Hai-hai, pembaca dan penikmat kisah-kisah pewayangan sekalian. Kali ini penulis menceritakan lakon asli yang belum pernah dipentaskan. Kisah ini menceritakan kelanjutan Wahyu Purbalaras dimana Prabu Yudhistira punya seorang isteri dan anak lagi. Sang anak ini akan membantu mempertemukannya dengan sang isteri kedua meski itu berarti perpisahan diantara keduanya. Sumber yang dipakai berasal dari Kitab Mahabharata karya Mpu Vyasa dengan pengubahan dan penyelarasan seperlunya.
17 tahun yang lalu,
seberkas cahaya seterang matahari meluncur turun ke negeri Saibipura, di
seberang lautan sana. Cahaya itu turun kepada Endang Dewika, putri Prabu
Gowasena raja Saibipura. Seketika, sang putri raja langsung mengandung tanpa
suami. Hal ini sangat mengejutkan rakyat kerajaan Saibipura. Putri raja hamil
tanpa suami. Kabar akan hamilnya Endang Dewika membuat rakyat dan penguasa
kerajaan sekitar menggunjing kerajaan Saibipura sebagai kerajaan tak bermoral. Karena
tak kuat dengan gunjingan kerajaan tetangga, sang raja dan putrinya
mengasingkan diri ke suatu tempat yang jauh. Rakyat Saibipura bersedih hati
ditinggal rajanya "rakyatku, aku terpaksa meninggalkan kalian semata agar
kalian tidak terkena aib dari ini semua." Maka, sang raja merobohkan
istana dan membuat sebuah kapal. Setelah kapal jadi, berangkatlah Prabu
Gowasena dan Endang Dewika. Sebagian rakyat Saibipura terutama para penggawa,
para brahmana, dan rakyat biasa ikut dalam rombongan itu. Kapal mereka berlayar
tanpa tujuan yang jelas, berlayar mengikuti arah angin berhembus. Di tengah
perjalanan, terjadi badai besar. Kapal yang dinaiki raja dan sang putri pecah
setelah ombak pasang menghantamnya dan mengenai batu karang. Banyak orang di
sana yang tak selamat, hanya menyisakan Prabu Gowasena, Endang Dewika, tujuh
orang brahmana dan tiga dari rakyat biasa. Mereka segera menepi di sebuah pulau
karang menunggu hujan dan badai mereda. Beberapa waktu kemudian, badai mereda
dan cuaca kembali cerah. Sembari menunggu pembuatan perahu yang baru, tiba-tiba
perut Endang Dewika kesakitan, sepertinya kontraksi. Air ketubannya pecah. Endang
Dewika merasa ia akan melahirkan. Di tengah pulau antah berantah tengah
samudera dengan bermandikan terangnya cahaya bulan purnama, Endang Dewika
melahirkan hanya dibantu sang ayah dan beberapa rakyat. Lahirlah darinya
seorang putra yang tampan luar biasa. Sang kakek gembira melihat cucunya lahir
selamat dan sehat. Begitu melihat wajah sang cucu, Prabu Gowasena teringat rupa
dan raut wajahnya mirip raja Amarta, Yudhisthira. Sang putri Saibipura
memberikan nama putranya itu "anakku ini tampan, seperti Prabu Yudhistira
dari Amarta. Aku beri nama kamu Bambang Yodeya."
Setelah beberapa lama
terdampar di pulau karang, perahu pun siap. Mereka pun berlayar menyusuri
kearah selatan dan bertemu dengan daratan Jawadwipa. Setelah sampai di
Jawadwipa, keluarga Prabu Gowasena bertekad keluar dari aib dan menuju ke
derajat yang lebih baik. Keluarga raja Saibipura memutuskan hidup menjadi resi pendeta
yang sederhana. Setelah berlajar dari tujuh brahmana, Sang Prabu berganti nama
menjadi Resi Yogani. Beberapa rakyat Saibipura juga menjadi cantrik dan
membangun sebuah desa baru bernama Desa Gowadewa. Perlahan Desa Gowadewa
menjadi sebuah karesian sehingga datanglah para Pandawa membuka alas Wanamarta
dan Kandaparasta.
Tujuh belas tahun
kemudian yakni di masa kini, Prabu Yudhisthira sedang sakit keras. Dewi Drupadi
dan putra-menantunya, Bambang Pancawala dan Dewi Pergiwati berusaha
menyembuhkan sakitnya namun tak kunjung sembuh juga. Begitu juga usaha
adik-adik sang raja Amarta. Bahkan Cangkok Wijayakusuma milik Prabu Kresna
kurang berefek apa-apa. Empat dari Pandawa dan Prabu Kresna risau takut
kalau-kalau sakit sang raja Amarta tidak bisa disembuhkan. Dewi Drupadi lalu
masuk ke sanggar pamujan berdoa " Hyang Jagat Batara, Ida Sanghyang Widhi
Wasa. Suamiku sakit parah dan tak ada satupun benda yang bisa jadi obatnya.
Hamba mohon petunjuk-Mu demi kesembuhannya." Satu malam, dua malam, tiga
malam bahkan sampai tiga puluh malam berlalu belum datang jawaban. Namun tepat
di malam ke 40, Batara Narada turun menjawab doa Drupadi " cucuku, aku
telah datang menjawab doamu. Perlu kamu ketahui cucuku, suami sakit karena tak
kuat menahan murcanya serpihan jiwa Dewi Kuntulwilaten sejak 17 tahun yang
lalu." Dewi Drupadi kaget, bukankah Dewi Kuntulwilaten sudah bersedia satu
jiwa raga dengan sang suami? Batara Narada lalu melanjutkan "benar, tapi
ada serpihan jiwanya yang menghilang dan pergi ke satu tempat. Serpihan jiwa sang
dèwi bernama Wahyu Pêtakwijaya. Cara agar suami bisa sembuh yakni harus
mempertemukan orang yang dipilih Dewi Kuntulwilaten dengan suamimu. Orang terpilih
itu ciri-cirinya hampir mirip dengan Dewi Kuntulwilaten. Sekarang orang itu dan
keluarganya tinggal tak jauh dari sini." Dewi Drupadi pun bangun dan
menceritakan hasil semadinya kepada para iparnya dan prabu Kresna. Para putra
Pandawa dikerahkan mencari orang yang dimaksud. Prabu Yudhistira memaksa ingin
ikut meski sudah dilarang sang isteri dan keempat saudaranya. Meski sudah
dilartang ikut, Prabu Yudhistira tetap memaksa ikut meski harus merangkak
sekalipun. Karena sudah begini, mau tidak mau Bambang Pancawala bersama
Abimanyu, Irawan, dan Brantalaras memikul sang raja Amarta dengan joli
(usungan; tandu)
Sementara itu, di
Hastinapura, Prabu Duryudhana dihadap Patih Sengkuni, Begawan Dorna, Arya
Dursasana, dan Adipati Karna. Mereka membahas kalau telah turun wahyu
Pêtakwijaya. Untuk urusan wahyu dan pulung, Maharesi Bhisma dipanggil. Sang
resi agung itu berkata, "cucuku, wahyu yang turun kali ini adalah pasangan
dari Wahyu Purbalaras milik Dewi Kuntulwilaten. siapapun yang bisa
mendapatkannya maka ia akan berjaya di Bharatayuda. Kabarnya wahyu itu telah
turun di sekitar Amarta.” tepatnya di pertapaan Gowadewa. Adipati Karna
menawarkan diri agar ia yang bisa jadi wadah dari wahyu tersebut. Prabu
Duryudhana berkenan. Singkat kata, berangkatlah sang adipati Awangga diiringi
Arya Dursasana dan ke 98 saudaranya menuju ke Amarta.
Di pertapaan Gowadewa,
Resi Yogani dihadap sang cucu, Bambang Yodeya. Mereka membahas tentang keadaan
Endang Dewika. Sejak pindah ke Jawadwipa, muncul keanehan pada diri Endang
Dewika. Badan Endang Dewika semakin lama semakin lemah dan menjadi tembus
pandang. Bambang Yodeya khawatir tentang nasib sang ibu. Kakeknya, Resi Yogani
berkata kalau telah mendapat kebenaran tentang putrinya. Endang Dewika telah
dipilih Dewi Kuntulwilaten sebagai wadah Wahyu Pêtakwijaya dan pendamping Prabu
Yudhistira bersamanya. Wahyu itu sudah ia dapat 17 tahun lalu, saat masih
tinggal Saibipura ketika seberkas cahaya terang turun dan merasuk ke tubuh
Dewika. Setelah berada di Jawadwipa, wahyu itu srakan sudah menemukan jodohnya.
Bambang Yodeya perhatin namun ia ikhlas dengan kondisi ibunya. Hanya saja, ia
ingin sang ibu dan pulung/wahyu itu jatuh ke orang yang tepat. Maka ia lalu
datang ke hadapan khalayak, mengumumkan sayembara " Dengarlah kalian
semua. Barangsiapa yang bisa bertarung dan mengangkat badanku, maka ia bisa
menikahi ibuku, Endang Dewika dan aku bersedia menerimanya sebagai
ayahku!!!"
Kabar sayembara dari
Bambang Yodeya itu mengudara dengan cepat dan pantas. Adipati dan Para Kurawa
telah datang kesana lebih dahulu. Lalu disusul oleh putra Pandawa yakni Bambang
Pancawala, Arya Antareja, Arya Gatotkaca, Arya Antasena, dan Bambang Srenggini.
Di belakang, datang Abimanyu dan para putra lainnya datang bersama Prabu
Yudhistira yang dipikul joli.Setelah minta izin pada Resi Yogani, Adipati Karna
mulai bertarung dengan Bambang Yodeya. Pertarungan berlangsung sengit. Keduanya
saling bertarung tombak, keris, dan panah. Namun Bambang Yodeya tak bisa
dianggap enteng. Semua serangan dan tolakan berhasil diatasi. Di gelanggang,
Adipati Karna kewalahan dengan sepak terjang Bambang Yodeya. Arya Dursasana
membantunya namun juga kelabakan bahkan para Kurawa juga dibuat kerepotan. Pada
akhirnya mereka tumbang dan kalah. Adipati Karna kalah dari Bambang Yodeya.
Tiba giliran para putra Pandawa. Arya Gatotkaca mulanya melawan Bambang Yodeya namun kalah. Lalu disusul Arya Antareja lalu Abimanyu, Irawan, Brantalaras namun semuanya kalah. Ketika giliran Antasena dan Srenggini, mereka abstain dan menyarankan agar Bambang Pancawala saja yang melawan Yodeya. Bambang Pancawala awalnya menolak " ehhh...aku rasa aku tidak bisa adhiku.....masa aku....kemampuanku belum cukup mumpuni."Antasena meyakinkan sang abang sepupu " Ojo ngomong ngunu, kakang. Kami yakin dengan kemampuanmu." Akhirnya setelah didesak, Pancawala bersedia naik gelanggang.
Pancawala melawan Yodeya |
Yodeya menawarkan
Pancawala menemui ibunya. Namun, Pancawala menolak. Yang berhak menemui Endang
Dewika adalah sang ayah, Prabu Yudhistira. Singkat cerita, Pancawala memapah
sang ayah yang sedang sakit ke dalam kamar Endang Dewika. Di sana mereka
berjumpa dengan Resi Yogani. Keadaan Dewika mirip dengan Dewi Kuntulwilaten,
tubuhnya semakin tembus pandang. Di saat keduanya saling bertemu, Endang Dewika
berkata " duh kakanda ku Yudhistira. Akhirnya kita bisa bertemu. Yodeya
putraku, sembah baktikan dirimu pada ayahmu." Bambang Yodeya kaget
bagaimana mungkin ia adalah putra Yudhistira sementara sang ibu tak pernah
bertemu apalagi menikah dengan sang raja Amarta. Endang Dewika bercerita 17
tahun yang lalu, ia bisa bertemu dengan Prabu Yudhistira ketika Dewi
Kuntulwilaten memberitahukan bahwa ia akan bisa menikahi sang raja Amarta jika
mau menjadi titisan separuh jiwanya yakni Dewi Pêtakwijaya. Endang Dewika
berkata sanggup dan bersedia menanggung segala konsekuensinya. Seketika, Dewi
Pêtakwijaya muncul dan masuk ke tubuh Endang Dewika. Bersamaan dengan
merasuknya Dewi Pêtakwijaya, benih kama dari Prabu Yudhistira juga dibawa serta
dan langsung manjing di gua garbanya. Maka hamillah Endang Dewika kala itu.
Bambang Yodeya terharu mendengarnya. Maka ia langsung menghaturkan sembah
kepada Prabu Yudhistira dan memanggilnya ayah. Prabu Yudhistira berkata "
bangunlah Yodeya, putraku. Kemarilah anakku. Peluk ayahmu ini." Mereka saling
merasakan haru. Resi Yogani juga memeluk menantunya itu. Bambang Pancawala juga
ikut memeluk sang adik. Mereka saling minta maaf. Setelah saling melepas rindu,
Prabu Yudhistira yang dalam keadaan lemah dan sakit memeluk Endang Dewika.
Seketika tubuh transparan sang putri Saibipura itu memudar dan bertukar wujud
sebagai cahaya lalu menyatu ke dalam tubuh Prabu Yudhistira. Wahyu Pêtakwijaya
bersatu kembali dengan Wahyu Purbalaras. Seketika, Prabu Yudhistira sembuh dari
sakitnya. Semua orang bahagia namun juga larut dalam haru. Endang Dewika telah
mengorbankan dirinya demi kesembuhan sang raja Amarta.
Oleh Prabu Yudhistira,
Resi Yogani ditawarkan agar jadi raja lagi Di Saibipura namun sang resi menolak.
Ia memilih jadi pendeta saja, lebih nyaman. Karena permintaan sang resi sudah
bulat, maka Prabu Yudhistira melantiknya sebagai resi agung kerajaan Amarta
bersama Resi Jayawilapa dan Resi Sidiwacana. Namanya dikembalikan menjadi Resi
Gowasena. Bambang Yodeya kembali membesarkan desa Saibipura dan kini pertapaan
itu telah menjadi kadipaten Saibipura. Berbondong-bondong rakyat Saibipura lama
seberapa lautan pindah ke Jawadwipa dan ikut memindahkan kotaraja ke Saibipura
baru ke dekat Amarta, tepatnya di daerah tempur/pertemuan antara Bengawan
Gangga dengan Bengawan Yamuna. Bambang Yodeya menjadi pemimpin disana bergelar
Arya Yodeya.