Rabu, 13 September 2023

Bedah Amarta

 Hai pembaca dan penikmat kisah-kisah pewayangan, kisah kali ini menceritakan tahun pertama dan kedua pengasingan Para Pandawa di alas Kamyaka dan Amarta dikuasai oleh Para Kurawa. Pengasingan ini sempat diganggu oleh para Kurawa dan Prabu Kirmira, anak Prabu Baka yang ingin balas dendam kepada Arya Wrekodara. kisah ini mengambil sumber dari blog albumkisahwayang.blogspot.com dan kitab Mahabharata karya Mpu Vyasa.

Di Keraton Gajahoya, Adipati Dretarastra dan Dewi Gendari dihadap Arya Widura. Hari itu Arya Widura datang untuk memohon kebijaksanaan Adipati Dretarastra agar membatalkan hukuman buang yang dijalani para Pandawa dan Dewi Drupadi. Peristiwa yang terjadi di Kerajaan Hastinapura tempo hari sungguh biadab, di mana Dewi Drupadi dilecehkan dan direndahkan oleh Arya Dursasana dengan disaksikan para hadirin, termasuk para sesepuh negara. Arya Widura merasa sangat malu tidak dapat berbuat apa-apa. Adipati Dretarastra pun saat itu hanya diam saja tidak mencegah anak-anaknya.

Dewi Gendari menyela pembicaraan. Ia berkata “aku telah menghentikan permainan itu. Pelecehan Dewi Drupadi sangat memalukan dan menjadi aib kerajaan kita. Lalu, mengapa adhi Widura masih saja mengungkit-ungkit soal itu?” Arya Widura menjawab, kakang mbok...yang namanya aib selamanya tetap saja menjadi aib. Kakangmbok memang telah menghentikan permainan, namun permainan tetap saja dilanjutkan dengan bentuk taruhan yang berbeda. Akibatnya, para Pandawa pun kalah dan dibuang selama tiga belas tahun.” Dewi Gendari menjawab, taruhan bentuk baru itu sudah disepakati bersama. Barangsiapa yang kalah harus menjalani hukum pengasingan selama tiga belas tahun. Tidak ada lagi perbudakan dan pelecehan, yang ada hanyalah hukuman pengasingan.

Arya Widura berkata hukuman tersebut harus dibatalkan, karena para Kurawa diwakili Patih Sengkuni yang telah berbuat curang. Pihak Kurawa bisa menang karena Patih Sengkuni bermain sihir dalam melempar dadu. Oleh sebab itu, Arya Widura menyarankan agar hukuman dibatalkan saja, dan para Pandawa harus dijemput pulang kembali ke negara mereka. Adipati Dretarastra yang tempo hari diam saja tidak bertindak, maka kini saatnya melakukan sesuatu untuk menghapus aib yang melanda Hastinapura. Dewi Gendari tersinggung mendengar Patih Sengkuni dituduh berbuat curang dan bermain sihir. Ia pun mengadukan hal itu kepada Adipati Dretarastra, dan ia meminta izin agar diperbolehkan pulang bersama Patih Sengkuni ke Kerajaan Gandaradesa daripada dihina seperti ini. Arya Widura menuduh tanpa bukti, itu namanya fitnah belaka. Adipati Dretarastra termakan ucapan istrinya. Ia pun memarahi Arya Widura, menuduhnya sebagai paman yang pilih kasih. “Widura, Selama ini Kau selalu berat sebelah, lebih membela para Pandawa daripada para Kurawa, padahal mereka sesama keponakanmu. Apapun yang dilakukan anak-anakku selalu salah di matamu, sedangkan apapun yang dilakukan anak-anak Pandu selalu terlihat benar. Jika memang kau lebih sayang kepada para Pandawa daripada anak-anakku, mengapa tidak pergi saja menyusul mereka?” Arya Widura terkejut mendengar ucapan kakaknya. Ia pun mohon pamit untuk pergi bergabung dengan para Pandawa di Hutan Kamyaka. Prabu Duryudhana melihat pamannya itu melenggang pergi dari kamar ayah ibunya. Ketika ia masuk, ia bertanya “ayahanda! Ibunda! Kenapa paman Arya Widura pergi begitu saja begitu?” “aku telah mengusirnya, putraku.” Prabu Duryudhana marah besar “Ayahanda! Kenapa Ceroboh Begitu! Ayah tahu kalau Paman Arya Widura itu memihak Pandawa. Kalau dia Ikut Ke sana maka kita akan Kehilangannya sebagai sosok penting! Aku akan membawanya kembali!” tiba-tiba datang Patih Sengkuni “tidak perlu, keponakanku yang mulia raja Duryudhana. Aku sudah membawa seseorang untuk mengurus itu.” “Siapa itu paman patih?” Patih Sengkuni berkata “raja Ekacakra, Prabu Kirmira. Dia punya dendam pribadi pada Arya Wrekodara dan dia akan menggunakan kekuatannya untuk membuat Widura tidak betah bersama para Pandawa.” Prabu Duryudhana semringah mendengarnya. Ia pun memerintahkan adik iparnya, Prabu Jayadrata dari Sindhu Banakeling untuk merebut Amarta. Di tengah jalan, Prabu Jayadrata bertemu dengan raja raksasa. Sang raja memeperkernalkan diri bernama Prabu Kirmira dan akan ikut bersama Jayadrata karena ia sudah diberitahu Sengkuni kalau Jayadrata akan menuntunnya kepada arya Wrekodara.

Sementara itu, Para Pandawa beserta Dewi Drupadi dan para Punakawan telah memulai pengasingannya.

Arya Widura berusah membujuk Yudhistira
Namun sebelum pergi berangkat, Arjuna telah berdoa pada Hyang Widhi agar Amarta tidak dijahili tangan tak bertanggung jawab dan rakyat Amarta merasa aman, tetap seperti saat mereka belum pergi. Maka muncullah pagar dinding dari pepohonan dan semak. Rakyat Amarta pun terlindung oleh maya dan ilusi. Apabila rakyat ingin keluar masuk Amarta, Arjuna dan Wrekodara sudah membuatkan jaringan terowongan bawah tanah ilusi yang hanya diakses rakyat Amarta dan istana Indraprastha sehingga tidak akan diketahui siapapun termasuk Kurawa. Jalannya pemerintahan yang sah tetap dijalankan Prabu Yudhistira sembari dalam hukuman buang dan itu tanpa sepengetahuan Kurawa. Beberapa rakyat Amarta yang merupakan para resi dan agamawan turut menyamarkan diri. Sesaat setelah kepergian Pandawa, tanpa sepengetahuan mereka, Adipati Jayadrata datang menuju Amarta. Namun ia mendapat halangan dari beberapa putra Pandawa, yakni arya Antareja, Prabu Gatotkaca, Prabuanom Srenggini, dan Raden Abimanyu yang memang belum rela jika istana Indraprastha diduduki para Kurawa dengan cara curang. Mereka menghadang  sang raja Sindu Banakeling di depan pintu gerbang kotaraja “hei paman Jayadrata ! pergilah dari sini. Kami disini akan menjaga negeri Amarta ini.” Ujar Arya Antareja “benar! Aku tidak akan segan menyerang siapapun yang mendudukitanah air kami!” kata Prabu Gatotkaca. Ucapan kedua wakil Amarta itu membuat prabu Jayadrata karena para putra Pandawa menuduh tanpa bukti. Ia berkata “Aku Tidak peduli! Kerajaan Amarta dan seluruh isi istana Indraprastha akan diambil alih hari ini juga, mau kalian setuju atau tidak!”. Arya Antareja dan saudara-saudaranya bertekad akan mengukuhi setiap jengkal Kerajaan Amarta. Prabuanom Srenggini berkata “sudah tidak perlu nego-nego lagi... serang saja pasukan Kurawa. Darahku mendidih melihat arogannya paman Jayardrata.” Ketika Prabuanom hendak menyerang Jayadrata, Tiba-tiba datang Prabu Kirmira maju menerjang mereka. Maka, terjadilah pertempuran. Kedua putra Pandawa dan pasukan Amarta bertempur menghadapi Prabu Kirmira dan pasukan raksasa Ekacakra. Setelah bertempur cukup lama, para putra Pandawa merasa terdesak. Mereka tidak mampu lagi mempertahankan Kerajaan Amarta dan terpaksa pergi menyusul orang tua mereka di alas Kamyaka. Prabu Kirmira tidak mau mengampuni. Ia tetap mengejar mereka dan menyerahkan Amarta kepada Prabu Jayadrata. Namun yang dilihat Jayadrata hanyalah hutan lebat dan semak belukar menutupi puing-puing bangunan kuno,. Tak ada lagi rumah dan istana yang megah melainkan tumpukan bata dan istana kosong tanpa penghuni. Menganggap istana Indraprastha sudah dirobohkan para Pandawa, Prabu Jayadrata menancapkan bendera Hastinapura di puncak istana kosong yang telah tertutup pohon dan semak.

Di tengah tahun pertama itu, atas hasutan Sengkuni dan Duryudhana, Prabu Kirmira, putra Prabu Baka raja Ekacakra yang dulu dikalahkan Wrekodara memasuki hutan untuk menyerang rumah gubuk para Pandawa dan Dewi Drupadi di alas Kamiyaka. " Akan kutuntaskan dendam ayah dan adikku. Gara-gara si Bhima itu, Ekacakra tak bisa ku tundukkan." Sementara itu, para Pandawa dibantu para Punakawan membangun rumah gubuk untuk mereka tinggal. Sementara Dewi Drupadi mengumpulkan bahan makanan di sekitar hutan. Mereka hidup penuh prihatin. Lalu tiba-tiba  Arya Widura datang menemui mereka. Mereka heran melihat sang paman hadir di alas Kamyaka. “paman Arya, kenapa kau datang kemari?” tanya Prabu Yudhistira. Arya Widura berkata “aku diusir kakang adipati Dretarastra karena memperjuangkan keadilan kalian yang dicurangi Patih Sengkuni.”  Prabu Yudhistira berkata “tidak ada yang curang dalam permainan tersebut, paman arya. Paman patih bisa menang karena ia memang pandai dalam bermain dadu. Sebaliknya, aku kalah karena memang tidak terampil. Sekarang para Pandawa harus menjalani hukuman, dan itu adalah bagian dari perjanjian. Sebaiknya paman Arya kembali ke Hastinapura”. Arya Widura menggeleng. “Aku belum bisa kembali ke sana.” Belum selesai pembicaraan para Pandawa dengan sang paman, mereka dikejutkan dengan datangnya putra-putra mereka yang mengaku dikejar-kejar raja raksasa bernama Prabu Kirmira. Raden Abimanyu bercerita “ampun ayahanda dan uwa juga paman semua. Aku, kakang Antareja, kakang Prabu Gatot, dan kakang Prabuanom Srenggini berniat mempertahankan Amarta saat hendak diambil alih para Kurawa dan paman Prabu Jayadrata. Ternyata paman prabu Jayadrata datang bersama raja raksasa. Namanya Prabu Kirmira, raja Ekacakra. Dia berilmu tinggi dan menguasai segala sihir, santet, teluh dan guna-guna. Kami terdesak menghadapi kekuatannya dan terpaksa kabur menuju alas Kamyaka.” Prabu Yudhistira berkata “anak-anakku, Kerajaan Amarta tidak perlu dipertahankan karena sudah menjadi bagian dari perjanjian. Selama tiga belas tahun ke depan Kerajaan Amarta dititipkan kepada para Kurawa dan itu harus ditepati.” Prabuanom Srenggini menyanggah “tidak bisa paman prabu! Sudah jelas paman-paman Kurawa mendapatkan Amarta dengan cara culas dan curang. Kami tidak rela menyerahkannya...” “benar kata keponakanmu itu, Yudhistira. Aku tidak akan pulang ke Hastinapura jika ananada prabu tidak meminta keadilan ini!” Namun, Prabu Yudhistira tidak setuju. “tidak paman Arya! Aku telah berjanji untuk menghormati keputusan yang telah disepakati bersama, yaitu harus menjalani hukuman sampai selesai. Jejulukku Dharmaputra dan aku merasa bagiku menepati dharmaku!” “benar kata kakang prabu, kami harus menyelesaikan pengasingan ini dengan jujur.” Betul, itu, kami harusd menyokong kakang Prabu.” Sahut para Pandawa lainnya. Arya Widura merasa para keponakannya itu sudah membulatkan tekadnya.

Tidak lama kemudian datanglah Prabu Kirmira di tempat itu. Tanpa pikir panjang,  Prabu Kirmira dan pasukannya membakar seisi alas Kamiyaka dan menghancurkan rumah gubuk tempat tinggal para Pandawa, Dewi Drupadi, dan para punakawan tinggal. Tak cuma diserang, Prabu Kirmira mengirimkan racun, têluh, guna-guna, dan santet untuk membunuh para Pandawa. Sihir yang ditujukan Prabu Kirmira tak mengenai Pandawa secara langsung melainkan kepada para pendeta dan rakyat Amarta yang ikut mengasingkan diri. Ia mengejek anak-anak Pandawa yang tidak mampu mengalahkan dirinya, lantas meminta bantuan ayah mereka. Ia lalu bertanya “ mana yang bernama Arya Wrekodara? Ak akan membuat perhitungan dengannya!” Arya Wrekodara pun maju menunjukkan diri. Sang Panegak Pandawa geram dibuatnya. WOOOi!!....Sapa Awakmu? Aku dan kakak-adikku tidak pernah berbuat masalah denganmu, tapi teganya kau mengganggu kami!” ‘kau tidak ingat ayahku, Prabu Baka Atau adikku Baranjana? Aku Kirmira, anak dari Prabu Baka! Aku juga kakak dari Baranjana! Kau telah membunuh ayah dan adikku, Sekarang raskan kemarahan dendamku!” “Kurang Ajar, Kuhabisi Kau!”. Arya Wrekodara marah dan menyerang Kirmira. Adu kekuatan tak terelakkan. Karena bermin dengan sihir, beberapa kali Arya Wrekodara terjebak maya dan ilusi. Serangan sihir membuat perutnya sakit dan luka sekujur badan tanpa adanya sentuhan apapun dari sang raja Ekacakra. Melihat kakaknya terdesak, Arjuna segera mendekat “kakang, cepat pakai Lenga ini.”. Dengan cepat, Arjuna dibantu Arya Widura melumuri tubuh Arya Wrekodara dengan Lenga Pranawa. Alhasil semua serangan gaib dan sihir Kirmira bisa dipatahkan.

Kirmira menantang Arya Wrekodara
Setelah bertarung lama, Prabu Kirmira dihantamkan oleh Arya Wrekodara pada batang pohon beringin. Tak butuh waktu lama, Kirmira berhasil dikalahkan. Para prajurit Ekacakra pun lari tunggang langgang. Setelah kepergian pasukan Ekacakra, para Pandawa menyuruh para putra mereka untuk kembali saja ke kadipaten dan rumah mereka kalau tidak mau tunduk pada para Kurawa. Melihat kakek Arya Widura saja sudah kesusahan membujuk pamannya, mereka pun menurut. Prabu Gatotkaca kembali ke Pringgondani, Arya Antareja kembali ke kadipate Jangkarbumi, Srenggini kembali ke kadipaten Gisiksamodra dan Abimanyu kembali Ke Dwarawati bersama ibu dan saudara-saudaranya.

Mendekati tahun kedua pengasingan, Kurawa tak habis-habis mengirimkan godaan. Tak puas dengan kekalahan Kirmira, kini para Kurawa memakai cara dengan mengadu domba Pandawa dengan kaum Gandharwa. Namun nasib Kurawa sial, kaum Gandharwa yang dipimpin Nini Mirahdinebak dan Prabu Citrasena justru membela Pandawa. Bahkan Prabu Duryudhana beserta adik-adiknya justru harus berhadapan dangan Prabu Citrasena, yang juga sahabat Prabu Mayasura, arsitek kepercayaan para Pandawa yang sudah memperindah Amarta. Para Gandharwa membuat berbagai macam ilusi dan maya. Prabu Duryudhana dan adik-adiknya dibuat kebingungan karena terus berputar-putar tak bisa keluar dari alas Kamyaka. Di saat demikian, Para Pandawa justru menolong para Kurawa. Para Kurawa malu sangat dan tidak lagi menggoda Pandawa secara terang-terangan. Para Pandawa sadar kalo mereka terus seperti ini, Para Pandawa tidak bisa tenang. Maka mereka masuk jauh ke tengah hutan Kamyaka ditemani para punakawan. Arya Widura sangat terharu dengan kebaikan hati para Pandawa. Walau sudah dijahati berkali-kali, tetap saja menolong para Kurawa. Kini sudah cukup lama Arya Widura tinggal di alas Kamyaka bersama para Pandawa, hampir 10 bulan lamanya demi membujuk kepoakannya. Namun pendirian Prabu Yudhistira tetap kukuh akan tinggal di hutan selama 12 tahun dan menyelesaikan hukuman nyamur 1 tahun. Merasa tidak ada gunannya lagi membujuk sang keponakan, Arya Widura pun pamit kembali ke Hastinapura. “aku pamit, anak-anakku. aku hanya bisa mendoakan semoga kalian baik-baik saja selama menjalani masa pengasingan ini. Semoga Dewata memberkati kalian” Arya Widura lalu kembali ke Kerajaan Hastinapura dnengan diantar Petruk, Gareng, dan Bagong.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar