Sabtu, 02 Desember 2023

Kresna Gugah (Antareja Gugur/Karna Danadriya)

 Hai semua, pembaca dan penikmat kisah pewayangan. Kisah kali ini akan menceritakan tiga lakon sekaligus. Yang pertama ialah Kresna yang tidur lalu dibangunkan oleh Arjuna dan Duryudhana, lalu dilanjutkan pengorbanan Adipati Karna dengan memberikan baju tamsirnya kepada Batara Indra, dan kisah terakhir yakni gugurnya Antareja akibat apus-apus dari Prabu Sri Kresna demi menghindarkan kakaknya dari melawan Antareja. Kisah ini mengambil sumber dari Kitab Mahabharata karya Mpu Vyasa, https://caritawayang.blogspot.com/2012/09/kresna-gugah.html, dan Serial Kolosal India Mahabharat Starplus dan Radha Krishna Starbharat.

Kresna Gugah

Hari peperangan sudah mulai mendekat. Setelah pulang dari Hastinapura menyelesaikan masalah Sasrawindu, Prabu Sri Kresna memutuskan untuk beristirahat di taman Banoncinawi. Ia pun tidur terlentang dalam wujud Wisnu. Arjuna dan Prabu Duryudhana datang ke sana untuk mendapatkan bantuan dari Dwarawati karena mereka telah mendengar sang raja Dwarawati secara politik memutuskan netral (tidak akan memihak). Arjuna duduk di sebelah kaki sepupu sekaligus iparnya itu sementara Prabu Duryudhana duduk di samping kepala sang raja Dwarawati.

Kresna Gugah
Mereka juga ikut tertidur. Satu hari, dua hari, empat hari.....sudah sepekan Prabu Sri Kresna, Prabu Duryudhana, dan Raden Arjuna mereka terlelap, tidur seperti orang pingsan. Rupanya ketiga orang itu melakukan tapa brata dalam keadaan tidur lena.

Di antara awan-awan di langit yang biru, sukma (jiwa) Prabu Duryudhana dan Arjuna sedang mencari-cari sukma Kresna yang sedang nglembara ke kahyangan. Sementara itu, di kahyangan, layang (kitab) Jitabsara yang berisi lakon-lakon perang Bharatayudha sedang dikaji ulang. Batara Panyarikan atas izin Batara Guru hendak menambahkan pertarungan Baladewa melawan Antareja, Antasena, dan Wisanggeni. Sebagai avatar/titisan Wisnu, Prabu Sri Kresna telah dihubungi Batara Wisnu lewat tapa tidur bahwa keputusan kahyangan adalah hendak mengubah takdir perang Bharatayudha agar Bharatayuda selesai lebih cepat. Sukma Kresna lalu berubah jadi seekor klanceng (sejenis lebah) bernama Klanceng Suci. Si klanceng menuju ruang kerja Batara Penyarikan. Di sana, sang kerani (juru tulis) kahyangan hendak menulis, menambah kalimat "pertarungan Baladewa dan Antareja, Antasena dan Wisanggeni" di saat demikian, Klanceng Suci menumpahkan tinta Batara Penyarikan sehingga sisa tulisan yang hendak dituliskan Baladewa, Antareja, Antasena, dan Wisanggeni jadi kotor dan tak bisa ditulis lagi.

Klanceng Suci berubah kembali menjadi sukma Prabu Sri Kresna. Dalam wujud halus itu, Prabu Sri Kresna memohon agar perang Bharatayudha tetap berjalan sebagaimana mestinya. " Gusti Batara, perang ini adalah perang suci. Perang yang bukan hanya tentang kemenangan dharma, tapi juga tentang sebab dan akibat sebuah perbuatan. Perbuatan tiap-tiap ksatria yang akan berperang harus mendapat ganjaran. Karmaphala tiap-tiap orang akan dituai sesuai apa yang dilakukan. Kalau perang ini dibuat lebih cepat, tak ada kesucian di dalam perang ini. Tolong pertimbangkan sekali lagi." Batara Guru segera melakukan rapat pleno tentang hal ini. Setelah rapat yang cukup lama, akhirnya sang Batara bersedia "baiklah, kami bersedia. Kami akan membiarkan perang Bharatayuda sesuai yang terjadi tapi harus ada imbalannya. Kau boleh memiliki layang Jitabsara asalkan Cangkok Wijayakusuma milikmu harus dipisahkan daei Wijayamulya dan Cangkok Wijayamulya harus diserahkan kembali ke padaku Jadi ananda tak akan bisa seenaknya menghidupkan orang mati saat Baratayudha. Aku juga meminta Kaca Lopian milikmu. Apa kau setuju, Avatar Wisnu?"

Prabu Sri Kresna setuju. "Baiklah, aku bersedia." Maka dengan disaksikan Batara Wisnu, ayah dewa yang menjadi bagian dari diri Sri Kresna, Cangkok Wijayakusuma akhirnya dipisahkan dari Cangkok Wijayamulya. Setelah dipisahkan, Cangkok Wijayamulya dan Kaca Lopian diserahkan kepada Batara Guru. Batara Guru lalu menyerahkan Layang Jitabsara. Sukma Kresna undur diri dan kembali ke raganya. Di saat yang bersamaan, sukma Arjuna dan Prabu Duryudhana yang menanti sang raja melihat sekelebat cahaya terang menuju Taman Banoncinawi. Kedua sukma kesatria itu segera mengikuti cahaya itu dan kembali ke raga masing-masing. Ketika Prabu Sri Kresna dan semua orang bangun, hal yang pertama dilihat sang Danardana yakni Arjuna. Ia pun menyapa Arjuna "Parta, kau sudah lama menunggu? Kau memang ahli tapa yang hebat. Tak heran nama lainmu juga Parantapa." " Salam, kakang Madhawa. Aku sudah lama menantimu." prabu Duryudhana merasa dilarangi dan berkata " tunggu! Aku juga punya sumbangsih disini. Aku lah yang duduk di dekat kepalamu, Basudéwa. Jangan anggap aku tidak ada di sini." Prabu Sri Kresna pun berkata " maafkan aku, Duryudhana. Aku juga mengucapkan salam untukmu. " sang raja Hastinapura pun luluh dan memaafkan sang raja Dwarawati. Prabu Sri Kresna pun berkata "maafkan aku jika diantara kalian berdua menunggu terlalu lama karena lamanya aku tidur. Maka sebagai gantinya, aku bersedia memberikan bantuan apa saja kepada kalian. Mintalah dan katakan apa keinginan kalian?" Prabu Duryudhana yang berada di dekat kepala sang raja Dwarawati mengutarakan permintaannya. " Basudéwa, aku tahu kalau kau tidak akan berperang tapi tidak dengan tentaramu. Aku meminta darimu bantuan untuk pasukanku. Aku meminta pasukan elite Narayani Dwarawati sebanyak 7 aksauhini untuk membantuku saat perang nanti." Prabu Sri Kresna pun berkata " baiklah keinginanmu sudah aku kabulkan. Sebentar lagi pasukanku akan mengikutimu ke Hastinapura." Prabu Duryudhana gembira dan berpamitan pulang ke Hastinapura. Setelah kepergian sang raja Hastinapura, Kresna berkata kepada Arjuna " Parta, aku sudah tidak punya apa-apa lagi yang bisa diminta sebagai bantuan." Arjuna pun berkata " Madhawa, yang. Aku inginkan bukan dana atau tentara darimu. Bukan pula ketenaranmu yang agung. Aku hanya meminta agar kakang sendiri mau membimbingku. Sudikah kakang menjadi sais (kusir) kereta perangku?" Kresna tersentuh dan berkata "di dalam hati yang telah ditempa kesalahan, kegagalan, dan perasaan berdosa dengan semangat api dharma dan kelembutan cinta yang murni, akan membentuk senjata bagi keadilan untuk memerangi ketidakadilan. Di hatimu ada cinta yang besar dan murni. permintaanmu aku kabulkan." Maka Sri Kresna menjadi kusir kereta Arjuna. Kusir dharma telah meminta dengan tulus kepada sang guru untuk menjadi kusirnya.

 Karna Danadriya

Dalam kurun waktu satu bulan sejak Arjuna dan Duryudhana mendapat bantuan dari Prabu Sri Kresna, kedua kubu Pandawa dan Kurawa sudah mendapat berbagai sekutu. Pihak Pandawa mendapat sokongan kerajaan Pringgondani, Jangkarbumi, Cedhinagari, Wirata, Magadha,dll. Sementara pihak Kurawa telah menerima kedatangan pasukan Narayani, Awangga, Sokalima, Gandaradesa dll untuk bersiap perang.

Tiga pekan sebelum Baratayudha pecah, Adipati Karna sedang melakukan tapa Danadriya. Ia bersumpah akan memberikan apapun yang ia punya. Lalu datang Batara Surya, ayah sang Aradeya ia berkata " anakku, tolong pikirkan sekali lagi. Kau mungkin akan kehilangan uang bisa mengamankan hidupmu." Adipati Karna berkata "ayahanda Batara, aku sudah berprinsip, siapapun yang datang kepadaku dan meminta apapun, aku akan berikan meski itu jiwa ragaku." Batara Surya bangga dengan keteguhan sikap anaknya. Ia mendoakan agar nama anaknya selalu harum dikenang di tiap jaman. Lalu sang dewa matahari itu kembali ke kahyangan.

Selama tapa, Adipati Karna memberikan semua harta dan tenaga kepada siapapun. Banyak orang datang kepadanya meminta berbagai hal dan tenaganya.Setelah tiga hari yakni hari terakhir tapa Danadriya, datang seorang petapa bernama Ki Sakradewa. Ki Sakradewa meminta kepada Karna sebuah benda. Adipati Karna berkata " pandeta, apapun yang kau ingin kan, akan aku berikan. Katakanlah, apa keinginan anda."

Karna Danadriya
Ki Sakradewa berkata " aku meminta anting Suryakundala dan kotang Suryakawaca milikmu." Adipati Karna terkejut karena benda yang sudah berada pada tubuhnya sejak bayi itu sudah melekat, bersatu di bawah kulit di atas daging dan susah sekali dilepaskan dari badannya. Ki Sakradewa memberikan sebilah keris untuk Karna. Adipati Karna sebenarnya tahu jati diri Ki Sakradewa telah bersumpah akan memberikan apapun yang ia punya "baiklah, tuan pandeta. Akan aku berikan anting dan baju tamsirku." Dengan penuh keyakinan, Adipati Karna mengiris sebagian telinga dan dadanya. Keluarlah baju tamsir emas bergambar matahari dan anting matahari itu. Dengan luka yang parah, Adipati Karna menyarahkan dua pusaka yang telah melindunginya sejak kecil kepada Ki Sakradewa. Hal itu dilihat oleh sang adik, Raden Arjuna. "Kakang...apa yang kau lakukan?" Arjuna segera mendekati sang kakak. Dilihatnya, sang kakak sudah bersimbah darah dan sudah membawa sebuah perisai dan sepasang anting. Arjuna memapah sang kakak yang sudah terluka. Ia menggugat sang petapa "ayahanda Batara, apa yang kau lakukan pada kakang Karna? Aku tidak rela jika kakang diambil segala kemampuannya! Bagiku ini tidak adil." Sang petapa itu lalu badar menjadi Batara Indra, ayah angkat Arjuna.

Batara Indra berkata " anakku, justru ini adalah adil bagi perang ini. Dalam perang ini tidak boleh ada barang bawaan dewa. Ini sudah sesuai apa tertulis di keputusan langit. Tapi pengorbanan kakangmu tidak akan sia-sia "

Kerana pengorbanan Adipati Karna, Batara Indra menganugerahinya panah Badaltulak untuk berperang nanti. Sang dewa langit itu menghilang kembali ke kahyangan. Arjuna menangis karena kakaknya telah mengorbankan pusakanya yang setara separuh jiwanya kepada dewa "kakang....adipati....mengapa kau lakukan ini....separuh kekuatanmu telah direnggut...kenapa? "Karna menjelaskan "Adhi....ku mohon kau mengerti....seorang yang bersifat ksatria akan melakukan apapun yang diperintahkan orang yang meminta bantuan." Arjuna semakin sedih. Ia segera mendatangi sang ibu, Dewi Kunthi dan ibu angkat sang kakak, Nyai Rada. Dengan membawa obat, Arjuna, ibu Rada, dan Ibu Kunthi mengobati Karna sampai sembuh. Arjuna lalu memintq sang ibu untuk merahasiakan hal ini dari kakak-kakak dan adiknya. Ia tak ingin seluruh Pandawa goyah. Semakin hari, semakin masygul hati Arjuna. Semangatnya untuk berperang mulai goyah. Hingga sudah dekat hari peperangan.

Hari sudah menghitung satu pekan menuju perang besar Bharatayuda. Beberapa jam sebelumnya keluarga Resi Hijrapa dan keluarga Lurah Sagotra yang pernah ditolong Pandawa datang menyuplai bahan makanan sebagai bentuk sumpah mereka dahulu. Rara Winihan pun datang namun tanpa suaminya. Karena ditengah jalan, Lurah Sagotra dibunuh para Kurawa untuk dijadikan wadal tumbal. Rara Winihan memberikan segala uang ia punya demi kemenangan Pandawa melawan Kurawa.

Antareja Gugur

Tak terasa hari pecahnya perang sudah menghitung lima hari lagi. Antareja sudah siap ikut angkat senjata memihak pihak masing-masing. Di sana, sang adipati Jangkarbumi itu bersama Dewi Ganggi bercengkrama bersama putra mereka tercinta yakni Arya Danurwenda. Sebelum pecah perang, keluarga Pandawa membawa anak cucu mereka. Bambang Pancawala membawa putra tunggalnya, Bambang Pancakesuma. Prabu Gatotkaca bermanja bersama anak-anaknya yakni Arya Barbarika, Bambang Sasikirana, Bambang Suryakaca, dan Bambang Jayasumpena. Di tempat lain, Arya Antasena bersama Dewi Janakawati membawa buah hati mereka yakni Bambang Jayasena. Di sebelahnya Prabuanom Srenggini bersama putranya, Raden Srenggamurti dan Bambang Sri Pancasena bersama putrinya, Endang Pancaseni. Hanya para putra Arjuna saja yakni Irawan, Wisanggeni, Abimanyu, dan beberapa saudara mereka saja yang membawa isteri mereka yang sedang hamil besar. Para Pandawa melihat hal itu dengan getir dan pahit. Mengingat sebentar lagi canda ria itu akan musnah digantikan ratapan pilu para menantu dan putri mereka yang akan menjadi janda, dan tangisan juga rengekan penuh sendu menyayat kalbu cucu-cucu mereka yang akan menjadi anak yatim atau dalam kemungkinan terburuk, yatim piatu.

Di kerajaan Mandura, dihadap putra kedua yakni Arya Walmuka (Ulmukha) dan cucunya, putra Wisatha yakni Raden Wisabajra, Prabu Baladewa sebenarnya netral namun ia ingin melihat jalannya perang. Maka ia segera meninggalkan kerajaan dan menuju ke Dwarawati. Di sana sang raja Mandura menyampaikan keinginannya. " Kanha, biarkan aku melihat jalannya peperangan...tolong sediakan tempat untukku di dekat kemahmu.." Prabu Sri Kresna berkata kepada kakaknya " kakang Balarama.....sebelum melihat jalannya perang, kakang harus pergi tapa brata dulu. Aku akan mengantarmu ke tempat itu...maka berangkatlah dua kakak beradik itu dan sampailah ia di padepokan Grojogan Sewu. Dengan berlatar bukit dan air terjun yang berasal dari sungai yang mengalir di pinggir Tegal Kurusetra, Baladewa harus bertapa sampai jiwanya bersih " kakang ingatlah....kalau kelopak teratai ini mekar, itu tanda perang sudah pecah. Saat itu, aku akan membangunkanmu....sekarang biar putraku Setyaka yang akan menjagamu." " Sendika dhawuh, ayahanda dan paman prabu..." maka dimulailah pertapaan Prabu Baladewa di sana.

Sebenarnya ini siasat Kresna agar kakaknya benar-benar netral tidak berpihak dan ramalan pertarungan dengan para putra Wrekodara tidak terjadi. Suara deru jatuhnya air terjun dan kicau burung akan menyamarkan suara dentingan senjata dan ledakan akibat perang. Bunga teratai itu juga sebenarnya sudah diikat dengan rambut gaib milik Sri Kresna, dan hanya akan terbuka atas kehendak Sri Kresna.

Sementara itu, di Kadipaten Upalawaya, Prabu Sri Kresna menemui Arya Wrekodara. Ia berkata “adhiku, kau harus bersiap untuk segala kemungkinan terburuk setelah ini.”Arya Wrekodara tak mengerti apa maksud Sri Kresna. Lalu Antareja yang sudah bersiap perang mendapat laporan dari Prabu Sri Kresna " Antareja.....ada pencuri......ada pencuri pusaka."

Antareja Gugur
Dengan penciuman yang bagus, Antareja mengendus dimana si pencuri. Sebenarnya Kresna sudah membuat muslihat dengan membuat Antareja mengendus kakinya sendiri. Lalu ketika jejak kaki ketemu, Antareja menjilat jejak itu dengan lidahnya yang mengandung bisa Visacadhara, racun paling beracun di antara semua racun ular. Seketika Antareja tumbang dengan mulut berbusa seperti keracunan. Sang ayah dan sang isteri tercinta, Dewi Ganggi segera memapah Antareja. "Kakang....bertahanlah....anak kita baru saja lahir.....jangan tinggalkan aku dalam keadaan seperti ini...." tangis Dewi Ganggi sambil menggendong Arya Danurwenda, sang buah hatinya bersama Antareja. Namun rupanya waktu Antareja tidak lama lagi. Tak lama Antareja pun meninggal. Tangis pun pecah di keluarga Wrekodara. Bambang Irawan yang masih sakit pun ikut datang ke acara ngaben Antareja. Wrekodara sadar bahwa kematian Antareja karena campur tangan Kresna. Wrekodara kalut. Marah, sedih, kecewa, dan nestapa bersatu dalam hatinya..... "Anakku....nasibmu kok mesakke....bingung aku nak...aku kudu ngomong opo neng ibumu? Duh...dewa, bantulah aku." Seluruh duka itu perlahan membuat Arya Wrekodara tak lagi mampu menahan kesedihannya. Tangis pecah dan seluruh Upalawaya berduka. Datang Dewi Nagagini untuk mengucapkan perpisahannya untuk terakhir kali. Tak disangka, Dewi Nagagini ikut labuh geni, namun sebelumnya ia berkata " kanda, aku titipkan anak kita yang lain...ini anak kita, Sena Pradeksa dan Susenawati. Aku berharap keduanya bisa mengobati rasa rindumu pada Antareja...selamat tinggal kanda.....aku dan Antareja akan menunggu di kelanggengan abadi." Arya Wrekodara menerima dia adik Antareja yang rupanya masih muda itu... Dewi Nagagini pun lompat ke api dan melebur bersama sang putra pertama. Antasena, Gatotkaca, Srenggini, Sri Pancasena, dan Dewi Bimandari juga kalut hati tapi ini sudah suratan dewa. Apa guna yang harus disesali....suatu saat pasti mereka akan gugur juga. Mereka lalu memeluk adik mereka yang masih belia baru berusia lima belas tahun itu.

Di tengah prosesi ngaben, datang seorang raja yang turut bersimpati di sana. Keluarga Resi Hijrapa mengenalinya. Itu adalah Bambang Rawan, putra bungsu Resi Hijrapa. Kini ia telah menjelma sebagai raja yang tampan dan gagah perkasa bergelar Prabu Rawan. Semenjak kepergian para Pandawa dan ayah-ibunya juga beberapa saudaranya memutuskan pergi mengembara menebus dosa, Bambang Rawan diangkat sebagai raja Ekacakra yang sah oleh Prabu Drupada atas persetujuan rakyat. Namun, beberapa tahun setelahnya, kekuasaannya direbut oleh Prabu Baranjana dan Prabu Kirmira, putra dari Prabu Baka, raja Ekacakra terdahulu yang dikalahkan Wrekodara. Namun setelah Prabu Baranjana dikalahkan oleh Sri Pancasena, putra kelima Arya Wrekodara dan berapa tahun kemudian, Prabu Kirmira dikalahkan oleh Arya Wrekodara sendiri saat hukuman pengasingan, Prabu Rawan kembali ke takhtanya. Meski sudah kembali bertakhta, Prabu Rawan putra Resi Hijrapa beserta rakyat Ekacakra sudah bersumpah setia akan mengorbankan apapun demi para Pandawa meski itu nyawa sekalipun.

Taka lama setelah kedatangan Prabu Rawan, datang para putra-putri Nakula Sadewa yakni kadipaten Bulutiga, Prabu Pramusinta beserta isterinya, Dewi Rayungwulan. Lalu disusul Prabu Sabekti dan Isterinya, Dewi Pramuwati dari kadipaten Pandansurat. Mereka juga turut berbelasungkawa atas kematian Antareja. Setelah upacara berkabung usai, Pramusinta dan Sabekti memberikan keputusannya dalam mendukung Pandawa atau Kurawa. Sabekti berkata "ayahanda dan uwa-paman sekalian, kami sudah sepakat kalau kami akan netral." Tegas Pramusinta" Tapi jika salah satu dari kalian memerlukan tempat perlindungan, aku dan dinda Sabekti bersedia memberikan perlindungan." Dengan kata lain, dua kadipaten itu akan menjadi tempat mengungsi para cucu pandawa yang sudah lahir kala itu. Cucuccucu mereka yang baru lahir ialah Pancakesuma, putra Pancawala dan para putra Gatotkaca, yakni Sasikirana, Bambang Suryakaca, Jayasumpena. Namun Arya Barbarika memilih ikut berperang di pihak Kurawa. Dari pihak Kurawa sendiri, ada Raden Dewakumura , putra Lesmana Mandrakumara dengan Dewi Nurwati, puteri Prabu Naranurwinda, raja Purwantara yang tak lain salah satu bagian dari Kurawa. Dia adik nomor dua puluh satu Prabu Duryudhana. Diungsikan juga disana Dursabala, cucu Arya Dursasana dari anaknya Arya Durcala yang pernah dikalahkan Prabu Gatotkaca yang akan diungsikan ke sana.

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar