Selasa, 09 Januari 2024

Karna Tanding

Hai semua pembaca dan penikmat kisah pewayangan. Kisah kali ini menceritakan pertaruangan akhir antara Arjuna melawan Adipati Karna. Kisah ini juga menceritakan gugurnya Patih Hadimanggala, para isteri Karna dan orang tua angkat Karna. Kisah ini mengambl sumber dari Kitab Mahabharata karya Mpu Vyasa, Serial Kolosal india Mahabharat Starplus, dan https://wayang.wordpress.com/2010/07/28/bharatayudha-7-karna-tanding/ dengan pengubahan dan penambahan seperlunya.

Di petang hari keenam belas perang setelah gugurnya Harya Dursasana dan Begawan Dorna, Arjuna dan Karna saling bertemu namun mereka tak saling menyerang...diantara seperti terjadi dilema. Dilema akan perang yang ditakutkan ibu mereka, Dewi Kunthi. Meski demikian, adik-adik Prabu Duryudhana yang tersisa sudah hampir habis, kini menyisakan Duryudhana, Kertamarma dan Wikarna. Namun Wikarna akhirnya gugur juga. Kertamarma juga sudah lari dari medan perang. Perang berakhir imbang. Di tengah malam, Arjuna dan Karna saling merenung di tempat berbeda. Merenungi apalah arti perang ini. Perang ini hanya akan membawa duka dan jerit tangis pilu para janda dan anak yatim piatu...lebih-lebih tangis pilu Dewi Kunthi. Karna akhirnya membulatkan tekat. Ia meminta ayah mertuanya, Prabu Salya menjadi saksi perangnya dengan Arjuna dengan menjadi sais keretanya. Prabu Salya sebenarnya enggan namun ia memilih menuruti keinginan sang menantu. Selain keduanya adalah kakak bagi keponakannya, Nakula dan Sadewa, keengganan Salya dikarenakan baik Karna maupun Arjuna juga adalah permata hati bagi Prabu Salya setelah gugurnya Burisrawa dan Rukmarata. Di hari ketujuh belas, Arjuna dan Karna saling berperang tanding, perang mempertahankan hidup dan mati. Hari itu Arjuna menaiki kereta dikusiri Kresna dan memakai mahkota Kiritin pemberian ayah angkatnya, Batara Indra. Namun sebelum perang terjadi, Atas permintaan Arjuna, Sri Kresna mengarahkan kereta ke arah kereta Adipati Karna lalu Arjuna menghampiri dan menemuinya untuk mengaturkan sembah dan hormatnya. Dengan menahan tangis sesenggukan Arjuna menghampiri kakak tertuanya ”Kakang Aradeya salam hormat saya untuk Kakanda. Kakang, jangan dikira saya mendatangi Kakang ini untuk mengaturkan tantangan perang. Kakang, dengan segala hormat, marilah Kakang saya iringkan ke perkemahan Pandawa kita berkumpul dengan saudara pandawa yang lain layaknya saudara Kakang…kanjeng ibu Kunthi sudah menunggu di dalam kemahku untuk berjumpa dengan kakang....”

Adipati Karna pun mendekati Arjuna ”Aduh adikku, Parta…Kakang rasakan kok kamu seperti anak kecil yang kehilangan mainan. Menahan tangis sesenggukkan, karena perbuatan sendiri. Adikku yang bagus rupanya, tinggi kesaktiannya, mulya budi pekertinya. Sudah berapa kali kalian, ibu Kunthi, dan Kakang Prabu Sri Kresna membujuk aku untuk meninggalkan Hastinapura dan bersatu dengan kalian Para Pandawa. Aduh..adikku, jikalau aku mau mengikuti ajakan dan permintaan itu, Kakang tidak ada bedanya dengan burung dalam sangkar emas. Kelihatannya enak, kelihatannya mulia, kelihatannya nyaman.

Tapi adikku, kalau begitu, sejatinya Kakang ini adalah seorang pengecut, seseorang yang tidak dapat memegang omongan dan amanah yang telah diniatinya sendiri. Adikku…bukan dengan menyenangkan jasad dan jasmani Kakang jikalau kalian berkehendak membantu Kakang mencari kebahagiaan sejati. Adikku..Parta, jalan sebenarnya untuk mendapatkan kebahagiaan sejatiku adalah dengan mengantarkan kematianku di tangan kalian, sebagai satria sejati yang memegang komitmen dan amanah yang Kakang menjadi tanggung jawab Kakang. Oleh karena itu Adikku, ayo kita mulai perang tanding ini layaknya senopati perang yang menunaikan tugas dan tanggung jawab yang sejati.

Ayo adhiku Parta, perlihatkan keprigelanmu, sampai sejauh mana keprawiranmu, keluarkan semua kesaktinmu. Antarkan kakangmu ini memenuhi darma kesatriaannya. Lalu sesudah itu, mohonkanlah pamit Kakang kepada ibunda Dewi Kunthi. Mohonkan maaf kepadanya, dari bayi sampai tua seperti ini belum pernah sekalipun mampu membuatnya mukti bahagia meskipun hanya sejengkal saja.”

”Aduh Kakangku Aradeya yang hamba sayangi, adinda mohon maaf atas segala kesalahan. Silakan Kakang kita mulai perang tanding ini”

Setelah saling

Karna Tandhing
hormat antara keduanya, perang tanding kedua senopati perang yang mewakili kepentingan berbeda namun demi prinsip yang sama secara substansi itu dimulai. Keduanya mengerahkan segala kemampuan perang darat yang dimiliki. Sekian lama adu jurus kanuragan ini berlangsung. Saling menerjang, saling menghindar dan berkelebat. Perang terjadi begitu dahsyat.

Panah pun dilesatkan dan meledak di angkasa raya. Ajian-ajian bertabrakan menimbulkan daya ledak yang nyaris seperti ledakan nuklear. Panah Adipati Karna hampir mengenai Arjuna tapi meleset karana kereta sang Adipati Awangga tiba-tiba terjebak ke kubangan lumpur. Sepertinya Prabu Salya masih menyayangi keponakan dan anak mantunya itu maka ia sengaja mengarahkan kereta ke lumpur. Saat hendak memanah lagi, Adipati Karna lupa ajian Naracabala. Karma sang Adipati sudah berlaku. Maka ia meminta Arjuna untuk tidak memanah dulu sementara ia mengangkat roda keretanya dari lumpur. Arjuna mengiyakan namun diprotes Kresna. Kresna lalu memprovokasi Arjuna tentang penghinaan iparnya, Drupadi yang dikatai sebagai wanita murahan "Parta, apa kau ingat bagaimana Yundamu Panchali dihinakan kakangmu  sebagai wanita murahan?! Apa itu contoh kakak yang baik?!" Perang batin terjadi di dalam hati Arjuna. Tanpa disadari, tangan Arjuna berkeringat dan panah Pasopati miliknya lepas melesat ke arah Karna. Suara teriakan Karna terdengar patih Hadimanggala. Sang patih lalu mendekati asal suara dan mendapati junjungan yang juga sepupunya itu telah terkulai lemas berdarah darah dan Prabu Salya yang pingsan karena terlalu menangisi Karna.. ia langsung lari ke kemah para isteri karna. Ia membawa kabar “ampun yunda prameswari berdua...kakanda adipati,,,, telah seda...” Sementara itu, para isteri Karna yakni Dewi Srutikanti dan Dewi Wrusali yang mendapat kabar bahwa Adipati Karna telah seda (gugur) dari Patih Hadimanggala segera menyusul ke Tegal Kurusetra. Setelah para isteri Karna pergi, patih Hadimanggala menangis . ia merasa gagal sebagai adik dan patih, tak bisa melindungi orang yang ia junjung tinggi “kakang Aradeya......maafkan aku kakang....aku gagal melindungi kakang! Aku mau ikut kakang...ayah Nanda...ibu Yasodha...ayah Adirata...ibu Rada.....aku pamit!” Sang patih lalu melakukan bela pati dengan menusuk keris ke lehernya. Sementara itu di kemah Upalawaya, Dewi Kunthi sedang menyalakan lampu-lampu karena hari sudah hampir gelap. Lalu ketika hendak mendakit salah satu lampu, salah satu dari lampu itu tumpah dan mengenai sekuntum bunga teratai, minyak yang terbakar itu menyambar bunga itu dan menghanguskannya tak bersisa. Dewi Kunthi merasa salah satu anaknya dalam bahaya. Ia pun meminta prabu yudhistira untuk mengantarnya ke medan laga. “anakku...cepat antar ibu ke Kurusetra. Ibu merasa kakang atau adhi kalian dalam bahaya.” Tanpa banyak bicara, Prabu Yudhistira dan tiga adik-adiknya bersama Dewi Kunthi berangkat menuju Tegal Kurusetra.

Sesampainya para isteri Karna di Tegal Kurusetra, Adipati Karna telah dalam keadaan sekarat. Panah menancap di kepala dan lehernya. Karna lalu mengulurkan tangannya dan ingin memeluk Arjuna untuk terakhir kalinya " adhiku, Parta....kemarilah....kakangmu ini ingin berpamitan...." Dari atas kereta, Sri Kresna melarang Arjuna turun. "Jangan turun, Parta. aku takut bila Karna hendak menikammu." Tangis pilu Arjuna tak tertahan lagi. Bukan karena ia telah membunuh kakaknya, tapi karena dilarang orang terdekatnya untuk meminta maaf dengan tulus pada kakaknya. Di saat demikian, Dewi Kunthi dan empat Pandawa diiringi Adipati Adirata dan Nyai Rada, orangtua angkat sang Aradeya datang. Dewi Kunthi menangis sesegukan lalu memeluk Karna diiringi Prabu Yudhistira, Arya Wrekodara, Arya Nakula, dan Arya Sadewa. Walaupun ia tau hal ini harus terjadi kenapa harus sepahit ini, itu yang dirasakan Dewi Kunthi.  Dalam rengkuhan peluknya, Dewi Kunthi lalu memanggil Karna dengan sedih ”Basukarna anakku...lihatlah..ini ibu Rada dan aku datang...nak ...bangunlah sebentar....saja nak... “ “Adipati Karna membua matanya sejenak...”ibu Rada...Ibu Kunthi.......aku....minta maaf.....atas segalanya...maafkan...aku...aku tak bisa...jadi anak...baik...kakak teladan....bagi adik..adikku.....” Nyai rada lalu berkata “nak...Aradeya anakku.....kamu kakak yang berhasil nak....kamu adalah anak ibu yang baik....lihatlah adik-adikmu....berhasil semua...anakku bertahanlah...sebentar lagi tim medis datang...” namun nampaknya waktu seperti sudah berkehendak. Tak lama kemudian, Adipati Karna wafat. Seluruh keluarga Pandawa berduka. Adipati Adirata dan Nyai Rada sangat berduka. Nampaknya pula awan kelabu kesedihan tak hentinya menutupi para Pandawa dan keluarganya.  Datanglah seorang telik sandi Awangga membawa kabar duka “ampun tuanku Adipati Adirata..... hamba membawa kabar yang buruk....Gusti patih Hadimanggala telah meninggal....dia bela pati atas kematian gusti Adipati Karna....”  Kesedihan di keluarga Karna dan Pandawa bertambah-tambah.....sudah kehilangan Karna kini Hadimanggala menyusul. Adipati Adirata dan Nyai Rada sangat terpukul. Mereka berdua ikut bela pati menyusul dua anak angkat yang sangat mereka sayangi. Para isteri tidak membenci Arjuna namun mereka menyayangkan sikap Arjuna yang tidak memberi penghormatan terakhir pada sang kakak “adhiku Arjuna...aku menyayangkan sikap adhi tidak mau memenuhi permintaan kakanda Karna.”ucap Dewi Wrusali. “Benar kata yunda Wrusali, adhi tidak punya perasaan.” Timpal Dewi Srutikanti.

Batin Arjuna meledak. Tangisnya pun pecah. Ia pun turun dan memeluk tubuh sang kakak yang telah dingin dan kaku itu, memohon ampun minta maaf. Namun nasi telah menjadi bubur. Sang Aradeya telah pergi ke hadirat Hyang Widhi. Dewi Wrusali dan Dewi Srutikanti semakin menangis terisak-isak. Dewi Wrusali lalu meminta maaf karena ia tak bermaksud menyakiti hati Arjuna, begitupun Dewi Srutikanthi.berpesan pada Arjuna untuk mendidik putra bungsu Karna yakni Wresaketu dan cucu mereka, Warsaka dan Wikrakasana. Dewi Kunthi lalu menggugat Kresna karena tidak membiarkan Arjuna turun dari kereta. Ia tidak tahu rasanya kesepian. Maka Dewi Kunthi menyumpahi Kresna bahwa kelak ia akan mati dalam kesendirian, sama halnya dengan Karna, putranya. Sumpah itu makbul ditandai dengan petir yang menyambar-nyambar. Malam itu api pancaka menyala mengiringi kremasi Adipati Karna. Para isteri Karna lompat ke dalam api pancaka, bela pati menyusul suaminya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar