Di petang hari keenam
belas perang setelah gugurnya Harya Dursasana dan Begawan Dorna, Arjuna dan
Karna saling bertemu namun mereka tak saling menyerang...diantara seperti
terjadi dilema. Dilema akan perang yang ditakutkan ibu mereka, Dewi Kunthi.
Meski demikian, adik-adik Prabu Duryudhana yang tersisa sudah hampir habis,
kini menyisakan Duryudhana, Kertamarma dan Wikarna. Namun Wikarna akhirnya
gugur juga. Kertamarma juga sudah lari dari medan perang. Perang berakhir
imbang. Di tengah malam, Arjuna dan Karna saling merenung di tempat berbeda.
Merenungi apalah arti perang ini. Perang ini hanya akan membawa duka dan jerit
tangis pilu para janda dan anak yatim piatu...lebih-lebih tangis pilu Dewi
Kunthi. Karna akhirnya membulatkan tekat. Ia meminta ayah mertuanya, Prabu Salya
menjadi saksi perangnya dengan Arjuna dengan menjadi sais keretanya. Prabu
Salya sebenarnya enggan namun ia memilih menuruti keinginan sang menantu.
Selain keduanya adalah kakak bagi keponakannya, Nakula dan Sadewa, keengganan
Salya dikarenakan baik Karna maupun Arjuna juga adalah permata hati bagi Prabu
Salya setelah gugurnya Burisrawa dan Rukmarata. Di hari ketujuh belas, Arjuna
dan Karna saling berperang tanding, perang mempertahankan hidup dan mati. Hari
itu Arjuna menaiki kereta dikusiri Kresna dan memakai mahkota Kiritin pemberian
ayah angkatnya, Batara Indra. Namun sebelum perang terjadi, Atas permintaan Arjuna,
Sri Kresna mengarahkan kereta ke arah kereta Adipati Karna lalu Arjuna menghampiri
dan menemuinya untuk mengaturkan sembah dan hormatnya. Dengan menahan tangis sesenggukan Arjuna menghampiri kakak tertuanya ”Kakang Aradeya
salam hormat saya untuk Kakanda. Kakang, jangan dikira saya mendatangi Kakang
ini untuk mengaturkan tantangan perang. Kakang, dengan segala hormat, marilah
Kakang saya iringkan ke perkemahan Pandawa kita berkumpul dengan saudara
pandawa yang lain layaknya saudara Kakang…kanjeng ibu Kunthi sudah menunggu di
dalam kemahku untuk berjumpa dengan kakang....”
Adipati Karna pun
mendekati Arjuna ”Aduh adikku, Parta…Kakang rasakan kok kamu seperti anak kecil
yang kehilangan mainan. Menahan tangis sesenggukkan, karena perbuatan sendiri.
Adikku yang bagus rupanya, tinggi kesaktiannya, mulya budi pekertinya. Sudah
berapa kali kalian, ibu Kunthi, dan Kakang Prabu Sri Kresna membujuk aku untuk
meninggalkan Hastinapura dan bersatu dengan kalian Para Pandawa. Aduh..adikku,
jikalau aku mau mengikuti ajakan dan permintaan itu, Kakang tidak ada bedanya
dengan burung dalam sangkar emas. Kelihatannya enak, kelihatannya mulia,
kelihatannya nyaman.
Tapi adikku, kalau
begitu, sejatinya Kakang ini adalah seorang pengecut, seseorang yang tidak
dapat memegang omongan dan amanah yang telah diniatinya sendiri. Adikku…bukan
dengan menyenangkan jasad dan jasmani Kakang jikalau kalian berkehendak
membantu Kakang mencari kebahagiaan sejati. Adikku..Parta, jalan sebenarnya
untuk mendapatkan kebahagiaan sejatiku adalah dengan mengantarkan kematianku di
tangan kalian, sebagai satria sejati yang memegang komitmen dan amanah yang
Kakang menjadi tanggung jawab Kakang. Oleh karena itu Adikku, ayo kita mulai
perang tanding ini layaknya senopati perang yang menunaikan tugas dan tanggung
jawab yang sejati.
Ayo adhiku Parta,
perlihatkan keprigelanmu, sampai sejauh mana keprawiranmu, keluarkan semua
kesaktinmu. Antarkan kakangmu ini memenuhi darma kesatriaannya. Lalu sesudah
itu, mohonkanlah pamit Kakang kepada ibunda Dewi Kunthi. Mohonkan maaf
kepadanya, dari bayi sampai tua seperti ini belum pernah sekalipun mampu
membuatnya mukti bahagia meskipun hanya sejengkal saja.”
”Aduh Kakangku Aradeya
yang hamba sayangi, adinda mohon maaf atas segala kesalahan. Silakan Kakang
kita mulai perang tanding ini”
Setelah saling
Karna Tandhing |
Panah pun dilesatkan dan
meledak di angkasa raya. Ajian-ajian bertabrakan menimbulkan daya ledak yang
nyaris seperti ledakan nuklear. Panah Adipati Karna hampir mengenai Arjuna tapi
meleset karana kereta sang Adipati Awangga tiba-tiba terjebak ke kubangan
lumpur. Sepertinya Prabu Salya masih menyayangi keponakan dan anak mantunya itu
maka ia sengaja mengarahkan kereta ke lumpur. Saat hendak memanah lagi, Adipati
Karna lupa ajian Naracabala. Karma sang Adipati sudah berlaku. Maka ia meminta
Arjuna untuk tidak memanah dulu sementara ia mengangkat roda keretanya dari
lumpur. Arjuna mengiyakan namun diprotes Kresna. Kresna lalu memprovokasi
Arjuna tentang penghinaan iparnya, Drupadi yang dikatai sebagai wanita murahan
"Parta, apa kau ingat bagaimana Yundamu Panchali dihinakan kakangmu sebagai wanita murahan?! Apa itu contoh kakak
yang baik?!" Perang batin terjadi di dalam hati Arjuna. Tanpa disadari,
tangan Arjuna berkeringat dan panah Pasopati miliknya lepas melesat ke arah
Karna. Suara teriakan Karna terdengar patih Hadimanggala. Sang patih lalu
mendekati asal suara dan mendapati junjungan yang juga sepupunya itu telah
terkulai lemas berdarah darah dan Prabu Salya yang pingsan karena terlalu menangisi
Karna.. ia langsung lari ke kemah para isteri karna. Ia membawa kabar “ampun yunda
prameswari berdua...kakanda adipati,,,, telah seda...” Sementara itu, para
isteri Karna yakni Dewi Srutikanti dan Dewi Wrusali yang mendapat kabar bahwa
Adipati Karna telah seda (gugur) dari Patih Hadimanggala segera menyusul ke
Tegal Kurusetra. Setelah para isteri Karna pergi, patih Hadimanggala menangis .
ia merasa gagal sebagai adik dan patih, tak bisa melindungi orang yang ia
junjung tinggi “kakang Aradeya......maafkan aku kakang....aku gagal melindungi
kakang! Aku mau ikut kakang...ayah Nanda...ibu Yasodha...ayah Adirata...ibu
Rada.....aku pamit!” Sang patih lalu melakukan bela pati dengan menusuk keris
ke lehernya. Sementara itu di kemah Upalawaya, Dewi Kunthi sedang menyalakan
lampu-lampu karena hari sudah hampir gelap. Lalu ketika hendak mendakit salah
satu lampu, salah satu dari lampu itu tumpah dan mengenai sekuntum bunga teratai,
minyak yang terbakar itu menyambar bunga itu dan menghanguskannya tak bersisa.
Dewi Kunthi merasa salah satu anaknya dalam bahaya. Ia pun meminta prabu
yudhistira untuk mengantarnya ke medan laga. “anakku...cepat antar ibu ke
Kurusetra. Ibu merasa kakang atau adhi kalian dalam bahaya.” Tanpa banyak
bicara, Prabu Yudhistira dan tiga adik-adiknya bersama Dewi Kunthi berangkat menuju
Tegal Kurusetra.
Sesampainya para isteri Karna
di Tegal Kurusetra, Adipati Karna telah dalam keadaan sekarat. Panah menancap
di kepala dan lehernya. Karna lalu mengulurkan tangannya dan ingin memeluk
Arjuna untuk terakhir kalinya " adhiku, Parta....kemarilah....kakangmu ini
ingin berpamitan...." Dari atas kereta, Sri Kresna melarang Arjuna turun.
"Jangan turun, Parta. aku takut bila Karna hendak menikammu." Tangis
pilu Arjuna tak tertahan lagi. Bukan karena ia telah membunuh kakaknya, tapi
karena dilarang orang terdekatnya untuk meminta maaf dengan tulus pada
kakaknya. Di saat demikian, Dewi Kunthi dan empat Pandawa diiringi Adipati
Adirata dan Nyai Rada, orangtua angkat sang Aradeya datang. Dewi Kunthi
menangis sesegukan lalu memeluk Karna diiringi Prabu Yudhistira, Arya
Wrekodara, Arya Nakula, dan Arya Sadewa. Walaupun ia tau hal ini harus terjadi
kenapa harus sepahit ini, itu yang dirasakan Dewi Kunthi. Dalam rengkuhan peluknya, Dewi Kunthi lalu memanggil
Karna dengan sedih ”Basukarna anakku...lihatlah..ini ibu Rada dan aku
datang...nak ...bangunlah sebentar....saja nak... “ “Adipati Karna membua
matanya sejenak...”ibu Rada...Ibu Kunthi.......aku....minta maaf.....atas
segalanya...maafkan...aku...aku tak bisa...jadi anak...baik...kakak teladan....bagi
adik..adikku.....” Nyai rada lalu berkata “nak...Aradeya anakku.....kamu kakak
yang berhasil nak....kamu adalah anak ibu yang baik....lihatlah
adik-adikmu....berhasil semua...anakku bertahanlah...sebentar lagi tim medis
datang...” namun nampaknya waktu seperti sudah berkehendak. Tak lama kemudian,
Adipati Karna wafat. Seluruh keluarga Pandawa berduka. Adipati Adirata dan Nyai
Rada sangat berduka. Nampaknya pula awan kelabu kesedihan tak hentinya menutupi
para Pandawa dan keluarganya. Datanglah
seorang telik sandi Awangga membawa kabar duka “ampun tuanku Adipati Adirata.....
hamba membawa kabar yang buruk....Gusti patih Hadimanggala telah meninggal....dia
bela pati atas kematian gusti Adipati Karna....” Kesedihan di keluarga Karna dan Pandawa
bertambah-tambah.....sudah kehilangan Karna kini Hadimanggala menyusul. Adipati
Adirata dan Nyai Rada sangat terpukul. Mereka berdua ikut bela pati menyusul dua
anak angkat yang sangat mereka sayangi. Para isteri tidak membenci Arjuna namun
mereka menyayangkan sikap Arjuna yang tidak memberi penghormatan terakhir pada
sang kakak “adhiku Arjuna...aku menyayangkan sikap adhi tidak mau memenuhi
permintaan kakanda Karna.”ucap Dewi Wrusali. “Benar kata yunda Wrusali, adhi tidak
punya perasaan.” Timpal Dewi Srutikanti.
Batin Arjuna meledak.
Tangisnya pun pecah. Ia pun turun dan memeluk tubuh sang kakak yang telah
dingin dan kaku itu, memohon ampun minta maaf. Namun nasi telah menjadi bubur.
Sang Aradeya telah pergi ke hadirat Hyang Widhi. Dewi Wrusali dan Dewi
Srutikanti semakin menangis terisak-isak. Dewi Wrusali lalu meminta maaf karena
ia tak bermaksud menyakiti hati Arjuna, begitupun Dewi Srutikanthi.berpesan
pada Arjuna untuk mendidik putra bungsu Karna yakni Wresaketu dan cucu mereka,
Warsaka dan Wikrakasana. Dewi Kunthi lalu menggugat Kresna karena tidak
membiarkan Arjuna turun dari kereta. Ia tidak tahu rasanya kesepian. Maka Dewi
Kunthi menyumpahi Kresna bahwa kelak ia akan mati dalam kesendirian, sama
halnya dengan Karna, putranya. Sumpah itu makbul ditandai dengan petir yang
menyambar-nyambar. Malam itu api pancaka menyala mengiringi kremasi Adipati
Karna. Para isteri Karna lompat ke dalam api pancaka, bela pati menyusul
suaminya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar