Hai semua, pembaca dan penikmat kisah pewayangan. Kisah kali ini akan menceritakan tiga lakon sekaligus. Yang pertama ialah Kresna yang tidur lalu dibangunkan oleh Arjuna dan Duryudhana, lalu dilanjutkan pengorbanan Adipati Karna dengan memberikan baju tamsirnya kepada Batara Indra, dan kisah terakhir yakni gugurnya Antareja akibat apus-apus dari Prabu Sri Kresna demi menghindarkan kakaknya dari melawan Antareja. Kisah ini mengambil sumber dari Kitab Mahabharata karya Mpu Vyasa, https://caritawayang.blogspot.com/2012/09/kresna-gugah.html, dan Serial Kolosal India Mahabharat Starplus dan Radha Krishna Starbharat.
Kresna Gugah
Hari peperangan sudah
mulai mendekat. Setelah pulang dari Hastinapura menyelesaikan masalah
Sasrawindu, Prabu Sri Kresna memutuskan untuk beristirahat di taman
Banoncinawi. Ia pun tidur terlentang dalam wujud Wisnu. Arjuna dan Prabu
Duryudhana datang ke sana untuk mendapatkan bantuan dari Dwarawati karena
mereka telah mendengar sang raja Dwarawati secara politik memutuskan netral
(tidak akan memihak). Arjuna duduk di sebelah kaki sepupu sekaligus iparnya itu
sementara Prabu Duryudhana duduk di samping kepala sang raja Dwarawati.
|
Kresna Gugah |
Mereka
juga ikut tertidur. Satu hari, dua hari, empat hari.....sudah sepekan Prabu Sri
Kresna, Prabu Duryudhana, dan Raden Arjuna mereka terlelap, tidur seperti orang
pingsan. Rupanya ketiga orang itu melakukan tapa brata dalam keadaan tidur
lena.
Di antara awan-awan di
langit yang biru, sukma (jiwa) Prabu Duryudhana dan Arjuna sedang mencari-cari
sukma Kresna yang sedang nglembara ke kahyangan. Sementara itu, di kahyangan,
layang (kitab) Jitabsara yang berisi lakon-lakon perang Bharatayudha sedang
dikaji ulang. Batara Panyarikan atas izin Batara Guru hendak menambahkan
pertarungan Baladewa melawan Antareja, Antasena, dan Wisanggeni. Sebagai
avatar/titisan Wisnu, Prabu Sri Kresna telah dihubungi Batara Wisnu lewat tapa
tidur bahwa keputusan kahyangan adalah hendak mengubah takdir perang
Bharatayudha agar Bharatayuda selesai lebih cepat. Sukma Kresna lalu berubah
jadi seekor klanceng (sejenis lebah) bernama Klanceng Suci. Si klanceng menuju
ruang kerja Batara Penyarikan. Di sana, sang kerani (juru tulis) kahyangan
hendak menulis, menambah kalimat "pertarungan Baladewa dan Antareja,
Antasena dan Wisanggeni" di saat demikian, Klanceng Suci menumpahkan tinta
Batara Penyarikan sehingga sisa tulisan yang hendak dituliskan Baladewa,
Antareja, Antasena, dan Wisanggeni jadi kotor dan tak bisa ditulis lagi.
Klanceng Suci berubah
kembali menjadi sukma Prabu Sri Kresna. Dalam wujud halus itu, Prabu Sri Kresna
memohon agar perang Bharatayudha tetap berjalan sebagaimana mestinya. "
Gusti Batara, perang ini adalah perang suci. Perang yang bukan hanya tentang
kemenangan dharma, tapi juga tentang sebab dan akibat sebuah perbuatan.
Perbuatan tiap-tiap ksatria yang akan berperang harus mendapat ganjaran.
Karmaphala tiap-tiap orang akan dituai sesuai apa yang dilakukan. Kalau perang
ini dibuat lebih cepat, tak ada kesucian di dalam perang ini. Tolong
pertimbangkan sekali lagi." Batara Guru segera melakukan rapat pleno
tentang hal ini. Setelah rapat yang cukup lama, akhirnya sang Batara bersedia
"baiklah, kami bersedia. Kami akan membiarkan perang Bharatayuda sesuai
yang terjadi tapi harus ada imbalannya. Kau boleh memiliki layang Jitabsara
asalkan Cangkok Wijayakusuma milikmu harus dipisahkan daei Wijayamulya dan
Cangkok Wijayamulya harus diserahkan kembali ke padaku Jadi ananda tak akan
bisa seenaknya menghidupkan orang mati saat Baratayudha. Aku juga meminta Kaca
Lopian milikmu. Apa kau setuju, Avatar Wisnu?"
Prabu Sri Kresna setuju.
"Baiklah, aku bersedia." Maka dengan disaksikan Batara Wisnu, ayah
dewa yang menjadi bagian dari diri Sri Kresna, Cangkok Wijayakusuma akhirnya
dipisahkan dari Cangkok Wijayamulya. Setelah dipisahkan, Cangkok Wijayamulya
dan Kaca Lopian diserahkan kepada Batara Guru. Batara Guru lalu menyerahkan
Layang Jitabsara. Sukma Kresna undur diri dan kembali ke raganya. Di saat yang
bersamaan, sukma Arjuna dan Prabu Duryudhana yang menanti sang raja melihat
sekelebat cahaya terang menuju Taman Banoncinawi. Kedua sukma kesatria itu
segera mengikuti cahaya itu dan kembali ke raga masing-masing. Ketika Prabu Sri
Kresna dan semua orang bangun, hal yang pertama dilihat sang Danardana yakni
Arjuna. Ia pun menyapa Arjuna "Parta, kau sudah lama menunggu? Kau memang
ahli tapa yang hebat. Tak heran nama lainmu juga Parantapa." " Salam,
kakang Madhawa. Aku sudah lama menantimu." prabu Duryudhana merasa
dilarangi dan berkata " tunggu! Aku juga punya sumbangsih disini. Aku lah
yang duduk di dekat kepalamu, Basudéwa. Jangan anggap aku tidak ada di
sini." Prabu Sri Kresna pun berkata " maafkan aku, Duryudhana. Aku
juga mengucapkan salam untukmu. " sang raja Hastinapura pun luluh dan
memaafkan sang raja Dwarawati. Prabu Sri Kresna pun berkata "maafkan aku
jika diantara kalian berdua menunggu terlalu lama karena lamanya aku tidur.
Maka sebagai gantinya, aku bersedia memberikan bantuan apa saja kepada kalian. Mintalah
dan katakan apa keinginan kalian?" Prabu Duryudhana yang berada di dekat
kepala sang raja Dwarawati mengutarakan permintaannya. " Basudéwa, aku
tahu kalau kau tidak akan berperang tapi tidak dengan tentaramu. Aku meminta
darimu bantuan untuk pasukanku. Aku meminta pasukan elite Narayani Dwarawati
sebanyak 7 aksauhini untuk membantuku saat perang nanti." Prabu Sri Kresna
pun berkata " baiklah keinginanmu sudah aku kabulkan. Sebentar lagi
pasukanku akan mengikutimu ke Hastinapura." Prabu Duryudhana gembira dan
berpamitan pulang ke Hastinapura. Setelah kepergian sang raja Hastinapura,
Kresna berkata kepada Arjuna " Parta, aku sudah tidak punya apa-apa lagi
yang bisa diminta sebagai bantuan." Arjuna pun berkata " Madhawa,
yang. Aku inginkan bukan dana atau tentara darimu. Bukan pula ketenaranmu yang
agung. Aku hanya meminta agar kakang sendiri mau membimbingku. Sudikah kakang
menjadi sais (kusir) kereta perangku?" Kresna tersentuh dan berkata
"di dalam hati yang telah ditempa kesalahan, kegagalan, dan perasaan
berdosa dengan semangat api dharma dan kelembutan cinta yang murni, akan
membentuk senjata bagi keadilan untuk memerangi ketidakadilan. Di hatimu ada
cinta yang besar dan murni. permintaanmu aku kabulkan." Maka Sri Kresna
menjadi kusir kereta Arjuna. Kusir dharma telah meminta dengan tulus kepada
sang guru untuk menjadi kusirnya.
Karna Danadriya
Dalam kurun waktu satu
bulan sejak Arjuna dan Duryudhana mendapat bantuan dari Prabu Sri Kresna, kedua
kubu Pandawa dan Kurawa sudah mendapat berbagai sekutu. Pihak Pandawa mendapat
sokongan kerajaan Pringgondani, Jangkarbumi, Cedhinagari, Wirata, Magadha,dll.
Sementara pihak Kurawa telah menerima kedatangan pasukan Narayani, Awangga,
Sokalima, Gandaradesa dll untuk bersiap perang.
Tiga pekan sebelum
Baratayudha pecah, Adipati Karna sedang melakukan tapa Danadriya. Ia bersumpah akan
memberikan apapun yang ia punya. Lalu datang Batara Surya, ayah sang Aradeya ia
berkata " anakku, tolong pikirkan sekali lagi. Kau mungkin akan kehilangan
uang bisa mengamankan hidupmu." Adipati Karna berkata "ayahanda
Batara, aku sudah berprinsip, siapapun yang datang kepadaku dan meminta apapun,
aku akan berikan meski itu jiwa ragaku." Batara Surya bangga dengan
keteguhan sikap anaknya. Ia mendoakan agar nama anaknya selalu harum dikenang
di tiap jaman. Lalu sang dewa matahari itu kembali ke kahyangan.
Selama tapa, Adipati
Karna memberikan semua harta dan tenaga kepada siapapun. Banyak orang datang
kepadanya meminta berbagai hal dan tenaganya.Setelah tiga hari yakni hari
terakhir tapa Danadriya, datang seorang petapa bernama Ki Sakradewa. Ki
Sakradewa meminta kepada Karna sebuah benda. Adipati Karna berkata "
pandeta, apapun yang kau ingin kan, akan aku berikan. Katakanlah, apa keinginan
anda."
|
Karna Danadriya |
Ki Sakradewa berkata " aku meminta anting Suryakundala dan
kotang Suryakawaca milikmu." Adipati Karna terkejut karena benda yang
sudah berada pada tubuhnya sejak bayi itu sudah melekat, bersatu di bawah kulit
di atas daging dan susah sekali dilepaskan dari badannya. Ki Sakradewa
memberikan sebilah keris untuk Karna. Adipati Karna sebenarnya tahu jati diri
Ki Sakradewa telah bersumpah akan memberikan apapun yang ia punya
"baiklah, tuan pandeta. Akan aku berikan anting dan baju tamsirku."
Dengan penuh keyakinan, Adipati Karna mengiris sebagian telinga dan dadanya.
Keluarlah baju tamsir emas bergambar matahari dan anting matahari itu. Dengan
luka yang parah, Adipati Karna menyarahkan dua pusaka yang telah melindunginya
sejak kecil kepada Ki Sakradewa. Hal itu dilihat oleh sang adik, Raden Arjuna.
"Kakang...apa yang kau lakukan?" Arjuna segera mendekati sang kakak.
Dilihatnya, sang kakak sudah bersimbah darah dan sudah membawa sebuah perisai
dan sepasang anting. Arjuna memapah sang kakak yang sudah terluka. Ia menggugat
sang petapa "ayahanda Batara, apa yang kau lakukan pada kakang Karna? Aku
tidak rela jika kakang diambil segala kemampuannya! Bagiku ini tidak
adil." Sang petapa itu lalu badar menjadi Batara Indra, ayah angkat
Arjuna. Batara Indra berkata
" anakku, justru ini adalah adil bagi perang ini. Dalam perang ini tidak
boleh ada barang bawaan dewa. Ini sudah sesuai apa tertulis di keputusan
langit. Tapi pengorbanan kakangmu tidak akan sia-sia "
Kerana pengorbanan
Adipati Karna, Batara Indra menganugerahinya panah Badaltulak untuk berperang
nanti. Sang dewa langit itu menghilang kembali ke kahyangan. Arjuna menangis
karena kakaknya telah mengorbankan pusakanya yang setara separuh jiwanya kepada
dewa "kakang....adipati....mengapa kau lakukan ini....separuh kekuatanmu
telah direnggut...kenapa? "Karna menjelaskan "Adhi....ku mohon kau
mengerti....seorang yang bersifat ksatria akan melakukan apapun yang
diperintahkan orang yang meminta bantuan." Arjuna semakin sedih. Ia segera
mendatangi sang ibu, Dewi Kunthi dan ibu angkat sang kakak, Nyai Rada. Dengan
membawa obat, Arjuna, ibu Rada, dan Ibu Kunthi mengobati Karna sampai sembuh.
Arjuna lalu memintq sang ibu untuk merahasiakan hal ini dari kakak-kakak dan
adiknya. Ia tak ingin seluruh Pandawa goyah. Semakin hari, semakin masygul hati
Arjuna. Semangatnya untuk berperang mulai goyah. Hingga sudah dekat hari
peperangan.
Hari sudah menghitung
satu pekan menuju perang besar Bharatayuda. Beberapa jam sebelumnya keluarga
Resi Hijrapa dan keluarga Lurah Sagotra yang pernah ditolong Pandawa datang
menyuplai bahan makanan sebagai bentuk sumpah mereka dahulu. Rara Winihan pun
datang namun tanpa suaminya. Karena ditengah jalan, Lurah Sagotra dibunuh para
Kurawa untuk dijadikan wadal tumbal. Rara Winihan memberikan segala uang ia
punya demi kemenangan Pandawa melawan Kurawa.
Antareja Gugur
Tak terasa hari pecahnya
perang sudah menghitung lima hari lagi. Antareja sudah siap ikut angkat senjata
memihak pihak masing-masing. Di sana, sang adipati Jangkarbumi itu bersama Dewi
Ganggi bercengkrama bersama putra mereka tercinta yakni Arya Danurwenda.
Sebelum pecah perang, keluarga Pandawa membawa anak cucu mereka. Bambang
Pancawala membawa putra tunggalnya, Bambang Pancakesuma. Prabu Gatotkaca
bermanja bersama anak-anaknya yakni Arya Barbarika, Bambang Sasikirana, Bambang
Suryakaca, dan Bambang Jayasumpena. Di tempat lain, Arya Antasena bersama Dewi
Janakawati membawa buah hati mereka yakni Bambang Jayasena. Di sebelahnya
Prabuanom Srenggini bersama putranya, Raden Srenggamurti dan Bambang Sri
Pancasena bersama putrinya, Endang Pancaseni. Hanya para putra Arjuna saja
yakni Irawan, Wisanggeni, Abimanyu, dan beberapa saudara mereka saja yang
membawa isteri mereka yang sedang hamil besar. Para Pandawa melihat hal itu
dengan getir dan pahit. Mengingat sebentar lagi canda ria itu akan musnah
digantikan ratapan pilu para menantu dan putri mereka yang akan menjadi janda,
dan tangisan juga rengekan penuh sendu menyayat kalbu cucu-cucu mereka yang
akan menjadi anak yatim atau dalam kemungkinan terburuk, yatim piatu.
Di kerajaan Mandura,
dihadap putra kedua yakni Arya Walmuka (Ulmukha) dan cucunya, putra Wisatha
yakni Raden Wisabajra, Prabu Baladewa sebenarnya netral namun ia ingin melihat
jalannya perang. Maka ia segera meninggalkan kerajaan dan menuju ke Dwarawati.
Di sana sang raja Mandura menyampaikan keinginannya. " Kanha, biarkan aku
melihat jalannya peperangan...tolong sediakan tempat untukku di dekat
kemahmu.." Prabu Sri Kresna berkata kepada kakaknya " kakang
Balarama.....sebelum melihat jalannya perang, kakang harus pergi tapa brata
dulu. Aku akan mengantarmu ke tempat itu...maka berangkatlah dua kakak beradik
itu dan sampailah ia di padepokan Grojogan Sewu. Dengan berlatar bukit dan air
terjun yang berasal dari sungai yang mengalir di pinggir Tegal Kurusetra,
Baladewa harus bertapa sampai jiwanya bersih " kakang ingatlah....kalau
kelopak teratai ini mekar, itu tanda perang sudah pecah. Saat itu, aku akan
membangunkanmu....sekarang biar putraku Setyaka yang akan menjagamu."
" Sendika dhawuh, ayahanda dan paman prabu..." maka dimulailah
pertapaan Prabu Baladewa di sana.
Sebenarnya ini siasat
Kresna agar kakaknya benar-benar netral tidak berpihak dan ramalan pertarungan
dengan para putra Wrekodara tidak terjadi. Suara deru jatuhnya air terjun dan
kicau burung akan menyamarkan suara dentingan senjata dan ledakan akibat
perang. Bunga teratai itu juga sebenarnya sudah diikat dengan rambut gaib milik
Sri Kresna, dan hanya akan terbuka atas kehendak Sri Kresna.
Sementara itu, di
Kadipaten Upalawaya, Prabu Sri Kresna menemui Arya Wrekodara. Ia berkata “adhiku,
kau harus bersiap untuk segala kemungkinan terburuk setelah ini.”Arya Wrekodara
tak mengerti apa maksud Sri Kresna. Lalu Antareja yang sudah bersiap perang
mendapat laporan dari Prabu Sri Kresna " Antareja.....ada pencuri......ada
pencuri pusaka."
|
Antareja Gugur |
Dengan penciuman yang bagus, Antareja mengendus dimana si
pencuri. Sebenarnya Kresna sudah membuat muslihat dengan membuat Antareja mengendus
kakinya sendiri. Lalu ketika jejak kaki ketemu, Antareja menjilat jejak itu
dengan lidahnya yang mengandung bisa Visacadhara, racun paling beracun di
antara semua racun ular. Seketika Antareja tumbang dengan mulut berbusa seperti
keracunan. Sang ayah dan sang isteri tercinta, Dewi Ganggi segera memapah
Antareja. "Kakang....bertahanlah....anak kita baru saja lahir.....jangan
tinggalkan aku dalam keadaan seperti ini...." tangis Dewi Ganggi sambil
menggendong Arya Danurwenda, sang buah hatinya bersama Antareja. Namun rupanya
waktu Antareja tidak lama lagi. Tak lama Antareja pun meninggal. Tangis pun
pecah di keluarga Wrekodara. Bambang Irawan yang masih sakit pun ikut datang ke
acara ngaben Antareja. Wrekodara sadar bahwa kematian Antareja karena campur
tangan Kresna. Wrekodara kalut. Marah, sedih, kecewa, dan nestapa bersatu dalam
hatinya..... "Anakku....nasibmu kok mesakke....bingung aku nak...aku kudu
ngomong opo neng ibumu? Duh...dewa, bantulah aku." Seluruh duka itu
perlahan membuat Arya Wrekodara tak lagi mampu menahan kesedihannya. Tangis
pecah dan seluruh Upalawaya berduka. Datang Dewi Nagagini untuk mengucapkan
perpisahannya untuk terakhir kali. Tak disangka, Dewi Nagagini ikut labuh geni,
namun sebelumnya ia berkata " kanda, aku titipkan anak kita yang lain...ini
anak kita, Sena Pradeksa dan Susenawati. Aku berharap keduanya bisa mengobati
rasa rindumu pada Antareja...selamat tinggal kanda.....aku dan Antareja akan
menunggu di kelanggengan abadi." Arya Wrekodara menerima dia adik Antareja
yang rupanya masih muda itu... Dewi Nagagini pun lompat ke api dan melebur
bersama sang putra pertama. Antasena, Gatotkaca, Srenggini, Sri Pancasena, dan
Dewi Bimandari juga kalut hati tapi ini sudah suratan dewa. Apa guna yang harus
disesali....suatu saat pasti mereka akan gugur juga. Mereka lalu memeluk adik
mereka yang masih belia baru berusia lima belas tahun itu.Di tengah prosesi ngaben,
datang seorang raja yang turut bersimpati di sana. Keluarga Resi Hijrapa
mengenalinya. Itu adalah Bambang Rawan, putra bungsu Resi Hijrapa. Kini ia
telah menjelma sebagai raja yang tampan dan gagah perkasa bergelar Prabu Rawan.
Semenjak kepergian para Pandawa dan ayah-ibunya juga beberapa saudaranya
memutuskan pergi mengembara menebus dosa, Bambang Rawan diangkat sebagai raja
Ekacakra yang sah oleh Prabu Drupada atas persetujuan rakyat. Namun, beberapa
tahun setelahnya, kekuasaannya direbut oleh Prabu Baranjana dan Prabu Kirmira,
putra dari Prabu Baka, raja Ekacakra terdahulu yang dikalahkan Wrekodara. Namun
setelah Prabu Baranjana dikalahkan oleh Sri Pancasena, putra kelima Arya
Wrekodara dan berapa tahun kemudian, Prabu Kirmira dikalahkan oleh Arya
Wrekodara sendiri saat hukuman pengasingan, Prabu Rawan kembali ke takhtanya.
Meski sudah kembali bertakhta, Prabu Rawan putra Resi Hijrapa beserta rakyat
Ekacakra sudah bersumpah setia akan mengorbankan apapun demi para Pandawa meski
itu nyawa sekalipun.
Taka lama setelah
kedatangan Prabu Rawan, datang para putra-putri Nakula Sadewa yakni kadipaten
Bulutiga, Prabu Pramusinta beserta isterinya, Dewi Rayungwulan. Lalu disusul
Prabu Sabekti dan Isterinya, Dewi Pramuwati dari kadipaten Pandansurat. Mereka
juga turut berbelasungkawa atas kematian Antareja. Setelah upacara berkabung
usai, Pramusinta dan Sabekti memberikan keputusannya dalam mendukung Pandawa
atau Kurawa. Sabekti berkata "ayahanda dan uwa-paman sekalian, kami sudah
sepakat kalau kami akan netral." Tegas Pramusinta" Tapi jika salah
satu dari kalian memerlukan tempat perlindungan, aku dan dinda Sabekti bersedia
memberikan perlindungan." Dengan kata lain, dua kadipaten itu akan menjadi
tempat mengungsi para cucu pandawa yang sudah lahir kala itu. Cucuccucu mereka
yang baru lahir ialah Pancakesuma, putra Pancawala dan para putra Gatotkaca,
yakni Sasikirana, Bambang Suryakaca, Jayasumpena. Namun Arya Barbarika memilih
ikut berperang di pihak Kurawa. Dari pihak Kurawa sendiri, ada Raden Dewakumura
, putra Lesmana Mandrakumara dengan Dewi Nurwati, puteri Prabu Naranurwinda,
raja Purwantara yang tak lain salah satu bagian dari Kurawa. Dia adik nomor dua
puluh satu Prabu Duryudhana. Diungsikan juga disana Dursabala, cucu Arya
Dursasana dari anaknya Arya Durcala yang pernah dikalahkan Prabu Gatotkaca yang
akan diungsikan ke sana.