Sabtu, 09 September 2023

Petruk Mantu

 Hai semua pembaca dan penikmat kisah pewayangan. Kisah kali ini adalah kisah pernikahan anak Petruk yakni Bambang Lengkung Kusuma dengan Endang Nalawati. Kisah ini juga menceritakan kedatangan para Pandawa dari hutan Kamyaka ke pernikahan itu hanya untuk meminta hukuman dari kakek Semar sebelum benar-benar memulai pengasingan. Kisah diakhir dengan para Pandawa, Dewi Drupadi, dan para Punakawan berangkat mengasingkan diri ke hutan selama dua belas tahun ditambah satu tahun hidup menyamar sebagai orang biasa. Kisah ini mengambil sumber dari blog kompasiana bapak Hery Santoso yang berjudul Petruk Mantu denghan perubahan dan penambahan dari penulis.

Prabu Duryudhana sedang duduk di atas takhtanya, ia sedang gembira karena berhasil mengusri para Pandawa dari istananya sendiri setelah kalah dadu tapi sesaat raut wajahnya kembali kusut. Ia memikirkan anaknya yang lelaki yakni Lesmana Mandrakumara yang hingga hari ini belum juga menikah. Sekarang dengan ketiadaan para Pandawa yang saat ini berangkat mengasingkan diri di hutan, Lesmana Mandrakumara tak akan merasa ada saingan lagi. Selintas lalu, Prabu Duryudhana tiba-tiba kepikiran untuk menggaet hati Semar dan keluarganya karena ia menyangka kakek Semar sudah sakit hati karena dipertaruhkan oleh Yudhistira saat judi dadu tempo hari “hmmm...kalau anakku nikah dengan cucu Kakek Semar, maka aku bisa mengendalikan para Pandawa ditambah lagi sekarang kakek Semar masih sakit hati karena ia turut dijadikan barang taruhan oleh Yudhistira...hhhmmmm baiklah sudah ku putuskan, akan ku nikahkan putraku dengan cucu kakek Semar, Endang Nalawati.” Prabu Duryudhana pun memanggil patih Harya Sengkuni, Harya Dursasana dan sang putra, Lesmana Mandrakumara. Diaturlah sebuah perjalanan untuk melamar Endang Nalawati. Awalnya Lesmana Mandrakumara enggan tapi setelah dibertahu sang ayah kalau Endang Nalawati itu gadis desa yang sangat cantik jelita, maka tertariklah kembali sang putra mahkota idiot itu. Mereka pun segera berangkat ke desa Karangtumaritis.

Pagi yang cerah ceria, musim sedang beralih dari kemarau dan bediding yang menggigit menuju musim hujan yang penuh kesuburan.... Desa Karangtumaritis ialah sepenggal kahyangan yang jatuh di antara banyaknya daerah di seluruh Jawadwipa, sama asrinya dengan desa Widarakandang dan Warsana, tempat tinggal masa kecil Prabu Sri Kresna dulu. Alam bersenandung melalui suara gemericik air yang sedang membaluri hamparan sawah yang menghijau dan berdendang melalui riang kicau burung-burung yang sedang bermain-main di rimbun dedaunan. Sungai baru saja mengalir dengan banyak air setelah lama debit airnya kecil. Hanya terpisahkan sebuah sungai, Tak jauh dari sawah yang hijau itu berbagai tumbuhan berbunga indah, rumput dan lalang menghampar menciptakan lapangan padang rumput yang sedap dipandang hati. Dengan bau tanah kering yang baru tersiram hujan, Tanah lapang itu disebut sebagai Ara-ara Klampis Ireng oleh warga sekitar, karena di tengah lapangan padang rumput itu tumbuh sebatang pohon klampis besar yang gagah sendirian, hanya rumput lalang dan semak bunga yang menemani pohon klampis jomblo ini. Terlihat disana sapi, lembu, kambing, dan domba merumput dengan riangnya. Sebagian lagi ada yang menyusu bersama anak-anak mereka. Nada seruling para gopala dan gopi (penggembala) mengalun bersama datangnya sang pagi. Desa Karangtumaritis yang asri dipimpin kakek Semar ya ki lurah Badranaya ya ki lurah Janggan Asmarasanta. Desa ini sebenarnya terdiri dari tiga pedukuhan yakni Blubuktiba yang dipimpin Gareng sebagai sang kamituwa, Kembangsore dengan kamituwanya yakni Petruk, dan Karang Kadempel yang dinaungi oleh Bagong.  Kali ini pusat perhatian akan terpusat di dukuh Blubuktiba. Dari jauh, tampak rumah mungil tapi asri pinggir sawah, ditemani rerimbunan pohon bambu, di situ Gareng bersama keluarga kecilnya bernaung. Hari itu, Semar dan Bagong alias Cepot alias Bambang Astajingga alias Mangundiwangsa berkumpul di rumah itu bersama keluarga Gareng. Mereka berunding untuk mempersiapkan rencana pernikahan Endang Nalawati, anak Nala Gareng alias Cakrawangsa alias Bambang Sukodadi alias Pancal Pamor; dengan Lengkung Kusuma, anak Petruk alias Kantong Bolong alias Bambang Pecuk Pecukilan. Mereka tetap optimis dapat menyelenggarakan acara pernikahan itu meskipun dengan segala keterbatasan. Gareng beramah tamah dengan Bagong “lha Gong, endi bojomu karo anakmu? Ko gak melu “ “ ohh bojoku...Lelasari ya Bagawati bersama anakku si Besut neng omahe kang Petruk” Gareng lalu memanggil putrinya “Nalawati mrene, nduk” “Engghi, mo” Endang Nalawati pun mendekati sang ayah. Ayahnya lalu menanyakan kesiapan sang putri “Kamu sudah siap, nduk?”, tanya Gareng. “Ya sudah to, romo. Aku kan sudah lama merencanakan rumah tangga dengan kakang Lengkung”. “Kamu sudah tahu bagaimana seharusnya punya suami?” lanjut Gareng. Bagong nyeletuk, “Apa perlu aku ajari....?” seisi rumah kaget lalu tertawa. Gareng pun berkata sambil menampar kepala sang adik “Maksudmu apa tha , Gong?” “aduh! Lara ki kang Gareng.....aduhhh benjut ki ndasku......ealah talah,  ne’ aku ngomong, ojo dipotong sek......”  Bagong lalu melanjutkan bicara  “ngene kang, ojo salah paham. Pikiranmu ojo ngeres dulu. Maksudku, aku ajari bagaimana menjadi istri yang baik”. Bagong dengan gayanya yang khas, menasehati keponakannya yang akan menikah itu. Kakek Semar melanjutkan, “Begini, begini ya Reng. Walaupun romo ini sudah tua, tidak bisa uwur-uwur, memberi sumbangsih secara materi, ning romo ingin uwur tutur - uwur sembur marang cucuku Nalawati, sebelum janji sucinya.” Kakek Semar mendekati cucu perempuannya itu  “cucuku seng ayu dhewe, Eling yo nduuk pepilinge Eyang. Apa itu yang disebut, pangkat dan derajat kui mung sampiran. Harta benda, rajakaya, anak keturunan seng berbakti mung titipan semana saking seng Maha Kawasa, mung kudu amanah. Yang penting kamu harus bisa menjaga ketenteraman jiwa dalam berumah tangga yo nduuk. Suami dan istri kudu isok nyambung. Nyambung dalam komunikasi, tetap saling mendukung dalam suka dan duka”.“Betul jarene eyangmu, kudu nyambung, nyatu, dan saling mahami....iku kuncine..... penting ojo padu wae (jangan bertengkar melulu)”, sahut Dewi Sariwati, istri Gareng yang tak lain ialah ibu Nalawati.

Rupanya kegayengan keluarga besar kakek Semar tidak berlangsung lama. Bala Kurawa memecahkan suasana musyawarah mereka. Dengan angkuh Sengkuni, Lesmana Mandrakumara, dan Dursasana menghampiri Punakawan yang masih tampak terheran-heran itu. “Selamat datang ndara Patih dan para bangsawan semua”, sambut Semar. “Ya, kakang Semar. Begini ya Gareng, kedatanganku ke sini akan melamar anakmu Nalawati”, datar suara Sengkuni tanpa basa-basi. “Hoi, paman Sengkuni, yang jelas dong ngomongnya! Kok paman yang melamar?! Melamar untuk cucu…, begitu!”, bentak Dursasana sambil menggoyang-goyangkan tangannya yang kekar. “Cepetan kenapa yuuung….”, Lesmana tak sabar. “Sebentar Dur, paman belum selesai bicara. Mono… sabar disik yo lee…”. “Kalau ngomong mbok ya jangan sambil merem gitu to maan, hehehe….”, Dursasana mengingatkan. “Saya akan melamar anakmu, Nalawati, untuk cucuku Lesmana Mandrakumara”. “Njeeeh… kanjeng romo Gareeng…”, suara Lesmana melengking “Beluum! (sambil menabok Lesmana). Kamu ini ya bodoh sekali…. Belum jadi menantu kok memanggil romo Gareng, hehehe…”, bentak Dursasana. “Bukannya sudah disetujui man?” “ Belum!! Ini baru melamar! Byuh, byuh, kok nyocol wae bocah iki to yo, hehehe…”, Dursasana mencoba menenangkan. “Kamu akan hidup mulia dan bahagia, jika mau berbesanan dengan Raja Hastinapura”, Sengkuni mengiming-imingi Gareng.

Belum terjawab tawaran Sengkuni, tiba-tiba datang Boma Sitija, raja Trajutrisna. “Baginda Boma, selamat datang”, Gareng menyambut. “Ya, ya…”. “Bakti hamba baginda”. kata Bagong. “Ya, Bagong”. “Bakti kula gus”, Semar melanjutkan. “Ya, Eyangku Semar, sama-sama”, Sitija menerima sembah bakti Punokawan. “Inikah yang namanya Nalawati?”, tanya Prabu Boma Sitija. “Njiih den…”, Gareng menjawab. “Njanur gunung, paduka rawuh di padepokan Blubuktiba, ada perlu apa ya?”, tanya Gareng. “Begini ya Reng, kedatanganku ke sini dengan membawa berpeti-peti perhiasan dan bermacam-macam rajabrana. Saya ingin melamar anakmu Nalawati, untuk menjadi istriku”. Prabu Boma Sitija menjelaskan kalau dia ingin menikahi Nalawati karena keinginan dari isterinya, Dewi Hagnyanawati. Dewi Hagnayanawati berkata ia mau melayani sang suami lagi kalau dimadu dengan Endang Nalawati. Mendengar maksud kedatangan Sitija seperti itu lantas Dursasana mengingatkan. “Lho-lho-lho, awas Reng, yang datang duluan ke sini Patih Hastinapura, hehehe…”. “Terus terang saya merasa tersanjung. Anak saya dilamar pangeran, pertama: calon raja, yaitu ndara Lesmana Mandrakumara.. Dan ini ada lagi Raja Trajutrisna. Saya seperti kurung munggah lumbung. Namun perlu njenengan berdua ketahui, bahwa saya sudah sepakat akan berbesanan dengan adik saya Petruk”. Harya Dursasana lalu berkata “Wes Reng gak usah basa-basi...urusan Petruk gampang, wes kawinkan anakmu dengan ponakanku.....” “jangan dengarkan dia! Lebih baik nikahkan saja intan payungmu kui denganku, lamaran Petruk dibatalkan saja. Kalau dia marah, aku yang tanggung jawab”, ucap Sitija dengan setengah memaksa. “Untuk aku saja, aku masih perjaka. Dia sudah punya istriii…”, suara Lesmana mendayu-dayu tidak terima. “Gareng! Kamu harus luluskan permintaan kami! Sudah, jangan banyak bicara, hajar saja dia!!”, Dursasana hilang kesabaran. Ditendangnya Sitija hingga terjerembab ke belakang. Pertarungan tak bisa dielakkan. “Wah, wah, wah, bagaimana ini? Ini bisa-bisa menggegerkan Padukuhan Blubuktiba”, kata Bagong. “Sudah, sudah, jangan panik, romo akan selesaikan masalah ini”, kata Semar. “Mongso bodho-a mo, yang penting bagaimana suasana bisa tenteram kembali”, Gareng pasrah.

Situasi tak bisa dikendalikan. Tak hanya Sitija yang meladeni gempuran Dursasana, pasukan Trajutrisna pun bertempur melawan pasukan Hastinapura. Sambil menghunus keris, Sengkuni di pinggir arena mengamat-amati jalannya pertarungan, mencari celah, berharap bisa menghabisi Boma dari belakang. “Sudah, sudah, cukup, cukup, berhenti bertarung deen…, berhenti, berhenti, sabar, sabar, ya ndoroo…”, Semar mencoba melerai. “Boma, kau tamu kurang ajar!”, bentak Dursasana. “Kurawa biang onar!”, Boma tidak terima.“Apa maumu?!”, Dursasana membentak lagi. “Semaumu!”, Boma Sitija tak mau kalah. Entah dengan kekuatan apa, Endang Nalawati mendekati medan laga dan melerai kedua pelamar itu “ Sudah cukup!....kalau ingin mendapatkanku, minimal pake effort...aja mung nggawe otot dan dengkul!” Kedua orang itu kaget dengan ketegasan Nalawati. “Nalawati sudah mulai turun tangan, kalau begini terus bagaimana ini mo?” Gareng bingung. “Lha, terus maumu gimana Gong?”, balas Semar.“Sudah mo, segera urusi yang baik gimana mo, jangan diulur-ulur, nanti ceritanya kepanjangan”, Bagong sambil terengah-engah. Kakek Semar pun memanggil sang cucu “nduk....mrene...eyang arep ngomong.” Endang Nalawati mendekati sang eyang. Keduanya segera berbicara empat mata. Nalawati lalu membisiki apa yang jadi keingiinannya kepada kakek Semar. Semar paham, mereka pun segera berdiri “Begini saja, semuanya, saya tidak berpihak kepada siapapun. Setelah saya bicara empat mata dengan cucu saya, Saya punya permintaan: siapa saja bisa menjadi calon pengantin pria, asalkan bisa mempersembahkan cunduk Sekar Wijayakusuma”, tegas Semar. “Lho, yang punya itu kan Ayahanda Kresna, kalau begitu aku, aku yang akan mendapatkannya”, kata Sitija sambil bergegas pergi. “Paman, … paman, bagaimana ini??”, Dursasana gundah. “Sudah, jangan khawatir. Biar tidak kedahuluan Boma, kita cari jalan pintas Dur”.“Monggo, monggo Man”. Sementara itu, di rumah, Gareng tidak setuju dengan keputusan mendadak sang ayah. “Lha mo...kok malah ngene? Maksud saya, diputuskan supaya tidak ada keributan lagi mo. Lha ini kok ndadak…”.“Mencari masalah baru…”, timpal Bagong. “Lha ini romo justru minta Cangkok Wijayakusuma. Kalau ribut lagi gimana?” protes Gareng. “Ribut tapi kan tidak di sini lagian iki ya keinginan putrimu, Reng”, Semar beralasan.

Bagong membawa kabar dari Gareng
“masalahnya iku sayembara kayak ngene kae harus adil lho mo. Maksud saya begini, … Petruk, adhi Petruk yang juga melamar ini harus mendapatkan syarat yang sama”. “Bener kang Gareng. Kalau terdengar oleh yang lainnya gimana?”, kata Bagong. “Ya iri to…. Daripada saling iri, ya nggak adil itu namanya”, Gareng meyakinkan. “Jadi Petruk juga kena syarat?” tanya Semar “Ya, iya tho mo… Wong syarat perpanjangan kontrak tambang saja harus diworo-woro. Kalau tidak, gak bahaya tha?… ” “Ya, iya juga sih…. Terus bagaimana baiknya?”, Semar bingung. “Romo ini gimana sih, dimintai pendapat kok malah bingung juga?”, Gareng kesal. “Sudah, begini saja, saya akan menulis surat ke Petruk. Nanti antarkan ke dia ya Gong. Masalah transport pakai uangmu dulu, nanti dihitung belakangan”, Gareng tetap pada pendiriannya.

Sore itu Pedukuhan Kembangsore benar-benar anteng. Petruk dan istrinya, Dewi Prantawati, jagong di teras pondok. Lengkung Kusuma, anak mereka, sumringah, karena hari-harinya dilalui dengan hati berbunga-bunga. “Lengkung, kenapa kamu cengar-cengir sendiri?”, tanya Prantawati. “Hatiku senang mbok”.“Senang kenapa?” “Lha aku ditunggui bapak dan simbok”. “Kamu ini kok ya ndak ngerti to, simbok sedang sayang-sayangan sama bapakmu, kamu kok nyela saja”. “Dasar anak tidak tahu malu, ya gini ini”, Petruk membenarkan. “Mbok ya agak ngerti sedikit gitu to le, le…”. “Ya harus sabar dan maklum to mbok” kilah Lengkung Kusuma.“Maklum gimana?”, tanya Petruk. “Bapak sudah pernah jadi saya, tapi saya kan belum pernah jadi bapak. Tegasnya, bapak kan sudah melakoni muda, tapi saya belum melakoni tua seperti bapak. Jadi kalau ada saruning tumindak, salah-salah sedikit ya dimaklumi lah”. “Apiik…. Kamu sekarang kok pandai, nak?” “Ya ini berkat piwulange romo prabu Kantong Bolong. Mbok, kita ini beruntung lho punya bapak Petruk”.“Memang kenapa le?” “Bapak tidak pernah kena kasus korupsi. Sampai saat ini bapak aman-aman saja, tidak bisa diusut kekayaannya”. “Kowe iki piye to? Gimana mau mengusut, lha wong bapak ki kekayaannya mung sak mene wae; kaedus banyu sesiwur (mendapat jatah sedikit dan harus berbagi dengan sesama yang lebih membutuhkan). Makan saja susah, mau korupsi dari mana?”. “Namanya juga Kantong Bolong. Walaupun dapat berapa saja ya bablaas wae. Ning bablas kanggo manfa’ate wong liyo”, sahut Lengkung. “Lha wong nama itu cuma nama julukan saja kok lee…”, jawab Prantawati “Mencontoh pola hidup bapak ini membanggakan. Pola hidup sederhana, bersahaja, prasojo”, lanjut Lengkung.

Tak lama datang sepupu Lengkung Kusuma yakni Bambang Besut Katinja, anak Bagong. Ia datang bersama ibunya, Lelasari alias Bagawati, “sampurasun...kula nuwun..... “ “dewi Prantawati menjemput masuk ipar dan keponakan tercintanya itu. “Owalha Besut...tho...wes gedhe ae ...perasaan terakhir aku ketemu, awakmu sek segedhe layah” yo lha.... uwa Petruk...saiki gedhe sak wetenge bapak Bagong.... ginak-ginuk imut. Timbang uwa...ket aku cilik sampe saiki...sek tetep wae, kuru kaya biting......” Seloroh Besut.....”adududuh..ahahaha....mentala ta’gemplang arek siji ki....wes plek ketipleke Bagong” Besut lalu memberi salam pada Lengkung Kusuma dengan gayanya yang sok cool “ Yo wassap bro...ihik-ihik...arek seng kape nikah rek.....hahahaha.....” “ lho Sut...asyuu kowe....hahaha suwun, Sut...awakmu kapan nyusul?”  “tenang, kang Lengkung....aku wes onok gaetan...iku si Dadapsari, anake Mbok Cangik.. kan lumayan....aku wes confess kari ngenteni tanggale...” keduanya bercengkrama bersama. Lalu Lengkung bertanya pada mboknya “Sebentar mbok, saya mau tanya, sebenarnya betul nggak sih saya ini anaknya bapak?” “Lho, pertanyaanmu kok aneh to le?” “Lengkung! Berani-beraninya kamu ngomong begitu. Memang selama ini wajahmu mirip siapa, hah?!” bentak Petruk dengan gayanya yang lucu. “Pokoknya saya yakin. Akan saya umumkan bahwa mbok hamil tidak sama njenengan”, tantang Lengkung. Petruk gusar, “Lengkung, jelek-jelek begini bapakmu mantunya Raja Dwarawati. Ibumu itu masih termasuk putri keraton. Eyang putrimu iku, Dewi Radha, kembang desane Desa Widarakandang... eyang tirimu, Dewi Rukmini, Jembawati, Setyaboma, Pertiwi, dan 16.000 lainnya cantik-cantik. Ojo salah....Memang bapakmu jelek, tapi ibumu cantik. Harapan bapak menikahi ibumu supaya punya anak bagus, ternyata nongol kamu yang punya wajah malah gabungan bapak karo mbokmu. Gantengmu nurun mbokmu tapi irungmu nurun aku......Banjur kamu ngomong seperti itu, opo karepmu?”. “Pak, mau diapakan juga, mau dikloning atau diapakan, namanya gen saya ini ya begini ini, tetap saja jelek. Tetapi yang pasti, simbok hamil tidak dengan bapak”. “Lantas sama siapaa…??” Petruk kesal. “Simbok itu hamil sendiri. Apa bapak ikut hamil?” “Ya tidak to”. “Saya tadi bilang apa?” “Oooo, begitu to le…” tanggap Prantawati. “Lho, fakta kan, ini fakta…. Jeleknya orang tua itu begini niih. Maunya menang sendiri”. “Benar kamu le. Kang, anakmu pandai, mestinya kamu harus senang, ojo nesu gitu to kang Petruk”. “Yaa, tapi kepintarannya jangan disalahgunakan untuk ngakali bapaknya gitu…hadududh...ancen putune Sri Kresna awakmu iki...pinter ngakali wong”. “Ini kan hanya tukar pikiran pak; sharing gitu lo…hehehe”, Lengkung membela diri. Keluarga Petruk kala itu sangat gembira hati.

Lamat-lamat dari kejauhan, tampak sesosok makhluk kayak genuk berjalan ginak-ginuk, ketebang-ketebong sedang menuju rumah Petruk. “Eee, bagaimana kabarmu adhi Bagong...?” Lho...kakang Bagong...salam kakang” ucap Lelasari.... “Ini Lengkung to? Lengkung yang dulu masih ingusan itu?” “Ya, iya. Ini keponakanmu yang mau nikah sama Nalawati. Saiki wes gagah tho....?”, jawab Petruk. “lho bapak?” Besut pun mendekati bapaknya. Benar-benar Bagong ini memper wajahnya hanya beda di badannya saja. Kalo Bagong badannya lebih bulat, bentuk badan Besut lebih ke arah gempal badannya. Tanpa basa-basi Bagong memulai pembicaraan “Mbakyu, ini ada kabar…”. “Lho, belum hajatan kok kamu sudah ngasih amplop to dik? Sudah, sudah, tidak usah repot. Sudah cukup kok dik Bagong” Prantawati pura-pura menolak. “Mau nyumbang kali mbok…”, Lengkung mencoba menjelaskan. “Yang mau nyumbang itu siapa?” tegas Bagong. “Itu surat untuk siapa?”, tanya Petruk. “Ini dari kang Gareng”. “Ooo, ya, ini memang tulisannya kang Gareng. Senajan tangannya bengkok, ning tulisannya morat-marit”, ledek Petruk. “Wuiih, nulisnya dalam bentuk Sinom, Gong”.“Memang kebiasaan kang Gareng kalau mengirim surat dalam bentuk tembang”.Petruk pun membaca isi surat tu “Bersama surat ini, menjumpai adinda suami-istri. Dinda Petruk yang berbahagia. Pertama-tama saya sampaikan salam sejahtera. Yang kedua, untuk diketahui, tentang rencana kita berbesanan. Perkawinan Lengkung dengan Nalawati. Bisa terlaksana jika Lengkung Kusuma datang dengan bercunduk Cangkok Kembang Wijayakusuma.”

Selesai membaca surat, tiba-tiba saja Petruk nyaduk Bagong. Tentu saja Bagong kaget. “Gong, kamu tahu tidak isi surat tadi. Bait terakhir maksudnya apa? Menyebut cunduk Kembang Wijayakusuma segala?” “Yaa…, Cangkok Kembang Wijayakusuma itu….” Bagong ragu. “Kalau begini caranya, jelas kang Gareng ki esuk tempe – sore dele,  mencla-mencle, clewa-clewo koyo kebo!” “Mencla-mencle gimana?” Bagong pura-pura tidak tahu. “Lho, dulu dia kelihatan apa, sekarang kelihatan apa?” “Dulu jelek, sekarang sama saja”, tanggap Bagong. “Ini hanya akal bulus kang Gareng saja. Ini alasan untuk menolak secara halus. Coba pikir. Makanya gunakan otakmu untuk mikir! Terus aku dimintai bebana, harus datang dengan membawa Cangkok Kembang Wijayakusuma”, Petruk tidak terima. “Ini urusanmu. Kalau pengantin perempuan minta syarat itu sudah lumrah. Kok jadinya aku yang dimarahi??”, Bagong juga tidak terima. “Lumrah jaremu?  lumrah bagaimana?!” “Urusanmu sama Gareng, kok marah sama aku”, sambil lari Bagong menampel surat yang dipegang Petruk. “Sabar adhi, sabar”, Prantawati menenangkan. “Sudah, jangan ikut campur. Lengkung, kamu di rumah saja. Istriku juga, di rumah saja. Biar, akan aku labrak Gareng!” Petruk pergi sambil menghunus kapaknya yakni Kyai Pethel.

Baru tiga langkah Petruk melangkahkan kakinya, dari kejauhan tampak Para Pandawa dan Dewi Drupadi yang akan berangkat ke pengasingan. Namun sekarang, para Pandawa harus datang karena ada pernikahan yang harus mereka hadiri yakni pernikahan Lengkung Kusuma dengan Endang Nalawati. Petruk mengurungkan niatnya. “Petruk”, sapa Arya Wrekodara. “Apa?!”, jawab Petruk ketus. “Ya jangan kasar begitu to mo sama eyang ndoro Wrekodara”, Lengkung mengingatkan. “Kula, Baginda Bhima”. “waaa....Kethokane awakmu nesu ngunu? Sampe menghunus kapak begitu, mau apa? Bukannya sebentar lagi awakmu arep nduwe gawe? Kalau memang onok masalah, mbok ya dirembug baik-baik. Ojo nesu-nesu seperti itu”. “Sinuhun, saya kan akan menikahkan anak saya Lengkung Kusuma dengan Nalawati, anaknya kang Gareng”. “Lha kedatangan kami ke sini ini kan untuk membantu hajatanmu itu. Anggap saja kehadiran kami ingin menebus dosa kami sewaktu di arena dadu tempo hari”. Sambung Prabu Yudhistira “Nggih, kalau itu saya sudah tahu sinuhun, tapi saya menyayangkan mulut Gareng yang tidak bisa diugemi, tidak bisa dipercaya”. Ucap Petruk sambil marah-marah “Petruk!” sahut Arjuna. “Nggih, den”. “Sabarkan hatimu paman. Kalau ada masalah, sebaiknya dibicarakan dulu baik-baik”, Arjuna ikut menasehati. “Tidak bisa! Pokoknya saya akan melabrak Gareng! Dia minta syarat Cangkok Kembang Wijayakusuma. Pokoknya akan saya habisi dia!”ucap kesal Petruk sambil menghunuskan kapaknya “Petruk, berat mana sekarang, KMP atau KIH??!” Bagong kesal menimpali. “Bagong, ini bukan perkara politik”, Dewi Drupadi menimpali sambil tersenyum. “Iki piyee? Gong, jaga mulutmu! Jangan cengengesan! Pokoknya ini tidak sampai setengah jam, Gareng rampung! Mau apa?! Mpun, njenengan diam saja. Paling-paling Semar berpihak ke dia. Nanti kalau Semar membantunya, akan saya kapak juga! Jika Semar tidak terima, lapor Pandawa, Pandawa saya kapak sekalian! Jika Pandawa tidak terima, lapor penasehatnya yang namanya Kresna, ….”, Petruk tetap meletup-letup.

“Mau kau kepras juga, gitu??” timpal Nakula.“Kepras sekalian!”, sela Lengkung Kusuma. “Yang jadi pokok masalahnya adalah Lengkung, jadi… kepras sekalian Lengkungnya!” teriak Besut tak mau kalah. “Sudah, saya selesaikan saja!” Petruk tak sabar. “Sebentar, sebentar pak…”, Lengkung mencegah.  Sadewa lalu berkata “Sik to, bendaramu Madukara mau bertanya kepadamu”  “ok, monggo ndoro!” sahut Petruk “sebentar paman! Masa’aku mau dikepras sisan?” tanya Arjuna. “Kepras sekalian!”, bentak Bagong memanas-manasi.“Ya nggak begitu too….”, jawab Petruk. “Kalau perlu semua Punokawan dikepras sisan!”, Lengkung tak mau kalah. Para Pandawa senyam-senyum saja. “Wonten dhawuh ndoro…”, Petruk mereda. Lengkung pun bertanya kepada Arjuna “ampun eyang ndoro, bapa Petruk emang begini tha?” Arjuna menjawab “ya Lengkung, cucuku sayang. Bapamu emang gitu. Setiap kami pergi bersama, sifatnya sama seperti yang kamu lihat, cucuku. Dia orangnya asik, cuek, tapi kalau sudah urusan harga diri, jangan ditanya. Ngamuknya setara sama kakekmu Prabu Baladewa dari Mandura. Dulu saat mendapatkan ibumu, dia bahkan bisa membuat kakekmu Baladewa, Setyaki, dan Udawa tak berkutik.”

“Nala Gareng minta syarat Kembang Wijayakusuma?”, tanya Arjuna dengan tenang. "Nggih ndoro”. "Yang punya Cangkok Kembang Wijayakusuma tidak ada lain ya hanya kakang Madhawa, Sri Bathara Kresna”. “Awas…, tidak dipinjamkan, keprass!!” tiba-tiba Besut teriak cuek. “Sut, lambemu kebablasan neh, tak kepras sisan mengko”, bentak Petruk. “Wah, Ne’ aku dadi kakang Jlitheng sudah deg-degan lho…”, Arya Wrekodara sambil senyum. “Ndara Arjuna dan ndara Pandawa sekalian, saya sudah tahu kalau Cangkok Kembang Wijayakusuma itu agemipun paduka Ndarawati. Namun, ini hanya alasan Gareng untuk menolak secara halus”. “Apakah tidak bisa diganti dengan kembang lainnya?” tanya Yudhistira. “Kembang apa?” “Kembang gula malah bikiin….”, celetuk Lengkung. “Kembang gula itu bukannya permen, mut-mutan?” tanya Petruk. “Kembang gula aku moh, aku kencing manis”, jawab Besut menolak, walaupun tak ditawari. “Petruk, sudah, kamu tenang saja, aku akan bicara  Lengkung Kusuma”, Arjuna menenangkan. Lalu Arjuna mengajak bicara. Setelah cukup lama, Lengkung Kusuma pun berbalik “Sut, Besut! Ayo melu aku ke Dukuh Blubuktiba. Kita temui Nalawati di sana.” Maka berangkatlah Lengkung Kusuma dan Besut ke Dukuh Blubuktiba.

Petruk kaget “lho ndoro...kok Lengkung disuruh ke Blubuktiba?” “aku suruh kesana karena menurut firasatku, kakang Madhawa sekarang ada di sana sekarang. Kau tahukan siapa kakang Madhawa? Dia kakek dari anakmu, Truk. Masakah kakek tidak akan datang ke pernikahan cucunya?” “Betulkah ndoro??” “Lho, betul, aku percaya pada indria dan firasatku ini”. “Sebentar den, nalarnya bagaimana?” Petruk tak yakin. “Sekarang coba pikirkan, istrimu Prantawati itu siapa?” Tanya Nakula....dia putri keraton Dwarawati. “dan lagi siapa ayah ibunya?” Tanya Sadewa, “dia putri ndoro Prabu Sri Kresna dan Dewi Radha.”ujar Petruk. “nah itu tau” ujar Arya Wrekodara sambil senyam-senyum “Ya juga sih, memang putrinya. Tapi…” “Kalau begitu Lengkung Kusuma ya cucunya sendiri to? Sudah sepantasnya dia berada disana untuk anak-cucunya” jawab Arjuna dengan lugas. “Jadi, dia pasti lahir-batin rela meminjamkan Cangkok Kembang Wijayakusuma?” “Tentu saja, Petruk”. Arjuna meyakinkan sang Kantong Bolong. “Aduh, sinuwun, saya menghaturkan banyak terima kasih sudah membantu sya berpikir jernih. Kalau bisa jangan hanya kembangnya, sukur-sukur sekalian biayanya juga akan saya minta kepadanya”. “Dapuranmu, Truuk, Truk!” cela Bagong. “Nah, ujung-ujungnya perkara itu juga tho? Lihat kondisi tho Truk...ndoro kita para Pandawa sedang kehilangan harta gara-gara acara dadu kapan hari”. Para Pandawa hanya tertunduk mengingat kejadian beberapa hari lalu “aduh, ndoro.  maafakan saya yang tidak peka.” “sudahlah, Paman Petruk. Memang takdir kami begini..... mari kita ke rumah paman Gareng” ajak Yudhistira untuk segera ke Blubuktiba menyusul sang putra Petruk.

Singkat cerita, malam harinya Lengkung Kusuma dan Besut sampai di dukuh Blubuktiba di sana sudah ada Prabu Sri Kresna dan kedua isteri utamanya, Dewi Radha dan Dewi Rukmini. Mereka bersama Gareng dan Kakek Semar“waa... eyang prabu dan eyang prameswari. Wes neng kene wae. Salam, eyang Prabu! Eyang Semar!  Paman eh bapa Gareng!” Prabu Sri Kresna dan Kakek Semar menerima salam mereka “Salam!.” Prabu Sri Kresna memeluk cucunya itu“Lengkung wes gedhe awakmu...sekarang sudah mau nikah.....” Bersama dengan itu, Besut ikut menyalami Prabu Sri Kresnas “Lengkung, Sapa iki...kok mirip Bagong tapi luwih gempal?” tanya Prabu Sri Kresna “ohh iki Besut eyang Prabu, masa gak kenal...anake paman Bagong. Arep nikah sisan....karo Nyai Dadapsari anake Mbok Cangik, tapi rung kelakon...” ejek Lengkung. Gareng tertawa mendengar keponkannya itu bercanda. Besut menimpali “cocotmu, kang Lengkung!” Dewi Radha lalu mendekati cucunya “Lengkung, sekarang kau sudah dewasa. Kerja sudah mapan. Sudah jadi juragan sapi di Kembangsore.”  “benar kata Eyang putri Radha, sekarang Lengkung sudah mandiri...cocok sekali untuk berumah tangga....didikan kakanda Prabu dan Petruk emang gak kaleng-kaleng...”puji Dewi Rukmini. “tapi ada yang kurang nih Yunda Radha” “eh apa dinda Rukmini?” tanya Dewi Radha. “kurang siraman, eyang prameswari.” Sahut Besut. “kakang Lengkung dari Kembangsore belum mandi dan berhias padahal mau nikah.” Seloroh Besut sambil bercanda. “asem koen, Sut...isin ki didepan dua eyang putri ki...” Prabu Sri Kresna lalu berkata “benar kata Besut....dari tadi perjalanan berjam-jam pasti belum mandi dan berhias. Masa’ ketemu calon isteri kucel begitu...ingat Lengkung yang dilihat nanti ya kesan pertama...kalo kata orang daratan besar, First Impression. Mari kita kedalam, bebersih dan istirahat yang cukup. Besok kan kamu mau menikah!” Lengkung menolak dengan halus “nanti dulu, eyang Prabu. Kedatangan ku kemari mau meminjam sesuatu. “apa itu, cucuku?” tanya Sri Kresna “kata paman eh bapa Gareng, dinda Nalawati meminta calon pengantinnya harus membawa cundhuk dari bunga dan yang dimintanya itu Cangkok Kembang Wijayakusuma. Setauku, hanya eyang yang punya bunga itu. Dari kabar beredar, anake gusti Prabu Duryudhana, paman Lesmana sama paman prabu Boma Sitija sedang berusaha memintanya. Nah biar aku gak keduluan makanya aku kesini eh ketemu eyang Prabu disini” Prabu Sri Kresna memuji langkah cerdas sang cucu “Wah wah...pinter juga kamu....kamu memang cucuku...cerdasmu minta ampun....Baiklah, kalau begitu, Lengkung Kusuma, sini mendekatlah, akan saya beri kamu cunduk Kembang Wijayakusuma”. Maka, diselipkanlah Cangkok Kembang Wijayakusuma oleh Prabu Sri Kresna di ikat kepala Lengkung Kusuma.Gareng pun mendekat ke keponakannya dan menyatakan Lengkung Kusuma sebagai pemenang sayembara. Lalu datanglah Prabu Boma Sitija melabrak sang ayah “Ayahanda, ini bagaimana ceritanya? Mengapa Cangkok Kembang Wijayakusuma diberikan kepada anaknya Petruk? Padahal saya sudah memastikan, kalau sayalah yang akan bersanding dengan Nalawati”. “Ananda, istrimu Hagnyanawati adalah wanita yang cantik. Tidak kurang suatu apapun. Mengapa sekarang Ananda masih menginginkan Nalawati? Apakah sudah melenceng kiblatmu, hah?” “Duh, kanjeng romo, justru ini adalah keinginan Hagnyanawati. Dia akan memberikan cintanya kepada Ananda, asalkan Ananda memadunya dengan Nalawati’. “Jagad dewa bathara. Anakku cah bagus Sitija, ketahuilah, sebenarnya Hagnyanawati ingin mengatakan, menolak halus cintamu, karena dia tidak mencintaimu. Sayangnya engkau kurang tanggap, malah engkau mencoreng mukamu sendiri dengan perilakumu yang tidak terpuji ini”. “Aduh, sungguh bodoh saya. Maafkan saya Ayahanda” Prabu Boma pun larut dalam kesedihannya “Paman prabu, sudah, jangan kau larut dalam tangismu di hari bahagia ini. Bersabarlah......mungkin ini adalah ujian cinta paman dengan bibi prameswari...sekarang paman prabu kudu bangga melihat ponakannnya ini...bisa menikahi pujaan hatinya..............apa paman prabu Boma tidak bahagia kalau aku menikah dengan orang yang ku cintai?.” Ucap Lengkung menenangkan sang paman “mesti aku seneng, bahagia.... tapi untuk masalah iki, aku kudu piye, Lengkung?” Prabu Sri Kresna memberi wejangan “Ya mestinya kamu harus sabar karena semua sudah terlanjur. Berusahalah lagi anakku. Batu yang keras bisa berlubang kalau mendapatkan tetesan air terus menurus....Cintamu pasti akan bersambut. Tenang saja”. Prabu Boma Sitija pun mendapatkan semangatnya kembali. Malah ia kini membantu persiapan pernikahan sang keponakan. Tak lama kemudian datang rombongan keluarga Petruk, Bagong dan para Pandawa. Prabu Sri Kresna bertanya “lho adik-adikku para Pandawa dan dinda Panchali kenapa masih di sini? Bukannya kalian harusnya mengasingkan diri.” “kakang Madhawa, awalnya kami sudah berada di hutan Kamyaka tapi kami tidak tenang...apalagi kakang Prabu Yudhistira...berapa hari ini ia tidak bisa tidur.. kakang prabu dibayangi mimpi buruk sepanjang malam.....kakang Prabu merasa sangat bersalah karena permainan dadu itu, kami harus benar-benar minta maaf kepada Bapa Semar atau kami akan terus dikejar dosa seumur hidup karena telah mempertaruhkannya di arena dadu itu.” Kakek Semar menenangkan hati Pandawa“owalah....ndoro, jangan begitu. Aku sudah memaafkan kalian. Hilangkan dulu rasa takut kalian...” “tidak, Kakek Semar. Tolong, beri kami hukuman dulu sebelum kami berangkat mengasingkan diri sehingga tenang hati kami. Anggap saja itu sebagai penebusan dosa kami padamu” mohon Yudhistira sambil berlutut “wes yang, jadikan badut saja!” sahut Bagong “cangkeme, mo” bungkam Besut “ne’ aku mending suruh kasih makanan yang kita ludahi!” Besut rupanya sama saja. Sama-sama tidak bisa direm mulutnya. Semar pun memberikan hukumannya “baiklah, untuk tiga hari kedapan kalian jadilah pelayan dan pramusaji di pesta pernikahan cucuku ini!” Para Pandawa pun lega hati dan dengan Lenga Pranawa milik Arjuna, mereka membalur wajah mereka. Kini orang-orang akan melihat mereka sebagai pelayan dan pramusaji berwajah buruk rupa.

Keesokan harinya,  Di teras rumah Gareng, acara resepsi pernikahan antara Bambang Lengkung Kusuma dengan Endang Nalawati berlangsung meriah. Para tamu bergantian mengucapkan selamat kepada kedua mempelai. Hilir-mudik para pramusaji menjamu para tamu yang datang dan pergi. Di antara para pramusaji itu ada para Pandawa yang sedang dihukum oleh kakek Semar sebagai pelayan. Mereka berhati-hati agar tidak diketahui oleh para Kurawa yang sewatu-waktu bisa datang kapan saja. Benar saja, di tengah acara yang meriah itu, tiba-tiba suasana dikagetkan dengan kehadiran tamu yang tak diundang, rombongan keluarga Kurawa.

Pernikahan Lengkung Kusuma dengan Nalawati
Tanpa ba-bi-bu, dengan arogansinya Sengkuni nyerocos: “Permintaanmu, ternyata mung akal-akalan. Sudah, tak usah wijaya-wijaya’an. Batalkan, batalkan pernikahan ini Gareng!” “Ya, ya, harus batal!! Harus dibatalkan demi hukum, eh, demi putra mahkota kerajaan Hastinapura, Lesmana. Kalau tidak, awas!!”, gemuruh suara bala Kurawa lainnya. Mendengar permintaan Sengkuni ini, Gareng lantas mengajak Lengkung dan Petruk mojok. “Kita bicara baik-baik saja ya. Truk, memang kamu sudah keluar biaya, tapi baru sedikit kan? Suruh ceraikan saja anakmu, daripada nanti rumahku hancur. Kalau melihat begini apa aku tidak deg-degan?”, bisik Gareng. “Enak saja! Aku sampai memutus urat maluku di hadapan ndoro para Pandawa segala, kok kamu mau berbuat macam-macam (sambil meraba-raba kapak di pinggangnya)….”.“lha aku juga dilema ki, aku sudah mengumumkan pemenang sayembaranya iku Lengkung tapi aku wedhi ki...eruh dhewe kan pasukane Kurawa iki wes kemriyek ngene...omahku isok hancur.” Sementara bala Kurawa sudah berteriak-teriak provokatif. “Sinuhun Boma, sudah, silahkan diselesaikan saja…”, Petruk dan Gareng kesal. “Baiklah, akan saya babat mereka semua, Petruk”. “paman Prabu Boma, mau melakukan apa njenengan?” tanya Lengkung. “Mau saya bereskan mereka semua”. “Sudah-sudah”. “Maksud loh?” “Sudah jangan terlalu lama kalau mau membereskan”. “Hai Kurawa, selalu saja kalian membuat rusuh, membuat onar. Ini, hadapi aku, Sitija Boma Narakasura, putra Kresna. Pamannya Lengkung Kusuma”. Prabu Boma pun mengusir rombongan para Kurawa dengan kekuatan saktinya. Angin kencang datang menerbangkan kembali para Kurawa kembali ke Hastinapura. Pernikahan pun dilanjutkan dengan meriah.

Setelah tiga hari tiga malam pesta pernikahan, para Punakawan yakni kakek Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong memutuskan ikut para Pandawa dan Dewi Drupadi mengasingkan diri. “owalah...ndoro eyang para Pandawa, lebih lama dong disini.” “benar, eyang ndoro, aku dan kakanda Lengkung ingin kalian berbahagia untuk sesaat saja sebelum kalian mengasingkan diri.” “tidak bisa cucuku, eyang-eyang dan bapa-bapa kalian harus menjalani ini semua, sesuai perjanjian kami dengan Duryudhana.” Ucap Prabu Yudhistira. “ kami tidak bisa janji dalam dua belas tahun kedepan kami akan baik-baik saja. Doakan kami semoga dimudahkan perkara kami oleh Hyang Widhi. Kalian jaga tali persaudaraan dengan para paman kalian, putra-putra kami, kakang Madhawa dan para keluarga Yadawa. Kami pamit berangkat.” Arjuna dan para Pandawa lainnya beserta Dewi Drupadi pun berangkat ke hutan Kamyaka, disusul oleh Kakek Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong. Perlahan sosok mereka hilang di telan kegelapan hutan Kamyaka. Sekarang ketiga dukuh di Karangtumaritis diambilalih sementara oleh ketiga putra-putri Punakawan. Lengkung Kusuma dan Endang Nalawati memimpin dukuh Kembangsore dan Blubuktiba sementara Besut memimpin Dukuh Karang Kadempel.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar