Kamis, 01 Juni 2023

Udawa Waris

Hai semua pembaca dan penikmat cerita wayang sekalian. Kali ini penulis akan menceritakan kisah tentang usaha Patih Udawa membangun Desa Widarakandang dan Desa Warsana menjadi daerah Kepatihan. Niatnya ini mendapat halangan dari Prabu Baladewa, yang telah dihasut oleh Patih Sengkuni dan susahnya menemukan bukti hitam di atas putih tentang nasib desa Widarakandang dan Warsana. Namun Patih Udawa mendapat haknya dengan bantuan Prabu Matswapati dan Dewi Radha. Kisah ini mengambil sumber dari blog albumkisahwayang.blogspot.com dengan pengubahan, dan penyesuaian seperlunya.

Pada suatu hari yang cerah, Prabu Sri Kresna dan Prabu Baladéwa sedang duduk membahas Patih Udawa yang sampai hari ini masih di desa Widarakandang. Lalu datang ibu asuh mereka, Nyai Yasodha menghantarkan sepucuk surat. Prabu Kresna dan Prabu Baladéwa menyambut sang ibu asuh. Begitu surat ada di tangan, Prabu Kresna membacanya lalu sejenak ia diam saja. Prabu Baladéwa mengambil surat itu dan membaca isinya. Isi surat itu demikian " Teruntuk Adhiku Kanha. Maafkan hamba yang sudah lama mangkir. Hamba sedang memperbaiki rumah kita di Widarakandang dan Warsana untuk dijadikan bangsal Kepatihan. Aku sebagai saudara memohon maaf sebesar besarnya jika kakak kalian ini lancang. Terima kasih...tertanda Udawa." Prabu Baladéwa marah luar biasa karena Desa Widarakandang adalah termasuk wilayah Mandura, bukan Dwarawati dan itu berarti Patih Udawa telah lancang melangkahi dirinya. Kemarahan Prabu Baladéwa itu pun dilampiaskannya kepada Nyai Yasodha " ibu, apa-apaan Kelakuan Kakang Patih....Ibu tidak becus mendidik anak! Kakang Udawa melangkahiku...pergi Kau Dari Sini!" Nyai Yasodha ketakutan , namu akhirnya ditenangkan oleh Dewi Radha, isteri ruhani Prabu Kresna " Kakang lancang! ibu Yasodha memang hanya ibu asuh kakang, tapi Tidak Sepantasnya seorang anak membentak ibunya. Kakanda Kandha, aku akan menemani ibu pulang. Aku mohon pamit." Prabu Kresna mengizinkannya. Singkat cerita, Dewi Radha segera mohon pamit kembali ke Desa Widarakandang sekalian mengantar ibu Yasodha. Prabu Baladéwa yang masih marah segera berangkat ke Widarakandang untuk menghentikan niat Udawa. Sekepergian sang kakak, Prabu Kresna khawatir dengan keselamatan Udawa, Radha dan ibu Yasodha maka ia segera mengutus Arya Sencaki mengikuti Radha dan Yasodha. Sementara itu ia akan menyusul.

Singkat waktu, Nyai Yasodha dan Dewi Radha menemui patih Udawa. Patih Udawa sedang duduk berdua dengan Dewi Antiwati, isterinya. Nyai Yasodha langsung marah-marah kepada Patih Udawa " Udawa, kamu berani bikin ibu malu. Aku pikir surat itu surat cuti, tapi karena suratmu itu, ibu kena damprat adhimu, Balarama! Pokoknya cepat buat permohonan maaf pada adhi-adhimu!" Patih Udawa balik keheranan " lah, kan surat yang ku kirimkan memang bukan surat cuti, tapi surat izin membangun rumah kita jadi kepatihan. Harusnya itu untuk ditujukan adhi Kanha saja. Balarama lancang membaca suratku." Dewi Radha menenangkan suasana dan berkata " aku juga kaget kakang. Kakang kenapa berani sekali mau membangun kepatihan di sini. Kakang tahu kan Widarakandang dan Warsana masih wilayah Mandura." Udawa berkata " Radha, itu ada alasannya. Ayah Nanda sudah menerima mandat dari ayah Basudewa tentang status Warsana dan Widarakandang sejak aku masih kecil." Di tengah tegangnya suasana, datang lah Pragota, adik nomor lima Udawa bersama para Kurawa. Ia membawa kabar "kakang, aku mendapat mandat dari kakang Balarama. Batalkan niat kakang untuk membangun rumah ini jadi kepatihan!" Udawa sudah bersumpah akan menghentikan siapapun yang menghalangi niatnya, meski itu saudaranya sendiri. "Maaf, adhi Pragota. Aku tidak akan membatalkan niatku. Sekali layar terkembang, surut bagiku berpantang."

Karena terus ada perdebatan dan tiada satu pun yang mengalah, maka pertarungan tak terhindarkan. Terjadilah perkelahian antara Udawa dan Pragota. Kakak dan adik saling bertarung satu sama lain hingga di satu kesempatan Pragota terkena goresan Keris Kyai Blabar milik Udawa. Begitu mengetahui apa yang telah terjadi, Patih Sengkuni segera mengerahkan para Kurawa untuk mengeroyok Patih Udawa. Pada saat itulah Arya Sencaki muncul dari persembunyian. Sejak tadi ia mengintai percakapan Patih Udawa dan Patih Pragota. Begitu melihat para Kurawa datang untuk ikut campur, ia segera maju menghadapi mereka. " Kalian para Kurawa tidak habis-habisnya ikut campur urusan orang lain. Ladeni aku sekarang!" Maka, terjadilah pertempuran seru di halaman rumah Nyai Yasodha. Patih Udawa dan Arya Sencaki bekerja sama dan berhasil memukul mundur Arya Dursasana beserta saudara-saudaranya.

Radha dan Kresna menyarankan Udawa ke Wirata
Lalu beberapa saat kemudian, Prabu Kresna datang dan berkata " aku merasa masalah ini akan berlarut-larut kalau tidak dibawa ke notaris atau ahli hukum pertanahan. Untuk mendapatkan ahlinya kau harus ke raja terbijak di daratan Jawadwipa ini. Udawa, cepat kau ke Wirata. Cari dukungan dan bantuan hukum kepada Prabu Matswapati." Udawa pun mematuhi perintah adik sekaligus rajanya itu. Tapi Udawa merasa rendah diri kalau harus berhadapan langsung dengan Prabu Matswapati, maka ia meminta agar Arjuna menemaninya. Ia mohon pamit berangkat menuju Madukara. Prabu Kresna kemudian memerintahkan Arya Sencaki untuk melindungi Nyai Yasodha, Dewi Radha, dan para penduduk desa sedangkan ia akan mengamati persengketaan ini dari kejauhan. Sementara itu, Prabu Baladewa terus dikompori Sengkuni agar segera meluruk desa Widarakandang dan Warsana. " anak prabu, kakang mu itu memang tidak tau terima kasih. Mentang-mentang dia anak pertama ayahmu Basudewa, dia bisa seenaknya. Sebelum dia pergi dari desa ini, cepat kejar dia. Lalu perintahkan pasukan Mandura meluruk desa. Soal siapa penanggung jawab, biar aku yang mengatasi di sini." Prabu Baladéwa termakan komporan Sengkuni, ia naik gajah Puspadentha, dan segera mengejar Patih Udawa bersama Patih Hadimanggala yang sedari tadi bersama Adipati Karna dan Prabu Baladéwa. Begitu Baladéwa pergi, Patih Sengkuni mulai mengepung désa Widarakandang dan Warsana dari segala sisi. Sengkuni ternyata punya motif lain, yakni memisahkan putrinya, Antiwati dengan Udawa.

Setalah jauh berjalan, Patih Udawa sampai di pinggir desa Karangtumaritis, tempat tinggal kakek Semar. Namun baris aja hendak menginjakkan kaki, datanglah seorang berpakaian serba hitam dan memakai topeng hendak membunuhnya. Patih Udawa segera menangkis serangannya. Keduanya sama sakti dan sama hebatnya. Pertempuran mereka mengejutkan kakek Semar dan para punakawan yang baru pulang dari sawah. Kakek Semar dengan kentut sakti miliknya segera menghentikan perkelahian itu dan membuat keduanya terpental. Si orang bertopeng itu terbuka kedoknya yang tak lain Patih Hadimanggala, adik bungsu Udawa. Kakek Semara marah " hamma blegedagbgedug..... helah dalah....kalian berdua bersaudara tapi ingin saling membunuh....otak kalian dimana?!" Patih Udawa balas " aku tidak tau kalau Hadimanggala hendak menyerangku. Hei, apa maksudmu menyerang kakangmu?!" Hadimanggala dengan enteng berkata " kakang maaf saja, aku harus mematuhi perintah kakang Balarama dan kakang Aradeya." Udawa berkata "Hadimanggala!! Kau sama liciknya dengan adhi Aradeya. Padahal jelas-jelas ia tahu kalau para Pandawa itu masih adik-adiknya, tetapi tetap saja mengabdi kepada Prabu Duryudhana. Apalagi yang kau inginkan? kedudukan dan kemewahan duniawi? Kakang sangat benci melihat manusia licik sepertimu. Kau bukan lagi adikku. Aku tidak pernah ingat punya adik sepertimu" Hadimanggala merasa makjleb, apa yang dikatakan kakangnya ada benarnya. Udawa kecewa maka ia lanjut ke Madukara. Hadimanggala merenungi semua kesalahannya.

Sesampainya di sana, Patih Udawa segera menyampaikan salam hormat kepada Arjuna dan para istri, lalu menceritakan semua permasalahan yang ia hadapi. Arjuna merasa keberatan " aku bukan tidak mau. Berat rasanya aku harus mendampingimu untuk menghadap eyang Prabu Matswapati. Aku juga segan dengan kakang Balarama" Udawa pun berkata " ampun adhi, aku mohon dengan kerendahan hati adhi untuk menemaniku. Itu saja, selain itu aku tidak akan minta apa-apa lagi." Tetap saja, Arjuna masih tidak enak hati maka ia menolak dengan halus. Niken Larasati memohon pada suaminya " kanda, tolonglah kakang Udawa sekali ini saja. Mau bagaimana pun, Kakang Udawa itu kakak iparmu juga." Arjuna tetap bersikukuh dengan jawabannya. Udawa putus asa lalu berkata " baiklah, kalau Adhi tidak mau tidak apa-apa. Aku akan berangkat sendiri! Aku pamit." Dewi Sumbadra marah-marah dengan sikap acuh tak acuh suaminya. " Kanda kulup ini bagaimana?! sejak kecil kakang Udawa sudah seperti kakak sulungku, melebihi kakang Balarama sendiri. Aku tidak bisa tak kenang budi. Lebih baik aku dan Dinda Larasati pergi, membantu kakang Udawa." Maka pergilah Sumbadra dan Larasati menyusul kakang tertua mereka itu.

Arjuna kesal hati isteri-isterinya malah bersikap lancang begitu. Kakek Semar menyabarkan Arjuna " lha...ndoro itu harusnya bangga punya isteri yang masih ingat balas budi dan balas jasa." Arjuna menyadari kesalahannya. Lalu datang Baladéwa yang mencari-cari Udawa. Arjuna berkata " kakang Balarama terlambat, sekarang kakang patih dinda kulup, dan dinda Larasati sudah berangkat ke Wirata. Sebagai seorang raja, baiknya kakang menempuh jalur hukum, bukan dengan dendam dan marah-marah gak jelas. Ayo kita susul mereka ke Wirata." Baladéwa merasa apa yang dikatakan Arjuna ada benarnya. Maka mereka menyusul ke Wirata. Sesampainya di Wirata, prabu Matswapati menyambut kedatangan Patih Udawa, Sumbadra, dan Larasati. Lalu menyusul kemudian Prabu Baladéwa dan Arjuna didampingi para Punakawan. Yang terakhir datang yakni Patih Pragota dan Patih Hadimanggala, kali ini tanpa Adipati Karna. Di sana juga turut hadir Prabu Yudhistira, Arya Wrekodara, dan Prabu Kresna membantu mediasi. Dewi Sumbadra menjadi juru bicara Patih Udawa membacakan tuntutan sang kakang tertua "ampun eyang prabu, aku sebagai wakil saudara Udawa meminta keadilan." Prabu Matswapati pun berkata " keadilan apa yang hendak saudara dapatkan?!" Patih Udawa menjelaskan "ampun eyang prabu, mendiang ayah Basudewa telah menyerahkan Desa Widarakandang dan désa Warsana sepenuhnya kepada mendiang ayah Nanda Antagopa, dan tidak lagi berada di bawah Kerajaan Mandura." "Apakah ada bukti hitam diatas putih, semacam serah terima, minimal surat bertanda tangan berisi kesepakatan kedua belah pihak?" tanya Prabu Matswapati. Patih Udawa mengakui kalau itu ia tidak punya, karena saat itu hanya ada persetujuan secara lisan dan berupa pidato. Kedua pihak yang bersengketa pun saling berebut benar. Prabu Baladéwa berkata, " kakang tidak bisa membawa bukti hitam diatas putih. Kakang juga bilang kalau waktu itu, persetujuan hanya lewat secara lisan. Itu tidak bisa jadi bukti. Pokoknya tetap bagiku, desa Widarakandang dan Warsana adalah wilayah Mandura, sehingga kakang tidak bisa seenaknya mendirikan kepatihan di sana."

Karena kedua belah pihak makin lama makin alot dan keras debatnya, Prabu Matswapati merasa perlu untuk membuka Kitab Pustakaraja, kitab dari Batara Indra yang memuat semua informasi, daftar, dan kondisi tentang seluruh negara di Jawadwipa dan Hindustan berikut dengan tapal batasnya. Kitab itu akan ikut berubah jika ada perubahan wilayah, peristiwa alam, atau perpindahan kekuasaan dari negara lama ke negara baru sesuai dengan di kenyataan dan perkembangan zaman dan era. Prabu Matswapati segera membaca bab Kerajaan Mandura. Dalam kitab itu terdapat tulisan, " pada hari Tumpak Saniscara, saat perayaan festival Saraswati Wuku Watugunung bulan Wisakhamasa, Tahun XX, Basudewa berterima kasih atas jasa Nanda, Yasodha, dan Wresabanu mengasuh anak-anaknya, yaitu Kakrasana (Balarama), Narayana (Kanha), dan Dewi Bratajaya (Raraireng). Atas jasanya itu, Basudewa pun dihadapan Lurah Nanda Antagopa dan Lurah Wresabanu membebaskan Desa Widarakandang dan Warsana tidak lagi berada di bawah Kerajaan Mandura, dan bebas menentukan nasibnya sendiri." Prabu Baladéwa terdiam dan malu mendengar keterangan tersebut. Ia masih tidak dapat mengakui kemenangan Patih Udawa atas sengketa. Maka, ia lalu menantang Patih Udawa bertanding di halaman istana Wirata. Apabila Patih Udawa mampu menangkis pukulan Senjata Nenggala, maka ia bersedia melepaskan Desa Widarakandang dan Warsana.

Terjadilah pertarungan sengit dan keras. Patih Udawa sadar kalau ia kalah sakti dan bisa terdesak menghadapi kekuatan lawan. Namun, tekad dan semangatnya membara, membuat ia mampu bertahan menghadapi gempuran adiknya. Prabu Baladéwa tampaknya sudah gelap mata. Ia pun menghunus Senjata Nenggala untuk dipukulkan ke tubuh Patih Udawa. Namun, dengan cekatan Patih Udawa mencabut keris pusakanya dan digunakan untuk menangkis senjata tersebut. Prabu Baladéwa heran melihat Patih Udawa memiliki keris ampuh yang mampu menangkis pukulan senjata berbentuk luku sawah itu.

Udawa melawan Baladewa 
Patih Udawa menjelaskan " ini pusakaku, Keris Kyai Blabar. Ini keris milik ibu Yasodha." Ditengah keheranan itu, muncul suara seruling yang merdu menambah semangat Udawa dan segera menyerang Baladéwa sehingga Nenggala terlepas. Lalu datang Nyai Yasodha, Dewi Radha, Dewi Antiwati, dan Arya Sencaki menghentikan perkelahian. Prabu Baladéwa bertanya pada ibu asuh nya itu " ibu, darimana ibu mendapatkan keris Kyai Blabar? Setahu ku cuma keluarga inti saja yang dapat keris ini?" Nyai Yasodha menjelaskan" anakku, sewaktu ayahmu menjadikan desa Widarakandang dan Warsana ini perdikan swatantra, ayahmu memberikan keris ini sebagai bukti hitam di atas putihnya dan Udawa juga anak Prabu Basudewa walau cuma anak selir sepertiku, dia tetap keluarga inti Mandura." Lalu Dewi Radha mengeluarkan selembar surat dari ikat pinggangnya" kakang, aku juga membawa bukti kalau desa Warsana juga dijadikan sebagai daerah perdikan. Isi surat ini dibuat setalah hari Saraswati dan ditanda tangani ayahku, Wresabanu dan gusti prabu Basudewa." Dewi Sumbadra juga mengingatkan " kakang, apa kakang ingat waktu kita masih tinggal di desa, jadi penggembala dan petani dulu. Kakang Udawa yang selalu menolong kita. Ketika kakang marah, kakang Udawa bersedia mendengar keluh kesah kakang. Ingatlah juga waktu Batara Indra hendak menghancurkan desa dengan badai, ketika kakang Kanha berusaha mengangkat bukit Gowardhana, kakang Udawa yang membantu kita dan para warga masuk ke kolong bukit. Tolong ingat masa-masa indah itu." Teringat pada cerita itu, hati Prabu Baladéwa luluh dan kemarahannya reda. Ia segera memeluk Patih Udawa dan meminta maaf atas segala sikap kasarnya selama ini. Mulai sekarang, ia mengakui Patih Udawa sebagai kakak tertua. Patih Pragota dan Patih Hadimanggala juga meminta maaf pada Udawa atas tindakan konyolnya. Patih Udawa memaafkan ketiga adiknya.

Dewi Antiwati lalu memotong. Ia pun bersimpuh minta maaf " kanda Udawa maafkan aku....aku yang sudah sembarangan cerita kepada ayahanda Sengkuni. Aku tidak tahu kalau ayahanda akan memutar balikkan fakta ini. Tolong maafkan aku, aku janji tidak akan bercerita apapun lagi kepada ayahanda. Aku bersumpah cukup masalah kita hanya keluar di sekitar tempat tidur kita, orang lain selain di rumah tak akan tahu apa-apa." Patih Udawa luluh dan memaafkan isterinya. Lalu Dewi Antiwati berkata sekarang keadaan desa Widarakandang dan Warsana sedang genting. Patih Sengkuni dan Para Kurawa mengepung désa sehingga terjadi kekacauan. Rupanya motif lain para Kurawa dan sang ayah selain hendak mengadu domba keluarga besar Yadawa dan menceraikannya dengan sang suami adlaah ingin mengeruk kekayaan desa Widarakandang dan Warsana yang terkenal dengan peternakannya yang makmur. Prabu Baladéwa lengah dan menyesal. Singkat cerita, mereka semua menuju ke desa Widarakandang dan Warsana. Keadaan di desa benar-benar kacau. Begitu melihat Antiwati sudah bersama lagi dengan Udawa, Para Kurawa segera maju untuk menyeret sepupu mereka itu. Melihat ini, Arya Wrekodara dan Patih Udawa segera maju menghadapi. Arya Wrekodara tidak suka ada orang yang merusak rumah tangga orang lain, bahkan makin tidak suka melihat para Kurawa berbuat onar di rumah orang lain, apalagi berniat menindas seorang perempuan di sana. Sengit pertempuran antara Udawa dan Wrekodara dan akhirnya mereka berhasil memukul mundur para sepupunya itu kembali ke Hastinapura. Adipati Karna yang dari awal tidak ikut-ikutan berterima kasih kepada sang adik, Arya Wrekodara "adhiku, terimakasih atas bantuanmu...adhi patih agaknya terbawa kata-kata paman Sengkuni. Aku benar-benar berterima kasih karena melindungi adhi patih. Bagaimana pun ini kampung halaman adhi juga." " Tidak perlu sungkan, kakang Karna. Aku juga berterimakasih karena kakang bersedia bersikap netral dari awal." Keduanya pun berpisah kembali ke Awangga. Sejak saat itu, Widarakandang berubah jadi kepatihan dan Warsana menjadi sentra peternakan yang ramai. Jabatan kepala Desa Warsana akan tetap dipegang oleh Dewi Radha.

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar