Hai pembaca dan penikmat kisah-kisah pewayangan, kisah kali ini menceritakan tahun pertama dan kedua pengasingan Para Pandawa di alas Kamyaka dan Amarta dikuasai oleh Para Kurawa. Pengasingan ini sempat diganggu oleh para Kurawa dan Prabu Kirmira, anak Prabu Baka yang ingin balas dendam kepada Arya Wrekodara. kisah ini mengambil sumber dari blog albumkisahwayang.blogspot.com dan kitab Mahabharata karya Mpu Vyasa.
Di Keraton Gajahoya, Adipati
Dretarastra dan Dewi Gendari dihadap Arya Widura. Hari itu Arya Widura datang
untuk memohon kebijaksanaan Adipati Dretarastra agar membatalkan hukuman buang
yang dijalani para Pandawa dan Dewi Drupadi. Peristiwa yang terjadi di Kerajaan
Hastinapura tempo hari sungguh biadab, di mana Dewi Drupadi dilecehkan dan
direndahkan oleh Arya Dursasana dengan disaksikan para hadirin, termasuk para
sesepuh negara. Arya Widura merasa sangat malu tidak dapat berbuat apa-apa. Adipati
Dretarastra pun saat itu hanya diam saja tidak mencegah anak-anaknya.
Dewi Gendari menyela
pembicaraan. Ia berkata “aku telah menghentikan permainan itu. Pelecehan Dewi
Drupadi sangat memalukan dan menjadi aib kerajaan kita. Lalu, mengapa adhi
Widura masih saja mengungkit-ungkit soal itu?” Arya Widura menjawab, kakang mbok...yang
namanya aib selamanya tetap saja menjadi aib. Kakangmbok memang telah
menghentikan permainan, namun permainan tetap saja dilanjutkan dengan bentuk
taruhan yang berbeda. Akibatnya, para Pandawa pun kalah dan dibuang selama tiga
belas tahun.” Dewi Gendari menjawab, taruhan bentuk baru itu sudah disepakati
bersama. Barangsiapa yang kalah harus menjalani hukum pengasingan selama tiga
belas tahun. Tidak ada lagi perbudakan dan pelecehan, yang ada hanyalah hukuman
pengasingan.
Arya Widura berkata
hukuman tersebut harus dibatalkan, karena para Kurawa diwakili Patih Sengkuni
yang telah berbuat curang. Pihak Kurawa bisa menang karena Patih Sengkuni
bermain sihir dalam melempar dadu. Oleh sebab itu, Arya Widura menyarankan agar
hukuman dibatalkan saja, dan para Pandawa harus dijemput pulang kembali ke
negara mereka. Adipati Dretarastra yang tempo hari diam saja tidak bertindak,
maka kini saatnya melakukan sesuatu untuk menghapus aib yang melanda Hastinapura.
Dewi Gendari tersinggung mendengar Patih Sengkuni dituduh berbuat curang dan
bermain sihir. Ia pun mengadukan hal itu kepada Adipati Dretarastra, dan ia
meminta izin agar diperbolehkan pulang bersama Patih Sengkuni ke Kerajaan
Gandaradesa daripada dihina seperti ini. Arya Widura menuduh tanpa bukti, itu
namanya fitnah belaka. Adipati Dretarastra termakan ucapan istrinya. Ia pun
memarahi Arya Widura, menuduhnya sebagai paman yang pilih kasih. “Widura, Selama
ini Kau selalu berat sebelah, lebih membela para Pandawa daripada para Kurawa,
padahal mereka sesama keponakanmu. Apapun yang dilakukan anak-anakku selalu
salah di matamu, sedangkan apapun yang dilakukan anak-anak Pandu selalu
terlihat benar. Jika memang kau lebih sayang kepada para Pandawa daripada anak-anakku,
mengapa tidak pergi saja menyusul mereka?” Arya Widura terkejut mendengar
ucapan kakaknya. Ia pun mohon pamit untuk pergi bergabung dengan para Pandawa
di Hutan Kamyaka. Prabu Duryudhana melihat pamannya itu melenggang pergi dari
kamar ayah ibunya. Ketika ia masuk, ia bertanya “ayahanda! Ibunda! Kenapa paman
Arya Widura pergi begitu saja begitu?” “aku telah mengusirnya, putraku.” Prabu
Duryudhana marah besar “Ayahanda! Kenapa Ceroboh Begitu! Ayah tahu kalau Paman
Arya Widura itu memihak Pandawa. Kalau dia Ikut Ke sana maka kita akan
Kehilangannya sebagai sosok penting! Aku akan membawanya kembali!” tiba-tiba
datang Patih Sengkuni “tidak perlu, keponakanku yang mulia raja Duryudhana. Aku
sudah membawa seseorang untuk mengurus itu.” “Siapa itu paman patih?” Patih
Sengkuni berkata “raja Ekacakra, Prabu Kirmira. Dia punya dendam pribadi pada
Arya Wrekodara dan dia akan menggunakan kekuatannya untuk membuat Widura tidak
betah bersama para Pandawa.” Prabu Duryudhana semringah mendengarnya. Ia pun
memerintahkan adik iparnya, Prabu Jayadrata dari Sindhu Banakeling untuk
merebut Amarta. Di tengah jalan, Prabu Jayadrata bertemu dengan raja raksasa. Sang
raja memeperkernalkan diri bernama Prabu Kirmira dan akan ikut bersama
Jayadrata karena ia sudah diberitahu Sengkuni kalau Jayadrata akan menuntunnya
kepada arya Wrekodara.
Sementara itu, Para Pandawa beserta Dewi Drupadi dan para Punakawan telah memulai pengasingannya.
Arya Widura berusah membujuk Yudhistira |
Di tengah tahun pertama
itu, atas hasutan Sengkuni dan Duryudhana, Prabu Kirmira, putra Prabu Baka raja
Ekacakra yang dulu dikalahkan Wrekodara memasuki hutan untuk menyerang rumah
gubuk para Pandawa dan Dewi Drupadi di alas Kamiyaka. " Akan kutuntaskan
dendam ayah dan adikku. Gara-gara si Bhima itu, Ekacakra tak bisa ku
tundukkan." Sementara itu, para Pandawa dibantu para Punakawan membangun
rumah gubuk untuk mereka tinggal. Sementara Dewi Drupadi mengumpulkan bahan
makanan di sekitar hutan. Mereka hidup penuh prihatin. Lalu tiba-tiba Arya Widura datang menemui mereka. Mereka
heran melihat sang paman hadir di alas Kamyaka. “paman Arya, kenapa kau datang
kemari?” tanya Prabu Yudhistira. Arya Widura berkata “aku diusir kakang adipati
Dretarastra karena memperjuangkan keadilan kalian yang dicurangi Patih Sengkuni.”
Prabu Yudhistira berkata “tidak ada yang
curang dalam permainan tersebut, paman arya. Paman patih bisa menang karena ia
memang pandai dalam bermain dadu. Sebaliknya, aku kalah karena memang tidak
terampil. Sekarang para Pandawa harus menjalani hukuman, dan itu adalah bagian
dari perjanjian. Sebaiknya paman Arya kembali ke Hastinapura”. Arya Widura
menggeleng. “Aku belum bisa kembali ke sana.” Belum selesai pembicaraan para
Pandawa dengan sang paman, mereka dikejutkan dengan datangnya
putra-putra mereka yang mengaku dikejar-kejar raja raksasa bernama Prabu
Kirmira. Raden Abimanyu bercerita “ampun ayahanda dan uwa juga paman semua. Aku,
kakang Antareja, kakang Prabu Gatot, dan kakang Prabuanom Srenggini berniat
mempertahankan Amarta saat hendak diambil alih para Kurawa dan paman Prabu Jayadrata.
Ternyata paman prabu Jayadrata datang bersama raja raksasa. Namanya Prabu
Kirmira, raja Ekacakra. Dia berilmu tinggi dan menguasai segala sihir, santet,
teluh dan guna-guna. Kami terdesak menghadapi kekuatannya dan terpaksa kabur
menuju alas Kamyaka.” Prabu Yudhistira berkata “anak-anakku, Kerajaan Amarta
tidak perlu dipertahankan karena sudah menjadi bagian dari perjanjian. Selama
tiga belas tahun ke depan Kerajaan Amarta dititipkan kepada para Kurawa dan itu
harus ditepati.” Prabuanom Srenggini menyanggah “tidak bisa paman prabu! Sudah jelas
paman-paman Kurawa mendapatkan Amarta dengan cara culas dan curang. Kami tidak
rela menyerahkannya...” “benar kata keponakanmu itu, Yudhistira. Aku tidak akan
pulang ke Hastinapura jika ananada prabu tidak meminta keadilan ini!” Namun,
Prabu Yudhistira tidak setuju. “tidak paman Arya! Aku telah berjanji untuk
menghormati keputusan yang telah disepakati bersama, yaitu harus menjalani hukuman
sampai selesai. Jejulukku Dharmaputra dan aku merasa bagiku menepati dharmaku!”
“benar kata kakang prabu, kami harus menyelesaikan pengasingan ini dengan
jujur.” Betul, itu, kami harusd menyokong kakang Prabu.” Sahut para Pandawa
lainnya. Arya Widura merasa para keponakannya itu sudah membulatkan tekadnya.
Tidak lama kemudian datanglah Prabu Kirmira di tempat itu. Tanpa pikir panjang, Prabu Kirmira dan pasukannya membakar seisi alas Kamiyaka dan menghancurkan rumah gubuk tempat tinggal para Pandawa, Dewi Drupadi, dan para punakawan tinggal. Tak cuma diserang, Prabu Kirmira mengirimkan racun, têluh, guna-guna, dan santet untuk membunuh para Pandawa. Sihir yang ditujukan Prabu Kirmira tak mengenai Pandawa secara langsung melainkan kepada para pendeta dan rakyat Amarta yang ikut mengasingkan diri. Ia mengejek anak-anak Pandawa yang tidak mampu mengalahkan dirinya, lantas meminta bantuan ayah mereka. Ia lalu bertanya “ mana yang bernama Arya Wrekodara? Ak akan membuat perhitungan dengannya!” Arya Wrekodara pun maju menunjukkan diri. Sang Panegak Pandawa geram dibuatnya. WOOOi!!....Sapa Awakmu? Aku dan kakak-adikku tidak pernah berbuat masalah denganmu, tapi teganya kau mengganggu kami!” ‘kau tidak ingat ayahku, Prabu Baka Atau adikku Baranjana? Aku Kirmira, anak dari Prabu Baka! Aku juga kakak dari Baranjana! Kau telah membunuh ayah dan adikku, Sekarang raskan kemarahan dendamku!” “Kurang Ajar, Kuhabisi Kau!”. Arya Wrekodara marah dan menyerang Kirmira. Adu kekuatan tak terelakkan. Karena bermin dengan sihir, beberapa kali Arya Wrekodara terjebak maya dan ilusi. Serangan sihir membuat perutnya sakit dan luka sekujur badan tanpa adanya sentuhan apapun dari sang raja Ekacakra. Melihat kakaknya terdesak, Arjuna segera mendekat “kakang, cepat pakai Lenga ini.”. Dengan cepat, Arjuna dibantu Arya Widura melumuri tubuh Arya Wrekodara dengan Lenga Pranawa. Alhasil semua serangan gaib dan sihir Kirmira bisa dipatahkan.
Kirmira menantang Arya Wrekodara |
Mendekati tahun kedua pengasingan, Kurawa tak habis-habis mengirimkan godaan. Tak puas dengan kekalahan Kirmira, kini para Kurawa memakai cara dengan mengadu domba Pandawa dengan kaum Gandharwa. Namun nasib Kurawa sial, kaum Gandharwa yang dipimpin Nini Mirahdinebak dan Prabu Citrasena justru membela Pandawa. Bahkan Prabu Duryudhana beserta adik-adiknya justru harus berhadapan dangan Prabu Citrasena, yang juga sahabat Prabu Mayasura, arsitek kepercayaan para Pandawa yang sudah memperindah Amarta. Para Gandharwa membuat berbagai macam ilusi dan maya. Prabu Duryudhana dan adik-adiknya dibuat kebingungan karena terus berputar-putar tak bisa keluar dari alas Kamyaka. Di saat demikian, Para Pandawa justru menolong para Kurawa. Para Kurawa malu sangat dan tidak lagi menggoda Pandawa secara terang-terangan. Para Pandawa sadar kalo mereka terus seperti ini, Para Pandawa tidak bisa tenang. Maka mereka masuk jauh ke tengah hutan Kamyaka ditemani para punakawan. Arya Widura sangat terharu dengan kebaikan hati para Pandawa. Walau sudah dijahati berkali-kali, tetap saja menolong para Kurawa. Kini sudah cukup lama Arya Widura tinggal di alas Kamyaka bersama para Pandawa, hampir 10 bulan lamanya demi membujuk kepoakannya. Namun pendirian Prabu Yudhistira tetap kukuh akan tinggal di hutan selama 12 tahun dan menyelesaikan hukuman nyamur 1 tahun. Merasa tidak ada gunannya lagi membujuk sang keponakan, Arya Widura pun pamit kembali ke Hastinapura. “aku pamit, anak-anakku. aku hanya bisa mendoakan semoga kalian baik-baik saja selama menjalani masa pengasingan ini. Semoga Dewata memberkati kalian” Arya Widura lalu kembali ke Kerajaan Hastinapura dnengan diantar Petruk, Gareng, dan Bagong.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar