewi Hagnyanawati di taman keputren secara diam-diam. Sang
permaisuri yang baru melahirkan itu awalnya cuek dengan Samba. Lama-lama ia
luluh dan terjebak rayuan gombal Samba. " Yunda ehh sayang....kalau kau
bosan dengan kakang Sitija, ceraikan saja dia lalu menikahlah denganku."
" Ahhh dimas....bisa aja." Perbuatan amoral Samba dan Hagnyanawati
itu diketahui para dayang dan segera diberitahukan kepada Patih Pacadnyana.
Sang patih murka mendapati kabar itu, adik sang raja yang ia junjung tinggi
justru bermain asmara dengan istri rajanya itu. Patih Pacadnyana menuju
keputren dan menangkap Samba. Sang Patih mars besar dengan berkata " Kau
Binatang! Kau Memadu Kasih dnegan Iparmu Sendiri. Benar-benar Kau Aib Trah
Yadawa!" Samba berteriak minta tolong ketika hendak diseret oleh Patih
Pacadnyana. Suara teriakannya terdengar oleh Prabu Gatotkaca yang masih
menunggu di luar istana. Prabu Gatotkaca pun melesat terbang lalu menerjang
turun untuk menolong Samba. Patih Pacadnyana ditendangnya hingga jatuh
terjungkal. Sejumlah prajurit raksasa pun tewas oleh amukan Prabu Gatotkaca.
Namun, Prabu Gatotkaca tidak mau memperpanjang masalah. Ia mengajak Samba untuk
segera pulang ke Kerajaan Dwarawati. Dewi Hagnyanawati ingin ikut serta karena
ia merasa dirinya sudah menjadi milik Samba. Samba juga tidak mau pulang
apabila tidak bersama kekasihnya tersebut. Prabu Gatotkaca terpaksa menggendong
mereka berdua dan melesat terbang ke angkasa meninggalkan Patih Pacadnyana yang
memanggil bala bantuan. Prabu Boma Sitija yang baru kembali mendapati kabar
kalau Samba membawa Hagnyanawati menjadi lega. Ia mengutus Patih Pacadnyana
untuk mengirimkan surat cerai kepada isterinya.
Singkat cerita, Prabu Sri
Kresna dan Baladéwa bersama Arjuna baru saja melaksanakan upacara ngaben untuk
Resi Gunadewa, Arya Wisatha, Tumênggung Ancakogra, dan Tumênggung Yayahgriwa.
Di sana juga ada Patih Sengkuni yang ikut berkabung karena bagaimanapun,
Wisatha adalah keponakan Prabu Duryudhana. Di sana datanglah Samba dan Dewi
Hagnyanawati diturunkan oleh Prabu Gatotkaca di Kerajaan Dwarawati dan mereka
langsung menghadap Prabu Sri Kresna. Prabu Sri Kresna sangat marah melihat ulah
putranya itu. “Samba! Kau Benar-benar Tak Punya Moral. Kakangmu, Gunadewa dan
Wisatha baru saja gugur secara kesatria mempertahankan Astana Gandamadana, Kau
Malah Melakukan Hal Nista! Ulahmu sama sekali bukan perbuatan kesatria, Kau
Benar-benar seorang pengecut yang memalukan." Dewi Hagnyanawati menyela
ikut bicara membela Samba. "Tunggu ayahanda, bukan salah dimas Samba yang
membawanku kabur, tetapi aku sendiri yang ingin ikut dibawa kemari.” Prabu Sri
Kresna semakin marah dan menyebut Dewi Hagnyanawati perempuan tercela " Hagnyanawati!
Kau Benar-benar Jalang!!! Tidak Bisa Menjaga Kehormatan Diri, Maruah Suami,
juga Maruah Rumah Tangga!! Karena Keinginan Anehmu, Putraku Gunadewa,
Keponakanku Wisatha, dan Tumenggung Yayahgriwa juga Ancakogra tewas
karenamu!!" Dewi Hagnyanawati tertunduk malu bercampur takut. Raden Samba
yang seumur hidup selalu dimanja oleh Prabu Sri Kresna, baru kali ini ia
ketakutan melihat sang ayah marah besar kepadanya. Prabu Sri Kresna menyuruh
dua manusia candala itu mandi kembang dan menunggu hukuman selanjutnya.
Lalu tak lama kemudian
datang Patih Pacadnyana membawa surat cerai dari Prabu Boma Sitija untuk Dewi
Hagnyanawati. Di dalam surat itu bahkan putranya dan Pertiwi itu bersedia
membiayai pernikahan mereka. Prabu Sri Kresna terenyuh hatinya dengan kebesaran
hati putranya itu dan meminta sang patih menunggu di sana. Ia pun memanggil Raden
Samba dan Dewi Hagnyanawati untuk menjelaskan kehendak Prabu Boma kepada
mereka. Raden Samba dan Dewi Hagnyanawati merasa takut apabila kembali ke
Kerajaan Trajutrisna, namun Prabu Sri Kresna menjamin mereka akan baik-baik
saja. Karena sang ayah sudah menjamin demikian, maka Samba dan Dewi
Hagnyanawati pun bersedia ikut bersama Patih Pacadnyana. Patih Sengkuni lalu
mendekati Arjuna dan memberikan pendapatnya soal ini. "Arjuna...apa kau
tidak curiga kok bisa Sitija selegawa itu. Jangan-jangan ada udang di balik
batu. Bisa jadi itu hanya alasan untuk menghukum Samba. Apa kau mau kalau
cucumu, Dwara jadi anak yatim?" Ucapan Sengkuni menancap di pikiran
Arjuna. Ia pun minta izin pada Sri Kresna untuk menyusul Patih Pacadnyana dan
berkata kalau ia takut Samba akan dibunuh dan cucunya menjadi yatim. Prabu Sri
Kresna kaget mendengar ucapan ipar sekaligus sepupunya itu. Hendak ia mencegah
namun terlambat, dengan mengandalkan Aji Sepi Angin, Arjuna berhasil menyusul
Patih Pacadnyana. Tanpa banyak bicara ia menendang patih raksasa tersebut, lalu
membawa Samba beserta Dewi Hagnyanawati kembali ke Kerajaan Dwarawati.
Patih Pacadnyana merasa
dipermainkan oleh drama antara rajanya dan Arjuna. Maka ia menulis sebuah surat
palsu dengan darahnya. Ketika ia datang, ia menyerahkan surat itu seolah-olah
ditulis oleh Arjuna sebagai tantangan perang dan berkata tak akan menyerahkan
Samba kecuali dengan perang. Boma Sitija marah dan merobek-robek surat itu.
Sejak tadi ia menahan marah karena istrinya berselingkuh dengan adiknya
sendiri. Meskipun ia mencoba ikhlas, namun isi surat yang kabarnya ditulis
Arjuna telah menyakiti harga dirinya. "KURANG AJAR SI ARJUNA. KEBAIKANKU
DIANGGAP PALSU, INI PENGHINAAN BAGIKU!" Prabu Boma Sitija pun
memerintahkan Patih Pacadnyana untuk mempersiapkan semua pasukan Trajutrisna.
Bersama-sama mereka berangkat menggempur Kerajaan Dwarawati. Prabu Boma tampak
gagah duduk di atas kendaraannya yang berwujud burung garuda berkepala raksasa,
bernama Paksi Wilmuna. Dalam perjalanan itu, Prabu Boma melihat Arya Wrekodara
seorang diri. Ia pun mendarat menemui pamannya tersebut. Rupanya Arya Wrekodara
sedang dalam perjalanan menuju Kerajaan Dwarawati untuk menyusul Arjuna dan
Prabu Gatotkaca. Setelah mendengar cerita Prabu Boma tentang perselingkuhan
Samba dengan Hagnyanawati, juga tentang Arjuna yang menantang perang dirinya,
Arya Wrekodara merasa sangat terkejut. " Lah dalah...si Jlamprong kok sek
sempat gawé masalah. Kudu diluruskan pikirane si Jlamprong ki." Dasar
watak Arya Wrekodara yang selalu bersikap adil, ia pun ikut bergabung di pihak
Prabu Boma untuk menemani keponakannya itu menuntut keadilan. Singkat cerita,
perang terjadi sangat sengit. Perang antara saudara terjadi begitu mengerikan.
Arjuna berperang dengan kakaknya. "Jlamprong, kau sungguh tega. Ulahmu
gawe kerajaan iki banjir darah." " Apa aku salah kakang demi
melindungi cucuku agar tak jadi yatim?" Arya Wrekodara menyadarkan Arjuna
kalau khawatir itu boleh tapi tidak baik khawatir berlebihan. Arjuna sadar dan
kini menyerah dengan sang kakak. Sementara Baladewa dan Gatotkaca melawan patih
Pacadnyana dan pasukan Trajutrisna. Arjuna pun melawan Patih Pacadnyana yang
telah memfitnahnya. Dengan sekali panah, sang patih Trajutrisna itu tewas.
Dalam kekacauan itu, Prabu Boma tidak ingin terlibat lebih jauh. Ia segera naik ke punggung Paksi Wilmuna untuk kemudian terbang mencari Samba dan Hagnyanawati.
Samba Juwing (Samba Sebit) |
Menyadari keadaannya
sudah cacat parah, Raden Samba tidak merintih, tetapi justru tertawa pahit
karena merasa kutukan yang diucapkan Batara Narada tidak akan lama lagi akan terjadi.
Sebaliknya, Prabu Boma justru menangis tersedu-sedu karena telah berbuat
sedemikian kejam kepada sang adik. Namun Prabu Boma kembali terbakar amarah dan
tangannya pun merobek mulut Samba hingga menganga lebar. Prabu Boma tidak bisa
mengendalikan dirinya lagi. Seperti kesetanan, ia menarik kepala Samba hingga
leher putus, serta mengeluarkan isi perut adiknya itu hingga berserakan di
tanah. Meski demikian Samba masih tetap hidup seakan ia tersiksa. Dewi
Hagnyanawati yang menyaksikan peristiwa itu tidak bisa menangis lagi. Air
matanya seolah kering dan mulutnya seolah bisu. Prabu Boma berdiri
menghampirinya dan mengajak Dewi Hagnyanawati pulang ke Kerajaan Trajutrisna.
Namun, Dewi Hagnyanawati berlari mendekati Samba uang sudah sekarat, mengambil
keris yang terselip di pinggang kekasihnya itu, lalu bunuh diri menusuk leher
sendiri. Seperti orang kerasukan, Prabu Boma Sitija menginjak-injak jasad dua
pelaku perbuatan nista itu. Kutukan Samba yakni mengalami dua kematian yang
mengerikan yakni dengan cara di juwing (termutilasi) dan diinjak-injak oleh
kakaknya sendiri.
Prabu Sri Kresna yang
sedang di istana mengamankan orang-orang kaget melihat Samba dan Hagnyanawati
sudah tewas bersimbah darah. Lebih-lebih jasad Samba yang telah termutilasi
dengan kejam dan remuk diinjak-injak oleh Sitija. Dewi Jembawati pingsan mengetahui
fakta itu. Dua putranya tewas. Ia pun dipapah oleh Dewi Radha, Dewi Rukmini,
dan Dewi Setyaboma. Jembawati lemas dan menangis " Radha,
Rukmini....bencana apa yang telah aku buat....Anak-anakku harus tewas dengan
cara begini." Dewi Rukmini sambil menangis menyabarkan madunya itu "
tenanglah Jembawati.....tabahkan hatimu......" Dewi Radha memeluk
sahabatnya itu " Jembawati.....ini takdir kita....bersabarlah....tabahkan
hatimu...." Dewi Setyaboma menyodorkan air untuk menenangkan hati
Jembawati " minum lah dulu, yunda...tenangkan hatimu...." Keempat
isteri Kresna itu bersujud memohon doa " Dewata, dosa apakah yang
menyebabkan bencana seperti ini." Prabu Sri Kresna marah besar. lalu
mengajak perang antara ayah dan anak.
Prabu Boma Sitija terjun
ke tanah menghadapi Prabu Danuasmara alias Partajumena/Pradyumna dan Arya
Saranadewa, putra-putra Prabu Sri Kresna dengan Dewi Rukmini. Kematian Resi
Gunadewa dan Arya Wisatha membuat Partajumena tidak lagi menganggap Prabu Boma
sebagai saudara tua. Ia pun menghujani Prabu Boma dengan ratusan anak panah.
Prabu Boma tidak mampu menghindar dan akhirnya tewas terkena panah-panah itu.
Namun, Aji Pancasonya yang dimiliki Prabu Boma membuatnya hidup kembali begitu
jasadnya menyentuh tanah. Prabu Partajumena kembali menyerang Prabu Boma dengan
panah-panahnya. Prabu Boma berkali-kali tewas, namun selalu saja hidup kembali
ketika menyentuh tanah. Pertarungan ini membuat Raden Partajumena letih dan
ganti dirinya yang terdesak oleh serangan Prabu Boma. Namun, tiba-tiba Arya Setyaka,
putra Prabu Sri Kresna dengan Dewi Setyaboma muncul menyambar tubuh kakaknya
dan membawanya kabur. Prabu Partajumena marah karena dihalangi untuk mati
"Dimas, Kau Keterlaluan! Aku lebih baik mati daripada meninggalkan
pertempuran seperti ini." Arya Setyaka menampar sang kakak dan menjawab
"sadarlah kakang, kumohon kakang!!...hiduplah demi aku, demi ayahanda,
demi ibu kita, demi yunda Rukmawati dan nanda Anirudha! Aku sudah
jengah...sudah cukup kita kehilangan kakanda Gunadewa, kakanda Wisatha, dan
kakanda Samba. Aku tidak mau kehilangan satu orang saudara lagi. Prabu
Partajumena pun terkejut mendengar Samba sudah meninggal pula. Arya Saranadewa
juga berkata " kakang, kumohon kita hidup lebih baik......kita harus
bersatu. Berjanjilah kita akan hidup lebih panjang dan lebih mulia." Prabu
Boma lalu menerjang Gatotkaca namun kaki ini Gatotkaca memurti menjadi wujud
Krodhanya. Tak mau kalah, Boma ikut memurti/krodha menjadi raksasa. Kekuatannya
keduanya setara namun karena aji Pancasonya, Gatotkaca kelabakan. Boma
melemparkan senjatanya ke arah Gatotkaca namun ia dihalangi panah dari Arjuna.
Boma Sitija marah dan menyerang sang panengah Pandawa. Arjuna luka-luka namun
ia mampu bertahan.
Prabu Sri Kresna murka karena sang kusir dharma yang ia persiapkan diserang putranya sendiri. Ia lalu mengheningkan cipta dan sukmanya yakni Sukma Wisnuhari bertemu ibu Sitija yakni Dewi Pertiwi. " Dinda aku tau ini berat. Tapi jika terus dibiarkan, Sitija bisa menghancurkan jagat. Kalau itu terjadi Bharatayuda tak akan bisa digelar dan dunia akan tenggelam dalam kejahatan. Aku mohon dengan hati yang paling dalam bantu aku membebaskan putra kita dari lingkaran dosa ini." Dewi Pertiwi sedih. Ia sudah menduga kalau perang ini akan terjadi. Maka ia mengambil jaring Anjang-anjang Kencana dan menyerahkannya kepada sang suami. Seketika jaring yang tercipta dari pecahan Gamparan Kencana dan Topeng Waja itu telah terhampar di tengah medan laga. Di sana Prabu Gatotkaca, Prabu Patajumena/Danuasmara, Arya Setyaka, dan Arya Saranadewa sudah memegangi ke empat ujung jaring ajaib itu. Prabu Sri Kresna menyuruh Gatotkaca menarik perhatian Boma. Di saat yang tepat, Prabu Sri Kresna melemparkan Cakra Widaksana ke arah Boma Sitija. Terpenggallah kepala Sitija dan ia pun roboh. Namun kepala dan badannya tertahan Anjang-anjang Kencana sehingga tak menapak tanah. Aji Pancasonya tak berfungsi lagi. Sebelum ia menghembuskan nafas terakhirnya Sitija bertanya " ayahanda, kenapa bagimu paman Arjuna sangat istimewa?"
Sitija Gugur, Perang Gonjalisuta berakhir |
Tidak lama kemudian
datang pula Dewi Pertiwi. Ia menemui Prabu Sri Kresna untuk menjemput pulang sukma/jiwa
Boma Sitija. Prabu Sri Kresna mempersilakan. Perlahan-lahan sukma Prabu Boma
keluar setelah terjebak di dalam Anjang-Anjang Kencana. Bersama sang ibu, sukma
Sitija kembali bernama Batara Sitija, mohon pamit kepada Prabu Sri Kresna untuk
kemudian kembali ke kahyangan. Kematian Prabu Boma Sitija membuat yang
berperang sangat terpukul namun rupanya Sengkuni yang telah menghasut Arjuna
justru bahagia. Calon senapati hebat yang mampu membantu Pandawa seperti Sitija
telah ia singkirkan. Sementara itu, Arjuna menyalahkan dirinya sendiri. Karena
keegoisannya lah penyebab perang ini terjadi. Sekarang ketakutannya yakni Harya
Dwara menjadi yatim telah terpenuhi. Maka ia pergi dari sana dan memutuskan
bertapa brata untuk beberapa waktu. Gatotkaca yang berniat menghilangkan duka
malah kembali menciptakan duka lagi. Arya Wrekodara memeluk putranya itu demi
menyembuhkan luka batin di hatinya. Akhirnya, Kerajaan Dwarawati mengambil alih
sementara Trajutrisna sampai ahli waris yakni Bambang Kismaka, putra Boma
Sitija dewasa. Sejak perang itu, era kemunduran trah Yadawa sudah mulai di
depan mata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar