Hai semua pembaca dan penikmat kisah pewayangan, mumpung penulis lagi longgar, kali ini penulis posting kisah lagi. Kisah kali ini menceritakan masa pengasingan Pandawa berakhir dan sebelum memulai hukuman nyamur (penyamaran), Prabu Yudhistira diuji dengan terbunuhnya keempat saudaranya ketika menemukan sebuah telaga di tengah hutan dan demi menghidupkan saudaranya, Yudhistira harus menjawab pertanyaan yang diajukan seorang Yaksha penguasa telaga itu. Kisah ini mengambil sumber dari blog https://caritawayang.blogspot.com/2012/08/telaga-beracun-dan-dharma-prashna.html dan Serial Kolosal Mahabharat Starplus dengan perubahan dan penambahan seperlunya.
Setelah sebelas tahun
hidup di pengasingan yang penuh ujian, tiga hari yang tersisa adalah hari
terakhir di tahun ke dua belas dan hukuman ngenger (menyamar/nyamur) akan
Pandawa dan Dewi Drupadi lakukan selama satu tahun tanpa ketahuan segera dimulai.
Para Pandawa sudah matang menghadapi berbagai masalah di dalam hutan, mulai
dari datangnya Resi Durwasa, guru ibu mereka beserta beberapa muridnya yang
minta makan di saat makanan sudah habis, penculikan Dewi Drupadi oleh Prabu
Jayadrata, hingga kelaparan kala Petruk menjadi raja. Namun ada satu peristiwa
dimana kebijaksanaan dan keadilan Prabu Yudhistira benar-benar diuji.
Ketika itu, Dewi Drupadi
melihat seekor menjangan memakan sisa sesaji dan tak sengaja, menjangan membawa
wadah air minum milik Drupadi di tanduknya. Dewi Drupadi berusaha mengejar
namun sang menjangan lari begitu cepat ke dalam hutan. Prabu Yudhistira yang
melihat isterinya kelelahan lalu menyuruh Arya Sadewa untuk menyusul menjangan
itu " Sadewa cepat kejar menjangan itu. Persediaan air kita semua ada di
tanduk menjangan." "Baiklah kakangku!" Arya Sadewa lalu masuk ke
hutan namun sejak saat itu tak kunjung kembali. Prabu Yudhistira khawatir,
begitu juga kakak kembar Sadewa, yakni Arya Nakula. "Kakang, adhi Sadewa
sudah berapa jam tidak kembali. Aku akan mencarinya." Arya Nakula segera
mencari adiknya itu namun sampai malam belum ketemu. Nakula semakin masuk jauh
ke dalam hutan dan akhirnya ia ikut menghilang. Prabu Yudhistira semakin cemas
sekarang dua adiknya menghilang dibalik rimbunnya hutan. adik Yudhistira yang
nomor dua dan tiga, Arya Wrekodara dan Raden Arjuna ikut risau, begitu juga
Dewi Drupadi. Raden Arjuna memutuskan akan masuk ke dalam hutan " kakang,
ini aneh dua adik kita sudah pergi terlalu lama. Aku risau kalau mereka ada
sesuatu. Aku akan pergi mencarinya." . Singkat cerita, Arjuna menemukan
sebuah telaga jauh di dalam hutan dan belum pernah mereka lihat sebelumnya. Di
pinggir telaga itu ada dua jasad terbujur kaku yang tak lain tak bukan adalah
jasad Nakula dan Sadewa. Marahlah Arjuna karena kedua adiknya tewas misterius.
Namun ia tiba-tiba kerongkongannya dahaga. Maka ia menciduk sedikit air telaga
lalu tanpa dinyana ia langsung jatuh terkulai dan tewas.
Makin naiklah kerisauan
Prabu Yudhistira karena sama seperti Nakula dan Sadewa, Arjuna juga tak kunjung
kembali. Arya Wrekodara. " Waaa....Kakang, aku ngrasa onok barang gak
nggenah dengan hutan ini. Sepertinya di pelosok hutan sana ada sesuatu ingin menjebak kita
selamanya. Aku akan memeriksanya." Sama seperti yang lain, Arya Wrekodara
masuk ke jauh ke hutan tempat menghilangnya Nakula, Sadewa, dan Arjuna. Tak
lama ia menemukan telaga dan mendapati ketiga adiknya kini terbujur kaku. Panas
baran hatinya. Karena ia haus, ia hendak mengambil sedikit air telaga terdengar
suara misterius "hoii, manusia! jangan ambil air telagaku atau kau akan
bernasib sama seperti mereka." Wrekodara yang juga dipanggil Bhima mulai
murka "Hei, bajingan! Keluar kau...beraninya kau membunuh adik-adikku.
Tampakkan wujudmu!" Arya Wrekodara terus menunggu kemunculan sosok yang
membunuh adik-adiknya namun karena tak tahan lagi dengan dahaganya, Wrekodara
menciduk air telaga dan mminumnya. Tiba-tiba, Arya Wrekodara limbung dan jatuh
tersungkur sama seperti adik-adiknya, langsung tewas begitu saja.
Prabu Yudhistira tak tahan lagi, maka ia ikut mencari ke dalam rimba yang gelap. Dewi Drupadi untuk sementara ia titipkan pada kakek Semar dan para punakawan. "Kakang bawa kembali adhi-adhi kita. Aku merasa bersalah sudah menyuruh mereka mengambil wadah air kita." " Sudah tidak usah dipikirkan, istriku. Sekarang doakan saja semoga kakanda dan adhi-adhi selamat tanpa kurang satu apapun. Paman Semar, tolong jaga dinda Panchali." " Hmmm lelalelo...baik ndoro.....mari gusti permaisuri." Singkat cerita, Prabu Yudhistira masuk jauh ke hutan dan menemukan telaga dan di pinggirnya tepat di sebelah tempatnya berdiri, jasad keempat adiknya berada.
Raja Yaksha menguji Prabu Yudhistira |
Prabu Yudhistira menangis
hingga ia merasa dahaga maka ia mendekati telaga hendak menciduk airnya lalu
ada suara " hoii, kalau kamu tidak ingin bernasib sama dengan keempat
saudaramu, jangan ambil air telagaku!" Prabu Yudhistira terkesiap lalu berteriak "siapa kau? Rupanya Kau yang
menghabisi nyawa adik-adikku..Tunjukkan wujudmu!" Beberapa saat kemudian
datanglah dari angkasa seekor bangau tongtong. Bangau tongtong itu berubah
menjadi seorang yaksha (raksasa) "hai prabu dari Amarta yang dibuang dari
negerinya, aku lah penguasa telaga ini. Aku adalah Raja Yaksha pemilik telaga yang
mampu berubah wujud jadi apa saja. Keempat adikmu telah minum air telagaku
tanpa izin. Karena kebodohan dan kelancangan mereka, aku pun membunuh mereka
berempat....hahahahaha" Prabu Yudhistira berkata " air dari telaga
ini bukan milik siapapun kecuali Hyang Widhi. Apa hakmu membunuh setiap orang
yang minum air telaga ini padahal banyak hewan yang tanpa izinmu minum dan
tinggal di dalamnya? Kehidupan, kematian ,dan hak-hak hidup makhluk di sini
adalah urusan dia dan sang Pencipta. Mengambil air disini bukan dosa atau kejahatan, menurut hukum yang berlaku kau harus mengabulkan segala keinginanku! Hidupkan kembali adik-adikku!" Yaksha itu berkata " hahaha aku
suka dengan caramu berbicara. Baiklah aku mau memberimu sebuah tantangan.
Kalau kau mau minum air telaga ini dan adikmu bisa dihidupkan kembali, kau harus menjawab berbagai pertanyaan
dariku." prabu Yudhistira menyanggupinya. Sang yaksha bertanya
"apakah lebih berat dan menghidupi daripada dunia ini, lebih luhur dan
tinggi daripada angkasa, yang paling banyak di bumi ini, dan yang tercepat
daripada angin?"
Prabu Yudhistira menjawab
"yang lebih berat dan menghidupi daripada dunia ini adalah Ibu. Yang lebih
tinggi dan luhur daripada angkasa adalah Ayah. Yang terbanyak di alam ini
adalah kerisauan dan kekhawatiran, serta yang tercepat daripada angin adalah
pikiran liar kita."
Sang yaksa kembali
bertanya "siapakah teman seorang pengembara, seorang yang buta, seorang yang sakit dan seorang
tengah sekarat?" prabu Yudhistira menjawab"teman seorang pengembara
adalah pendampingnya, teman dari orang buta adalah tongkatnya, teman seorang yang sakit adalah tabib, dan teman
seorang yang sekarat menjemput ajal adalah amal perbuatannya."
Sang yaksha bertanya lagi
"penyakit apa yang selalu menghinggapi manusia dan tak bisa sembuh? Siapa
musuh manusia yang nyata namun tidak terlihat?" "ketidakpuasan adalah
penyakit yang tak bisa disembuhkan dan selalu menghinggapi manusia. Musuh
manusia yang paling nyata namun tak terlihat adalah iri hati dan
kemarahan." sang yaksha kembali bertanya "siapa dia yang mulia dan yang
hina? Apa yang jika ditinggalkan akan menjadikan kaya dan bahagia?" prabu
Yudhistira menjawab "dia yang mulia adalah orang yang menyebarkan welas asih
kepada siapapun dan yang hina adalah manusia tangan besi yang tak mengenal maaf
dan belas kasih. Keserakahan, hasrat yang liar, dan kesombongan adalah sesuatu
yang jika ditinggalkan akan membuat kita kaya dan bahagia." Yaksha
bertanya lagi "siapa manusia paling bahagia di muka bumi dan apa keajaiban
terbesar dunia ini?" Prabu Yudhistira menjawab "orang yang tidak punya
hutang apapun adalah manusia yang paling bahagia di muka bumi. Setiap hari semua
orang pasti mati namun yang masih hidup berharap bisa hidup selamanya.
Kebenaran akan Hyang Agung menyusup dan bersembunyi dalam relung kalbu. Dunia
yang fana dan penuh tipu daya ini laksana periuk. Siang dan Malam adalah
apinya. Matahari, bulan, dan bintang adalah bahan bakarnya. Makhluk-Nya adalah
bahan yang dimasak. Musim silih berganti adalah sendok kayunya. Namun sang
waktu laksana koki yang memasak itu semua. Inilah keajaiban-Nya yang terbesar
di dunia ini!"
Sang yaksha terkesan dengan jawaban sang sulung pandawa. Maka ia memberi sebuah penawaran "Yudhistira, aku terkesan dengan jawabanmu. Sebagai imbalannya, kamu bisa meminta saudaramu untuk dihidupkan lagi namun aku hanya mampu menghidupkan satu orang saja. Siapa diantara keempat saudaramu yang ingin dihidupkan?" Prabu Yudhistira tanpa ragu berkata "aku memilih Nakula." sang yaksa bertanaya "kenapa Nakula? Dia cuma adik tirimu. Bukankah kamu bisa menghidupkan Bhima yang kuat atau Arjuna yang cekatan tapi kenapa tidak kamu pilih satu dari mereka?" " Kalau aku menghidupkan adikku Bhima atau Arjuna, mereka akan larut dalam yang namanya duka dan lemah hati. ibuku juga akan berduka selamanya." sang Yaksha berkata "jelas ibumu tidak akan senang melihat anaknya yang masih hidup tinggal dua. Apa akau ingin menjebakku dalam permainanmu?" Prabu Yudhistira menjawab dengan skakmat "Aku haruslah adil. Ayahku, Prabu Pandhu Dewanata punya dua isteri. Aku putra Pandhu dari ibu Kunthi sedangkan Nakula adalah putra Pandhu dari ibu Madrim. Maka aku memilih Nakula agar keturunan ibu Madrim tidak terputus nasabnya dan ibuku Dewi Kunthi akan menerima itu dengan suka hati."
Batara Dharma menghidupkan kembali empat Pandawa |
Apa yang diwejang oleh Prabu Yudhistira adalah wahyu Dharma Prasna dan semua isi ajaran itu telah diwejang dan didengar keempat adiknya saat mati suri. Batara Dharma memberikan anugerah kepada lima Pandawa dengan ajian Kawrastrawam dan Aji Kemayan agar tidak bisa dikenali oleh siapapun termasuk para Kurawa maupun Prabu Kresna yang titisan dewa. Kembali lah Para Pandawa ke gubuk dan Dewi Drupadi bersyukur suami dan empat iparnya selamat tanpa suatu hal apapun. Prabu Yudhistira lalu mengajari mantra aji Kawrastrawam dan Aji Kemayan kepada sang isteri. Keesokan harinya, ketika para Kurawa hendak mengganggu Pandawa, gubuk milik para Pandawa sudah kosong melompong. Semuanya menghilang tanpa jejak. Meski masih ada sisa waktu satu hari, Para Pandawa, Dewi Drupadi, dan para punakawan memutuskan segera pergi ke suatu tempat dan tepat di hari ketiga, mereka sudah memulai hukuman menyamar (nyamur).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar