Hai semua pembaca dan penikmat cerita wayang sekalian. Kali ini penulis akan menceritakan kisah tentang usaha Patih Udawa membangun Desa Widarakandang dan Desa Warsana menjadi daerah Kepatihan. Niatnya ini mendapat halangan dari Prabu Baladewa, yang telah dihasut oleh Patih Sengkuni dan susahnya menemukan bukti hitam di atas putih tentang nasib desa Widarakandang dan Warsana. Namun Patih Udawa mendapat haknya dengan bantuan Prabu Matswapati dan Dewi Radha. Kisah ini mengambil sumber dari blog albumkisahwayang.blogspot.com dengan pengubahan, dan penyesuaian seperlunya.
Pada suatu hari yang
cerah, Prabu Sri Kresna dan Prabu Baladéwa sedang duduk membahas Patih Udawa
yang sampai hari ini masih di desa Widarakandang. Lalu datang ibu asuh mereka,
Nyai Yasodha menghantarkan sepucuk surat. Prabu Kresna dan Prabu Baladéwa
menyambut sang ibu asuh. Begitu surat ada di tangan, Prabu Kresna membacanya
lalu sejenak ia diam saja. Prabu Baladéwa mengambil surat itu dan membaca
isinya. Isi surat itu demikian " Teruntuk Adhiku Kanha. Maafkan hamba yang
sudah lama mangkir. Hamba sedang memperbaiki rumah kita di Widarakandang dan Warsana untuk
dijadikan bangsal Kepatihan. Aku sebagai saudara memohon maaf sebesar besarnya
jika kakak kalian ini lancang. Terima kasih...tertanda Udawa." Prabu
Baladéwa marah luar biasa karena Desa Widarakandang adalah termasuk wilayah
Mandura, bukan Dwarawati dan itu berarti Patih Udawa telah lancang melangkahi
dirinya. Kemarahan Prabu Baladéwa itu pun dilampiaskannya kepada Nyai Yasodha
" ibu, apa-apaan Kelakuan Kakang Patih....Ibu tidak becus mendidik anak!
Kakang Udawa melangkahiku...pergi Kau Dari Sini!" Nyai Yasodha ketakutan ,
namu akhirnya ditenangkan oleh Dewi Radha, isteri ruhani Prabu Kresna "
Kakang lancang! ibu Yasodha memang hanya ibu asuh kakang, tapi Tidak Sepantasnya
seorang anak membentak ibunya. Kakanda Kandha, aku akan menemani ibu pulang.
Aku mohon pamit." Prabu Kresna mengizinkannya. Singkat cerita, Dewi Radha
segera mohon pamit kembali ke Desa Widarakandang sekalian mengantar ibu
Yasodha. Prabu Baladéwa yang masih marah segera berangkat ke Widarakandang
untuk menghentikan niat Udawa. Sekepergian sang kakak, Prabu Kresna khawatir
dengan keselamatan Udawa, Radha dan ibu Yasodha maka ia segera mengutus Arya
Sencaki mengikuti Radha dan Yasodha. Sementara itu ia akan menyusul.
Singkat waktu, Nyai
Yasodha dan Dewi Radha menemui patih Udawa. Patih Udawa sedang duduk berdua
dengan Dewi Antiwati, isterinya. Nyai Yasodha langsung marah-marah kepada Patih
Udawa " Udawa, kamu berani bikin ibu malu. Aku pikir surat itu surat cuti,
tapi karena suratmu itu, ibu kena damprat adhimu, Balarama! Pokoknya cepat buat
permohonan maaf pada adhi-adhimu!" Patih Udawa balik keheranan " lah,
kan surat yang ku kirimkan memang bukan surat cuti, tapi surat izin membangun
rumah kita jadi kepatihan. Harusnya itu untuk ditujukan adhi Kanha saja.
Balarama lancang membaca suratku." Dewi Radha menenangkan suasana dan
berkata " aku juga kaget kakang. Kakang kenapa berani sekali mau membangun
kepatihan di sini. Kakang tahu kan Widarakandang dan Warsana masih wilayah
Mandura." Udawa berkata " Radha, itu ada alasannya. Ayah Nanda sudah
menerima mandat dari ayah Basudewa tentang status Warsana dan Widarakandang
sejak aku masih kecil." Di tengah tegangnya suasana, datang lah Pragota,
adik nomor lima Udawa bersama para Kurawa. Ia membawa kabar "kakang, aku
mendapat mandat dari kakang Balarama. Batalkan niat kakang untuk membangun
rumah ini jadi kepatihan!" Udawa sudah bersumpah akan menghentikan
siapapun yang menghalangi niatnya, meski itu saudaranya sendiri. "Maaf, adhi
Pragota. Aku tidak akan membatalkan niatku. Sekali layar terkembang, surut
bagiku berpantang."
Karena terus ada perdebatan dan tiada satu pun yang mengalah, maka pertarungan tak terhindarkan. Terjadilah perkelahian antara Udawa dan Pragota. Kakak dan adik saling bertarung satu sama lain hingga di satu kesempatan Pragota terkena goresan Keris Kyai Blabar milik Udawa. Begitu mengetahui apa yang telah terjadi, Patih Sengkuni segera mengerahkan para Kurawa untuk mengeroyok Patih Udawa. Pada saat itulah Arya Sencaki muncul dari persembunyian. Sejak tadi ia mengintai percakapan Patih Udawa dan Patih Pragota. Begitu melihat para Kurawa datang untuk ikut campur, ia segera maju menghadapi mereka. " Kalian para Kurawa tidak habis-habisnya ikut campur urusan orang lain. Ladeni aku sekarang!" Maka, terjadilah pertempuran seru di halaman rumah Nyai Yasodha. Patih Udawa dan Arya Sencaki bekerja sama dan berhasil memukul mundur Arya Dursasana beserta saudara-saudaranya.
Radha dan Kresna menyarankan Udawa ke Wirata |
Setalah jauh berjalan,
Patih Udawa sampai di pinggir desa Karangtumaritis, tempat tinggal kakek Semar.
Namun baris aja hendak menginjakkan kaki, datanglah seorang berpakaian serba
hitam dan memakai topeng hendak membunuhnya. Patih Udawa segera menangkis
serangannya. Keduanya sama sakti dan sama hebatnya. Pertempuran mereka
mengejutkan kakek Semar dan para punakawan yang baru pulang dari sawah. Kakek
Semar dengan kentut sakti miliknya segera menghentikan perkelahian itu dan
membuat keduanya terpental. Si orang bertopeng itu terbuka kedoknya yang tak
lain Patih Hadimanggala, adik bungsu Udawa. Kakek Semara marah " hamma
blegedagbgedug..... helah dalah....kalian berdua bersaudara tapi ingin saling
membunuh....otak kalian dimana?!" Patih Udawa balas " aku tidak tau
kalau Hadimanggala hendak menyerangku. Hei, apa maksudmu menyerang
kakangmu?!" Hadimanggala dengan enteng berkata " kakang maaf saja,
aku harus mematuhi perintah kakang Balarama dan kakang Aradeya." Udawa
berkata "Hadimanggala!! Kau sama liciknya dengan adhi Aradeya. Padahal
jelas-jelas ia tahu kalau para Pandawa itu masih adik-adiknya, tetapi tetap
saja mengabdi kepada Prabu Duryudhana. Apalagi yang kau inginkan? kedudukan dan
kemewahan duniawi? Kakang sangat benci melihat manusia licik sepertimu. Kau
bukan lagi adikku. Aku tidak pernah ingat punya adik sepertimu"
Hadimanggala merasa makjleb, apa yang dikatakan kakangnya ada benarnya. Udawa
kecewa maka ia lanjut ke Madukara. Hadimanggala merenungi semua kesalahannya.
Sesampainya di sana,
Patih Udawa segera menyampaikan salam hormat kepada Arjuna dan para istri, lalu
menceritakan semua permasalahan yang ia hadapi. Arjuna merasa keberatan "
aku bukan tidak mau. Berat rasanya aku harus mendampingimu untuk menghadap
eyang Prabu Matswapati. Aku juga segan dengan kakang Balarama" Udawa pun
berkata " ampun adhi, aku mohon dengan kerendahan hati adhi untuk
menemaniku. Itu saja, selain itu aku tidak akan minta apa-apa lagi." Tetap
saja, Arjuna masih tidak enak hati maka ia menolak dengan halus. Niken Larasati
memohon pada suaminya " kanda, tolonglah kakang Udawa sekali ini saja. Mau
bagaimana pun, Kakang Udawa itu kakak iparmu juga." Arjuna tetap
bersikukuh dengan jawabannya. Udawa putus asa lalu berkata " baiklah,
kalau Adhi tidak mau tidak apa-apa. Aku akan berangkat sendiri! Aku
pamit." Dewi Sumbadra marah-marah dengan sikap acuh tak acuh suaminya.
" Kanda kulup ini bagaimana?! sejak kecil kakang Udawa sudah seperti kakak
sulungku, melebihi kakang Balarama sendiri. Aku tidak bisa tak kenang budi.
Lebih baik aku dan Dinda Larasati pergi, membantu kakang Udawa." Maka pergilah
Sumbadra dan Larasati menyusul kakang tertua mereka itu.
Arjuna kesal hati
isteri-isterinya malah bersikap lancang begitu. Kakek Semar menyabarkan Arjuna
" lha...ndoro itu harusnya bangga punya isteri yang masih ingat balas budi
dan balas jasa." Arjuna menyadari kesalahannya. Lalu datang Baladéwa yang
mencari-cari Udawa. Arjuna berkata " kakang Balarama terlambat, sekarang
kakang patih dinda kulup, dan dinda Larasati sudah berangkat ke Wirata. Sebagai
seorang raja, baiknya kakang menempuh jalur hukum, bukan dengan dendam dan
marah-marah gak jelas. Ayo kita susul mereka ke Wirata." Baladéwa merasa
apa yang dikatakan Arjuna ada benarnya. Maka mereka menyusul ke Wirata.
Sesampainya di Wirata, prabu Matswapati menyambut kedatangan Patih Udawa, Sumbadra,
dan Larasati. Lalu menyusul kemudian Prabu Baladéwa dan Arjuna didampingi para
Punakawan. Yang terakhir datang yakni Patih Pragota dan Patih Hadimanggala,
kali ini tanpa Adipati Karna. Di sana juga turut hadir Prabu Yudhistira, Arya
Wrekodara, dan Prabu Kresna membantu mediasi. Dewi Sumbadra menjadi juru bicara
Patih Udawa membacakan tuntutan sang kakang tertua "ampun eyang prabu, aku
sebagai wakil saudara Udawa meminta keadilan." Prabu Matswapati pun
berkata " keadilan apa yang hendak saudara dapatkan?!" Patih Udawa
menjelaskan "ampun eyang prabu, mendiang ayah Basudewa telah menyerahkan
Desa Widarakandang dan désa Warsana sepenuhnya kepada mendiang ayah Nanda
Antagopa, dan tidak lagi berada di bawah Kerajaan Mandura." "Apakah
ada bukti hitam diatas putih, semacam serah terima, minimal surat bertanda
tangan berisi kesepakatan kedua belah pihak?" tanya Prabu Matswapati.
Patih Udawa mengakui kalau itu ia tidak punya, karena saat itu hanya ada
persetujuan secara lisan dan berupa pidato. Kedua pihak yang bersengketa pun
saling berebut benar. Prabu Baladéwa berkata, " kakang tidak bisa membawa
bukti hitam diatas putih. Kakang juga bilang kalau waktu itu, persetujuan hanya
lewat secara lisan. Itu tidak bisa jadi bukti. Pokoknya tetap bagiku, desa
Widarakandang dan Warsana adalah wilayah Mandura, sehingga kakang tidak bisa
seenaknya mendirikan kepatihan di sana."
Karena kedua belah pihak
makin lama makin alot dan keras debatnya, Prabu Matswapati merasa perlu untuk
membuka Kitab Pustakaraja, kitab dari Batara Indra yang memuat semua informasi,
daftar, dan kondisi tentang seluruh negara di Jawadwipa dan Hindustan berikut
dengan tapal batasnya. Kitab itu akan ikut berubah jika ada perubahan wilayah,
peristiwa alam, atau perpindahan kekuasaan dari negara lama ke negara baru
sesuai dengan di kenyataan dan perkembangan zaman dan era. Prabu Matswapati
segera membaca bab Kerajaan Mandura. Dalam kitab itu terdapat tulisan, "
pada hari Tumpak Saniscara, saat perayaan festival Saraswati Wuku Watugunung
bulan Wisakhamasa, Tahun XX, Basudewa berterima kasih atas jasa Nanda, Yasodha,
dan Wresabanu mengasuh anak-anaknya, yaitu Kakrasana (Balarama), Narayana
(Kanha), dan Dewi Bratajaya (Raraireng). Atas jasanya itu, Basudewa pun
dihadapan Lurah Nanda Antagopa dan Lurah Wresabanu membebaskan Desa
Widarakandang dan Warsana tidak lagi berada di bawah Kerajaan Mandura, dan
bebas menentukan nasibnya sendiri." Prabu Baladéwa terdiam dan malu
mendengar keterangan tersebut. Ia masih tidak dapat mengakui kemenangan Patih
Udawa atas sengketa. Maka, ia lalu menantang Patih Udawa bertanding di halaman
istana Wirata. Apabila Patih Udawa mampu menangkis pukulan Senjata Nenggala,
maka ia bersedia melepaskan Desa Widarakandang dan Warsana.
Terjadilah pertarungan sengit dan keras. Patih Udawa sadar kalau ia kalah sakti dan bisa terdesak menghadapi kekuatan lawan. Namun, tekad dan semangatnya membara, membuat ia mampu bertahan menghadapi gempuran adiknya. Prabu Baladéwa tampaknya sudah gelap mata. Ia pun menghunus Senjata Nenggala untuk dipukulkan ke tubuh Patih Udawa. Namun, dengan cekatan Patih Udawa mencabut keris pusakanya dan digunakan untuk menangkis senjata tersebut. Prabu Baladéwa heran melihat Patih Udawa memiliki keris ampuh yang mampu menangkis pukulan senjata berbentuk luku sawah itu.
Udawa melawan Baladewa |
Dewi Antiwati lalu
memotong. Ia pun bersimpuh minta maaf " kanda Udawa maafkan aku....aku
yang sudah sembarangan cerita kepada ayahanda Sengkuni. Aku tidak tahu kalau
ayahanda akan memutar balikkan fakta ini. Tolong maafkan aku, aku janji tidak
akan bercerita apapun lagi kepada ayahanda. Aku bersumpah cukup masalah kita
hanya keluar di sekitar tempat tidur kita, orang lain selain di rumah tak akan
tahu apa-apa." Patih Udawa luluh dan memaafkan isterinya. Lalu Dewi
Antiwati berkata sekarang keadaan desa Widarakandang dan Warsana sedang
genting. Patih Sengkuni dan Para Kurawa mengepung désa sehingga terjadi
kekacauan. Rupanya motif lain para Kurawa dan sang ayah selain hendak mengadu
domba keluarga besar Yadawa dan menceraikannya dengan sang suami adlaah ingin
mengeruk kekayaan desa Widarakandang dan Warsana yang terkenal dengan
peternakannya yang makmur. Prabu Baladéwa lengah dan menyesal. Singkat cerita,
mereka semua menuju ke desa Widarakandang dan Warsana. Keadaan di desa benar-benar
kacau. Begitu melihat Antiwati sudah bersama lagi dengan Udawa, Para Kurawa
segera maju untuk menyeret sepupu mereka itu. Melihat ini, Arya Wrekodara dan
Patih Udawa segera maju menghadapi. Arya Wrekodara tidak suka ada orang yang
merusak rumah tangga orang lain, bahkan makin tidak suka melihat para Kurawa
berbuat onar di rumah orang lain, apalagi berniat menindas seorang perempuan di
sana. Sengit pertempuran antara Udawa dan Wrekodara dan akhirnya mereka
berhasil memukul mundur para sepupunya itu kembali ke Hastinapura. Adipati
Karna yang dari awal tidak ikut-ikutan berterima kasih kepada sang adik, Arya
Wrekodara "adhiku, terimakasih atas bantuanmu...adhi patih agaknya terbawa
kata-kata paman Sengkuni. Aku benar-benar berterima kasih karena melindungi adhi
patih. Bagaimana pun ini kampung halaman adhi juga." " Tidak perlu
sungkan, kakang Karna. Aku juga berterimakasih karena kakang bersedia bersikap
netral dari awal." Keduanya pun berpisah kembali ke Awangga. Sejak saat
itu, Widarakandang berubah jadi kepatihan dan Warsana menjadi sentra peternakan
yang ramai. Jabatan kepala Desa Warsana akan tetap dipegang oleh Dewi Radha.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar