Rabu, 28 Juni 2023

Wahyu Petakwijaya (Bambang Yodeya)

 Hai-hai, pembaca dan penikmat kisah-kisah pewayangan sekalian. Kali ini penulis menceritakan lakon asli yang belum pernah dipentaskan. Kisah ini menceritakan kelanjutan Wahyu Purbalaras dimana Prabu Yudhistira punya seorang isteri dan anak lagi. Sang anak ini akan membantu mempertemukannya dengan sang isteri kedua meski itu berarti perpisahan diantara keduanya. Sumber yang dipakai berasal dari Kitab Mahabharata karya Mpu Vyasa dengan pengubahan dan penyelarasan seperlunya.

17 tahun yang lalu, seberkas cahaya seterang matahari meluncur turun ke negeri Saibipura, di seberang lautan sana. Cahaya itu turun kepada Endang Dewika, putri Prabu Gowasena raja Saibipura. Seketika, sang putri raja langsung mengandung tanpa suami. Hal ini sangat mengejutkan rakyat kerajaan Saibipura. Putri raja hamil tanpa suami. Kabar akan hamilnya Endang Dewika membuat rakyat dan penguasa kerajaan sekitar menggunjing kerajaan Saibipura sebagai kerajaan tak bermoral. Karena tak kuat dengan gunjingan kerajaan tetangga, sang raja dan putrinya mengasingkan diri ke suatu tempat yang jauh. Rakyat Saibipura bersedih hati ditinggal rajanya "rakyatku, aku terpaksa meninggalkan kalian semata agar kalian tidak terkena aib dari ini semua." Maka, sang raja merobohkan istana dan membuat sebuah kapal. Setelah kapal jadi, berangkatlah Prabu Gowasena dan Endang Dewika. Sebagian rakyat Saibipura terutama para penggawa, para brahmana, dan rakyat biasa ikut dalam rombongan itu. Kapal mereka berlayar tanpa tujuan yang jelas, berlayar mengikuti arah angin berhembus. Di tengah perjalanan, terjadi badai besar. Kapal yang dinaiki raja dan sang putri pecah setelah ombak pasang menghantamnya dan mengenai batu karang. Banyak orang di sana yang tak selamat, hanya menyisakan Prabu Gowasena, Endang Dewika, tujuh orang brahmana dan tiga dari rakyat biasa. Mereka segera menepi di sebuah pulau karang menunggu hujan dan badai mereda. Beberapa waktu kemudian, badai mereda dan cuaca kembali cerah. Sembari menunggu pembuatan perahu yang baru, tiba-tiba perut Endang Dewika kesakitan, sepertinya kontraksi. Air ketubannya pecah. Endang Dewika merasa ia akan melahirkan. Di tengah pulau antah berantah tengah samudera dengan bermandikan terangnya cahaya bulan purnama, Endang Dewika melahirkan hanya dibantu sang ayah dan beberapa rakyat. Lahirlah darinya seorang putra yang tampan luar biasa. Sang kakek gembira melihat cucunya lahir selamat dan sehat. Begitu melihat wajah sang cucu, Prabu Gowasena teringat rupa dan raut wajahnya mirip raja Amarta, Yudhisthira. Sang putri Saibipura memberikan nama putranya itu "anakku ini tampan, seperti Prabu Yudhistira dari Amarta. Aku beri nama kamu Bambang Yodeya."

Setelah beberapa lama terdampar di pulau karang, perahu pun siap. Mereka pun berlayar menyusuri kearah selatan dan bertemu dengan daratan Jawadwipa. Setelah sampai di Jawadwipa, keluarga Prabu Gowasena bertekad keluar dari aib dan menuju ke derajat yang lebih baik. Keluarga raja Saibipura memutuskan hidup menjadi resi pendeta yang sederhana. Setelah berlajar dari tujuh brahmana, Sang Prabu berganti nama menjadi Resi Yogani. Beberapa rakyat Saibipura juga menjadi cantrik dan membangun sebuah desa baru bernama Desa Gowadewa. Perlahan Desa Gowadewa menjadi sebuah karesian sehingga datanglah para Pandawa membuka alas Wanamarta dan Kandaparasta.

Tujuh belas tahun kemudian yakni di masa kini, Prabu Yudhisthira sedang sakit keras. Dewi Drupadi dan putra-menantunya, Bambang Pancawala dan Dewi Pergiwati berusaha menyembuhkan sakitnya namun tak kunjung sembuh juga. Begitu juga usaha adik-adik sang raja Amarta. Bahkan Cangkok Wijayakusuma milik Prabu Kresna kurang berefek apa-apa. Empat dari Pandawa dan Prabu Kresna risau takut kalau-kalau sakit sang raja Amarta tidak bisa disembuhkan. Dewi Drupadi lalu masuk ke sanggar pamujan berdoa " Hyang Jagat Batara, Ida Sanghyang Widhi Wasa. Suamiku sakit parah dan tak ada satupun benda yang bisa jadi obatnya. Hamba mohon petunjuk-Mu demi kesembuhannya." Satu malam, dua malam, tiga malam bahkan sampai tiga puluh malam berlalu belum datang jawaban. Namun tepat di malam ke 40, Batara Narada turun menjawab doa Drupadi " cucuku, aku telah datang menjawab doamu. Perlu kamu ketahui cucuku, suami sakit karena tak kuat menahan murcanya serpihan jiwa Dewi Kuntulwilaten sejak 17 tahun yang lalu." Dewi Drupadi kaget, bukankah Dewi Kuntulwilaten sudah bersedia satu jiwa raga dengan sang suami? Batara Narada lalu melanjutkan "benar, tapi ada serpihan jiwanya yang menghilang dan pergi ke satu tempat. Serpihan jiwa sang dèwi bernama Wahyu Pêtakwijaya. Cara agar suami bisa sembuh yakni harus mempertemukan orang yang dipilih Dewi Kuntulwilaten dengan suamimu. Orang terpilih itu ciri-cirinya hampir mirip dengan Dewi Kuntulwilaten. Sekarang orang itu dan keluarganya tinggal tak jauh dari sini." Dewi Drupadi pun bangun dan menceritakan hasil semadinya kepada para iparnya dan prabu Kresna. Para putra Pandawa dikerahkan mencari orang yang dimaksud. Prabu Yudhistira memaksa ingin ikut meski sudah dilarang sang isteri dan keempat saudaranya. Meski sudah dilartang ikut, Prabu Yudhistira tetap memaksa ikut meski harus merangkak sekalipun. Karena sudah begini, mau tidak mau Bambang Pancawala bersama Abimanyu, Irawan, dan Brantalaras memikul sang raja Amarta dengan joli (usungan; tandu)

Sementara itu, di Hastinapura, Prabu Duryudhana dihadap Patih Sengkuni, Begawan Dorna, Arya Dursasana, dan Adipati Karna. Mereka membahas kalau telah turun wahyu Pêtakwijaya. Untuk urusan wahyu dan pulung, Maharesi Bhisma dipanggil. Sang resi agung itu berkata, "cucuku, wahyu yang turun kali ini adalah pasangan dari Wahyu Purbalaras milik Dewi Kuntulwilaten. siapapun yang bisa mendapatkannya maka ia akan berjaya di Bharatayuda. Kabarnya wahyu itu telah turun di sekitar Amarta.” tepatnya di pertapaan Gowadewa. Adipati Karna menawarkan diri agar ia yang bisa jadi wadah dari wahyu tersebut. Prabu Duryudhana berkenan. Singkat kata, berangkatlah sang adipati Awangga diiringi Arya Dursasana dan ke 98 saudaranya menuju ke Amarta.

Di pertapaan Gowadewa, Resi Yogani dihadap sang cucu, Bambang Yodeya. Mereka membahas tentang keadaan Endang Dewika. Sejak pindah ke Jawadwipa, muncul keanehan pada diri Endang Dewika. Badan Endang Dewika semakin lama semakin lemah dan menjadi tembus pandang. Bambang Yodeya khawatir tentang nasib sang ibu. Kakeknya, Resi Yogani berkata kalau telah mendapat kebenaran tentang putrinya. Endang Dewika telah dipilih Dewi Kuntulwilaten sebagai wadah Wahyu Pêtakwijaya dan pendamping Prabu Yudhistira bersamanya. Wahyu itu sudah ia dapat 17 tahun lalu, saat masih tinggal Saibipura ketika seberkas cahaya terang turun dan merasuk ke tubuh Dewika. Setelah berada di Jawadwipa, wahyu itu srakan sudah menemukan jodohnya. Bambang Yodeya perhatin namun ia ikhlas dengan kondisi ibunya. Hanya saja, ia ingin sang ibu dan pulung/wahyu itu jatuh ke orang yang tepat. Maka ia lalu datang ke hadapan khalayak, mengumumkan sayembara " Dengarlah kalian semua. Barangsiapa yang bisa bertarung dan mengangkat badanku, maka ia bisa menikahi ibuku, Endang Dewika dan aku bersedia menerimanya sebagai ayahku!!!"

Kabar sayembara dari Bambang Yodeya itu mengudara dengan cepat dan pantas. Adipati dan Para Kurawa telah datang kesana lebih dahulu. Lalu disusul oleh putra Pandawa yakni Bambang Pancawala, Arya Antareja, Arya Gatotkaca, Arya Antasena, dan Bambang Srenggini. Di belakang, datang Abimanyu dan para putra lainnya datang bersama Prabu Yudhistira yang dipikul joli.Setelah minta izin pada Resi Yogani, Adipati Karna mulai bertarung dengan Bambang Yodeya. Pertarungan berlangsung sengit. Keduanya saling bertarung tombak, keris, dan panah. Namun Bambang Yodeya tak bisa dianggap enteng. Semua serangan dan tolakan berhasil diatasi. Di gelanggang, Adipati Karna kewalahan dengan sepak terjang Bambang Yodeya. Arya Dursasana membantunya namun juga kelabakan bahkan para Kurawa juga dibuat kerepotan. Pada akhirnya mereka tumbang dan kalah. Adipati Karna kalah dari Bambang Yodeya.

Tiba giliran para putra Pandawa. Arya Gatotkaca mulanya melawan Bambang Yodeya namun kalah. Lalu disusul Arya Antareja lalu Abimanyu, Irawan, Brantalaras namun semuanya kalah. Ketika giliran Antasena dan Srenggini, mereka abstain dan menyarankan agar Bambang Pancawala saja yang melawan Yodeya. Bambang Pancawala awalnya menolak " ehhh...aku rasa aku tidak bisa adhiku.....masa aku....kemampuanku belum cukup mumpuni."Antasena meyakinkan sang abang sepupu " Ojo ngomong ngunu, kakang. Kami yakin dengan kemampuanmu." Akhirnya setelah didesak, Pancawala bersedia naik gelanggang.

Pancawala melawan Yodeya
Kedua ksatria itu saling bertarung tombak dan lembing lalu bertarung tangan kosong. Keduanya setara dan sama. Pertarungan itu sangat sengit hingga satu kesempatan, Pancawala melemparkan Tombak Karawelang. Seketika, ribuan tombak keluar bersamaan dan mengurung Yodeya. Bambang Yodeya tak mampu mengimbangi lagi kekuatan Pancawala maka ia menyerah kalah. Bambang Pancawala dinyatakan sebagai pemenangnya.

Yodeya menawarkan Pancawala menemui ibunya. Namun, Pancawala menolak. Yang berhak menemui Endang Dewika adalah sang ayah, Prabu Yudhistira. Singkat cerita, Pancawala memapah sang ayah yang sedang sakit ke dalam kamar Endang Dewika. Di sana mereka berjumpa dengan Resi Yogani. Keadaan Dewika mirip dengan Dewi Kuntulwilaten, tubuhnya semakin tembus pandang. Di saat keduanya saling bertemu, Endang Dewika berkata " duh kakanda ku Yudhistira. Akhirnya kita bisa bertemu. Yodeya putraku, sembah baktikan dirimu pada ayahmu." Bambang Yodeya kaget bagaimana mungkin ia adalah putra Yudhistira sementara sang ibu tak pernah bertemu apalagi menikah dengan sang raja Amarta. Endang Dewika bercerita 17 tahun yang lalu, ia bisa bertemu dengan Prabu Yudhistira ketika Dewi Kuntulwilaten memberitahukan bahwa ia akan bisa menikahi sang raja Amarta jika mau menjadi titisan separuh jiwanya yakni Dewi Pêtakwijaya. Endang Dewika berkata sanggup dan bersedia menanggung segala konsekuensinya. Seketika, Dewi Pêtakwijaya muncul dan masuk ke tubuh Endang Dewika. Bersamaan dengan merasuknya Dewi Pêtakwijaya, benih kama dari Prabu Yudhistira juga dibawa serta dan langsung manjing di gua garbanya. Maka hamillah Endang Dewika kala itu. Bambang Yodeya terharu mendengarnya. Maka ia langsung menghaturkan sembah kepada Prabu Yudhistira dan memanggilnya ayah. Prabu Yudhistira berkata " bangunlah Yodeya, putraku. Kemarilah anakku. Peluk ayahmu ini." Mereka saling merasakan haru. Resi Yogani juga memeluk menantunya itu. Bambang Pancawala juga ikut memeluk sang adik. Mereka saling minta maaf. Setelah saling melepas rindu, Prabu Yudhistira yang dalam keadaan lemah dan sakit memeluk Endang Dewika. Seketika tubuh transparan sang putri Saibipura itu memudar dan bertukar wujud sebagai cahaya lalu menyatu ke dalam tubuh Prabu Yudhistira. Wahyu Pêtakwijaya bersatu kembali dengan Wahyu Purbalaras. Seketika, Prabu Yudhistira sembuh dari sakitnya. Semua orang bahagia namun juga larut dalam haru. Endang Dewika telah mengorbankan dirinya demi kesembuhan sang raja Amarta.

Oleh Prabu Yudhistira, Resi Yogani ditawarkan agar jadi raja lagi Di Saibipura namun sang resi menolak. Ia memilih jadi pendeta saja, lebih nyaman. Karena permintaan sang resi sudah bulat, maka Prabu Yudhistira melantiknya sebagai resi agung kerajaan Amarta bersama Resi Jayawilapa dan Resi Sidiwacana. Namanya dikembalikan menjadi Resi Gowasena. Bambang Yodeya kembali membesarkan desa Saibipura dan kini pertapaan itu telah menjadi kadipaten Saibipura. Berbondong-bondong rakyat Saibipura lama seberapa lautan pindah ke Jawadwipa dan ikut memindahkan kotaraja ke Saibipura baru ke dekat Amarta, tepatnya di daerah tempur/pertemuan antara Bengawan Gangga dengan Bengawan Yamuna. Bambang Yodeya menjadi pemimpin disana bergelar Arya Yodeya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar