hai semua pembaca dan penikmat kisah pewayangan. Kisah kali ini mengisahkan pertapaan Arya Wrekodara selama pengasingan dan berubah wujud sebagai arca batu. Arca batu itu sempat akan dihancurkan Prabu Duryudhana namun berhasil diselamatkan. di akhir kisah juga menjadi pembuka lakon Begawan Ciptaning. Kisah ini mengambil sumber dari tulisan Wawan Susetya di laman web https://menaramadinah.com/43963/kisah-lakon-bima-maneges.html dengan pengubahan seperlunya.
Di tengah masa
pengasingan Pandawa yang sudah menginjak tahun kelima, Ada fenomena sosial dimana muncul seorang pendeta kharismatik bernama resi Gupala. Ia membangun sebuah
padepokan di alas Aldaka, dekat perbatasan Hastinapura. Banyak rakyat negara
Amarta datang ke sana untuk belajar berbagai ilmu dan meminta bantuan berbagai
hal.menurut kabar yang beredar, Resi Gupala selalu memberi pengajaran dengan
duduk bersila di atas sebuah dipan kayu sederhana yang ditutupi kelambu berwarna-warni. Lama-kelamaan, bukan cuma penduduk negeri Amarta yang datang untuk
meguru, melainkan dari negeri Hastinapura, Pancalaradya, Cedhi, Dwarawati,
Mandura dan negeri-negeri lain di sekitar alas Wanamarta, Kamyaka dan Aldaka. Keberadaan Resi Gupala
tersebut membuat gusar Prabu Duryudhana karena dikhawatirkan akan melakukan
kudeta terhadap pemerintahan Hastinapura “haduh...ngelu wes ngelu......kemarin
ulah si Gatotkaca sekarang ada resi Gupala.....gak ada gitu hari tanpa masalah
di Hastinapura. Paman Patih, Guru Dorna, bagaimana pendapat kalian tentang hal
ini? Apa ada cara untuk menghentikan Resi Gupala itu?” “kakang patih sumonggo
idenya!” tukas Begawan Dorna. Patih Sengkuni berkata “waduh kakang begawan, aku
benar-benar kehabisan ide untuk yang satu ini. Kau lah yang mikir.” “enak saja,
aku juga kehabisan cara nih, kakang Patih.” Prabu Duryudhana malah semakin
pusing melihat dua orang kepercayaaannya itu malah tunjuk menunjuk mencari
solusi.
Di dalam pasewakan agung Hastinapura, datanglah raja entah darimana mencari Begawan Dorna. Sang raja ialah Prabu Kala Teja Lelana dari Negara Slendro Ujung Laut. Ia datang menghadap kepada Prabu Duryudhana “olala...salamku untukmu, Yang Mulia Raja. Saya Prabu Kala Teja Lelana dari Slendro Ujung Laut. Maaf kelancangan saya datang di saat ribut-ribut begini.” “tidak apa, justru kami yang minta maaf tidak menyambut anda dengan semestinya. Katakan apa tujuan anda datang ke negeri ini, Yang Mulia?” Prabu kala Teja Lelana berkata “ampni kelancangan saya. Saya ingin bertemu kepada yang Mulia Guru Begawan Dorna hendak berguru kepadanya. Tujuan saya tak lain hendak belajar Ngelmu Kasampurnan kepada Begawan Dorna.”
Ajar Mayanggaseta menguji Kala Teja Lelana |
Singkat cerita, sesampainya
di wilayah Aldaka, Prabu Kala Teja Lelana dan para Kurawa sampai di padepokan
Resi Gupala. Disana ia bertemu dengan seorang pendeta berkulit putih bersih
bernama Ajar Mayanggaseta selaku juru kunci yang menjaga padepokan Resi Gupala.
Dalam kesempatan itu, Prabu Kala Teja Lelana yang rencananya akan membasmi Resi
Gupala, namun memberikan kesempatan tetap di situ bila Ajar Mayanggaseta dapat
menjawab beberapa pertanyaan yang diajukan. Ajar Mayanggaseta pun
menyanggupinya.
Pertanyaannya Prabu Kala
Teja Lelana yakni:
“Ajar
Mayanggaseta....jawablah pertanyaanku....Siapa yang wajib disembah, di mana
tempatnya yang disembah itu, apa syaratnya untuk menyembah, dan bagaimana tata
cara menyembah yang benar?”
Pertanyaan tersebut
dijawab oleh Ajar Mayanggaseta dengan cermat. “Gusti prabu yang wajib disembah
yaitu Gusti Sanghyang Widhi yang Maha Agung...Gusti Kang menciptakan jagad
raya. Tempatnya yang disembah tak lain di qalbu (telenging ati). Sedang,
syaratnya menyembah yaitu bagi orang-orang yang mau membangun watak utama,
ikhlas, sabar, ridho, dsb. Sebelum menyembah harus mengerti terlebih dahulu
yang disembah.”
Setelah menjawab
pertanyaan itu, Ajar Mayanggaseta giliran menanya kepada Prabu Kala Teja
Lelana: “aku telah menjawab semua pertaanyaanmu...sekarang jawablah
pertanyaanku.....Apa benda yang tajam namun tidak melukai dan apa yang lajunya
sangat cepat tanpa menyalip?” Mendengar pertanyaan itu, Prabu Kala Teja Lelana
hanya tertawa dan menganggap itu pertanyaan hanya asal saja.
“hahahahahahahaha......pertanyaan bodoh apa yang kau tanyakan....tentu saja
pisau yang tidak dipaki memotong itu tajam tapi tidak melukai dan kuda yang
lomba lari tanpa pesaing itu lajunya cepat tanpa menyalip.”
Ajar Mayanggaseta
kemudian memberi penjelasan dengan mengatakan, “Benda yang tajam tapi tidak
melukai tegese bicaranya orang yang bijaksana. Ucapan atau lisan itu tajam,
bagaikan pisau atau pedang bermata dua, sehingga orang harus berhati-hati
ketika berucap. Orang bijaksana juga sama, dia akan diam jika tidakmerasa tidak
ada faedahnya dia berbicara tanpa diminta, tapi sekali ia mengeluarkan
uneg-uneg, buah pikiran, atau pendapatnya maka akan berdampak yang lainnya.”
“dan yang lajunya cepat
tapi tidak menyalip atau mendahului itu orang cerdas tapi tidak menyombongkan
diri. Tidak sok pintar atau sok menggurui....Itulah gambaran orang bijaksana
yang tidak sok pandai....banyak di negeri ini ...ehh bukan hanya di negeri ini
tapi di seluruh belahan bumi ini pasti ada banyak orang cerdas, cerdik pandai
tapi hanya sedikit dari mereka yang mampu menahan nafsu dan kesombongannya.
Seperti halnya guru anda Yang Mulia, Gusti Guru Begawan Dorna.....dia orang
bijak tapi keminter....blangnya dia tahu Ilmu Kasumparnaan nyatanya itu cuma di
mulut saja.”
Mendengar hal itu Prabu
Kala Teja Lelana menjadi geram lalu menendang tubuh Ajar Mayanggaseta hingga
hilang dari pandangan mata. Dalam sekejap tiba-tiba Ajar Mayanggaseta telah
sampai di hadapan para anak Pandawa seperti Arya Antareja, Arya Antasena, Prabu
Gatotkaca, Bambang Wisanggeni, Prabuanom Srenggini, dan sebagainya. Ajar
Mayanggaseta berubah wujud aslinya menjadi Resi Hanoman Mayangkara seraya
menyampaikan “gawat.....anak-anak....” Antasena menyodorkan air kepada Resi
Hanoman “sek...sek...eyang resi...minum dulu....” setelah cukup tenang, Resi
hanoman berkata “anak-anak...kalin bersiap sekarang.... padepokan kedatangan raja
yang ku hadang tadi. Namanya Prabu Kala Teja Lelana sekarang ia akan merangsek
kesini hendak menyerang padepokan.” Singkat cerita, para putra Pandawa segera
bersiap diri.
Sesampainya disana, Prabu
Kala Teja Lelana dengan dibantu patihnya, Suta Ayu menyerang para anak Pandawa
hingga mereka kewalahan. Saat anak-anak Pandawa tak kuasa menghadapi Prabu Kala
Teja Lelana, maka dia leluasa masuk ke dalam padepokan. Ternyata yang dijumpai disana
adalah sebuah patung yang wajahnya mirip Bhimasena sang Arya Wrekodara yang
didudukan diatas sebuah dipan. Patung tersebut hendak diangkat oleh para
Kurawa, tetapi mereka tidak mampu. Lalu Prabu Kala Teja Lelana membaca mantra,
tiba-tiba patung Resi Gupala tadi menjadi kecil, hanya segenggam saja.Setelah
itu Prabu Kala Teja Lelana membawa patung kecil tadi dihadapkan kepada Prabu Duryudhana.
Sementara itu, Bhimasena
alias arya Wrekodara sedang menjalankan semadi (tapa brata). Ia menyadari
kewajibannya sebagai seorang ksatria yang bertugas memayu hayuning bawana.
Dalam semadi-nya, sukmanya berjumpa dengan Batara Bayu (Dewa Angin) yang
kemudian memberikan wejangan, “anakku Bhimasena sang Wrekodara, zaman sekarang
itu banyak maling teriak maling. Banyak orang saling menumbalkan kepentingan
orang lain demi kepuasan duniawi mereka sendiri. Maka dari itu, janganlah kau
terpengaruh dengan gemerlapnya duniawi. Maka yang harus diingat yaitu Siraman Tirta
Perwitasari Prawidhi Mahaningsuci (mensucikan diri dan hati). Dengan demikian aku
berharap ananda selalu bisa bening pikirannya, menep rasane (tenang), mantep
panembahing marang Gusti (mantap dalam beribadah). Hal itu sangat jarang bisa
dilakukan oleh kebanyakan manusia karena mereka banyak terlibat dalam
pertengkaran dan tidak mau berfikir mendalam.” “ owalah bapa batara......hal
kayak ngunu kui sudah kami lihat selama pengasingan empat tahun
ini.....fenomena wong-wong apik, tulus, dan ikhlas ditumbalkan untuk
kepentingane wong-wong jahat kang durjana. Muga wae aku isok ngelindungi mereka
semua.”
Tiba-tiba dari tubuh
Batara Bayu memancar cahaya yang sangat terang lalu merasuk ke dalam tubuh Wrekodara.
Cahaya itu disebut dengan Cempaka Mulya (Anugerah Wahyu Kamulyan). Hanya orang
yang berhati bersih dan bijaksana saja yang dapat menerima anugerah itu. Itulah
bekal bagi Arya Wrekodara sebagai pegangan memimpin dan memberi pengayoman
kepada rakyat Amarta demi membela dharma dari angkara murka. Ketika sukma
Wrekodara kembali ke alas Aldaka, ia mendapati arca Resi Gupala sudah
menghilang. Setelah itu datanglah Resi Hanoman Mayangkara. Ia menyadari kalau
sukma Wrekodara datang mencari tubuhnya. “waduh, adhiku.....gawat iki
gawat......arca Gupala mu diambil orang-orang Hastinapura......” Arya Wrekodara
yang masih berwujud sukma/roh tanpa badan jasmani murka...”ancen kakang-kakang
para Kurawa selalu mencari gara-gara....” dari penjelasan Resi Hanoman, rupanya
arca Resi Gupala adalah wujud tubuh atau raga Arya Wrekodara yang membatu demi
menyelesaikan tapa brata mencari wahyu kamulyan untuk para Pandawa dan keturunan
mereka. Resi Gupala telah dibawa oleh Prabu Kala Teja Lelana menuju ke Hastinapura.
Sementara itu, di tempat berbeda, seorang
pertapa muda bernama Begawan Ciptaning sedang melewati hutan...lalu ada suara
memanggilnya “anak muda, kemarilah...” sang petapa muda itu mengikuti arah
suara itu dan rupanya ke rumah seorang resi tua bernama Begawan Suya Bawana.
Sang begawan adalah pemilik pertapaan Pusar Bumi. “sampurasun! ampun
Begawan...ada keperluan apa sampai memanggilku?” Begawan Suya Bawan pun
berkata“anak muda , mari ikut denganku....aku ingin ananda melihat kejadian
ajaib yang akan terjadi setelah ini...mari ikut aku ke Alas Aldaka menemui
sahabatku Ajar Mayanggaseta.” Begawan Suya Bawana sebenarnya tahu siapa
identitas asli Begawan Ciptaning namun ia memilih untuk tutup mulut saja.
Singkat cerita, Sang Begawan mengajak Ciptaning pergi.
Prabu Kala Teja Lelana telah sampai di pinggir kota Hastinapura seraya menyerahkan patung Resi Gupala yang wajahnya mirip Wrekodara Bhima. Prabu Duryudana berkata dengan sombongnya “hooo...jadi ini resi Gupala...Cuma arca batu begini......apa sih istimewanya.....sudah bawa ini pergi dari hadapanku! Lenyapkan sekalian....” Prabu Duryudhana memerintahkan supaya patung tersebut dilenyapkan. Para prajurit segera menyiapkan kayu bakar dan kapak. Lalu mereka menghnghancurkan patung itu. Namun aneh, kapak tak mampu membelah batu arca itu....bahkan dengan palu godam dan gada Kyai Inten milik Prabu Duryudhana pun mendal....Prabu Duryudhana pun memerintahkan membakar arca itu. Kayu bakar pun dikumpulkan di tengah Tegal Kurusetra lalu para prajurit itu pun mencampakkan batu itu ke tengah kayu bakar. Api pun disulut dan di arahkan ke kayu bakar dan blar...api pun langsung membumbung tinggi seakan menjilat-jilat langit. Ketika api unggun telah menyala, tiba-tiba terlihat cahaya terang (teja) yang masuk ke dalam patung Resi Gupala. Patung itu pun berubah menjadi besar seperti wujud semula. Lalu keluar dari arca itu, sesosok raksasa dengan wujud seperti Arya Wrekodara namun bertangan empat dan memiliki trinetra (mata ketiga) ditengah dahinya. Sang raksasa mirip Arya Wrekodara pun membuat keributan dan menyerang siapa saja “AKU BHAIRAWA....AKU PELINDUNG ARCA BEGAWAN BHIMA GUPALA!!SIAPA YANG TELAH MELUKAI ARCA INI... AKAN AKU LIBAS DAN TEBAS!!” Para Kurawa bubar ketakutan kembali ke istana Hastinapura melihat kebengisan Bhirawa. Namun tidak bagi Prabu Kala Teja Lelana. Ia sama sekali tidak taakut dan menyerang wujud menakukan itu......ia terus menyerang sang raksasa penjaga Arca Resi Gupala. Serangan semakin dahsyat bahkan Bhairawa membelah dirinya menjadi dua. Tak lama kemudian datanglah Begawan Suya Bawana beserta Ciptaning, dan Resi Hanoman,. Begawan Suya Bawana berkata dengan lantang ...Hei..raja angkara...aku lawanmu!!” sang begawan Suya Bawana pun tanpa tedeng aling-aling, menyepak kakinya ke a Prabu Kala Teja Lelana.
Sukma Arya Wrekodara melerai perkelahian |
Prabu Kala Teja Lelana
berubah menjadi Teja Mantri (Togog), sedang Resi Suya Bawana berubah menjadi
Semar. Togog yang tak lain kakak Semar itu adhiku Semar...jangan salah paham
dulu....aku melakukan ini hendak mengetahui apakah Begawan Dorna benar-benar
dapat mengajarkan Ngelmu Kasampurnan (kebaikan) atau tidak dan rupanya benar,
Begawan Dorna berkata hanya dimulut saja...aku juga juga ingin mengetahui langsung
betapa Duryudhana benar-benar hanya memikirkan duniawi saja.” Sementara kakek Semar
juga mengatakan owalah...ngunu tho kakang...aku juga minta maaf...sudah lancang
memakai wujud lain...aku berubah wujud sebagai Begawan Suya Bawana tadi hendak
menguji terhadap kepedulian Pandawa terutama Arya Wrekodara dalam menegakkan
kebenaran dan keadilan serta memberantas angkara murka”. Kakek Semar mengatakan
Wrekodara telah maneges untuk memerangi angkara murka serta melindungi rakyat Amarta
dan para muridnya yang lain. Bhairawa pun berkata juga “aku adalah Bhairawa,
aku lahir dari rambut batara Guru...aku juga salah satu wujud Gandarwa yang
ditugaskan untuk menjaga kahyangan Iswaraloka.. Batara Guru juga dikenal
sebagai Bhima yang artinya dahsyat, maka aku pun dikenal sebagai Bhima
Bhairawa....aku ditugaskan Batara Guru untuk menjaga arca ini...dan setelah
melihat pengorbananmu, aku sudah menganggap kau layak sebagai pemegang wahyu
Kamulyan.” Arya Wrekodara paham maksudnya. Setelah semuanya dirasa cukup,
Begawan Ciptaning pamit untuk meneruskan perjalanan menuju Gunung Indrakila.
Setelah kepergian sang petapa muda itu, Arca Resi Bhima Gupala dikembalikan ke
alas Aldaka. Meskipun tanpa wujud jasmani, Arya Wrekodara mampu menggotong
patung itu sendirian. Dengan kekuatan gabungan Bhairawa, kakek Semar, dan
Togog, Arya Wrekodara kembali mendapatkan tubuh jasmaninya yang keluar dari
dalam Arca Resi Bhima Gupala. Sejak ketika itu, kawasan Alas Aldaka menjadi
tempat persinggahan orang untuk menyepi, dan bermeditasi demi mencari
pencerahan di bawah arca resi Bhima Gupala.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar