Selasa, 06 Februari 2024

Santiparwa (Dharma Pamungkas)

Hai semua pembaca dan penikmat kisah-kisah pewayangan. Kisah kali ini mengisahkan kegundahan hati para Pandawa sehabis perang Bharatayudha dan Maharesi Bhisma juga Abiyasa menenangkan mereka tentang pengatahuan akan tegaknya dharma kini ada di tangan para Pandawa dan hukum karma. Di kisahkan pula kedatangan para Pandawa kmebali ke Hastinapura dan kutuk pasu Gendari kepada Prabu Sri Kresna dan seluruh wangsa Yadawa. Kisah ini mengambil sumber dari Kitab Mahabharata karya Mpu Vyasa, Serial kolosal India Mahabharat Starplus dan Radha Krishna Starbharat, dan Kematian Kresna - Kumpulan Cerita Wayang

Perang Bharatayudha telah usai...Kurawa telah tumbang dan gugur di medan laga, hanya menyisakan Arya Wiwitsuh dan Kertamarma. Keadaan keduanya sungguh berbeda. Arya Wiwitsuh menjadi orang terhormat sementara Kertamarma hilang ingatan setelah ia dibunuh oleh Arya Wrekodara lalu atas keinginan Sri Kresna ia dihidupkan kembali. Pandawa memang meraih kemenangan namun juga bergelimang kepahitan dan perasaan penuh dukacita. Sisa pengikut Kurawa yakni Aswatama yang pada malam hari sehabis perang membunuh putra dan menantu Yudhistira dengan Drupadi yakni Pancawala dan Pergiwati yang tengah terlelap dan beberpa para putra Pandawa yang tersisa. Bukan itu saja ia juga membunuh janda sang Prabu Duryudhana, junjungannya sendiri yakni Dewi Banowati. Lalu ia menghabisi Arya Drestajumena, pembunuh ayahnya dan salah satu istri Arjuna, adik dari Drupadi dan Drestajumena yaitu Dewi Srikandhi. Di puncak kekesalannya pada Arjuna, ia berniat menghabisi keturunan Arjuna. Hal itu berakhir dengan tragis. Ia dipenggal Prabu Sri Kresna dengan Cakra Widaksana dan dihantam gada Rujakpala Bhima Wrekodara, lalu tewas. Prabu Sri Kresna mengutuknya bahwa kematiannya tidak akan diterima langit, bumi, surga, maupun neraka dan akan terus mengembara di Bumi sampai Mahapralaya (hari kiamat) tiba karena menembakkan panah Kyai Cundamanik ke arah kandungan Dewi Utari, namun untungnya hal itu dapat ditanggulangi dan anak Abimanyu dan Utari lahir selamat. Anak itu diberi nama Parikesit. Sementara itu, anak dari Pancawala dan Pergiwati yakni Pancakesuma akan dirawat oleh Prabu Drestaka, putra Drestajumena yang tak lain ialah pamannya dari Pancala.

Sebelum boyongan, para Pandawa, Dewi Kunthi, Drupadi, Sumbadra, dan Sri Kresna ingin mendatangi dua kakek mereka yakni Maharesi Abiyasa dan Maharesi Bhisma. Kebetulan dua resi bersaudara itu masih di Tegal Kurusetra. Keadaan Maharesi Bhisma makin memprihatinkan. Tubuhnya yang masih tertancap ratusan panah terus mengeluarkan darah. Tapi Maharesi Bhisma sudah bersumpah dia hanya akan kembali ke hadirat Yang Mahakuasa jika waktu yang tiba. Maharesi Abiyasa juga semakin kurus saja sejak perang berlangsung. Sinar matanya kian temaram sejak cucu cicitnya juga semua orang yang ia kenal dan kasihi banyak yang gugur. Keadaan yang membuat serasa remuk redam hati.

Santiparwa (Dharma Pamungkas)
Diantara yang paling merasa remuk hatinya adalah Prabu Yudhistira. Ia merasa bersalah karena sudah menyulut perang ini. Ia mengadu "duh..dua kakek maharesi-kami, para cucumu ini telah melakukan dosa besar tak terampunkan. Kami bantai seluruh keluarga, kaum kerabat, dan saudara kami sendiri dalam perang ini" Arjuna lalu ikut mengadu "benar, kakek....kakek sendiri sudah terluka parah demikian oleh saya dan istriku Srikandhi. Kakang kami sendiri, Kakang Adipati Karna telah saya bunuh dengan tak bermartabat saat memperbaiki roda kereta kencananya. Masygul hati cucumu." Yudhistira semakin sedih hati dan menangis tersedu merutuki dosa-dosanya "Hilang sudah harga diri kami sebagai orang beradab. Dosa kami.....sudah bertumpuk-tumpuk...kini bertambah-tambah lagi...kami tak pantas diampuni...kami seharusnya tak pantas disini meminta wejangan ke hadapan  kakek berdua tapi kami bingung harus mengadu pada siapa lagi....." Prabu Yudhistira semakin tenggelam dalam kesedihannya lalu mengambil segenggam ilalang lalu ia membakarnya. Api pun menyala dan ia memasukkan tangannya ke api itu hingga melepuh terbakar . Keempat adiknya dan juga sang isteri berusaha menghentikannya. Tangan sang Prabu Yudhistira berhasil ditarik dari api namun ia terus menyalahkan dirinya sendiri. Ia merasa tak pantas lagi menjadi pemimpin lagi dan ingin membuang diri ke tengah hutan.

Maharesi Bhisma dan Maharesi Abiyasa mencegah cucunya itu. Maharesi Bhisma lalu memberikan wejangan dan semangat hidup "cucuku Puntadewa, lihatlah kakek! Kakek sudah tercucuk banyak panah masih punya semangat sampai hari ini! Tapi kenapa kau yang tak terluka justru bersedih hati dan merasakan sakit? Kuatkan iman dan hatimu, Darmakusumah. Ingatlah selalu cucuku, beginilah hukum dunia. Siapa yang menabur, kelak akan menuai. Ada sebab ada akibat, ada perbuatan ada balasan. Kakekmu ini telah menerima apa yang ia lakukan dahulu ketika telah mengecewakan Amba saat masih muda dahulu. Kakangmu Karna dahulu pernah mengecewakan gurunya Ramabargawa dengan mengaku-aku sebagai anak brahmana dan sekarang ia telah ikhlas menghadapi takdirnya. Kakangmu Duryudana dan Dursasana dulu saat judi dadu melakukan penghinaan dengan melakukan pelecehan pada istrimu dan mereka menerima apa yang mereka tabur. Karma baik dan buruk telah ditentukan oleh Sang Mahakuasa yang memutar roda nasib kita. Kita sebagai manusia hanya mampu menghadapinya dengan cara-cara kita. Cucuku Puntadewa, apa kau masih ingat? Aku adalah saksimu dulu saat Sesaji Rajasuya. Kau sudah membuktikan diri sebagai raja diraja yang mumpuni. Takhta Amarta dan Hastinapura sudah menemukan orang yang pantas untuk takhta itu diamanatkan, yaitu kamu cucuku." 

Prabu Yudhistira masih ragu apakah ia mampu sekali lagi menjadi raja. Lalu Maharesi Abiyasa memberi juga wejangan "cucuku....kakek yakin, kamu pasti orang yang pantas. Ingatkah kamu kisah leluhur Prabu Palgunadi, sang Bambang Ekalaya yaitu Prabu Nala dan Dewi Damayanti dari Paranggelung. Sang raja juga punya nasib sama sepertimu karena godaan judi hingga membuatnya tertimpa berbagai bencana dan kemalangan juga harus berpisah dengan istrinya. Namun karena itu semua, ia bisa kembali menjadi raja di Paranggelung dan berkumpul kembali dengan anak isterinya. Berbagai kemalangan dan juga perang ini telah menempa iman dan hatimu hingga seperti sekarang. Maka kuatkan semangatmu, hiduplah dengan baik dan yakinlah dibalik sebuah kepahitan ada manis di dalamnya. Sekarang saatnya aku dan kakang Bhisma harus menghadapi takdir kami masing-masing. Nasib negara ini kami serahkan padamu." Tepat hari itu, matahari bergerak ke garis balik utara. Datanglah kereta emas dari angkasa menjemput Maharesi Abiyasa dan Maharesi Bhisma. Para prajurit kahyangan lalu memperlakukan luka Maharesi Bhisma hingga ia bebas dari rasa sakit. Maharesi Abiyasa dan Maharesi Bhisma ditemani sang ibu, Dewi Gangga dan Dewi Amba sang pujaan hati menaiki kereta emas itu lalu kereta itu terbang ke kahyangan. Sebelum pergi, Abiyasa memberikan gelah Dipayana kepada sang putu canggah, Parikesit. Para rombongan Pandawa menangis bahagia melihat kedua leluhur mereka bisa moksa dengan tenang naik kereta emas. Setelah kepergian mereka, mereka memberikan penghormatan.

Di Keraton Hastinapura, adipati Drestarastra, Dewi Gendari, dan Arya Widura ditemani putranya Sanjaya menyambut kedatangan rombongan Pandawa. Adipati Drestarasta begitu kangen dengan para ponakannya lalu berkata " kemarilah keponakanku para Pandawa, pelukalah pamanmu ini." Satu persatu para Pandawa datang memeluknya namun begitu giliran Bhima Wrekodara untuk dipeluk, Prabu Sri Kresna menariknya lalu mendorong sebuah patung sebesar Bhima. Begitu sang adipati memeluknya, patung itu terbakar lalu meledak. Rupanya Adipati Drestarastra ingin melampiaskan dendam ke seratus putranya dengan mengerahkan aji Leburgeni kepada Arya Wrekodara. Namun Drestarastra menyesal lalu Prabu Sri Kresna mengabarkan kalo Bhima selamat “uwa adipati, janganlah sedih hati....sesungguhnya tidak semua putramu habis. Masih ada Wiwitsuh dan Kertamarma. Wiwitsuh kini di hadapanmu...kalau Kertamarma...dia hilang ingatan, sekarang dia ada dalam jagaan saya.”.

Kutuk pasu Gendari kepada Sri Kresna
Lega lah hati bapak Kurawa itu. Namun tidak dengan Dewi Gendari yang kecut begitu melihat Prabu Sri Kresna. Dewi Gendari terus memandangi Prabu Sri Kresna sampai sang prabu dari Dwarawati itu merasa tak nyaman. Lalu ia mendekati sang ratu Hastinapura itu dan menanyakan kenapa ia begitu "bibi permaisuri, kenapa uwa begitu kecut masam? Apakah aku melukai perasaanmu?" Dewi Gendari meluapkan kemarahannya " Ya Aku Marah Padamu, Putra Basudewa! Kalau Saja Anda tidak merencanakan hal ini, anak-anakku pasti akan tetap hidup. Tapi lihatlah mereka semua. Seratus menantuku jadi janda semua berikut anak-anak mereka yang kini jadi yatim." Prabu Sri Kresna lalu menenangkan "bibi permaisuri, perang ini bukan sekadar perang saudara. Ini perang menegakkan kebajikan dan keadilan. Aku pun tak berdaya, tak mampuku mencegahnya. Aku hanya alat Dewata belaka. Aku pun tak lepas dari kitaran takdir" Gendari semakin marah "Anda ini Taraka Brahma, titisan Wisnu. Jika saja anda berkehendak saat itu, pastinya tak akan terkorban ramai putra-putra, saudara, dan kaum kerabat kami....Prabu Sri Kresna berkata kepada Dewi Gendari " sudahlah, bibi permaisuri. Biarlah ini jadi pengajaran di masa depan..." Murkalah Dewi Gendari lalu ia seraya menunjuk ke arah Prabu Sri Kresna mengucapkan kutuk pasu kepadanya "AKU .....PUTRI SUWALA YANG TAAT PADA PERINTAH YANG KUASA.....AKU...ISTRI DRESTARASTRA YANG BERBAKTI!!...AKU...RATU PALING MALANG DARI WANGSA INI!!......AKU MENGUTUKMU, SRI KRESNA!!!! SAMA HALNYA KERABAT DAN ANGGOTA KELUARGAKU YANG TUMPAS DI HADAPANKU, AKU MENGUTUKMU! DENGAN CARA YANG SAMA PULA SEMOGA KELAK 36 TAHUN DARI SEKARANG, SELURUH RAKYAT, KERABAT, DAN ANGGOTA KELUARGAMU MENGALAMI PETAKA YANG SAMA DENGANKU!!  SAMA SEPERTI BINATANG BUAS, SEMUA PRIA YADAWA AKAN SALING MENUMPAHKAN DARAH!!! SEMOGA SETIAP ANAK-ANAKMU DAN ANAK-ANAK WANGSA YADAWA MENJADI SEPERTI ANAK SAPI YANG MERANA! SELURUH ANAK-ANAK YADAWA AKAN YATIM-PIATU MENANGIS PENUH RATAPAN! TANGIS PILU PARA JANDA AKAN MENGGEMA DI SETIAP JENGKAL ISTANAMU! SEPERTI NEGERIKU YANG TENGGELAM DALAM DUKA, KERAJAAN YANG PADUKA PIMPIN SEMOGA TENGGELAM DIHANTAM GELORA SAMUDERA! EMAS DARI DINDING ISTANAMU AKAN MELELEH DIHANTAMNYA!! DAN KAU!!  SEMOGA PADUKA JUGA AKAN TERHINA TERLUNTA-LUNTA DI SISA HIDUP PADUKA DAN MATI MENGENASKAN DIPANAH SEORANG PEMBURU! KUTUKAN DARI IBU YANG KEHILANGAN SEMUA PUTRNYA, TAK AKAN SIA-SIA!!" para Pandawa dan Prabu Sri Kresna kaget mendengarnya.....sedetik kemudian tiba-tiba petir menggelegar pertanda kutuk pasu itu di dengar para dewa. Prabu Sri Kresna merasa ini adalah buah dari karma karena dosa-dosanya dahulu dan kutuk pasu itu pertanda bahwa kejayaan Wangsa Yadawa akan segera sirna. Maka ia meng-aminkan kutuk pasu itu "semoga doa bibi terjadi!" Terkejutlah Hastinapura seisinya begitupun Gendari. Ia langsung menangis minta maaf. Prabu Sri Kresna lalu mengatakan pada Dewi Gendari " bibi Gendari, aku setuju diberi kutukan itu agar dunia bisa tahu bahwa kekuatan moral itu nyata adanya. Dan lagi, ini adalah takdir dari Dewata yang tak bisa dielakkan. Putraku Samba dulu telah dikutuk Batara Narada melahirkan sebilah gada. Gada itu sekarang sudah kami hancurkan. Tapi entah bagaimana kedepannya, tidak ada yang tau. Tapi berkat kutukanmu, takdir yang dibawa Samba telah dipenuhi." Dewi Gendari pun berlutut memohon ampunan. Prabu Sri Kresna pun menyuruhnya berdiri dan menguatkan hati sang ibu para Kurawa. Lalu dilantiklah Raden Parikesit sebagai putera mahkota baru Hastinapura dan Raden Pancakesuma sebagai putera mahkota Amarta namun karena mereka masih kecil, maka Yudhistiralah yang menjadi wakil mereka. Dilantiklah Prabu Yudhistira sebagai raja wakil bergelar Prabu Kalimataya dan sebagai patih, diangkatlah Arya Wiwitsuh sebagai patih Hastinapura.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar