Sabtu, 04 Februari 2023

Jalan Cinta Gandawati dan Endang Sulastri

 

Hai-hai.....Kisah kali ini akan mengisahkan perjalanan cinta Arjuna mendapatkan Dewi Gandawati dan Endang Sulastri. Dikisahkan pula usaha Semar menyadarkan Arjuna yang sedang lalai dengan hubungan antaranya dengan dirinya. Juga dikisahkan pula Semar menemukan kembali isterinya yang telah lama minggat. Sumber kisah ini berasal dari blog albumkisahwayang.blogpot.com bengan pengubahan dan tambahan seperlunya

Sayembara Tasikmadu

Di seberang laut Jawadwipa, terdapat kerajaan yang sangat indah bernama Tasikmadu. Sang prabu yang bertakhta disana yakni Prabu Madusena memiliki dua anak, putra-putri yakni Raden Gandasena dan Gandawati. Pada suatu ketika, Prabu Madusena dan Raden Gandasena ingin membuat sayembara untuk mencarikan calon suami bagi Gandawati. Disebarkanlah undangan ke berbagai negara. Salah satunya ke Pancalaradya, Hastinapura, dan Amarta. Dari Pancalardya, Arya Drestajumena diterjunkan kesana oleh ayahnya, Prabu Drupada. Hastinapura mengirimkan Prabu Anom Jayadrata untuk mewakilkan Arya Dursasana sedangkan Amarta? Tentu saja Arjuna yang akan ikut dengan persetujuan istri-istrinya.

Singkat cerita, sayembara pun digelar. Prabu Madusena menjelaskan bahwa barangsiapa yang bisa mengalahkan putranya, Raden Gandasena maka sang putri bisa memilihnya sebagai calon suami. Calon dari berbagai negeri berdatangan. Di tengah jalan, pangeran dan putri dari negeri Dasarna yakni Raden Suwarna dan Dewi Suwarni sedang mengebut perjalanan agar sampai ke Tasikmadu. Namun tiba-tiba datang sebagian para Kurawa mencoba menjegal kedatangan ksatria Dasarna itu. Raden Suwarna dibuat kewalahan namun dengan bantuan adiknya, Dewi Suwarni, para Kurawa yang menghalangi mereka bisa dikalahkan. Sementara itu, sebagian Kurawa yang dipimpin Prabu Anom Jayadrata sudah sampai lebih dulu di sana. Mereka menjajal kesaktian pangeran itu. Apalah yang mereka, orang-orang yang tak pernah berprihatin ini,  andaikan untuk merobohkan Gandasena. Jayadrata yang dijagokan mewakili Dursasana, kalah. Terlempar keluar panggung. Lalu, Dursasana maju sendiri, nyungsep. Kartamarma penasaran, melompat ke panggung, dalam beberapa jurus langsung klenger. Lalu, mereka main keroyokan, keok. Satu demi satu terpelanting keluar panggung. Semua Kurawa linglung karena ajian Pedut Wisa “Kurawa memang gak ada yang mbejaji. Kojur, kojur!  Dursasana, Kartamarma, pulang!” Sengkuni memimpin ponakan-ponakannya pulang. Setelah itu giliran Arya Drestajumena yang melawan Gandasena. Kesaktian dan kekuatan api yang dikerahkan Drestajumena mendal. Malah dengan ajian Pedut Wisa, Arya Drestajumena kalah dalam keadaan linglung. Penonton pun kecewa. Sudah nyaris satu pekan tapi tak ada satupun yang berhasil mengalahkan Gandasena.

Prabu Madusena khawatir karena jago-jago dari berbagai negara justru keok dan ditakutkan putrinya akan jadi perawan tua. "Anakku, kesaktianmu dalam perkara ini bisa mencelakakan dindamu sendiri. Kekuatan ananda justru memagari dindamu dari jodohnya. Bagaimana kalau nanti ternyata  memang tidak ada yang bisa mengalahkanmu, Gandasena? Senang kamu melihat adinda kesayanganmu jadi perawan tua?”

“Rama Prabu, Gandasena bukan siapa-siapa. Masih banyak orang sakti di luar sana. Di atas langit masih bertumpuk langit, Rama.”

“Benar katamu. Tetapi, bukan mustahil orang-orang sakti tadi tidak ingin lagi mencari istri. Mereka sudah hidup tenteram bersama keluarga….”

“Rama Prabu, jangan lagi dinda Gandawati yang cantik ngujiwat. Gadis-gadis buruk rupa pun pasti punya jodoh. Bahkan sato kewan sak wana pun punya jodoh masing-masing….” Setelah berlayar menyeberangi lautan, Raden Arjuna akhirnya tiba di pulau tempat Kerajaan Tasikmadu berada. Ia pun menghadap Prabu Madusena dan memperkenalkan diri, serta menyampaikan niat ingin mengikuti sayembara memperebutkan Dewi Gandawati. Prabu Madusena sangat kagum dan menaruh hormat karena sudah lama mendengar nama besar para Pandawa yang terkenal di mana-mana. Dewi Gandawati tersipu-sipu melihat wajah rupawan sang Lelananging Jagad. " Anakku, den Bagus Arjuna. Sebaiknya urungkan niatmu. Kesaktian Gandasena susah ditandingi. Banyak para ksatria keok bahakan para sepupumu para Kurawa dan ipar kakakmu, Drestajumena dimentahkan putraku."

"ampun Gusti Prabu, saya akan tetap ikut sayembara ini meskipun harus saya harus mati demi gusti putri Gandawati." Jawab tegas Arjuna. Raden Gandasena tertawa dengan keberanian Arjuna dan menantangnya.  Sekarang gantian Prabu Madusena yang ketar-ketir akan keselamatan putranya.  “Gandasena, sebaiknya sayembara ditutup. Jangan kamu mempermalukan diri di hadapan Raden Arjuna.”

Gandasena tertawa, lalu katanya, “Orang lain boleh takut, tetapi Gandasena tidak, Rama Prabu.”

“Jagad dewa bathara, Gandasena, kamu tidak tahu siapa Raden Arjuna..... Dia itu Jagoning dewa, lelananging jagad….”

“Rama Prabu,” tukas Dewi Gandawati yang sejak tadi diam.

“Ada apa, nanda putri?”

Tetapi, Dewi Gandawati tidak menjawab. Batinnya sibuk menata perasaannya. Inilah yang terkenal sebagai Ksatria Bagus Tanpa Cacat itu. Hati Gandawati telah terpaut oleh Arjuna. Singkat cerita, Mereka lalu bertarung mengadu kesaktian. Raden Gandasena terkejut melihat Arjuna bisa mengimbangi kemampuannya. Setiap kali ia mengeluarkan ilmu kesaktian, selalu saja Arjuna mengeluarkan ilmu yang sama pula.

Prabu Madusena melihat kedua pihak saling mengadu kesaktian yang sama, tetapi sang panĂȘnggak Pandawa tampaknya lebih berpengalaman. Setelah bertarung cukup lama, Raden Gandasena akhirnya dapat diringkus oleh lawan dan dibanting keluar dari gelanggang. Segala kesombongan pemuda itu lenyap seketika. Ia tertunduk malu dan mengaku kalah kepada Raden Arjuna. Raden,  ternyata tahu ilmu yang kupakai?” tanyanya masih dengan napas memburu.

“Akulah murid pertama Begawan Wilawuk….”

“Duh, sembah saya, Raden. Saya juga murid Begawan Wilawuk.” Dengan demikian kemenangan diraih Arjuna. Dewi Gandawati dengan malu-malu mengalungkan kalung bunga ke leher Arjuna tanda ia siap memberikan hati dan jiwa raganya. Lalu datang rombongan dari Dasarna. Prabu Madusena mengatakan bahwa sayembara sudah ditutup.

Sayembara Tasikmadu
Gandawati sudah menjatuhkan pilihannya kepada Arjuna. Raden Suwarna marah karena ia terlambat. dia pun menyerang dan arena sayembara sehingga hancur namun hal itu berhasil ditangani Arya Drestajumena yang sedari tadi menonton iparnya itu. Raden Suwarna menyerah. Ketika hendak menghabisi Raden Suwarna, Dewi Suwarni adik sang pangeran Dasarna memohon agar kakaknya diampuni. Di saat mata saling bertatapan, Dewi Suwarni dan Arya Drestajumena merasa ada getaran hati. Arjuna menyadari hal itu, tanda Arya Drestajumena berjodoh dengan putri itu.

Singkat cerita, pada hari yang baik Arjuna menikahi Dewi Gandawati sementara itu Arya Drestajumena menikahi Dewi Suwarni. Beberapa bulan kemudian Arjuna harus kembali ke Amarta. Dewi Gandawati ikut untuk acara unduh mantu.  Arya Drestajumena pun ikut rombongan Arjuna. Maka di hari itu, upacara unduh mantu besar-besaran diselenggarkan di Amarta dan Pancalaradya. Acara pernikahan unduh mantu berlangsung tujuh hari tujuh malam. Dewi Sumbadra memperkenalkan diri sebagai permaisuri utama Arjuna disusul Dewi Larasati, Dewi Ulupi, Dewi Srikandhi, dan Dewi Ratri. Setelah beberapa bulan tinggal Amarta, Dewi Gandawati rindu dengan kampung halamannya, ia kurang betah tinggal di Amarta. Para madunya membujuknya agar tetap di Amarta apalagi sekarang ia hamil besar. Namun Gandawati tetap ingin pulang. Ia ingin putranya lahir di negaranya. Maka hal itu tidak bisa dihalangi. Arjuna mengantarkannya bersama Dewi Sumbadra dan Ulupi yang kepingin bertamasya ke sana.

Bambang Dewakesimpar

Sepulang dari Tasikmadu, ternyata Arjuna menikah lagi dengan Dewi Endang Sulastri. Semua berawal dari Arjuna yang membiarkan desa Karang Tumaritis akan digusur oleh Prabu Tejabirawa dan Patih Sarabirawa. Raja Bandakusapta itu sedang memenuhi permintaan putri negara Pulorajapeti, yakni Dewi Sutiragen dan Endang Sulastri. Sang Lurah Karang Tumaritis itu lalu minggat dari desa kecil itu karena ndoronya itu justru tak acuh, membiarkan saja. ditambah lagi Dewi kanastren yang sudah lama pergi dari desa. Karena terlalu lama tak kembali, Gareng, Petruk, dan Bagong juga balik meninggalkan Arjuna, mengikuti bapak mereka, dan di tengah perjalanan, ketiganya akhirnya mengikut kepada seorang pria yang ketampanan melebihi Arjuna yakni Bambang Dewakesimpar. Arjuna marah karena tiga pamannya itu tidak mendukungnya lagi malah ikut orang yang gak jelas asal usulnya. Bambang Dewakesimpar dengan tenang berkata “Hai raden, itu adalah hukuman untukmu karena terlalu meremehkan Ki Lurah Semar dan anak-anaknya. Sekarang kau kehilangannya. Rasakanlah itu sekarang...Sesali itu.” Terbakarlah hati Arjuna dan ia menantang Bambang Dewakesimpar bertarung. “Kau sombong sekali.....Apa gunanya memiliki wajah tampan tapi kalau tidak memiliki kesaktian yang cukup.” Bambang Dewakesimpar pun menerima tantangan itu. Mereka lalu bertarung sengit disaksikan ketiga punakawan. Raden Arjuna terkejut melihat kesaktian lawannya. Lama-lama ia merasa terdesak dan akhirnya mengaku kalah.

Bambang Dewakesimpar menasihati Raden Arjuna agar jangan bersikap sombong merasa paling tampan, paling sakti, paling kuat, paling pintar, paling terhormat, karena di atas langit masih ada langit. Arjuna mohon maaf “aduh ampun tuan....aku telah berbuat khilaf karena terdorong nafsuku. Aku bersedia mengabdi kepadamu, Bambang Dewakesimpar.” Bambang Dewakesimpar menerima pengabdian Raden Arjuna dan menjadikannya sebagai panakawan, bersaudara dengan Nala Gareng, Petruk, dan Bagong. Arjuna merasa sangat malu. Namun, sebagai pihak yang kalah ia tidak dapat membantah dan mau tidak mau harus menerima keputusan Bambang Dewakesimpar dengan lapang dada. Selama menjadi seorang punakawan, Arjuna merasakan rasanya menjadi rakyat jelata yang kadang suara hatinya tidak di dengar bahkan kepada sesama sendiri sekalipun. Arjuna berkali-kali mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari orang-orang desa dan pasar. Wajah indah rupawan, kemampuan memanah, dan kecerdasannya tak ada harganya lagi karena dia sekarang rakyat jelata. Benar-benar jelata yang dianggap hina dan papa.

Bambang Dewakesimpar dan para punakawan melanjutkan perjalanan. Mereka lalu bertemu Raden Sucitra, putra Prabu Sasrasudarma, raja Pulorajapeti yang ditugasi mencari jago untuk menghadapi Prabu Tejabirawa dan Patih Sarabirawa. Bambang Dewakesimpar bertanya “tunggu tuan, mengapa kedua orang itu harus dikalahkan. Bukannya dia yang akan menikahi kakakmu?” Raden Sucitra pun menceritakan “kakang mbokku, Dewi Sutiragen dilamar Prabu Tejabirawa dan ia mengajukan syarat kepadanya agar dibuatkan jalan lurus yang menghubungkan Kerajaan Pulorajapeti dan Kerajaan Bandakusapta.” Bambang Dewakesimpar mendengar dengan seksama dan ia pun bersedia menjadi jago Kerajaan Pulorajapeti menghadapi Prabu Tejabirawa. Namun, ia meminta imbalan Dewi Sutiragen harus menjadi istrinya. Raden Sucitra tidak berani memutuskan, tetapi jika memang Bambang Dewakesimpar mampu mengalahkan Prabu Tejabirawa, maka ia akan membantu meminta ayahnya untuk mengabulkan hal itu. Bambang Dewakesimpar menyanggupi. Mereka lalu berangkat bersama-sama menuju tempat Prabu Tejabirawa dan pasukannya yang masih tertahan di Desa Karang Tumaritis.

Prabu Tejabirawa dan Patih Sarabirawa masih sibuk berusaha menggusur Desa Karang Tumaritis. Di saat demikian datanglah Prabu Sasrasudarma bersama kedua puterinya, Dewi Sutiragen dan Endang Sulastri ingin memeriksa hasil kerja raja Bandakusapta itu. Tidak lama kemudian Bambang Dewakesimpar datang menantang mereka.”Hei Prabu Tejabirawa.....aku menantangmu untuk duel satu lawan satu...Gusti Prabu aku sudah mendengar penuturan Sucitra, putramu. Mohon izin untuk menjadi saksi pertempuran ini.” Prabu Sasrasudarma mengizinkan “aku izinkan! Putriku juga akan menjadi saksimu” dari jauh Dewi Sutragen tersipu dengan ketampanan Bambang Dewakesimpar.”adik, pria yang bernama Bambang Dewakesimpar itu tampan juga...aku suka deh..” “ya kakangmbok...apalagi dia punya punakawan tampan juga duhhh....jadi kepingin dinikahi.”  Terjadilah pertempuran, kedua orang tidak jelas itu bertarung sehingga Prabu Tejabirawa dan Patih Sarabirawa tidak mampu mengatasi kesaktian Bambang Dewakesimpar. Mereka pun bertempur dengan sengit hingga wujud masing-masing berubah. Bambang Dewakesimpar badar kembali sebagai Batara Ismaya sedangkan Prabu Tejabirawa juga badar menjadi Batara Antaga, dan Patih Sarabirawa menjadi Bilung Sarahita. Keluar cahaya amat terang yang mengaburkan pandangan Arjuna dan semua orang yang ada disana. Di sebalik cahaya terang itu, Batara Ismaya bertanya mengapa kakaknya menyamar sebagai raja segala. Batara Antaga pun berkata “Aku bosan menjadi pengasuh para kaum durjana. Mereka lebih suka menuruti hawa nafsu, menolak segala nasihat dan petuah yang aku berikan. Aku merasa tidak ada gunanya lagi punya suara tetapi tidak didengarkan. Lebih enak menjadi raja, aku merasakan bagaimana nikmatnya memerintah, bukannya diperintah orang. Adhi jauh lebih bagus nasibmu karena mengasuh kesatria berbudi baik. Mereka adalah ahli tapa yang cinta pada kebenaran, bukannya mengumbar nafsu pribadi seperti kaum durjana.”

 Batara Ismaya berkata “Kakang iri tanpa mengetahui yang sebenarnya terjadi. Semuanya serba sawang sinawang.  Menjadi pamong para kesatria jauh lebih sulit karena yang diasuh adalah para ahli tapa, dan itu berarti aku harus lebih rajin bertapa pula. Yang diasuh ahli puasa, maka harus rajin berpuasa pula demi menjadi contoh bagi mereka, sehingga nasihat tidak dianggap sebagai nasihat semu.” Ia juga berkata tugas kakangnya jauh lebih bagus nasibnya karena yang diasuh para kaum durjana. Apabila tidak dapat dibina maka tinggal dibinasakan saja.

Dialog Batara Ismaya dan Batara Antaga
Batara Antaga merasa ucapan adiknya ada benarnya juga. Selama ini ia kesal karena nasihat-nasihatnya tidak didengar oleh kaum durjana. Ia pun mengubah diri menjadi raja supaya bisa memerintah, bukan lagi diperintah. Namun, ternyata menjadi raja tidak seperti yang ia bayangkan. Tanggung jawabnya sangat besar dan kerjanya siang malam. Lebih baik menjadi punakawan saja, menyuarakan kebaikan meskipun tidak didengar. Batara Ismaya menjelaskan “kakang tidak perlu berkecil hati karena memang demikianlah tugas kita di muka bumi. Kita berdua adalah simbol hati nurani yang selalu berbisik tentang kebaikan. Itulah sebabnya kita bisa berada di mana-mana. Kadang kakang mengasuh raja ini, kadang juga muncul untuk mengasuh raja yang lain. Aku juga sama. Kadang aku mengabdi kepada ndoro Arjuna...kadang pula kepada ndoro Prabu Kresna...kadang juga kepada kesatria-kesatria baik hati lainnya. Demikianlah, setiap manusia walaupun seorang penjahat sekalipun pasti memiliki hati nurani. Hanya saja, suara hati nurani para penjahat seringkali tidak didengar. Orang yang pertama kali berbuat jahat pasti ada rasa penyesalan. Namun, semakin sering ia berbuat jahat, semakin kebal perasaannya, karena memang ia sudah tidak bisa lagi mendengar bisikan hati nuraninya. Sama seperti nasib kakang. Semakin jahat raja raksasa yang diasuh kakang, maka semakin kebal pula mereka terhadap nasihat kebaikan.” Batara Antaga dapat menerima penjelasan adiknya. Perlahan cahaya terang  memudar dan lenyap. Ketika membuka matanya, Arjuna, Gareng, Petruk, dan Bagong kaget ternyata Bambang Dewakesimpar adalah Ki Lurah Semar dan Prabu Tejabirawa adalah Ki lurah Togog. Ia lalu mohon pamit untuk kemudian pergi meninggalkan Desa Karang Tumaritis bersama Bilung Sarahita.

Arjuna meminta maaf karena sudah berbuat seenaknya kepada Ki Lurah Semar.” Ampuni aku, Hyang Ismaya...aku sudah meragukan dan meremehkanmu lagi. Selain kakangku Puntadewa dan kakang Prabu Kresna, Gusti Hyang Batara sudah menjadi ayah bagiku sejak ayahanda prabu meninggal. Tak pernah lelah Gusti Hyang Batara membimbingku. Sekarang ini aku sudah pernah di posisimu, izinkan aku memanggilmu paman Semar.” “aku memaafkanmu anakku..... aku juga akan mengangkatmu sebagai putraku bersama anak-anakku.” Raden Sucitra, Prabu Sasrasudarma, Dewi Sutiragen, dan Endang Sulastri kaget ternyata Bambang Dewakesimpar adalah Ki Lurah Semar, penjelmaan Batara Ismaya. Prabu Sasrasudarma merasa malu. Semar hanyalah seorang tua bertubuh bulat gemuk, berwajah jelek, dan juga dari kalangan rakyat jelata tetapi berani malamar putrinya. Ki Lurah Semar pun berkata “Lha gusti prabu..... yang hendak menjalani rumah tangga itu gusti prabu ataukah nimas Sutiragen? Lamaranku ini ditujukan kepada Dewi Sutiragen, maka biarlah dia saja yang menjawab bersedia atau tidak.” “Baiklah ki...akan ku panggil nimas Sutiragen kemari.”

Prabu Sasrasudarma pun memanggil Dewi Sutiragen untuk menanyainya apakah bersedia menjadi istri Ki Lurah Semar atau tidak. Sungguh di luar dugaan, ternyata putrinya itu menjawab bersedia dengan senang hati. Ki Lurah Semar senang mendengarnya. Ia pun berkata kepada Prabu Sasrasudarma bahwa Dewi Sutiragen adalah Dewi Kanastren, istrinya. Prabu Sasrasudarma merasa sangat malu dan ia pun mengakui bahwa Dewi Sutiragen memang bukan putri kandungnya, tetapi putri angkat yang dipersaudarakan dengan kedua anaknya yang lain, yaitu Raden Sucitra dan Endang Sulastri. Dewi Sutiragen pun berkata “Ayahanda prabu memang benar. Aku bernama asli Dewi Kanastren, istri Ki Lurah Semar yang sudah lama menghilang dari Desa Karang Tumaritis. Dewi Kanastren mohon pamit kepada Prabu Sasrasudarma dan ia berterima kasih banyak atas segala kasih sayang yang diberikan oleh ayah angkatnya itu selama ini. Prabu Sasrasudarma merasa sangat kehilangan, begitu pula dengan Raden Sucitra dan Endang Sulastri yang selama ini telah menganggap Dewi Kanastren sebagai kakak kandung. Endang Sulastri bahkan menangis dan ingin diajak serta apabila Dewi Kanastren pulang ke Desa Karang Tumaritis. Ia ingin agar selalu berada di dekat kakaknya tersebut.

Dewi Kanastren mendapat akal. Ia pun mengusulkan agar Endang Sulastri menjadi istri Arjuna saja. Dengan cara demikian, maka adiknya itu bisa selalu berada dekat dengannya, karena Desa Karang Tumaritis dan Kadipaten Madukara sama-sama berada di dalam wilayah Kerajaan Amarta. Melihat wajah Endang Sulastri yang cantik jelita, Raden Arjuna pun menyatakan setuju pada usulan Dewi Kanastren tersebut. Maka, ia segera melamar gadis itu kepada ayahnya. Prabu Sasrasudarma sudah sering mendengar berita tentang kehebatan Arjuna namun baru kali ini bisa bertemu dengannya. Berdasarkan pertimbangan tersebut, ia pun merestui Arjuna menjadi suami putri bungsunya.

Demikianlah, Prabu Sasrasudarma mengadakan upacara pernikahan antara Raden Arjuna dengan Endang Sulastri. Setelah satu bulan berlalu, Raden Arjuna memboyong Endang Sulastri menuju Kesatrian Madukara. Raden Sucitra yang tidak bisa jauh dengan adiknya juga menyatakan ikut serta dan ingin mengabdi di Kadipaten Madukara. Arjuna pun menerima pengabdian kakak iparnya itu dan menjadikannya sebagai patih. Dengan kembalinya sang isteri, Semar kembali juga ke desa Karang Tumaritis dan nama Dewi Kanastren diganti menjadi Nyai Sutiragen.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar