Kamis, 14 Desember 2023

Bhismaparwa

 hai semua pembaca dan penikmat kisah pewayangan, kisah kali ini menceritakan kejadian di awal perang Bharatayudha mulai dari gugurnya para putra Wirata, tawur agung Antasena dan Wisanggeni, gugurnya Bambang irawan hingga rubuhnya Maharesi Bhisma. Kisah ini mengambil sumber dari Kitab Mahabharata karya Mpu Vyasa, https://wayang.wordpress.com/2010/03/11/wisanggeni-racut-2/, Serial Kolosal India Mahabharat Starplus dan Radha Krishna Starbharat dengan perubahan dan penambahan seperlunya.

Wisanggeni-Antasena Racut

Perang hari pertama pun digelar. Riuh rendah, hiruk pikuk, pekik memekik erangan orang-orang yang sekarat dan terluka, dan dentingan suara senjata beradu menjadi latar suara dengan darah para prajurit mengalir menganaksungai membasahi daratan gersang Tegal Kurusetra. Di hari pertama itu, Pandawa mengalami kekalahan berat. Arya Wratsangka, adik Arya Utara gugur di medan perang. Hari kedua pun sama, kali ini Arya Utara sendiri yang gugur. Para Pandawa sadar bahwa para dewa belum merestui kemenangan mereka. Antasena dan Wisanggeni lalu menawarkan diri mengorbankan diri, menjadi tawur perang. “ayahanda, kami rela tidak ikut perang, demi kemenangan Para Pandawa...biarkan kaami berdua jadi tawur agung perang...” meskipun sudah dijelaskan, para Pandawa merasa berat hati namun apa daya, keinginan Antasena dan Wisanggeni sudah bulat.

Wisanggeni-Antasena Racut
Maka mereka mengizinkan dua anak terbaik di keluarga Pandawa itu. Berangkatlah Antasena dan Wisanggeni ke kahyangan. Sesampainya di sana, mereka meminta izin kepada batara Guru untuk menemui isteri dan putra sang Batara yakni batari Durga dan Batara Kala.Batara Guru memberikan izinnya. Tak lupa pula, Wisanggeni mengembalikan Cupu manik Gambaring Jagat yang dulu ia pinjam saat menikahi Kencanaresmi. Singkat cerita, Antasena dan Wisanggeni sampai di Setra Gandamayu untuk meminta Batara Kala dan Batari Durga tidak terlalu ikut campur dalam urusan ini. Batara Kala berkata "baiklah, Wisanggeni. Kalian silakan kurung kami di Setra Gandamayu. Kami tidak akan ikut campur dengan perang Bharatayuda." "Sebelum mereka dikurung, Batari Durga memberikan berkah "semoga kalian bisa dikenang sepanjang zaman." Dengan kekuatan mereka, Antasena dan Wisanggeni membuat perisai mengelilingi Setra Gandamayu yang akan terbuka saat perang Bharatayuda usai. Lalu Sanghyang Widhi mengangkat mereka ke swargamaniloka. Mereka berdua pun racut (moksa) beserta badan mereka. Mereka kini telah naik ke swargamaniloka. Batara Narada datang membawa kabar kepada Pandawa, bahwa Antasena dan Wisanggeni telah melakukan darmabakti kepada Pandawa. Mereka sudah moksa ke swargamaniloka. Keluarga Pandawa bersedih hati atas moksanya dua putra terbaik mereka itu namun juga bangga dengan pengorbanan mereka. Keluarga Resi Hijrapa pun ikut mengorbankan diri dengan melompat ke api demi kemenangan Pandawa.

Di hari ketiga, putra bungsu paman Salya, Bambang Rukmarata ikut menjadi korban karena ikut-ikutan mengeroyok Arya Utara. Ia gugur di tangan Arya Rsi Seta, kakak Utara dan Wratsangka. Arya Rsi Seta mengamuk menghajar Maharesi Bhisma, senopati perang Kurawa yang juga sepupunya sendiri. Maharesi Bhisma kelabakan hingga ke pinggiran bengawan Gangga. Ibu Bhisma yakni Dewi Gangga menganugerahinya dengan panah Jungkat Widodari. Panah berbentuk sisir itu mengenai pas uluhati Arya Rsi Seta. Arya Seta pun gugur dalam keadaan berdiri. Maharesi Bhisma hanya bisa bersedih karena sepupunya itu gugur di tangan senjatanya. Sebelum meninggal, Rsi Seta meminta para Pandawa agar abunya nanti dibalurkan ke setiap senjata Pandawa.

Di hari keempat perang, Arjuna berhasil menghabisi Arya Bogadenta, salah satu adik Prabu Duryudhana dan isterinya, Dewi Murdiningsih. Di saat yang bersamaan, Arya Durmagati, Arya Durgempo, Arya Anuwenda, Prabu Naranurwinda, Adya Wiwingsati dan beberapa adik Prabu Duryudhana lainnya gugur di tangan Wrekodara Bhima yang masih berduka karena kehilangan Antareja dan Antasena.

Bab Bhismaparwa

Perang Bharatayuda telah memasuki hari kelima perang. Sudah banyak darah para prajurit dan para sekutu Pandawa tertumpah. Namun rupanya sampai hari ke enam, kemanangan masih belum berpihak pada Pandawa karena masih ada Maharesi Bhisma yang gagah perkasa. Pada hari ke tujuh perang akan dimulai, Bambang Irawan memaksa ingin ikut perang. Ia iri dengan Abimanyu dan para kakak-adiknya yang bisa ikut perang. Titisari kaget saat itu karena di tempat tidur suaminya terdapat secarik kertas berisi surat pamit....."Aku akan pergi ke Medan Kurusetra. Aku seorang kesatria, tak pantas kiranya jika seorang kesatria hanya menunggu takdirnya. Ayah, ibu, dan istriku tercinta dinda Titisari...maafkan aku yang pergi tanpa pamit......semoga aku bisa mengharumkan nama ayah dan ibuku. Salam sayangku, Irawan...." Tanpa sepengetahuan ayah, ibu, dan istrinya, ia minggat dari keraton Wirata menuju Tegal Kurusetra. Dewi Titisari segera mengabarkan hal ini kepada mertuanya, Dewi Ulupi. " Ibu, kakanda Irawan minggat...duh ibu.....hukum aku ibu .....menantimu ini telah lalai...." Ulupi panik, karena merasa lalai pada keselamatan anaknya. Ulupi dan Titisari dengan secepat kilat menaiki kereta menuju Tegal Kurusetra menyusul Irawan.

Sesampainya disana, ia berperang melawan salah satu sekutu Kurawa yakni Prabu Kalasrenggi, raja Pageralun, putra Jatagimbal, raja yang pernah ditipu lalu dihabisi oleh Arjuna.

Irawan Gugur
Kala itu Arjuna berada jauh di tengah medan perang, tidak menyadari kehadiran anaknya dari Dewi Ulupi itu. Perang tanding antar raja Pageralun dengan Bambang Irawan berlangsung sengit. Walau Prabu Kalaserenggi berhasil dihabisi namun ajudannya yakni Patih Alambusa menggigit leher Bambang Irawan. Di saat terakhir, Bambang Irawan melepaskan panah Ardadedali dan menghabisi Patih Alambusa. Irawan berteriak lirih..." ayah...maafkan aku..." Arjuna bisa merasakan putranya dalam bahaya. Ia pun segera mencari Bambang Irawan. Sesampainya disana, Bambang Irawan ternyata sudah dipeluk sang ibu dan sang isteri tercinta dalam keadaan sekarat dengan leher hampir putus. Arjuna segera memeluk putranya tersebut dan berusaha menyembuhkannya. Namun takdir berkata lain. Irawan pun gugur. Arjuna kalut dan susah hati karena setelah Wisanggeni, ia harus kehilangan putra lagi. Lebih-lebih Dewi Ulupi dan Titisari. Karena kesedihannya, kandungan Dewi Titisari berontak dan di Medan laga itu, sang janda Bambang Irawan itu melahirkan di tengah Medan laga yang berkecamuk. Oleh Arjuna, cucunya itu dinamai Wiratmaka. Tak peduli dengan rasa sakitnya, Dewi Titisari memutuskan ikut mesatya (labuh geni) mengikuti suaminya. Ia menitipkan putranya,  Wiratmaka pada ibu mertuanya.

Di hari kedelapan perang, Arjuna berhadap-hadapan dengan Maharesi Bhisma. Maharesi Bhisma menyerang Arjuna dengan sepenuh hati. Tapi Arjuna tidak, ia masih setengah hati menyerang Bhisma karena segan harus menyerang kakeknya sendiri ditambah lagi ia masih berduka dengan gugurnya Bambang Irawan. Prabu Sri Kresna yang saat itu menjadi sais kereta terus berusaha membuat hati Arjuna mantap tapi sepertinya ia terus dihinggapi rasa segan. Selain itu, Bhisma terlampau sakti, susah bagi Arjuna membuat kakeknya itu tumbang. Prabu Sri Kresna pun marah, bertukar wujud menjadi Triwikrama dan mencongkel roda kereta Jaladara hendak menyerang Maharesi Bhisma dengan roda itu. Arjuna segera turun dari kereta dan bersujud dengan tangan menggenggam kaki Triwikrama. Ia berkata "Kakang Madhawa, tolong jangan rusak sumpah kakang untuk tidak angkat senjata....aku berjanji akan memikirkan cara agar kakek bisa dikalahkan." redalah kemarahan Triwikrama dan kembali menjadi Prabu Sri Kresna. Di malam kesembilan perang, Arjuna datang ke kemah kakeknya itu untuk meminta maaf. Maharesi Bhisma menampar Arjuna dan mengingatkan Arjuna agar tidak bersikap setengah hati.

Bhisma Rubuh

Di hari kesembilan perang Bharatayuda, Arjuna datang ke kemah Maharesi Bhisma. Ia dengan rasa campur aduk berkata " kakek, aku tidak sanggup untuk menghabisi mu....sejak kepergian ayahanda prabu sampai sekarang, kau bagaikan ayah bagi kami lima Pandawa. Aku mohon janganlah mati demi kami. Aku bersedia menyerah..." Tiba-tiba Maharesi Bhisma menampar wajah sang cucu dan berkata " Arjuna cucuku....jangan biarkan hatimu lemah...kau kira aku akan marah dan kecewa bila aku terbunuh di tangan anak cucuku? Justru itu sebagai kebanggaanku telah mendidik dan membesarkanmu. Ketahuilah, kalau aku telah terikat janji dengan Dewi Amba. Dia berjanji kepadaku dan dia menunggu sampai hari ini" Bhisma menceritakan bahwa ia sudah menantikan kekalahannya sendiri di tangan Dewi Amba dan ia menitis pada istri Arjuna, Srikandhi. Arjuna bersedih hati karena kakeknya itu sudah meminta mati. Maharesi Bhisma meminta kepada Arjuna " Arjuna, bagiku pantang berperang melawan wanita, seseorang pria yang menyerupai wanita atau wanita yang menyerupai pria. Datangkanlah Dewi Amba kepadaku besok di medan laga. Ketika ia datang, aku akan meletakkan senjataku."

Srikandhi Senopati
Lalu Arjuna undur diri. Setelah kembali dari kémah sang kakek, Arjuna dengan nada bergetar dan berat berkata pada istrinya, Srikandhi " istriku...apa kau siap menjadi senopati perang besok?...besok adalah hari yang ditunggu kakek Bhisma."  Srikandhi berkata " aku siap, suamiku.... waktunya bagi penjagaku,  Dewi Amba menjemput kakek." Dewi Amba yang berada dalam diri Srikandhi merasa sudah saatnya ia menjemput Bhisma. Ia bergumam dalam hati Srikandhi "anakku, Srikandhi. Terima kasih telah menjagaku dalam tubuhmu sampai saat ini."

Di hari kesepuluh perang, Arjuna mendandani Srikandhi menjadi mirip seorang lelaki tangguh. Di hari itu, dengan gagah berani Dewi Srikandhi berperang melawan Bhisma. Lalu Srikandhi berkata dengan lantang  kakek Bhisma, aku datang dengan membawa Sukma nenek Amba. Letakkan lah senjatamu, kakek. Biarkan nenek Amba menjemputmu." Srikandhi segera melepaskan panah Jungkat Panetas miliknya. Di atas panah itu, dengan samar-samar, Maharesi Bhisma melihat sukma Dewi Amba datang menuju ke arahnya. Maka Bhisma segera membuang panah dan busurnya. Ketika panah Jungkat Panetas milik Srikandhi dilesatkan, diam-diam Arjuna juga melepaskan panah Ardadedali. Dua panah itu beradu lalu berubah menjadi ratusan panah. Akhirnya panah-panah itu menancap ke tubuh Maharesi Bhisma. Maharesi Bhisma pun tumbang, rubuh dengan panah menancap menembus dari dada ke punggungnya. Di saat demikian, Bhisma melihat sukma Dewi Amba dengan sangat jelas namun ia belum meninggal. Di dalam hati, Bhisma menumpahkan rindu dengan sang wanita yang telah ia kecewakan dulu " Amba, kasihku. Akhirnya penantian ini telah berakhir. Kau menjemputku sesuai janji kita. Tapi boleh aku meminta sesuatu padamu?" Sukma Dewi Amba pun menyanggupi "tentu kakang Bhisma. Katakan apa yang kakang inginkan?" Maharesi Bhisma berkata "temani aku di sini sampai Bharatayuda ini selesai. Aku ingin melihat para penegak dharma meraih kemenangannya."Dewi Amba pun menyanggupi.

Para Pandawa dan Kurawa berhenti berperang demi melihat kondisi kakek mereka. Maharesi Bhisma meminta diberikan ranjang. Prabu Duryudhana memberikan ranjang berhiaskan kelambu lengkap dengan seprai bersulam benang emas dan sutra. Maharesi Bhisma menolak, ia hanya meminta ranjang untuk para ksatria. Arjuna dan Wrekodara membuatkan ranjang kecil dari panah. Maharesi Bhisma kehausan karena belum minum. Prabu Duryudhana mengambilkan gentong berisi nira dan tuak. Maharesi Bhisma menolak. Para Pandawa mengambilkan air bekas mencuci senjata yang berasal dari bengawan Gangga. Dewi Gangga pun datang, berduka karena putranya telah tumbang. Dewi Gangga pun berkata " Arjuna, apa yang kau lakukan pada kakekmu...kau sangat tidak beradab. Maka aku akan mengutukmu! Kelak kau akan bernasib sama seperti kakekmu saat ini. Kau akan dibunuh putramu sendiri!" Arjuna pun kaget dan meminta maaf kepada nenek buyut nya itu " ampun eyang putri Batari, aku pun tidak berdaya. Aku hanya menjalankan apa yang jadi perintah kakekku. Tolong tariklah kembali kutukanmu, eyang Batari." Maharesi Bhisma menyabarkan ibunya dan berkata " Ibuku, sabarlah. Jangan karena kemarahan, ibu jadi bertindak gegabah. Memang ini takdir yang aku inginkan. Bhisma pun melunakkan sumpah ibunya " Arjuna, aku tak bisa membuat ibuku menarik kutukannya. Tapi aku bisa melunakkannya. Kelak, kau bisa hidup kembali berkat bantuan istrimu nanti." Arjuna pun berterima kasih kepada sang kakek.

Bhisma Rubuh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar