Hai semua pembaca dan penikmat kisah pewayangan, kisah kali ini menceritakan gugurnya Prabu Salya dan Patih Sengkuni. Kisah ini memadukan cerita asli Mahabharata dengan pewayangan. Sumber yang diapaki ialah dari Kitab Mahabharata karya Mpu Vyasa, blog Lakon Salya Gugur dan Sengkuni Lena, dan Serial Kolosal India Mahabharat Starplus.
Pada tengah malam,
mendekati hari kedelapan belas, Prabu Duryudhana datang memenuhi panggilan
ibunya, Dewi Gendari. Namun ibunya
meminta agar ia datang bertelanjang bulat. Saat itu Prabu Sri Kresna sedang
berjaga malam melihat pemandangan tak senonoh itu. Maka ia berkata kepada Prabu
Duryudhana " aduh adhiku, gusti prabu...kau ini anak durhaka, tidak tahu
sopan santun, masa' mendatangi ibumu dengan telanjang seperti orang gila."
Prabu Duryudhana berkata " diam kau, Basudewa...kau tidak paham apa
maksudku melakukan begini!" Prabu Sri Kresna berkata " maksudmu untuk
mempermalukan ibumu. Kalau kau seorang raja dan anak berbakti, seharusnya
pertanyakan dulu motif ibumu menyuruhmu datang telanjang." Prabu Duryudhana
goyah hatinya maka ia mencari apapun untuk menutupi auratnya. Ia menemukan daun
pisang. Ketika sampai di istana Hastinapura, Dewi Gendari berkata ia telah
menutup mata di siang hari dan hanya membuka tutup mata itu di kala malam hari
saja. Ini bukan semata-mata sumpah kesetiaan pada suami namun bentuknya dalam
tapa brata. Kini kekuatan itu telah terkumpul. Ketika membuka matanya, kekuatan
ajaib keluar dari matanya menyinari sekujur tubuh Prabu Duryudhana dari ujung
kepala hingga ujung kaki. Namun ketika melihat ke bawah, Dewi Gendari mendapati
Prabu Duryudhana menutupi aurat dan pangkal pahanya. Dewi Gendari kecewa namun
tetap mendoakan putranya itu agar selalu berada di jalan yang ia pilih....
Pagi hari ke delapan
belas perang dimulai. Prabu Yudhistira dihadapkan dengan kemampuan perang
pamannya, Prabu Salya. Pasukan raksasa Candhabirawa pamannya mampu melumat
habis sebagian pasukan Pandawa. Mau tidak mau, Prabu Yudhistira harus melawan
kakak dari ibu Madrim itu. Selama pertarungan itu, raja Amarta yang bernama
kecil Puntadewa itu seperti ragu-ragu. Semua lemparan tombaknya meleset. Prabu Salya marah " ada apa ini, putra
Pandhu?" Prabu Yudhistira berkata " ampun uwa prabu....aku tak maksud
hati ingin menyerangmu....uwa adalah kakak dari ibu Madrim, sama seperti orang
tuaku...aku tidak mau, uwa prabu." Prabu Salya berkata kepada Yudhistira
"jangan bertindak setengah hati, Dharmaputra! Lawanlah uwamu ini."
Paman Salya seketika menembakkan panah Rudrohasta yang ia lambari dengan Aji
Candhabirawa. Seketika raksasa-raksasa muncul dari dalam panah dan menyerang
raja yang bernama kecil Puntadewa itu. Bimbang hati Yudhistira sehingga datang
atma Begawan Bagaspati, mertua Salya yang sudah lama pergi itu membantu
Yudhistira. Seketika, sang raja Amarta melemparkan Layang Jamus Kalimahusada ke
angkasa. Kitab itu melayang-layang lalu bertukar wujud menjadi tombak dan
mengarah ke arah raja Mandaraka itu.
Prabu Salya melihat tombak itu telah ditunggangi atma Begawan Bagaspati hendak menjemput sang menantu ke alam kelanggengan. Prabu Salya meletakkan senjatanya seakan ia telah siap menerima ajalnya hari ini. Tangis haru pecah ketika tombak jelmaan Jamus Kalimahusada itu menancap di dada prabu Salya. Prabu Yudhistira segera turun dari kereta dan memangku pamannya itu. Lalu disusul Arya Nakula dan Sadewa. Di tengah sekaratnya, Prabu Salya menitipkan Mandaraka dan berpesan padanya agar Nakula Dan Sadewa dijadikan raja dan patih Mandaraka menggantikannya.
Salya Gugur |
Sesampainya disana, Arya Wrekodara dan Arya Sadewa saling menyerang Patih Sengkuni. Namun kulit sang patih yang merangkap sebagai raja Gandaradesa itu kebal tan tedhas palu ning pandhe. Semar memberikan isyarat membelah daun dari bawah. Arya Wrekodara paham bahwa untuk mengalahkan sang Arya Suman, ia harus menyobek dubur sang patih. Patih sengkuni yang sudah mulai terdesak dibanting-banting lalu disobek duburnya dengan kuku Pancanaka. Lenyaplah kekebalan Sengkuni yang ia dapat dari Lenga Tala itu. Patih Sengkuni mengerang kesakitan. Di saat demikian, Arya Sadewa yang telah dibalut dendam menusukkan keris Purnamacandra ke mulut sang patih "Uwa Sengkuni, gara-gara mulutmu, kami harus menderita dan gara-gara mulutmu juga, uwa Prabu Salya harus bergabung dengan pasukan Kurawa. Sekarang Rasakan tikaman Kerisku!!" Sadewa tanpa ampun menusuk-nusuk dan mencabik-cabik seisi mulut Sengkuni sehingga lidahnya pun terpotong terbelah, bibirnya pun terkelupas sampe memperlihatkan rahangnya yang remuk. Seketika Sengkuni yang sudah lemah makin terkulai lemas. Sengkuni kesakitan meraung-raung" Ampun, Sena...Keponakanku! Ampun! Duryudhana, Tolong ak....wu...!!" teriak Sengkuni yang lalu hilang karena lidahnya hancur. Arya Wrekodara yang masih dendam kepada Sengkuni tanpa belas kasih mengiris kulit Sengkuni sambil berkata" Uwa Sengkuni....BIYEN PAS YUNDAKU DRUPADI DILUCUTI, UWA YO PODHO NAFSU NENG IBUKU....GARA-GARA AWAKMU AREP NGEROGOH AWAKE SAMPE KLAMBINE ROWEK....BANJUR SUMPAH RA KLAMBENAN KEBAYA NGANTI GAWE KULITMU, UWA. SAIKI SUMPAH IKU BAKAL KELAKON!!!" tanpa ampun lagi, Sengkuni dikuliti dari atas sampai bawah menggunakan Kuku Pancanaka. Prabu Duryudhana yang melihat hal demikian segera lari meninggalkan Medan laga. Sadewa belum puas. Ia lalu membantu kakaknya menusuk-nusuk tubuh Sengkuni sampai-sampai ia menggelepar seperti ikan yang kepanasan. Setelah kulit Sengkuni lepas dari tubuhnya, kulit itu dijahit dengan urat tangan dan kaki Sengkuni untuk dijadikan kebaya. Dewi Kunthi datang dengan hati yang di gin dan mata yang sayu " anakku, sudah nak.....jangan siksa uwamu Sengkuni... sekarang dia sudah mendapat balasannya." Arya Wrekodara lalu menyelesaikan kebaya dari kulit manusia terjulid itu lalu ia persembahkan kepada ibunya, Dewi Kunthi. Ibu para Pandawa yang berjuluk Dewi Prita itu memakai kebaya kulit manusia itu seraya ia teringat kejadian saat dipermalukan Sengkuni sehingga kebayanya sobek. Namun setelah diperlakukan demikian dengan penuh siksaan sampai rasanya mau mati, sang patih masih hidup bahkan sempat berguling-guling menahan sakit yang terasa bagaikan azab dari dewa. Sakti betul patih satu ini. Arya Wrekodara dengan penuh kemurkaan mencari-cari larinya Prabu Duryudhana, sang pemicu perang ini sekaligus sang Kurawa terakhir.
Sengkuni Lena |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar