Hai-hai.....Kisah kali ini akan mengisahkan perjalanan cinta Arjuna mendapatkan Dewi Gandawati dan Endang Sulastri. Dikisahkan pula usaha Semar menyadarkan Arjuna yang sedang lalai dengan hubungan antaranya dengan dirinya. Juga dikisahkan pula Semar menemukan kembali isterinya yang telah lama minggat. Sumber kisah ini berasal dari blog albumkisahwayang.blogpot.com bengan pengubahan dan tambahan seperlunya
Sayembara Tasikmadu
Di seberang laut
Jawadwipa, terdapat kerajaan yang sangat indah bernama Tasikmadu. Sang prabu
yang bertakhta disana yakni Prabu Madusena memiliki dua anak, putra-putri yakni
Raden Gandasena dan Gandawati. Pada suatu ketika, Prabu Madusena dan Raden
Gandasena ingin membuat sayembara untuk mencarikan calon suami bagi Gandawati.
Disebarkanlah undangan ke berbagai negara. Salah satunya ke Pancalaradya,
Hastinapura, dan Amarta. Dari Pancalardya, Arya Drestajumena diterjunkan kesana
oleh ayahnya, Prabu Drupada. Hastinapura mengirimkan Prabu Anom Jayadrata untuk
mewakilkan Arya Dursasana sedangkan Amarta? Tentu saja Arjuna yang akan ikut
dengan persetujuan istri-istrinya.
Singkat cerita, sayembara
pun digelar. Prabu Madusena menjelaskan bahwa barangsiapa yang bisa mengalahkan
putranya, Raden Gandasena maka sang putri bisa memilihnya sebagai calon suami.
Calon dari berbagai negeri berdatangan. Di tengah jalan, pangeran dan putri dari
negeri Dasarna yakni Raden Suwarna dan Dewi Suwarni sedang mengebut perjalanan
agar sampai ke Tasikmadu. Namun tiba-tiba datang sebagian para Kurawa mencoba
menjegal kedatangan ksatria Dasarna itu. Raden Suwarna dibuat kewalahan namun
dengan bantuan adiknya, Dewi Suwarni, para Kurawa yang menghalangi mereka bisa
dikalahkan. Sementara itu, sebagian Kurawa yang dipimpin Prabu Anom Jayadrata sudah
sampai lebih dulu di sana. Mereka menjajal kesaktian pangeran itu. Apalah yang
mereka, orang-orang yang tak pernah berprihatin ini, andaikan untuk merobohkan Gandasena.
Jayadrata yang dijagokan mewakili Dursasana, kalah. Terlempar keluar panggung.
Lalu, Dursasana maju sendiri, nyungsep. Kartamarma penasaran, melompat ke
panggung, dalam beberapa jurus langsung klenger. Lalu, mereka main keroyokan,
keok. Satu demi satu terpelanting keluar panggung. Semua Kurawa linglung karena
ajian Pedut Wisa “Kurawa memang gak ada yang mbejaji. Kojur, kojur! Dursasana, Kartamarma, pulang!” Sengkuni
memimpin ponakan-ponakannya pulang. Setelah itu giliran Arya Drestajumena yang
melawan Gandasena. Kesaktian dan kekuatan api yang dikerahkan Drestajumena
mendal. Malah dengan ajian Pedut Wisa, Arya Drestajumena kalah dalam keadaan
linglung. Penonton pun kecewa. Sudah nyaris satu pekan tapi tak ada satupun
yang berhasil mengalahkan Gandasena.
Prabu Madusena khawatir
karena jago-jago dari berbagai negara justru keok dan ditakutkan putrinya akan
jadi perawan tua. "Anakku, kesaktianmu dalam perkara ini bisa mencelakakan
dindamu sendiri. Kekuatan ananda justru memagari dindamu dari jodohnya.
Bagaimana kalau nanti ternyata memang
tidak ada yang bisa mengalahkanmu, Gandasena? Senang kamu melihat adinda
kesayanganmu jadi perawan tua?”
“Rama Prabu, Gandasena
bukan siapa-siapa. Masih banyak orang sakti di luar sana. Di atas langit masih
bertumpuk langit, Rama.”
“Benar katamu. Tetapi,
bukan mustahil orang-orang sakti tadi tidak ingin lagi mencari istri. Mereka
sudah hidup tenteram bersama keluarga….”
“Rama Prabu, jangan lagi dinda Gandawati yang cantik ngujiwat. Gadis-gadis buruk rupa pun pasti punya jodoh. Bahkan sato kewan sak wana pun punya jodoh masing-masing….” Setelah berlayar menyeberangi lautan, Raden Arjuna akhirnya tiba di pulau tempat Kerajaan Tasikmadu berada. Ia pun menghadap Prabu Madusena dan memperkenalkan diri, serta menyampaikan niat ingin mengikuti sayembara memperebutkan Dewi Gandawati. Prabu Madusena sangat kagum dan menaruh hormat karena sudah lama mendengar nama besar para Pandawa yang terkenal di mana-mana. Dewi Gandawati tersipu-sipu melihat wajah rupawan sang Lelananging Jagad. " Anakku, den Bagus Arjuna. Sebaiknya urungkan niatmu. Kesaktian Gandasena susah ditandingi. Banyak para ksatria keok bahakan para sepupumu para Kurawa dan ipar kakakmu, Drestajumena dimentahkan putraku."
"ampun Gusti Prabu,
saya akan tetap ikut sayembara ini meskipun harus saya harus mati demi gusti
putri Gandawati." Jawab tegas Arjuna. Raden Gandasena tertawa dengan
keberanian Arjuna dan menantangnya.
Sekarang gantian Prabu Madusena yang ketar-ketir akan keselamatan putranya. “Gandasena, sebaiknya sayembara ditutup.
Jangan kamu mempermalukan diri di hadapan Raden Arjuna.”
Gandasena tertawa, lalu
katanya, “Orang lain boleh takut, tetapi Gandasena tidak, Rama Prabu.”
“Jagad dewa bathara,
Gandasena, kamu tidak tahu siapa Raden Arjuna..... Dia itu Jagoning dewa,
lelananging jagad….”
“Rama Prabu,” tukas Dewi
Gandawati yang sejak tadi diam.
“Ada apa, nanda putri?”
Tetapi, Dewi Gandawati
tidak menjawab. Batinnya sibuk menata perasaannya. Inilah yang terkenal sebagai
Ksatria Bagus Tanpa Cacat itu. Hati Gandawati telah terpaut oleh Arjuna.
Singkat cerita, Mereka lalu bertarung mengadu kesaktian. Raden Gandasena
terkejut melihat Arjuna bisa mengimbangi kemampuannya. Setiap kali ia
mengeluarkan ilmu kesaktian, selalu saja Arjuna mengeluarkan ilmu yang sama
pula.
Prabu Madusena melihat
kedua pihak saling mengadu kesaktian yang sama, tetapi sang panĂȘnggak Pandawa
tampaknya lebih berpengalaman. Setelah bertarung cukup lama, Raden Gandasena
akhirnya dapat diringkus oleh lawan dan dibanting keluar dari gelanggang.
Segala kesombongan pemuda itu lenyap seketika. Ia tertunduk malu dan mengaku
kalah kepada Raden Arjuna. Raden,
ternyata tahu ilmu yang kupakai?” tanyanya masih dengan napas memburu.
“Akulah murid pertama
Begawan Wilawuk….”
“Duh, sembah saya, Raden. Saya juga murid Begawan Wilawuk.” Dengan demikian kemenangan diraih Arjuna. Dewi Gandawati dengan malu-malu mengalungkan kalung bunga ke leher Arjuna tanda ia siap memberikan hati dan jiwa raganya. Lalu datang rombongan dari Dasarna. Prabu Madusena mengatakan bahwa sayembara sudah ditutup.
Sayembara Tasikmadu |
Singkat cerita, pada hari
yang baik Arjuna menikahi Dewi Gandawati sementara itu Arya Drestajumena
menikahi Dewi Suwarni. Beberapa bulan kemudian Arjuna harus kembali ke Amarta.
Dewi Gandawati ikut untuk acara unduh mantu.
Arya Drestajumena pun ikut rombongan Arjuna. Maka di hari itu, upacara
unduh mantu besar-besaran diselenggarkan di Amarta dan Pancalaradya. Acara
pernikahan unduh mantu berlangsung tujuh hari tujuh malam. Dewi Sumbadra
memperkenalkan diri sebagai permaisuri utama Arjuna disusul Dewi Larasati, Dewi
Ulupi, Dewi Srikandhi, dan Dewi Ratri. Setelah beberapa bulan tinggal Amarta,
Dewi Gandawati rindu dengan kampung halamannya, ia kurang betah tinggal di Amarta.
Para madunya membujuknya agar tetap di Amarta apalagi sekarang ia hamil besar.
Namun Gandawati tetap ingin pulang. Ia ingin putranya lahir di negaranya. Maka
hal itu tidak bisa dihalangi. Arjuna mengantarkannya bersama Dewi Sumbadra dan
Ulupi yang kepingin bertamasya ke sana.
Bambang Dewakesimpar
Sepulang dari Tasikmadu,
ternyata Arjuna menikah lagi dengan Dewi Endang Sulastri. Semua berawal dari
Arjuna yang membiarkan desa Karang Tumaritis akan digusur oleh Prabu Tejabirawa
dan Patih Sarabirawa. Raja Bandakusapta itu sedang memenuhi permintaan putri negara Pulorajapeti,
yakni Dewi Sutiragen dan Endang Sulastri. Sang Lurah Karang Tumaritis itu lalu
minggat dari desa kecil itu karena ndoronya itu justru tak acuh, membiarkan
saja. ditambah lagi Dewi kanastren yang sudah lama pergi dari desa. Karena terlalu lama tak kembali, Gareng, Petruk, dan Bagong juga balik meninggalkan
Arjuna, mengikuti bapak mereka, dan di tengah perjalanan, ketiganya akhirnya mengikut kepada seorang pria yang
ketampanan melebihi Arjuna yakni Bambang Dewakesimpar. Arjuna marah karena tiga
pamannya itu tidak mendukungnya lagi malah ikut orang yang gak jelas asal usulnya. Bambang Dewakesimpar
dengan tenang berkata “Hai raden, itu adalah hukuman untukmu karena terlalu
meremehkan Ki Lurah Semar dan anak-anaknya. Sekarang kau kehilangannya. Rasakanlah itu sekarang...Sesali itu.” Terbakarlah hati Arjuna dan ia menantang Bambang Dewakesimpar
bertarung. “Kau sombong sekali.....Apa gunanya memiliki wajah tampan tapi kalau
tidak memiliki kesaktian yang cukup.” Bambang Dewakesimpar pun menerima
tantangan itu. Mereka lalu bertarung sengit disaksikan ketiga punakawan. Raden
Arjuna terkejut melihat kesaktian lawannya. Lama-lama ia merasa terdesak dan
akhirnya mengaku kalah.
Bambang Dewakesimpar
menasihati Raden Arjuna agar jangan bersikap sombong merasa paling tampan,
paling sakti, paling kuat, paling pintar, paling terhormat, karena di atas
langit masih ada langit. Arjuna mohon maaf “aduh ampun tuan....aku telah berbuat
khilaf karena terdorong nafsuku. Aku bersedia mengabdi kepadamu, Bambang Dewakesimpar.”
Bambang Dewakesimpar menerima pengabdian Raden Arjuna dan menjadikannya sebagai
panakawan, bersaudara dengan Nala Gareng, Petruk, dan Bagong. Arjuna merasa
sangat malu. Namun, sebagai pihak yang kalah ia tidak dapat membantah dan mau
tidak mau harus menerima keputusan Bambang Dewakesimpar dengan lapang dada. Selama menjadi seorang punakawan, Arjuna merasakan rasanya menjadi rakyat jelata yang kadang suara hatinya tidak di dengar bahkan kepada sesama sendiri sekalipun. Arjuna berkali-kali mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari orang-orang desa dan pasar. Wajah indah rupawan, kemampuan memanah, dan kecerdasannya tak ada harganya lagi karena dia sekarang rakyat jelata. Benar-benar jelata yang dianggap hina dan papa.
Bambang Dewakesimpar dan
para punakawan melanjutkan perjalanan. Mereka lalu bertemu Raden Sucitra, putra
Prabu Sasrasudarma, raja Pulorajapeti yang ditugasi mencari jago untuk
menghadapi Prabu Tejabirawa dan Patih Sarabirawa. Bambang Dewakesimpar bertanya
“tunggu tuan, mengapa kedua orang itu harus dikalahkan. Bukannya dia yang akan menikahi
kakakmu?” Raden Sucitra pun menceritakan “kakang mbokku, Dewi Sutiragen dilamar
Prabu Tejabirawa dan ia mengajukan syarat kepadanya agar dibuatkan jalan lurus
yang menghubungkan Kerajaan Pulorajapeti dan Kerajaan Bandakusapta.” Bambang Dewakesimpar
mendengar dengan seksama dan ia pun bersedia menjadi jago Kerajaan Pulorajapeti
menghadapi Prabu Tejabirawa. Namun, ia meminta imbalan Dewi Sutiragen harus
menjadi istrinya. Raden Sucitra tidak berani memutuskan, tetapi jika memang
Bambang Dewakesimpar mampu mengalahkan Prabu Tejabirawa, maka ia akan membantu
meminta ayahnya untuk mengabulkan hal itu. Bambang Dewakesimpar menyanggupi.
Mereka lalu berangkat bersama-sama menuju tempat Prabu Tejabirawa dan
pasukannya yang masih tertahan di Desa Karang Tumaritis.
Prabu Tejabirawa dan
Patih Sarabirawa masih sibuk berusaha menggusur Desa Karang Tumaritis. Di saat
demikian datanglah Prabu Sasrasudarma bersama kedua puterinya, Dewi Sutiragen
dan Endang Sulastri ingin memeriksa hasil kerja raja Bandakusapta itu. Tidak
lama kemudian Bambang Dewakesimpar datang menantang mereka.”Hei Prabu
Tejabirawa.....aku menantangmu untuk duel satu lawan satu...Gusti Prabu aku
sudah mendengar penuturan Sucitra, putramu. Mohon izin untuk menjadi saksi
pertempuran ini.” Prabu Sasrasudarma mengizinkan “aku izinkan! Putriku juga akan
menjadi saksimu” dari jauh Dewi Sutragen tersipu dengan ketampanan Bambang
Dewakesimpar.”adik, pria yang bernama Bambang Dewakesimpar itu tampan juga...aku
suka deh..” “ya kakangmbok...apalagi dia punya punakawan tampan juga
duhhh....jadi kepingin dinikahi.” Terjadilah pertempuran, kedua orang tidak
jelas itu bertarung sehingga Prabu Tejabirawa dan Patih Sarabirawa tidak mampu
mengatasi kesaktian Bambang Dewakesimpar. Mereka pun bertempur dengan sengit
hingga wujud masing-masing berubah. Bambang Dewakesimpar badar kembali sebagai Batara
Ismaya sedangkan Prabu Tejabirawa juga badar menjadi Batara Antaga, dan Patih
Sarabirawa menjadi Bilung Sarahita. Keluar cahaya amat terang yang mengaburkan
pandangan Arjuna dan semua orang yang ada disana. Di
sebalik cahaya terang itu, Batara Ismaya bertanya mengapa kakaknya
menyamar sebagai raja segala. Batara Antaga pun berkata “Aku bosan menjadi
pengasuh para kaum durjana. Mereka lebih suka menuruti hawa nafsu, menolak
segala nasihat dan petuah yang aku berikan. Aku merasa tidak ada gunanya lagi
punya suara tetapi tidak didengarkan. Lebih enak menjadi raja, aku merasakan
bagaimana nikmatnya memerintah, bukannya diperintah orang. Adhi jauh lebih
bagus nasibmu karena mengasuh kesatria berbudi baik. Mereka adalah ahli tapa yang
cinta pada kebenaran, bukannya mengumbar nafsu pribadi seperti kaum durjana.”
Dialog Batara Ismaya dan Batara Antaga |
Arjuna meminta maaf
karena sudah berbuat seenaknya kepada Ki Lurah Semar.” Ampuni aku, Hyang
Ismaya...aku sudah meragukan dan meremehkanmu lagi. Selain kakangku Puntadewa
dan kakang Prabu Kresna, Gusti Hyang Batara sudah menjadi ayah bagiku sejak
ayahanda prabu meninggal. Tak pernah lelah Gusti Hyang Batara membimbingku. Sekarang
ini aku sudah pernah di posisimu, izinkan aku memanggilmu paman Semar.” “aku
memaafkanmu anakku..... aku juga akan mengangkatmu sebagai putraku bersama
anak-anakku.” Raden Sucitra, Prabu Sasrasudarma, Dewi Sutiragen, dan Endang
Sulastri kaget ternyata Bambang Dewakesimpar adalah Ki Lurah Semar, penjelmaan
Batara Ismaya. Prabu Sasrasudarma merasa malu. Semar hanyalah seorang tua
bertubuh bulat gemuk, berwajah jelek, dan juga dari kalangan rakyat jelata
tetapi berani malamar putrinya. Ki Lurah Semar pun berkata “Lha gusti
prabu..... yang hendak menjalani rumah tangga itu gusti prabu ataukah nimas Sutiragen?
Lamaranku ini ditujukan kepada Dewi Sutiragen, maka biarlah dia saja yang
menjawab bersedia atau tidak.” “Baiklah ki...akan ku panggil nimas Sutiragen
kemari.”
Prabu Sasrasudarma pun
memanggil Dewi Sutiragen untuk menanyainya apakah bersedia menjadi istri Ki
Lurah Semar atau tidak. Sungguh di luar dugaan, ternyata putrinya itu menjawab
bersedia dengan senang hati. Ki Lurah Semar senang mendengarnya. Ia pun berkata
kepada Prabu Sasrasudarma bahwa Dewi Sutiragen adalah Dewi Kanastren, istrinya.
Prabu Sasrasudarma merasa sangat malu dan ia pun mengakui bahwa Dewi Sutiragen
memang bukan putri kandungnya, tetapi putri angkat yang dipersaudarakan dengan
kedua anaknya yang lain, yaitu Raden Sucitra dan Endang Sulastri. Dewi
Sutiragen pun berkata “Ayahanda prabu memang benar. Aku bernama asli Dewi
Kanastren, istri Ki Lurah Semar yang sudah lama menghilang dari Desa Karang
Tumaritis. Dewi Kanastren mohon pamit kepada Prabu Sasrasudarma dan ia
berterima kasih banyak atas segala kasih sayang yang diberikan oleh ayah
angkatnya itu selama ini. Prabu Sasrasudarma merasa sangat kehilangan, begitu
pula dengan Raden Sucitra dan Endang Sulastri yang selama ini telah menganggap
Dewi Kanastren sebagai kakak kandung. Endang Sulastri bahkan menangis dan ingin
diajak serta apabila Dewi Kanastren pulang ke Desa Karang Tumaritis. Ia ingin
agar selalu berada di dekat kakaknya tersebut.
Dewi Kanastren mendapat
akal. Ia pun mengusulkan agar Endang Sulastri menjadi istri Arjuna saja. Dengan
cara demikian, maka adiknya itu bisa selalu berada dekat dengannya, karena Desa
Karang Tumaritis dan Kadipaten Madukara sama-sama berada di dalam wilayah
Kerajaan Amarta. Melihat wajah Endang Sulastri yang cantik jelita, Raden Arjuna
pun menyatakan setuju pada usulan Dewi Kanastren tersebut. Maka, ia segera
melamar gadis itu kepada ayahnya. Prabu Sasrasudarma sudah sering mendengar
berita tentang kehebatan Arjuna namun baru kali ini bisa bertemu dengannya.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, ia pun merestui Arjuna menjadi suami putri
bungsunya.
Demikianlah, Prabu
Sasrasudarma mengadakan upacara pernikahan antara Raden Arjuna dengan Endang
Sulastri. Setelah satu bulan berlalu, Raden Arjuna memboyong Endang Sulastri
menuju Kesatrian Madukara. Raden Sucitra yang tidak bisa jauh dengan adiknya
juga menyatakan ikut serta dan ingin mengabdi di Kadipaten Madukara. Arjuna pun
menerima pengabdian kakak iparnya itu dan menjadikannya sebagai patih. Dengan kembalinya sang isteri, Semar kembali juga ke desa Karang Tumaritis dan nama Dewi Kanastren diganti menjadi Nyai Sutiragen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar