Hai semua pembaca yang budiman.... Kali ini, penulis akan mengisahkan tentang Begawan Keshawasidhi yang merupakan prabu Kresna mewejangkan isi dari ajaran Astabrata kepada Begawan Wibatsuh yang tak lain adalah Arjuna. Karena Ajaran Astabrata ini awalnya diwejangkan oleh Prabu Sri Rama, avatar Batara Wisnu di jaman Tirtayuga, sebelum jaman Mahabarata (Duparayuga), maka ajaran Astabrata ini juga disebut Wahyu Makutharama. Sumber kisah ini saya olah dari blog albumkisahwayang.blogpot.com dan caritawayang.blogspot.com dengan pengubahan seperlunya.
Alkisah, tanda-tanda alam
mulai tidak normal. Hatinapura dan Amarta mulai diterjang berbagai kejadian
alam ajaib seperti angin berhembus panas dingin bergantian, hujan salah musim,
bunga salah waktu mekar dan berbagai gejolak alam lainnya. Menurut pengamatan
Begawan Dorna dan Maharesi Bhisma akan turun sebuah wahyu bernama Makutharama
di Kutharunggu. Prabu Duryudhana ingin menggapai Wahyu itu tapi tidak bisa
meninggalkan istana barang sesaat. “kakang Prabu, aku minta kepadamu
dapatkanlah wahyu Makutharama itu untukku.” Ia mengutus ipar sekaligus sahabatnya,
Adipati Karna untuk mendapatkan wahyu itu. “baiklah, adhi prabu Duryudhana.
Titahmu adalah perintah bagiku.” Berangkatlah Adipati Karna diiringi Patih
Sengkuni dan beberapa Kurawa ke gunung Kutharunnggu.
Sementara itu, di
Kutharunggu, Begawan Kesawasidhi sedang duduk santai menunggu dua orang tamu.
Sang Begawan juga kala itu dihadap para Kadang Tunggal Bayu, yakni Resi Hanoman
Mayangkara, Begawan Maenaka, Naga Kowara, Garuda Mahambira, Macan Palguna, Wil
Jajagwreka, dan Leman Situbandha. Mereka sedang belajar tentang berbagai ilmu.
Beberapa saaat kemudian, Datanglah Adipati Karna meminta wahyu Makutharama yang
katanya turun di Kutharunggu ini. Begawan Kesawasidhi berkata “ampun kisanak. Wahyu
itu tidak ada di sini. Dia akan turun dengan sendirinya dan memilih siapa yang
pantas dapat wahyu Makutharama.” Adipati Karna dan para Kurawa marah. Mereka
menyerang Kutharunggu. Para Kadang Tunggal Bayu membantu Begawan Kesawasidhi.
Adipati Karna menembakkan panah Kontawijaya namun dapat ditangkis lalu
ditangkap Hanoman. Melihat pusaka andalannya ditangkap lawan, Adipati Karna
merasa lemas dan putus asa. Ia pun menarik mundur pasukan Hastinapura dan
mengajak mereka untuk mengepung kaki Gunung Kutharunggu. Begawan Kesawasidhi
berkata “Hanoman, kau telah melakukan kesalahan. Karena menahan panah sakti
milik adipati Karna, kemungkinan moksa untukmu harus tertunda seratus tahun
lagi.” Resi Hanoman hanya bisa pasrah. Ia menitipkan panah Kontawijaya kepada
sang Begawan. Biar nanti ada orang yang mengembalikannya.
Di tempat lain, Arya
Wrekodara melewati pertapaan Cindemalawa menuju Kutharunggu. Katanya ia akan
bertemu seseorang disana. Ketika melewati candi pertapaan, ia mendengar ada
seseorang memanggilnya. Sang Bhimasena mendekat ke asal suara itu dan rupanya,
orang yang memanggilnya ialah Begawan Wibisana, adik bungsu Prabu Rahwana, raja
Alengka. Ia dikaruniai usia panjang. Arya Wrekodara kaget karena bukan hanya
Hanoman dan Jembawan saja yang panjang umur.”Gusti Akarya Jagat....welah
dalah....bukannya kau Begawan Wibisana. Jika benar, terima salam ku. Dunia ternyata
sempit. Bukan cuma kakang Hanoman dan paman Jembawan saja yang masih hidup
sampai jaman ini.” Begawan Wibisana bercerita “benar, Bhima cucuku. setelah
turun takhta dan sudah lima generasiku berganti, aku masih hidup. Karena
sentiasa terkenang hati akan perang dan nasib kakandaku, aku menuju ke
Jawadwipa ini untuk mencapai keheningan diri. Di tengah perjalananku, aku bertemu
dengan berbagai wujud jiwa. Ada yang bergentayangan belum mendapatkan damai
sejati sampai saat ini. Ada pula yang bergentayangan karena punya masalah di
masa lalu.” Arya Wrekodara menghormat pada sahabat Prabu Sri Rama itu. Lalu
sang begawan mengatakan “Bhima cucuku, aku akan memberikanmu satu permintaan. Kakangku,
kakang Kumbakarna ingin mengabdi pada kebenaran. Jika kau tidak kebareatan,
bolehkah dia ikut denganmu?” Arya Wrekodara berkata “hah? gusti Kumbakarna
belum tenang, eyang begawan? Jika benar demikian, aku ingin bertemu dengannya
langsung.” Lalu muncul seberkas asap yang membentuk wajah manusia berbadan
besar. Itu lah wujud dari jiwa Kumbakarna. Kumbakarna berkata pada Wrekodara “Bhima
cucuku. Aku ingin mengabdi kepadamu. Kita akan bisa berjuang bersama-sama membela
dharma dan mencapai kedamaian sejati.” Arya Wrekodara tidak tahu caranya tapi
jika ingin ikut bersamanya tidak masalah. “jika itu keinginanmu, aku tidak
keberatan.” Maka pergilah Arya Wrekodara diikuti jiwa Arya Kumbakarna yang
semakin jauh terlihat semakin menipis. Setelah perginya kedua orang itu,
Begawan Wibisana melepaskan segala hal dan kemelekatan duniawi. Perlahan tubuh
Begawan Wibisana memudar lalu menghilang menjadi debu.
Sementara itu, di balik kegelapan dan sunyinya malam, tanpa sepengetahuan pasukan Kurawa dan Adipati Karna ada seorang petapa muda bernama Begawan Wibatsuh. Ia ingin mendapatkan wahyu Makutharama juga. Ia diiringi oleh empat orang Putut yakni Putut Naya, Putut Nala, Putut Wala, dan Putut Asta. Sepertinya dengan aji Panglimunan, Begawan Wibatsuh datang secara diam-diam tanpa ketahuan dan berhasil memasuki pertapaan Kutharunggu. Begawan Wibatsuh memperkenalkan dirinya “ampun begawan, aku Wibatsuh dan ini pamanku Naya, paman Nala, paman Wala, dan paman Asta. Kedatangan kami untuk mendengar isi wahyu Makutharama. kami siap untuk menerima dan menerapkan isi wahyu Makutharama.” Sejenak kemudian, sang begawan menjentikkan jarinya dan klak, seketika waktu berjalan amat sangat pelahan. Semua yang di sekitar mereka serasa melambat bahkan berhenti bergerak kecuali Begawan Keshawasidhi, Begawan Wibatsuh, dan empat pengiringnya.
Wahyu Makutharama |
Wejangan ketiga yaitu
Begawan Wibatsuh juga harus meneladani watak bintang. Bintang yang selalu tetap
keadaannya dan jadi pedoman bagi penentu waktu. Bermakna pemimpin harus teguh
pendirian dan menjadi pedoman bagi rakyatnya. Yang keempat yakni watak Bumi.
Bumi itu kokoh dan kuat namun juga suci dan mampu menumbuhkan apapun yang ada
diatasnya. Jika tanam padi maka tumbuh padi, tapi jika menanam ilalang maka
tumbuh ilalang pula. Pemimpin yang baik haruslah adil dan kokoh dalam
memberikan keadilan, tidak mau disogok atau disuap oleh uang dan harta.
Wejangan kelima yakni Begawan Wibatsuh harus meneladani watak langit. Langit
bisa bisa cerah bisa mendung. Jika matahari terlalu menyengat maka langit akan
menutupi matahari dengan awan mendung. Langit juga akan menurunkan hujan dan
salju yang menjadi sumber air. Maknanya, pemimpin harus bisa menempatkan
marwah, wibawa, dan ketegasan, bukan sekadar pasang wajah garang dan beringas.
Dibalik ketegasan itu juga harus bisa memberikan manfaat dan solusi atas setiap
masalah.
Wejangan Keenam yakni
meneladani watak angin. Angin bisa memasuki segala ruang kosong dan menyebarkan
awan mendung, hujan dan salju ke segala penjuru. Pemimpin haruslah tidak
membeda-bedakan rakyatnya. Seorang pemimpin harus bisa merangkul semua
rakyatnya dari berbagai kalangan dan berbagai lapisan masyarakat, walau
rakyatnya itu suka atau tidak suka. Dengan selalu berada dekat dengan rakyat,
maka kemakmuran negara akan lebih mudah untuk dicapai. Selain itu, pemimpin
harus pula bisa menyebarkan hasil penarikan pajak untuk biaya pembangunan
secara merata. Jangan pilih kasih. Wejangan ketujuh yakni meneladani watak api.
Api yang panas namun bisa menjadi pelita. Api juga bisa membabat hutan yang
kering tidak peduli apapun yang ada di lintasannya. Maknanya, keadilan harus ditegakkan
tanpa pandang bulu. Ada istilah api kecil jadi kawan, api besar jadi lawan.
Begawan Wibatsuh harus dapat meneladani sifat api dalam upaya menegakkan hukum
negara. Siapa pun yang bersalah harus dihukum sesuai ketentuan yang berlaku.
Tentunya ini demi kemakmuran rakyat pula. Yang dimaksud dengan api besar ialah,
seorang pemimpin harus bersikap jahat dan tegas terhadap serangan pihak luar
yang mengancam kedamaian negara, baik itu musuh dari luar negara ataupun dari
dalam negara itu sendiri. Wejangan terakhir yakni harus meneladani watak air.
Air yang menetes sedikit demi sedikit mampu melubangi batu karang yang keras.
Selain itu, air jika sudah berkumpul akan menjadi samudera luas yang menampung
semua benda yang masuk kepadanya. Maknanya pemimpin haruslah sabar dan tidak
grusa-grusu dalam mengambil keputusan dan menetapkan kebijakan. Pemimpin juga
harus memiliki hati yang lêgåwå dan bisa menampung segala usulan dan pendapat
rakyat. Begitulah Begawan Kesawasidhi mewejangkan isi wahyu Makutharama kepada
Begawan Wibatsuh. Isi wejangan wahyu itu sebenarnya ajaran Astabrata yang
pernah diberikan Sri Rama kepada adiknya, Prabu Barata saat menjadi raja Ayodya
dan juga kepada Gunawan Wibisana saat menjadi raja Alengka.
Begitu selesai memberikan
memberikan isi wejangan, Begawan Keshawasidhi menjentikkan jarinya sekali lagi.
Waktu yang tadinya melambat pun kembali ke normal. Ia lalu memberikan panah
Kontawijaya kepada Begawan Wibatsuh. “wibatsuh, tolong kembalikan panah ini
kepada si empunya senjata. Dia ada di bawah bukit sana.” Sang begawan muda
kemudian menyerahkan panah Kontawijaya kepada Adipati Karna. Karna menerima
senjatanya kembali, kemudian berkata “ terima kasih karena begawan sudah
mengembalikan senjataku kembali. Begawan, apa kau telah mendapatkan Wahyu
Makutharama?” Begawan Wibatsuh berkata “sudah, tuanku Adipati. Aku sudah
mendapatkannya.” Begawan Wibatsuh menjelaskan intisari makna wahyu itu, dan
berkata bahwa dirinya yang memilikinya. Adipati Karna ingin merebut wahyu
tersebut, maka terjadilah perkelahian di antara mereka. Karna merasa tidak
mampu lalu mengundurkan diri. Tak lama kemudian datang Arya Wrekodara datang
diiringi dengan jiwa Kumbakarna dibelakangnya bertanya siapa yang ada di
Kutharunggu. Namun belumlah Begawan Wibatsuh menjawab, para Kurawa lagi-lagi
membuat kacau padepokan itu. Ketika itu Arya Wrekodara terdesak karena
tempatnya tidak menguntungkan. Maka ia meminta Arya Kumbakarna membantunya
kepadanya. Kumbakarna berubah sebagai cahaya terang dan merasuk ke paha kiri Wrekodara.
Dengan tambahan kekuatan dari Kumbakarna, Arya Wrekodara mampu membuat para
Kurawa kocar-kacir. Begawan Wibatsuh kembali ke pertapaan Kutharunggu.
Wrekodara telah datang menghadap Bagawan Kesawasidhi. Terjadilah pembicaran
serius di sana. Arya Wrekodara paham maksudnya.
Tiba-tiba datang lagi
gangguan. Ada dua kesatria tidak dikenal bernama Bambang Sintawaka dan Bambang
Gandasukma. Mereka ingin bertemu Bagawan Kesawasidhi dan Begawan Wibatsuh. Hanoman
dan para kadang Tuggal Bayu menghalangi karena dua begawan itu sedang ada tamu.
Bambang Sintawaka dan Bambang Gandasukma tidak mau tahu. Akhirnya terjadi
perang tanding. Para Kadang Tunggal Bayu tidak berkenan melawan mereka lalu
memanggil dua begawan itu. “ampun tuan. Ada dua orang tidak dikenal hendak
merusuh lagi di sini.”Arya Wrekodara ingin melawan mereka namun dihalangi oleh
Begawan Wibatsuh. “biar kami saja yang melawan mereka.” Turunlah kedua begawan
itu ke tempat dua orang tidak dikenal itu. Terjadilah pertarungan sengit. Bagawan
Kesawasidhi melawan Bambang Sintawaka, Begawan Wibatsuh melawan Bambang
Gandasukma. Masing-masing dari mereka melepaskan panah bermantra jampi. Dan seketika
semua kembali ke wujud asal. Bagawan Kesawasidhi berubah kembali sebagai
Kresna. Begawan Wibatsuh juga badar sebagai Arjuna. Bambang Sintawaka menjadi Sumbadra,
dan Bambang Gandasukma menjadi Larasati. Arjuna kaget dengan kedatangan dua
istrinya itu. Ia bertanya kenapa mereka harus menyamar dan menyerang mereka
segala. Dewi Sumbadra berkata “kami mencari kakanda kulup. Sudah lama kakanda tidak
pulang.” Lalu dewi Larasati menyambung “kami bisa berubah jadi lelaki karena
pertolongan gaib dari Batara Narada.” Apa-apapun, Arjuna bahagia bisa kumpul kembali
dengan istrinya yang begitu mengkhawatirkannya. Mereka senang dapat bertemu dan
bersatu kembali, kemudian kembali ke negara Amarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar