Sabtu, 23 Desember 2023

Dornaparwa : Ranjapan dan Timpalan (Antara Karma dan Dendam)

Hai semua pembaca dan penikmat kisah-kisah pewayangan. Kisah kali ini memasuki babak Dorna Parwa yakni menceritakan gugurnya Abimanyu, sang putra Arjuna yang digadang-gadang akan menduduki takhta Hastinapura bersama ke lima saudaranya, gugurnya Lesmana Mandrakumara putra sulung Prabu Duryudhana, dan gugurnya Burisrawa putra Prabu Salya di tangan Setyaki. Kisah ini mengambil sumber dari Serial Kolosal India Mahabharat Starplus, https://caritawayang.blogspot.com/2012/09/ranjapan-abimanyu-gugur.html dan https://balependidikan.wordpress.com/2019/03/28/cerita-wayang-berjudul-burisrawa-gugur/ dengan perubahan dan penambahan seperlunya.

Kisah Mahabarata : Abimanyu Ranjap

Di hari kesebelas perang, pertahanan Kurawa mulai goyah seiring dengan tumbangnya Maharesi Bhisma. Di hari keduabelas, Pandawa mulai mendapat kemenangan. Adik-adik Prabu Duryudhana sudah pada bertumbangan nyaris separuhnya. Arya Wikarna, Arya Carucitra,  Arya Citraksa dan Citraksi, Arya Widarus, Arya Citrakala, dan beberapa Kurawa sudah ditumbangkan Wrekodara Bhima.

Abimanyu berpamitan kepada dua Isterinya
Begawan Dorna lalu membuat siasat gelar perang Cakrawyuha (siasat roda bergulir). Di hari ketigabelas, Pandawa kewalahan untuk menembus gelaran perang rumit itu. Hanya Arjuna, Prabu Sri Kresna, dan Prabu Drupada yang bisa masuk dan menembus gelaran perang Cakrawyuha.

Waktu itu Abimanyu yang hendak berangkat ke medan laga mampir sebentar untuk berpamitan dengan dua isterinya, Utari dan Siti Sundari. Ketika itu beberapa saudara Abimanyu ikut bersama sang kakak. Mereka bahkan Abimanyu sendiri dibuat heran karena kehamilan Utari yang cepat sekali besar padahal baru berusia tujuh setengah sasih tapi serasa sudah hampir sembilan sasih. Tapi bagi Abimanyu, itu adalah berkah. Pertanda sang calon anak sudah tidak sabar untuk lahir. Ketika menjenguk, Bambang Sumitra, adiknya dari ibu Endang Sulastri mengabarkan bahwa adik mereka, Bambang Brantalaras dan Bambang Wijanarka telah gugur karena terkepung gelaran perang Cakrawyuha milik Kurawa. Abimanyu geram dan hendak membantu pasukan menembus Cakrawyuha. Dengan dikusiri Bambang Sumitra, Abimanyu masuk ke medan laga. Para pamannya sedang berperang di tempat lain, Gatotkaca sedang berperang dengan Lembusana, saudara Alambusa, patih negara Pageralun yang telah menewaskan sang adik, Irawan sedangkan ayahnya bersama Harya Sencaki berperang dengan Harya Burisrawa.

Maka Abimanyu, Bambang Sumitra, Bambang Wijanarka, Bambang Danasalira dan beberapa adik Abimanyu lainnya ikut membantu. Namun datang Prabu Jayadrata, raja Sindu Banakeling menghadang beberapa adik Abimanyu dan membuat mereka kalang kabut. Kini tinggallah Abimanyu, Bambang Sumitra, dan Bambang Danasalira yang menembus Cakrawyuha. Adipati Karna merasa ada yang tidak beres. Maka ia berusaha berteriak agar para keponakannya jangan terlalu masuk." Abimanyu!!! Danasalira !!!! Sumitra!!! Jangan masuk! Ini siasat jebakan!!!" Tapi suara genderang perang dan dentingan senjata mengaburkan suara sang Adipati Awangga. Di saat bersamaan, panah Aswatama melesat ke leher Bambang Danasalira. Ia pun gugur. Tak lama, tombak Begawan Dorna menembus dada Bambang Sumitra yang sedang mengusiri kakaknya. Ia pun ikut gugur sebagai kesuma bangsa. Melihat adik-adiknya gugur, Abimanyu menjadi tidak fokus dan kesulitan menembus gelaran Cakrawyuha. Di saat bersamaan, panah-panah, keris, pecahan pedang, tombak dan berbagai senjata melesat menancap ke badan Abimanyu.

Patih Sengkuni mengibarkan bendera menyerah. Menyangka musuh telah kalah, Abimanyu datang tanpa membawa senjata yang cukup. Kemudian Adipati Karna mendekati Abimanyu kemudian memeluknya dan berkata "anakku, aku bangga kepadamu". Dari belakang, Jayadrata telah siap dengan anak panah Kyai Galih Asem. Tiba-tiba ia dipanah dari belakang...Abimanyu terduduk dengan darah mengucur dari punggungnya. " Uwa Adipati, apa yang kau...."  Adipati Karna menangis tersedu "anakku, maafkan aku. Uwa mu tak bermaksud..." Karena tak tega melihat keponakannya terluka, Adipati Karna segera kembali ke pesanggrahan. Di dalam tangis penyesalan, Adipati Karna memohon agar ia bisa menebus kesalahannya pada Abimanyu. Kembali ke Tegal Kuruksetra, Dorna tersenyum melihat strateginya berhasil sementara Abimanyu marah telah dicurangi dan diperlakukan secara licik. "Curang....!!!!Kêparat!!!! Akan ku habisi kalian!!!"

Dia bangun dan kembali menghajar pasukan Kurawa sejadi-jadinya. Banyak pasukan Kurawa yang menghujamkan panah, tombak dan senjata lainnya ke tubuh Abimanyu.

Tubuhnya bagaikan landak karena dipenuhi anak panah dan tombak, tapi Abimanyu masih sanggup berperang. Ia mencopot roda kereta dan menjadikannya perisai. Meskipun dibantu dengan roda kereta, pertahanan Abimanyu pada akhirnya jebol juga. Ia kembali jadi bulan-bulanan para Kurawa. Bukan hanya dipanah dan ditombak, tapi Abimanyu turut dikeroyok beramai-ramai. Lesmana Mandrakumara yang datang mengejek Abimanyu dan hendak menghunuskan keris "hehehe...akhirnya kalah juga kau, Abimanyu. Sekarang rasakan serangan terakhirku!" " Cuih....persetan dengan serangan terakhirmu! Rasakan tikaman kerisku!" Abimanyu yang masih hidup menyepak kaki sang putra mahkota Hastinapura itu dan menikamnya dengan keris Polanggeni. Melihat keponakannya dihabisi, di saat bersamaan, Prabu Jayadrata menghantamkan Gada Kyai Glinggang ke kepala Abimanyu. “Kurang Ajar! Rasakan Ini....!!” kepala Abimanyu dipukul berkali-kali oleh prabu Jayadrata.

Abimanyu Ranjap
Dengan tanpa ampun,pun remuklah kepala putra Arjuna itu dihantam gada Kyai Glinggang. Sekaratlah Abimanyu, ia teringat akan sumpah palsunya dahulu. Ia tertawa pahit " hehe...sepertinya, ini lah karmaphala ku....benar kata ayah, kabeh wong ngunduh wohing pakarti....dinda Sundari! Dinda Utari! Aku pamit dulu. Aku akan menunggu kalian di kelanggengan." gumam lirih Abimanyu di tengah nafasnya yang kian lemah. Akibat hantaman gada sakti itu, Abimanyu pun gugur bersama dengan tertikamnya Lesmana.

Buriswara Gugur

Di saat Abimanyu gugur, di tempat lain, Harya Burisrawa, putra paman Salya sedang perang tanding melawan Harya Sencaki. Ajian Welut putih membuat kulit Burisrawa menjadi licin dan tidak bisa diserang oleh senjata gada Wesi Kuning milik Sencaki"hahaha...hei Sencaki.... kulitku licin seperti lendir belut...kau tidak bisa mengalahkan aku." Harya Sencaki menjadi jengah dan marah " setan alas! Ku bunuh kau Burisrawa...ingat dendam diantara kita! Dulu pernah kau rebut Dinda Sumbadra dari adhiku Arjuna. Lalu setelah gagal nikah, kau malah hampir  membunuhnya. Sekarang rasakan ajianku. Wesi Kuning, dadi pedang!" Seketika gada Wesi kuning berubah wujud menjadi sebilah pedang emas. Burisrawa tak kalah hebat, ia melumuri pedang miliknya dengan ajian Welut putih. Seketika berang itu menjadi tedhas. Pedang beradu pedang menimbulkan percikan api yang membakar area di sekitar pertarungan Harya Setyaki dan Harya Burisrawa. Tak hanya menjadi pedang, Sencaki mampu mengubah Gada Wesi kuning menjadi pecut. Maka terjadilah adu pecut. Burisrawa segera memanggil pecut kyai Gola. Sabetan kedua pecut begitu menggelegar bagaikan halilintar.

Perang semakin dahsyat saja. Banyak prajurit dari kedua kubu yang gugur. Pasukan Pandawa dan Kurawa semakin lama habis. Salah satu dari keduanya akan kalah, dan terlihat Harya Sencaki mulai kewalahan. Merasa di atas angin, Burisrawa meningkatkan serangannya hingga membuat Harya Sencaki kelelahan. Dari kejauhan, Kresna menyaksikan hal demikian. Sang raja Dwarawati itu menghentikan Kereta Jaladara lalu memejamkan mata dan mencari titik lemah Burisrawa dengan membaca kitab Jitapsara secara gaib. Setelah menemukannya, Kresna berkata pada Arjuna " Parta, mari kita bantu Adhi kita Sencaki. Buat angin yang kencang sehingga air dan benda cair di Tegal Kurusetra ini mengering." Arjuna yang bimbang berkata " Madhawa, apa tidak apa-apa melakukanya? Ini akan membuat perang hari ini lebih cepat selesai karena mengira hari sudah gelap." Prabu Sri Kresna berkata " tidak apa-apa, ini adalah strategi perang bukan kecurangan. Menurut petunjuk dewa, hal ini harus terjadi karena hari ini adalah akhir dari kakangmu Burisrawa." Arjuna merasakan ada hal yang tidak enak. Ia merasakan putranya dalam bahaya namun ia harus membantu Harya Sencaki terlebih dulu. "Baiklah, kakang Madhawa. Aku akan membantu."

Arjuna segera menggunakan panah Bayuwastra........Begitu panah melesat, seketika muncul angin besar dan tercipta badai debu yang mengeringkan segala air dan benda cair di sekitar mereka. Awan debu membumbung tinggi ke angkasa menutupi sinar mentari yang sudah memerah condong ke barat hampir terbenam. Prabu Duryudhana, Harya Dursasana, Patih Sengkuni dan Begawan Dorna merasakan ada hal yang tidak beres. Maka mereka mengikuti arah awan debu itu. Ketika badai dan awan debu itu sampai di tempat pertarungan Burisrawa dan Sencaki, lendir ajian Welut Putih di tubuh Burisrawa menjadi tidak berguna karena mengering menyisakan debu kering. Di saat Burisrawa lengah, Arjuna atas arahan Kresna melemparkan panah ke arah pedang seorang prajurit dan pedang itu terlempar lalu memenggal kedua tangan Burisrawa. Burisrawa yang panik berkata " tunggu, Sencaki.... kita gencatan senjata dulu....biar aku berusaha memulihkan diri baru kita lanjutkan pertarungan kita." Harya Burisrawa pun duduk bersemedi sambil memulihkan tenaga. Karena dibutakan dendam orang tua (karena Salya,l ayah Burisrawa dan Ugrasena/Setyajid, ayah Sencaki bermusuhan memperebutkan dewi Wresini dan dendam pribadi, Sencaki murka "persetan gencatan senjata! Aku harus menghabisimu! Wesi Kuning... kembali dadi gada!" Seketika pecut pun kembali menjadi Gada Wesi Kuning. Sencaki membuang moral dan darmanya. Dengan perasaan murka, ia memukulkan gada Wesi Kuning ke kepala Harya Burisrawa, lalu kepala itu menggelinding jatuh terpisah dari badannya.

Burisrawa Gugur
Ia pun gugur dengan kepala putus dan hancur remuk. Harya Sencaki menjadi kesetanan lalu menginjak-injak jasad Burisrawa. Hal itu dilihat Prabu Sri Kresna. Ia murka kepada sang sepupu itu " kau benar-benar amoral! Karena dendam kau malah menghina musuhmu yang telah gugur!" Harya Sencaki seketika sadar dan ia menangis karena tindakannya yang keterlaluan. Prabu Duryudhana yang datang memeluk jasad adik iparnya itu dan ia berkata " Arjuna! Kau berlaku curang! Sekarang anakmu yang telah menanggung akibat dari perbuatanmu! Kau lihat saja di kemahmu. Derai tangis keluargamu sudah terdengar dari sini...hahahahaha"

Sumpah Arjuna

Arjuna dan Prabu Sri Kresna merasa ada yang terusik di hatinya. Malah tiba-tiba Arjuna menangis tanpa sebab. rasanya dihati ingin segera kembali ke kemah di dekat Upalawaya. Di tengah perjalanan menuju kemah para Pandawa, Harya Wresaya, adik Prabu Duryudhana hendak menjebak mereka di genangan lumpur ciptaannya, namun dengan sigap, Arjuna menghunuskan panahnya dan gugurlah Harya Wresaya. Ketika hampir mendekati kemah Arjuna, Prabu Sri Kresna dan para Pandawa lainnya mencium aroma sangat wangi. Di ekor matanya,  Arjuna melihat bayangan Abimanyu, Bambang Sumitra, Bambang Brantalaras, Wijanarka, dan Danasalira. Mereka melambaikan tangan seakan hendak berpamitan. Arjuna kembali menangis tanpa sebab. Begitu sampai di Mandala Upalawaya, aroma wangi semakin semerbak. Namun di antara aroma wangi itu, derai tangis kerabat Pandawa menganak sungai....ternyata jasad lima putra Arjuna telah terbaring di atas pancaka yang hendak dibakar. Meski berlumuran darah,  lima jasad putra Arjuna itu tidaklah berbau anyir melainkan semerbak wangi, seakan para dewa membawakan bunga-nunga dari kahyangan. rupanya aroma wangi itu lah yang dicium oleh Arjuna dan para pandawa lainnya, sebagai tanda berpamitan. Arjuna menangis sejadinya karena lima putranya telah gugur dan yang paling ia sesalkan adalah Abimanyu. Ia telah menggadang-gadang Abimanyu sebagai raja berikutnya namun nasib berkata lain. Arjuna meraung  " anak-anak! Bangun nak...bangun...Bangun!!!” Tangisannya menganaksungai air matanya.” .......duh dewa.....kemarin Wisanggeni lalu Irawan...kenapa sekarang Abimanyu dan lainnya. Duh Dewata ....inikah hukuman atas karmaphala ku!? Kenapa harus kau renggut masa depanku?!" Para pandawa, lalu sang isteri tercinta, Dewi Sumbadra dan menantunya, Dewi Utari yang masih berduka berusaha menenangkan Arjuna.

Arjuna Bersedih kehilangan lima putranya
Lalu anak-anak Arjuna yang tersisa berkumpul memeluk sang ayah untuk menyabarkan dan menabahkan hatinya. Para putra Arjuna dari Dewi Jimambang dan Dewi Gandawati yakni Bambang Gandawardaya, dan Gandakusuma, memberikan kesaksian "ayah tolong tenanglah...ini semua karena paman Jayadrata." Arjuna lalu bertanya " apa maksudmu, anakku?!"  Gandawardaya berkata " benar ayah, kami dihadang paman Jayadrata saat hendak membantu kakang." Lalu sambung Gandakusuma " lalu paman Jayadrata dia menembakkan panah Galih Asem dari belakang dan ketika ia tidak berdaya lagi, paman Jayadrata memukul kepala kakang sampai kepalanya remuk. Arjuna begitu murka mendengarnya lalu ia bersumpah tanpa pikir panjang "JAYADRATA KEPARAT! AKAN KU HABISI KAU BESOK! KALAU AKU GAGAL MEMBUNUHMU, AKU LEBIH BAIK MASUK PANCAKA BERSAMA PUTRA-PUTRAKU YANG TELAH KAU BUNUH!" Sumpah itu didengar para dewa. Prabu Sri Kresna menjadi khawatir karena bersumpah saat perang akan sangat fatal akibatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar