Selasa, 16 Januari 2024

Rubuhan Duryudhana

Hai semua pembaca dan penikmat kisah pewayangan, kisah kali ini adalah akhir dari perang Bharatayudha, yakni pertarungan terakhir Bhima Wrekodara dengan Prabu Duryudhana yang berakhir dengan kekalahan Duryudhana dan balas dendam Aswatama kepada Para Pandawa. Kisah ini mengambil sumber kitab mahabharata karya Mpu Vyasa, Serial Kolosal India Mahabharat Starplus, Blog Kerajaan Dongeng: Duryudana GugurDuryudana Gugur | Budaya Jawa, dan Bharatayudha (8) Rubuhan – Duryudana Gugur | Wayang Indonesia dengan penambahan dan perubahan seperlunya.

Masih di hari yang sama, Di Grojogan sewu, Prabu Baladewa melihat air terjun telah berubah memerah darah bercampur bau amis. Prabu Baladewa sadar bahwa perang telah berlangsung. Bunga teratai yang dikatakan Sri Kresna akan mekar rupanya sudah mekar dengan sempurna. Bambang Setyaka, putra Kresna yang ditugaskan ayahnya untuk menjaga pamannya itu mengungkapkan yang sebenarnya. Setyaka menjelaskan bahwa perang sudah berlangsung dan hampir berakhir. Menurut kabar dari ayahnya, Setyaka bercerita " uwa prabu, sekarang Bharatayuda sudah berlangsung, tinggal menunggu antara uwa Prabu Duryudhana atau paman Arya Wrekodara yang jadi pemenang."

Baladewa marah kepada Arya Setyaka
Prabu Baladewa marah sekali karena Kresna tidak memberitahu sedari awal. Ia kecewa karena Kresna tak percaya dengan posisi netralnya. Cepat-cepat Prabu Baladewa menuju Tegal Kurusetra meninggalkan Bambang Setyaka disana. Di tengah perjalanan tiba-tiba turun hujan es dan badai hebat. Prabu baladewa lalu bergumam “walah... udan es ngene....aku jadi ingat kisah bibi Kunthi kalau dulu ketika Bhima dan Duryudhana lahir dibarengi hujan besar begini.” Tak ingin lama-lama bergumam, Prabu baladewa segera mempercepat langkah gajah Puspadentha.

Di tempat lain,  Di sebuah kubangan kolam darah, Prabu Duryudhana mandi berendam untuk mengingat-ingat dan merenungi segala dosanya kepada Pandawa setelah menyaksikan kematian Sengkuni. Di saat yang sama Prabu Baladewa yang baru tiba segera mengajak salah satu murid kinasih sekaligus iparnya itu ke medan laga. “adhi prabu, ayo kita selesaikan perang ini....kalah atu menang biarlah dewa yang akan menentuan.” Tapi sebelum itu, Prabu Duryudhana akan ke kemah perang dulu untuk berpamitan kepada keluarganya “Tentu saja, kakang guru, tapi biarkan aku ke kemah dulu...aku mau pamitan kepada Eyang Krepa dan dinda dewi banowati.”Prabu Baladew setuju dan segera menuju kemah.

Di balairung kemah perang, Prabu Duryudhana datang lalu memanggil Resi kerajaan Mpu Krepa. Duryudhana mewasiatkan kepada mereka " bopo Rsi Krepa...aku titipkan Hastinapura kepada bopo dan jagalah adinda intan payungku Banowati. Aku merasa waktuku sudah tak lama lagi. Aku akan beradu gada melawan Bhimasena. Barangsiapa diantara kami yang menang, bopo harus menjaga Hastinapura segenap jiwa raga dan taatilah siapa pemenang perangnya karena dia yang dibawah lindungan Hyang Widhi." Prabu Duryudhana pun mengunjungi kemah istrinya itu dan berpamitan "dinda Banowati....tak lama lagi entah aku atau dindamu Bhimasena akan gugur sebagai kusuma negara. Sudah habis semua pepunden harta dan persediaan makanan, beserta orang-orang terkasih telah gugur dalam peperangan ini. Eyang Bhisma, telah tumbang membela negeri. Guru kami Dorna, pun telah tiada lalu suami dari kakakmu Srutikanti, sahabatku Kakanda Karna, pun gugur setelah menjadi senapati Hastina melawan dinda Arjuna. Kakakmu Surtikanti, mati bela pati, setelah melihat kematian suaminya.begitu juga ayahanda Salya juga gugur beberapa jam lalu....” geram Duryudhana membayangkan gugurnya para jagoan-jagoan andalannya dalam pertempuran itu. Apabila aku menyerah nanti , sia-sia  perjuangan adik-adikku, kakanda Karna, guru Dorna, dan Eyang Bhisma lalu akan mengutukku di akhirat nanti. Maka dari itu, selama aku masih bernafas, tak akan ku menyerah sejengkal pun."

Banowati menghela nafas dan berkata dengan lirihnya “Bukankah Pandawa itu kan masih saudara kita sendiri toh, kakanda? Kakanda cukup memberikan hak-hak mereka dari sepenggalan tanah di Hastinapura yang kakanda rebut, bukankah Ayahanda Prabu Salya pun telah bersedia memberikan negeri Mandraka bila kakanda menghendakinya, jadi perang saudara ini pun tidak perlu diperpanjang lagi kan?” pedih hati Banowati tidak berdaya.“Ooooh dinda Banowati, mengapa dinda tidak mengerti bagaimana perih hati ini menyaksikan kemenangan sedikit demi sedikit diraih Pandawa. Meskipun itu tidak diperolehnya dengan cuma-cuma. Sudah banyak prajurit, penggawa bahkan anak-anak kami baik di pihak Pandawa maupun pihakku yang gugur demi negara masing-masing. Tapi Pandawa tetap lima sedangkan Kurawa sudah nyaris pupus. Karenanya restuilah suamimu ini untuk maju ke medan laga. Perang hanya menghasilkan dua pilihan. Antara menang… atau kalah sebagai pecundang, antara hidup… atau mati meregang nyawa. Itu yang kanda sadari dan tentunya dinda tahu bagaimana cinta kakanda kepadamu. Dari awal kita menikah hingga kini tiada berkurang, bahkan terus bertambah dari waktu ke waktu. Cintaku memang buta, tidak peduli akan terpaan, hinaan, tertawaan, ejekan sindiran, cibiran bahkan kejadian buruk apapun itu dan sekalipun itu datang dari gejolak di hatimu, yang setidaknya aku sudah ketahui semuanya.” Dengan lembutnya Duryudhana mengungkapkan hal itu. Sungguh pamitan yang mungkin saling tak bersambut. Banowati menjadi sedih karenanya namun mau apa dikata ia tak mampu mencinta setulus hati kepada suaminya. Cintanya hanya mampu tercurah pada Arjuna. Dalam lamunan, Banowati memikirkan kenapa takdir cintanya begitu rumit, derita cinta ini tiada akhir.

Singkat kata, semua orang berkumpul di tegal Kurusetra. Sebagai wasit ialah Prabu Baladewa, orangnya jujur dan menjunjung tinggi keadilan sementara pendiriannya tidak memihak Kurawa maupun Pandawa walau dirinya masih bersaudara dengan mereka. Wrekodara yang juga mengharapkan dirinya mendapat kesempatan untuk melawan Duryudhana segera maju ke depan membawa gadanya yang sebesar kepala. Baladewa memberi ketentuan bahwa pertarungan ini adalah antara dua ksatria dan tidak boleh ada pihak ketiga. Prabu duryudhana punberkata dengan lantang kepada Arya Wrekodara “Bhima, kau telah menghisap dan merobek-robek dada adikku Dursasana dan menghabisi adik-adikku yang lain...bersiaplah kau untuk kalah!” Arya Wrekodara pun membalas kata-kata Duryudhana “salahmu Dhewe kakangku......awakmu seng buat gara-gara dengan merebut kerajaan kami dan menghina Yundaku Drupadi! Saiki rasakno kemarahanku!”

Pertarungan Bhima vs Duryudhana
Di bawah guyuran hujan es dan angin kencang, Perang Gada pun bermula. Ketika mulai, tampak pertarungan berlangsung dengan seimbang, Duryudhana yang biasanya pengecut kali ini bertarung mati2an. Lama kelamaan terlihat bahwa Wrekodara lebih unggul, mahkota Duryudhana telah hancur terhantam kemudian tubuh Duryudhana terkena pukulan langsung sehingga terpental. Perang gada yang sungguh dahsyat. Walau bagaimanapun kehebatan sang Bayusuta, Bhima Wrekodara mulai kewalahan karena kulit sang sepupu itu seakan sekeras berlian bahkan pukulan gadanya tak berkesan. Arjuna dan para Pandawa lainnya mulai ketar-ketir. Namun Arjuna dengan tenang membuat isyarat. Ia membiarkan nyamuk menggigit paha kirinya. Lalu dipukullah nyamuk itu dengan lidi daun kelapa. Sang Bhima yang melihat hal itu paham bahwa apesnya Duryudhana ada di pahanya yang sebelah kiri. Seketika sang  panegak Pandawa itu menghantamkan gada Rujhapala miliknya ke paha kiri Duryudhana. Pukulan Arya Wrekodara kena tepat pada paha kiri Duryudana dan Duryudhana segera terjatuh sambil berteriak kesakitan. Bhima kemudian menghentikan serangannya karena Duryudhana sudah tidak berdaya. Prabu Baladewa marah dan kalap melihat tindakan tak terpuji murid sekaligus besannya itu (raden Walmuka putra kedua Baladewa menikahi Dewi Susenawati, putri Wrekodara). Bahkan Prabu Baladewa hendak menghantamkan tombak Nenggala miliknya. Senjata yang berupa bajak (luku) itu akan menyerang kepala sang Wrekodara itu namun Prabu Sri Kresna menyabarkan sang kakak dan berkata "kakang Balarama,  tolong jangan hakimi Dinda Wrekodara. Ini adalah karma Duryudhana yang pernah menghina Drupadi. Ingatkah di sidang istana Hastinapura dulu, Duryudhana pernah berkata akan memangku Drupadi yang tidak berpakaian di pahanya." Prabu Baladewa luluh. Prabu Duryudhana berteriak minta dihabisi karena dirinya sudah tak berdaya, namun sebagai ksatria sang Wrekodara pantang menyerang orang yang tidak berdaya. Prabu Duryudhana pun sadar. Ia menangisi semua dosa-dosanya dan bersedia menyerahkan Istana Indraprastha juga beramanat kepada Yudhistira untuk menjaga Hastinapura.

Pada sore hari ke delapan belas itu, Bharatayudha resmi diakhiri. Bhima telah berhasil mengalahkan sang raja Hastinapura pemimpin seratus Kurawa. Dalam keadaan sekarat, Duryudhana menyatakan bahwa dirinya siap mati jika ditemani pasangan hidupnya, Banowati. Atas nasihat Kresna, Bhima pun mengambil Sengkuni yang masih sekarat untuk diserahkan kepada Duryudhana. Prabu Duryudhana yang sudah kehilangan penglihatannya akibat luka parah segera menggigit leher Sengkuni yang dikiranya Banowati. Akibat gigitan itu, Sengkuni pun tewas seketika. Prabu Duryudhana lalu tak sadarkan diri. Para Pandawa pun memerintahkan para prajurit yang masih tersisa untuk menyiapkan upacara ngaben kepada sang raja Hastinapura. Para Pandawa lalu meninggalkan jasad Duryudhana di sana untuk bersiap-siap. Namun Duryudhana yang masih bertahan terus memanggil-manggil sahabatnya Bambang Aswatama dan adiknya yang terakhir, Kartamarma. Ia tahu kalau baik Aswatama maupun Kartamarma masih di sekitar Tegal Kurusetra.

Berita kemenangan Pandawa dan kalahnya Duryudhana terdengar oleh Aswatama yang mengembara menunggu waktu untuk pembalasan dendam kepada para Pandawa. Bambang Aswatama mencari keberadaan sang raja Hastinapura itu. Sayup-sayup terdengar suara teriakan yang lirih dari tengah lapangan yang telah banjir darah dan abu jenazah itu. Di tengah Tegal Kurusetra, Aswatama menemukan Duryudhana yang sudah sekarat menunggu ajal. " sahabatku, Duryudhana. Bertahanlah aku akan menyembuhkanmu." Di sisa tenaganya, Prabu Duryudhana berkata " tidak usah, sahabatku. Aku....sudah mengakui kekalahanku. Sekarang, kau...harus tunduk kepada....saudara kita, para Pandawa......aku berharap....para Pandawa akan mendoakan ku sehingga....... dosa yang ku perbuat selama hidupku.... diampuni Dewata....sekarang kau harus ke kemah Pandawa di Upalawaya sana.....menyerahkan baik-baik....ini permintaan terakhir......dari sahabatmu!" Setelah berkata demikian, prabu Duryudhana pun gugur. Aswatama menangis meraung -raung. Kematian para Kurawa khususnya Prabu Duryudhana telah menjadi alasan kuat untuk menyerang kemah Pandawa malam ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar