Sabtu, 03 Februari 2024

Sauptikaparwa : Landakan (Parikesit Lahir)

Hai semua pembaca dan penikmat kisah pewayangan. Kisah kali ini menceritakan balas dendam Aswatama dan Kertamarma dengan membangun terowongoan dan menghabisi orang-orang di kubu Pandawa yang sedang tidur. Kisah ini turut menceritakan pembunuhan Dewi Banowati, Srikandhi, Drestajumena, dan anak-anak Pandawa yang tersisa lalu dilanjutkan pertarungan terakhir Arjuna dan Aswatama dan kelahiran Parikesit, cucu Arjuna dari Abimanyu dan Utari. Mungkin di kisah kali ini ada sedikit perbedaan tentang nasib Kertamarma agar menyelaraskan dengan Kitab Mahabharata yang asli. Kisah ini mengambil sumber dari Kitab Mahabharata karya Mpu Vyasa, Serial kolosal india Mahabharat Starplus, https://mediaindonesia.com/weekend/342523/politik-nglandak, https://caritawayang.blogspot.com/2012/10/aswatama-nglandak.html, dan https://www.kompasiana.com/margonods/550d401da333119c1e2e3f19/cinta-trapesium-ala-banowati.

Landakan, Parikêsit Lair

Perang telah berakhir dengan kemenangan Pandawa. Kurawa telah pupus. Lalu datang dari pihak Kurawa yakni Dewi Banowati, janda Prabu Duryudhana. Ia datang untuk menyerah baik-baik dan meminta lindungan Pandawa jika terjadi sesuatu di Hastinapura nanti. Bersaman dengan kedatangan Banowati, para putra Pandawa yang masih selamat yakni Radèn Pancawala, Bambang Sena Pradeksa,, Bambang Prabakusuma , Adipati Pramusinta dan Bambang Sabekti datang. Mereka berlima ditemani oleh para istri yakni Dewi Pergiwati, istri Pancawala lalu isteri Bambang Sena Pradeksa yakni Dewi Setyaningsih yang masih kerabat Yadawa. Lalu Dewi Mustikawati isteri Prabakusuma disusul dibelakangnya Dewi Pramuwati dan Dewi Rayungwulan. Mereka berlima beserta para isteri datang untuk memberi selamat atas kemenangan para Pandawa di perang Bharatayuda. Para Pandawa merasa lega karena hingga saat ini anak-anak mereka yang tersisa masih hidup hingga saat ini. Tapi nasib bagaikan roda yang bisa berputar balik. Ketidakberuntungan akan kembali mengoyak kemenangan mereka.

Sementara itu, Rsi Krepa, ipar Rsi Dorna sekaligus paman Aswatama di kediamannya di Sokalima kedatangan Prabu Kertamarma yang awalnya lari dari medan laga. Sang resi kaget melihat adik prabu Duryudhana itu ternyata masih hidup. Rsi Krepa lalu memberikan kabar pada Kertamarma bahwa perang telah usai dan semua kakak adiknya sudah habis. Banowati telah berada di kubu Pandawa untuk menyerah baik-baik. Prabu Kertamarma murka hendak menghabisi Pandawa dan Banowati. Rsi Krepa menyabarkan adik Prabu Duryudhana yang masih berada di kubu Kurawa itu "anak prabu, bersabarlah.....mau bagaimanapun kita sebagai pihak yang kalah perang harus menaati siapa pemenang perang." namun sang rsi justru didorong hingga pingsan. Ia pun berkata " persetan dengan pemenang perang! Akan ku obrak-abrik Pandawa malam ini!" Prabu Kertamarma memutuskan berperang dengan cara growongan landak (menggali lubang rahasia) dan menghabisi Pandawa saat mereka terlelap. Di tempat yang sama, Prabu Kertamarma bertemu dengan Bambang Aswatama, putra Begawan Dorna yang telah lama pergi sejak kematian ayahandanya. Bambang Aswatama berkata " dinda Kertamarma, kau disini. Apa kau ingin balas dendam kepada para Pandawa?" Kertamarma berkata " iya, kakang Aswatama. Kau juga sama kah?" Bambang Aswatama berkata ya. Bambang Aswatama lalu bercerita bahwa ia sudah bertemu Prabu Duryudhana yang tengah sekarat. Dengan lidahnya yang licin, Aswatama memelintir titah dari Duryudhana bahwa ia telah ditugaskan untuk menghabisi para Pandawa. Prabu Kertamarma semakin membara dendamnya dan mereka berdua membulatkan tekad untuk menyerang Pandawa malam itu juga. Singkat cerita, dengan bantuan Dewi Wilotama, ibunya, Bambang Aswatama dan Kertamarma menggali terowongan ke kubu Pandawa. Ketika sampai disana, mereka memasuki tiap kemah dan membunuh para prajurit yang terlelap tidur. Kertamarma memutuskan untuk berjaga di luar pesanggrahan.

Ketika memasuki aula pesanggrahan yang paling besar, Aswatama melihat ada lima orang lelaki sedang tidur dan disebelahnya lima orang perempuan juga dalam keadaan terlelap.

Sauptikaparwa : Pembunuhan anak-anak para Pandawa
Mengira yang tidur itu para Pandawa beserta para isteri mereka, dengan tanpa ampun, Aswatama memenggal kepala anak-menantu Pandawa, dimulai dari anak dan menantu prabu Yudhistira yakni Raden Pancawala dan Dewi Pergiwati. Tak luput pula, ia menghabisi putra-putri juga menantu para Pandawa yang lain. Darah muncrat dimana-mana. Kepala menggelinding, usus berurai di luar tubuh mereka yang terpenggal. Bambang Aswatama pun lalu masuk ke bagian dalam pesanggrahan ke ruangan lain. Di dekat lorong pesanggrahan, di sana juga ada Bambang Drestajumena yang sama-sama tertidur. Dengan amarah yang meledak, Aswatama menyerang lalu mencincang tubuh dan memenggal kepala Bambang Drestajumena, pembunuh ayahnya lalu ketika memasuki kamar lain, ia mendekati Dewi Srikandhi isteri Arjuna. Sang kesatria wanita yang tengah tertidur pulas itu disiksa lalu diperkosa dan dibunuh dengan sangat keji. Di saat demikian, Dewi Banowati yang tengah menemani Dewi Utari yang sedang hamil tua di kamar paling ujung. Kandungan sang janda Abimanyu itu berusia tujuh sasih namun besarnya seperti kandungan berusia sembilan sasih. Dewi Banowati merasa ada yang tidak beres karena suasana malam itu sangat sepi dan sunyi. Dewi Utari lalu dititipkan kepada Dewi Drupadi." Yunda permaisuri, tolong jaga Utari....aku mau memeriksa ke luar kemah." Dewi Banowati pun pergi meninggalkan Dewi Drupadi dan Dewi Utari tengah hamil tua itu. Ia memutuskan ke aual pesanggrahan yang paling besar. Sepanjang jalan, hanya merasakana kesunyian.  Ini tak wajar karena ini terlalu sunyi, tak ada satupun prajurit atau orang yang lalu lalang, entah itu emban atau pelayan.  Ketika berjalan, ia menginjak sesuatu “apa ini? rasanya basah.” Ketika ia menengok rupanya itu genangan darah. Buru-buru, Dewi Banowati lari menuju aula. Di sana ia menemukan menantu dan putrinya telah tewas dengan kepala putus. Begitu juga dengan para keponakan dan Bambang Drestajumena juga Dewi Srikandhi. Dewi Banowati menjerit. Hal itu diketahui Aswatama dan Kertamarma. Kartamarma segera masuk ke pesanggrahan dan menangkap Banowati. Di saat demikian, Aswatama merayu mengungkapkan cintanya pada Banowati "dinda Banowati, sudah lama aku menyimpan rasa ini tapi aku suka padamu, bahkan sejak pertama kita bertemu. Dulu kau diperebutkan Arjuna dan sahabatku Duryudhana . Aku tidak berani mengungkapkan isi hatiku padamu. Tapi sekarang sahabatku itu sekaligus suami dinda telah tiada. Aku tak tahan bila kau hidup menjanda penuh derita. Menikahlah denganku, lalu kita hidup bahagia bersama. " Banowati kaget ternyata Aswatama telah menyimpan rasa sejak lama bahkan sebelum pernikahannya dengan Duryudhana ataupun kisah cintanya dengan Arjuna. Banowati pun menolak cinta Aswatama "tidak akan, Dimas Aswatama! Aku tak akan menyerahkan tubuhku kepada pembunuh putri, mantu dan para keponakanku!!" Aswatama gelap mata. Ia dan Prabu Kertamarma dan segera mengikat Dewi Banowati. Dewi Banowati berontak namun ia kalah kuat. Setelah berhasil diikat, dengan sangat kejinya, Bambang Aswatama memperkosa pujaan hatinya itu. Lalu ia berbisik ke telinga Banowati " jika aku tidak bisa mendapatkanmu, maka Arjuna juga tidak akan bisa." Banowati kesakitan namun tak kuasa ia untuk mempertahankan diri lagi. Tak cuma diperkosa, Aswatama juga menyiksa bagaian kewanitaannya dengan berbagai senjata di masukkan ke dalamnya. Banowati tak kuat lagi untuk bangun. Tenaganya seakan ditelan kepedihan siksaan yang mendera. Puncak rasa sakit Banowati pun dirasakannya. Dengan tanpa rasa berdosa, Aswatama merusak wajah Banowati dengan pedang lalu menyiksanya dengan membenturkannya ke batu dan tiang kayu yang keras. Aswatama lagi-lagi berbisik " Sekarang, tunggulah Arjunamu Di NERAKA!" Sebagai serangan terakhir, Aswatama membedah dan membelah perut Banowati hingga terburai isinya. Banowati pun berteriak “TOLONG, AMPUNI AKUUU!!!.......” suara itu perlahan menjadi perlahan dan akhirnya lenyap ditelan sunyinya malam. Malam itu tewaslah Banowati dalam keadaan yang amat sangat menyedihkan. Aswatama dan Kertamarma segera menyembunyikan diri dengan sembunyi di salah satu ruangan.

Jeritan Banowati yang sedang disiksa sayup-sayup terdengar. Para Pandawa diikuti para isteri mendatangi aula besar dan mendapati darah bercucuran dimana-mana.

Pemerkosaan Banowati
Ketika mereka masuk, pemandangan luar biasa mengerikan terpampang di depan mata. Dewi Drupadi menangis mendapati dua saudaranya yakni Srikandhi dan Drestajumena telah tewas, begitu juga putranya Pancawala dan mantunya Pergiwati. Arjuna ikut menangis mendapati jasad Pergiwati, Prabakusuma juga mantunya Mustikawati yang tanpa kepala dan isi perut terburai, begitu juga ketika menyaksikan Srikandhi sang isteri dan Banowati sang pujaan hatinya dahulu juga ikut tewas dalam keadaan seperti habis disiksa. Prabu Yudhistira yang tengah menggendong Pancakesuma, cucunya menangis karena cucunya telah menjadi yatim piatu. Arya Wrêkodara mengamuk karena kematian Sena Pradeksa. Padahal ia tumpuan obat rindunya ketika Antareja meninggal dulu. Nakula dan Sadewa meratapi mayit putra-putri mereka yang kini wajahnya rusak dan terpotong-potong. Dewi Drupadi bahkan meraung-raung minta mati " anakku!!!!....Pancawala!!! bangunlah, nak...siapkan upacara kematian ku! Pancawala bangunlah!! Pergiwati bangun, nak!!! Cepat ikat aku di atas kayu pancaka!!!...siapkan upacara kremasi ku!!!"

Di tempat lain, Aswatama dan Kertamarma mendengar suara wanita mengerang kesakitan. Ketika memeriksa ruangan pesanggrahan lainnya, rupanya ada Dewi Utari, janda Abimanyu yang hendak melahirkan. Dengan muka dingin dan nanar, Aswatama hendak menikam Utari namun kekuatan ajaib seakan melindungi mantu Arjuna itu. Tiba-tiba jabang bayi yang masih dalam kandungan itu mengeluarkan kesaktian dan melemparkan keris Polanggeni ke dada Aswatama. Mengerang lah Aswatama kesakitan.

Teriakan Aswatama membuat para Pandawa beserta isteri dan Harya Wiwitsuh menuju kamar Utari. Mereka melihat Aswatama dan Kertamarma menjebol dinding kamar yang terbuat dari kayu dan hendak kabur ke hutan. Para Pandawa mengejar. Arya Wrekodara berhasil mengakap dan menjambak Kertamarma...ketika di puncak amarahnya, Kertamarma dihabisi. Menggelinding lah kepala Kertamarma dan disiksa lah jasad adik ke sekian prabu Duryudhana itu. Namun kemudian Prabu Sri Kresna datang dan menghentikan Wrekodara " sudah, adhiku Bhima....jangan teruskan lagi... adik Prabu Duryudhana harus ada yang hidup. Dulu sewaktu kakangmu Yudhistira diuji Batara Dharma, kakangmu memilih Nakula untuk dihidupkan kembali sebelum kalian. Sekarang biarkan salah satu adik Duryudhana tetap hidup...aku yang akan menjaminnya. Aku bersedia menampungnya dan akan ku buatkan rumah di Dwarawati." Arya Wrekodara luluh dan memaafkan Kertamarma. Dengan kekuatan ajaibnya, Prabu Sri Kresna memohon kepada para dewa agar Kertamarma dihidupkan lagi...ajaib, Prabu Kertamarma hidup kembali namun Kertamarma hilang ingatan. Ingatan tentang identitasnya sabagai Kurawa hilang....Kertamarma menghaturkan terima kasihnya " terima kasih kakang prabu Kresna sudah mengampuniku." Sementara itu, Arjuna berperang tanding melawan anak gurunya itu." ASWATAMA ! KAU SANGAT KEJI! MENGHABISI NYAWA SESEORANG YANG TENGAH TIDUR DAN MENYIKSA WANITA! KAU TIDAK PANTAS HIDUP! AKU AKAN MENGANTARMU DIBAKAR DI NERAKA!" Aswatama tertawa-tawa dan berkata " AKU TIDAK TAKUT DENGAN NERAKA ATAU KEMATIAN! PERSETAN DENGAN PARA DEWA YANG AKAN MENGUTUKKU NANTI! DUNIA TANPA AYAHKU, LEBIH BAIK AKU HANCURKAN SAJA! AKAN KU BUNUH UTARI DAN KANDUNGANNYA BESERTA SEISI ALAM DUNIA INI!!" Dua orang itu sama saktinya. Mereka saling beradu panah. Panah pun meledak-ledak di angkasa bagaikan cahaya dari kembang api. Lalu Aswatama menarik busur panahnya dan komat-kamit " CUNDHAMANIK ! KELUARLAH! DENGAN IZINKU DAN RESTU KEKUATAN BRAHMA, AKU MELAMBARIMU DENGAN AJI BRAHMASTRA!! LENYAPKAN UTARI DAN ANAKNYA SEKARANG JUGA!! Seketika muncul panah Cundhamanik berwarna merah membentuk bunga teratai yang diselimuti api paling panas. Arjuna pun tak mau kalah " PASOPATI! KELUARLAH! DENGAN RESTU HYANG GURU PRAMESTI! DENGAN IZIN KUASA BRAHMASTRA, AKU MEMENGGILMU, KELUARLAH!!" Panah Pasopati pun muncul dengan teratai api berwarana biru seterang langit siang.

Arjuna dan Aswatama beradu aji brahmastra
Tiba-tiba terjadi kegemparan. Sekarang kedua Panah Pasopati Arjuna yang telah di lambari Aji Brahmastra akan beradu bersamaan dengan panah Kyai Cundhamanik yang juga dilambari ajian yang sama. Alam seketika goncang. Bumi gonjang-ganjing, langit kolap kalip. Kahyangan goncang. Batara Guru segera mengutus para bidadari beserta Batara Indra dan Batara Narada turun ke bumi meminta Arjuna dan Aswatama untuk menarik kembali senjata mereka. Para dewa berhasil membuat Arjuna menarik kembali Pasopati. Namun Aswatama sangat murka dan tetap melesatkan panah sakti itu. Ia arahkan panah itu ke arah kamar tempat  Utari terbaring. Seketika seisi ruangan itu meledak dan Dewi Utari terbakar hidup-hidup beserta janin dalam kandungannya.Utari meminta tolong " AYAHANDA! IBUNDA! PAMAN ! TOLONG AKU! AKU TERBAKAR!" Namun terlambat, Utari habis, tubuhnya gosong. Ia dan anaknya kini sekarat menunggu kematian. Dewi Drupadi, Dewi Sumbadra dan para istri Pandawa lainnya segera minta tolong “Utari, Bangun nak...Kakang Gowinda...Kakang prabu...tolong Utari!”

Prabu Sri Kresna dan prabu Yudhistira habis kesabarannya dan sangat murka karena kejahatan Aswatama melebihi apa yang dilakukan Patih Sengkuni. Dengan penuh kemurkaan, Prabu Sri Kresna bertukar wujud sebagai Triwikrama dan Prabu Yudhistira berubah menjadi Dewa Amral. Dengan kemarahannya yang penuh, Dewa Amral melakukan Rudra Tandhawa, tarian maut milik Batara Guru. Alam bergetar hebat. Triwikrama Wisnu lalu berkata dengan penuh kemurkaan" KAU KETERLALUAN, ASWATAMA! KEJAHATANMU MELAMPAUI APA YANG DIPERBUAT PARA KURAWA! SENGKUNI!, KANGSA!, RAHWANA!!, HIRANYAKASIPU!! AKAN MALU DENGAN PERBUATANMU!! KAU AKAN DIKUTUK LEBIH DARI MEREKA!! RASAKAN KEMARAHANKU! Triwikrama segera melemparkan Cakra Widaksana ke arah Aswatama. Jrass, kepala Aswatama terpenggal dan permata di dahinya lepas. Aswatama pun roboh. Sebelum Aswatama menghembuskan nafas terakhirnya, Prabu Sri Kresna dalam wujud Triwikrama beserta para dewa mengutuk Aswatama " ASWATAMA! KAU SANGAT TIDAK TAKUT NERAKA DAN KEMATIAN, KAN?! MAKA AKU MENGUTUKMU! KAU AKAN TERUS TERSIKSA DAN MENGHARAPKAN KEMATIAN YANG LAYAK TAPI TIDAK AKAN PERNAH KAU DAPATKAN!! JASADMU YANG PENUH NAJIS TIDAK AKAN DITERIMA TANAH TEMPATMU BERPIJAK !! JIWAMU YANG PENUH

Hukuman untuk Aswatama
NODA DAN DOSA ITU TIDAK AKAN DITERIMA DIMANAPUN! TIDAK DI LANGIT!! DI BUMI!! KAHYANGAN!! SURGA!! ATAU NERAKA!! JIWAMU AKAN TERUS MENGEMBARA DAN MEMBAWA BAU YANG SANGAT BUSUK!!! KAU AKAN TERUS MENGEMBARA SAMPAI KELAK MAHAPRALAYA (KIAMAT) TIBA!!" Prabu Sri Kresna melihat kehancuran belum reda selama Dewa Amral tidak disadarkan. Tarian Tandhawa Dewa Amral semakin menggila dan mengganas. Tanda-tanda alam semakin mengkhawatirkan. Lalu datang Dewi Drupadi. Dengan masih terisak-isak, Dewi Drupadi berusaha menyadarkan suaminya" kakang!! Hentikan Kakang Prabu!! Meski kau lakukan Tandhawa, nyawa anak kita tidak akan pernah kembali!! Kumohon, suamiku!!! Jangan murka dan menghukum dunia ini..." Dewa Amral pun luluh. Ia kembali ke wujud aslinya yakni Prabu Yudhistira. Prabu Yudhistira hanya bisa terus menangisi kepergian anak dan menantunya. Ia lalu mengingat sang cucu, Pancakesuma dan juga anak di kandungan Utari. Para Pandawa dan Prabu Sri Kresna segera meninggalkan jasad Aswatama yang telah terbujur kaku.

Prabu Sri Kresna dan para Pandawa menuju ke tempat Utari namun sesampainya di sana terlihat seisi kamar terbakar hebat dan Dewi Utari telah terbujur kaku dengan tubuh gosong. Dewi Sumbadra panik lalu meminta kakaknya agar menyelamatkan Utari dan jabang bayinya. Prabu Sri Kresna segera memadamkan api dengan panah Tirta Jahnawi dan tubuh Dewi Utari bisa dievakuasi. Namun nyawa Utari sekarang di ujung tanduk begitu pula kandungannya. Prabu Sri Kresna menyembuhkannya dan kandungan isteri dari keponakannya itu dengan Cangkok Wijayakusuma. Seketika, Dewi Utari kembali sehat dan tiba-tiba perutnya kontraksi tanda akan melahirkan. Seketika bayi yang dikandung Utari lahir dengan selamat dan sehat. Hari itu para Pandawa mendapat harapan baru dengan kelahiran putra Abimanyu dan Utari. Maka Prabu Sri Kresna dan Arjuna memberi nama sang jabang bayi itu Bambang Parikesit yang bermakna telah diuji. Maksud dari namanya itu ialah Parikesit telah diuji bahkan sebelum ia lahir ke dunia dengan dibakar hidup-hidup bersama sang ibu. Setelah itu, upacara terakhir untuk anak-menantu Pandawa, Dewi Srikandhii, Bambang Drestajumena, dan Dewi Banowati disempurnakan. Asap kemenyan dan dupa dipanjatkan. Lantunan doa dan mantra mengalun laksana kidung tragedi. Api pancaka membumbung tinggi, bergolak seakan tak kuasa menahan segala emosinya, emosi kesedihan dan kemarahan akan pembunuhan berantai yang tak manusiawi dan penuh kelicikan yang dilakukan seorang putra guru yang para Pandawa hormati.

 

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar