Matur Salam, para Pembaca. Kisah kali ini ialah mengisahkan kelanjutan dari keturunan Sang Dewa Nurcahya. Kisah dimulai dari kelahiran dewa kembar, Sang batara Wenang dan Batara Wening dan sang Dewa Taya, dilanjutkan dengan rencana Sang Batara Wenang mencuri cincin sakti Baginda Nabi Sulaiman yang berakibat fatal bagi diri dan keluarganya. di akhir kisah diceritakan, salah satu putra Batara Wenang, Sang Batara Tunggal menikah lagi dengan Dewi Wirandi dan melahirkan telur dan dari telur itu kelak lahir tiga anak terhormat, Antaga, Ismaya, dan Manikmaya. Kisah ini bersumber dari serat Paramayoga dipadukan dengan Serat Pustakaraja Purwa dan blog albumkisahwayang.blogspot.com dengan perubahan dan pengembangan seperlunya.
Keturunan Sang Batara Nurrahsa
Dewi Sarwati atau Rewati, putri Prabu jin Rawangin, adik Prabu Nurhadi kini telah menjadi permaisuri Sang Batara Nurrahsa sedang hamil besar. Pada saatnya, ia pun melahirkan. Anaknya tiga lelaki semua. Namun ia menjadi gundah karena anak-anaknya itu tidak mewujud, hanya berupa Sotan (suara tanpa rupa). Ketiganya berebut siapa yang tertua.lalu Sang batara Nurrahsa mengheningkan cipta. Lalu ia masuk ke alam Sunyaruri-Sebaruri, di sana ia bisa melihat wujud anak-anaknya. Dua yang bersuara lebih besar berada di depan sedangkan satu di belakang bersuara lebih kecil. Lalu Sang Batara Nurrahsa cipratkan Tirta Maolkayat kepada anak-anaknya. Ajaib, ketiga anaknya langsung bisa terlihat di alam nyata berwujud akyan. Lalu dia tetapkan yang tertua itu yang bersuara besar, karena yang bersuara besar kembar, maka yang belakang diberi nama Sang Batara Wenang dan kakak kembarnya bernama Sang Batara Wening. Putra yang bersuara paling kecil dijadikan yang termuda, bernama Sang Dewa Taya. Kitab Pustakadarya menuliskan kejadian itu terjadi pada tahun 2900 Matahari atau 2989 Bulan.
Waktu pun berlalu dengan cepatnya. Ketiga putra Sang Batara Nurrahsa sudah pada dewasa dan menikah. Sang Batara Wenang menikahi Dewi Sahoti setelah memenangkan hati ayah sang putri, Prabu Hari dari negeri Keling yang tak lain adalah pamannya sendiri. Sang kakak kembar, Sang Batara Wening juga berhasil mengambil hati sekutu Prabu Hari, Prabu Sikanda, raja Pulau Darma, kakak Dewi Sarwati/Rewati yang juga paman sendiri. Bahkan Prabu Sikanda memberikan putrinya, Dewi Sikandi untuk dinikahi. Dari pernikahan-pernikahan itu, Sang Batara Wenang mendapat putra : Sang Batara Tunggal, Sang Dewa Hening/Nioya, dan Dewi Suyati sementara Sang Batara Wening berputra Sang Dewa Caturkaneka, Sang Batara Pancaresi, Sang Batara Darmana dan Dewi Darmani. Tibalah masanya Sang Batara Nurrahsa mewariskan Pulau Dewa dan seisinya kepada Sang Batara Wenang. Seluruh pusaka leluhur juga diwariskan padanya lalu Sang Batara Nurrahsa segera menitis dan menunggal dengan sang putra. Sejak saat itu Sang Batara Wenang menjadi pemimpin Pulau Dewa bergelar Jatiwisesa. Sementara itu, Sang Batara Wening mewarisi kerajaan Pulau Darma dari sang mertua dan namanya diganti menjadi Pulau Selongkandi (pulau Sailan, tempat Nabi Adam diturunkan dari Taman Surga ke bumi). Sang Batara Wening juga mengganti namanya menjadi Sang Batara Darmajaka Purbawisesa. Untuk mencegah kekosongan takhta Keling, negeri Keling akan diperintah Sang Dewa Taya dan keturunannya.
Untuk merayakan kelahiran putra-putrinya, Sang Batara Wenang membangun sebuah kahyangan indah, melayang-layang di atas Gunung Tunggal, puncak tertinggi Pulau Dewa. Kahyangan Gunung Tunggal dijadikannya kotaraja baru Pulau Dewa. Singkat cerita, saat selapanan, Sang Batara Wenang memerciki putra-putrinya dan para kemenakannya, putra-putri Sang Batara Darmajaka dengan Tirta Maolkayat. Seketka mereka semua langsung menjadi anak remaja.
Jin Sakar memaksakan kehendaknya
Bertahun-tahun kemudian, datanglah sesosok jin berwujud ular naga bernama Anantawasesa dari kerajaan Saptapertala di bawah tanah. Dia datang ke permukaan bumi karena dikejar-kejar pasukan jin dibawah naungan Jin Sakar (Shakr al Marid). Jin Sakar memaksanya untuk memeluk agama nabi. Sang Batara Wenang merasa prihatin kepadanya “jangan khawatir Anantawasesa, aku akan mencari tau apa alasan mereka memaksakan agama. “ baru saja hendak keluar istana, datanglah Jin Sakar dan pasukannya. “wahai batara, serahkan Anantawasesa atau kami obrak-abrik istanamu.” Hei kamu Jin Sakar, jangan seenaknya memaksakan agama pada umat. Agama adalah hak pribadi seseorang, urusan hati tiap orang. Tuhan Yang Maha Esa saja tidak pernah memaksakan agama pada seluruh hamba-Nya.” Namun jin Sakar tak peduli. Dia menyeret dan memaksa Anantawasesa ikut dengannya. Sang Batara Wenang yang kesal dan jengah pada Jin Sakar mengeluarkan Aji Pangabaran. Seketika, Jin Sakar dan pasukannya menjadi lemas dan terkulai tidak berdaya. Jin Sakar mohon ampun dan menyatakan tunduk pada Sang Batara Wenang dan berbalik khianat. Lalu Sang Batara Wenang bertanya “kenapa kamu keukeuh sekali membawa Anantawasesa?” “ampun, Tuanku Batara. kami melakukan ini agar tuan kami, Baginda Nabi Sulaiman merasa senang.” Sang Batara Wenang bertanya kembali “tunggu, kamu ingin menyenangkan hati tuanmu Nabi Sulaiman? Siapa dia?”
Jin Sakar membocorkan rahasia baginda Nabi Sulaiman |
Hilangnya Cincin Sakti Baginda Nabi Sulaiman
Jin Sakar segera melakukan aksinya. Begitu memasuki istana Nabi Sulaiman. Kebetulan, Baginda Nabi Sulaiman sedang mandi sehingga Jin Sakar dapat leluasa mencuri cincin Maklukatgaib lalu ia malih rupa menjadi seperti Baginda Nabi Sulaiman. Namun, sepandai-pandai tupai melompat pasti jatuh pula. Ketika Jin Sakar mau masuk istana, ia kepergok oleh sang baginda. Jin Sakar melawan dan akhirnya berhasil membuat Baginda Nabi Sulaiman jatuh sakit hingga pingsan selama tiga hari. Cincin Maklukatgaib berhasil dicuri namun dalam perjalanan ke Pulau Dewa, Tuhan yang Maha Kuasa mengirimkan topan badai di tengah samudera. Jin Sakar tak kuasa menahannya dan akhirnya terlempar terluntang-lantung terkena angin topan. Cincin Maklukatgaib ikut raib di makan ikan. Dengan perasaan kecewa, Jin Sakar segera kembali ke pulau Dewa. Sesampainya di Pulau Dewa, ia melaporkan kegagalannya. Sang Batara Wenang hanya bisa pasrah. Ia menerawang langit dengan mata yang kosong menanti hukuman apa yang akan Tuhan berikan padanya.
Kesembuhan Baginda Nabi Sulaiman
Empat puluh hari telah berlalu. Sakitnya Baginda Nabi Sulaiman membuat seluruh rakyat Bani Israil berduka. Ujian seakan datang silih berganti. Sejak kehilangan cincinnya, bukan hanya sakit fisik saja, kharisma sang baginda Nabi Sulaiman merosot. Ulamanya diam, orang awam banyak mencacinya bahkan menganggap sang nabi bermain sihir padahal dia bukan penyihir. Sang baginda terus berdoa kepada Sanghyang Maha Kuasa, Tuhan yang Maha Mendengar “ya Tuhan jikalau ini akhir dari hidupku, maka tunjukkanlah yang lurus. Namun bila ini ujian dari-Mu, sabarkan dan tabahkanlah hatiku. Sesungguhnya Engkau yang Maha membolak-balikan isi hati.” Lalu datanglah sang patih kerajaan, Ashif bin Bakriya membawa segerombolan nelayan yang ingin menjenguk beliau”tuanku Baginda nabi, saya datang mewartakan ada para nelayan yang ingin menjenguk baginda” “Baiklah, Ashif. Biarkan mereka masuk.”
Baginda Nabi Sulaiman mendapatkan kesembuhannya |
Pulau Dewa Lebur
Sementara itu di negeri Selongkandi, Sang Batara Tunggal sedang berkunjung kepada pamannya, Sang Batara Darmajaka. Di sana ia saling suka dengan putri sang paman, Dewi Darmani. Keduanya saling mencintai. Maka oleh sang paman, ia pun dinikahkan dengan Dewi Darmani. Setahun pun hampir berlalu, sang istri telah melahirkan kembar tiga, satu lelaki dua perempuan yaitu si Sulung Sang Batara Rudra atau Dewa Rancasan, Dewi Darmastuti, dan Dewi Dewanjali. Pada suatu hari, Sang Batara Tunggal bermimpi bencana alam yang dahsyat. Karena cemas akan mimpinya, Sang Batara Tunggal meminta izin pada sang paman sekaligus mertuanya itu untuk pulang ke Pulau Dewa.
Sang Batara Wenang menerima kedatangan sang putra. Setelah bercerita keadaan masing-masing, Sang Batara Tunggal bercerita kepada ayahnya”ampun kanjeng ayahanda, semalam aku bermimpi tentang bencana alam. Bencana itu akan melanda Pulau Dewa.” “anakku, mungkin itu sebuah isyarat bagi kita untuk berwaspada. Jangan terlalu panik.” baru saja dibicarakan, tiba-tiba kahyangan bergetar hebat. Rupanya Baginda Nabi Sulaiman telah datang ke Pulau Dewa secara diam-diam dan memasang pusaka Tumbal Balak untuk menghukum Jin Sakar yang berkhianat. Akibatnya sungguh luar biasa. Gunung Tunggal meletus hebat. Lahar panas, bebatuan, debu, dan gas beracun membumbung tinggi ke angkasa. Langit berubah menjadi gelap dan pekat seperti malam. Terjadi gempa bumi dimana-mana. Air laut membanjiri seluruh daratan Pulau Dewa disertai gemuruh dan topan badai (peristiwa ini pada masa sekerang disebut gelombang tsunami). Letusan dan gempa itu membuat seluruh daratan Pulau Dewa nyaris tak bersisa .Para jin pengikut Pulau Dewa kucar-kacir dan berteriak minta ampun kepada Yang Maha Kuasa. Sang Batara Wenang tak kuat menahan dahsyatnya Tumbal Balak yang dipasang Baginda Nabi Sulaiman. Teringatlah ia tentang cerita leluhur bahwa kelak akan ada keturunan Anwas (Enos) yang akan menundukkan keturunan Anwar (Nurcahya) dan sumpah itu sudah mewujud sekarang ini. Dalam keadaan yang gawat itu, Naga Anantawasesa menawarkan rumahnya, di Saptapertala jauh di perut bumi untuk dijadikan tempat mengungsi seluruh keluaraga Sang Batara Wenang. Ia pun setuju dan berangkatlah mereka ke bawah tanah dipandu oleh sang raja jin berujud ular naga itu.
Sang Batara Wenang Boyongan
Bertahun-tahun kemudian, Sang Batara Darmajaka datang berkunjung ke Saptapertala dan mengabarkan pada adiknya bahwa Baginda Nabi Sulaiman telah wafat karena usia tua. Sang Batara Wenang dan seluruh keluarga akhirnya naik kembali ke permukaan bumi namun sayang seribu sayang, keadaan Pulau Dewa sudah hancur lebur, pecah berkeping-keping menjadi pulau-pulau kecil di tengah samudera. Sang Batara Wenang kemudian duduk lalu bertafakur di salah satu pecahan Pulau Dewa yang paling besar untuk menyerap sisa perbawa kahyangan. Olehnya kepulauan itu dinamai Maladewa, Pulau Dewa yang terkena mala (bencana). Keluarga Sang Batara Wenang memutuskan untuk pergi ke Jawadwipa (pada masa itu Hindustan dan Jawadwipa menyatu) dan tinggal di Pegunungan Himalaya yang bersalju untuk membina kahyangan baru yang tak kalah indah di puncak Mahameru, salah satu puncak dari Gunung Tengguru Kailasa dan menamai kahyangannya dengan Jonggring Saloka. Sementara itu Sang Batara Darmajaka turun takhta dan menyerahkan negeri Selongkandi kepada putri dan menantunya, Sang Batara Tunggal dan Dewi Darmani. Sementara itu, Sang Batara Darmajaka dibantu ketiga putranya, Sang Dewa Caturkaneka, Sang Batara Pancaresi dan Sang Batara Darmana membangun kahyangan baru ernama kahyangan Imamaya. Atas jasa besarnya, Naga Anantawasesa dijadikan menantu Sang Batara Wenang dengan dinikahkan dengan Dewi Suyati, putri bungsunya. Putra kedua Sang batara Wenang, Sang Dewa Hening/Nioya memutuskan untuk menyepi menjadi pendita para dewa dan mengganti namanya menjadi Maharesi Kasyapa.
Sang Batara Tunggal menginginkan Anak Sakti
Pada suatu hari, Sang Batara Tunggal membaca Kitab Pustakadarya. Saat membaca dia menemukan fakta bahwa dahulu leluhur bangsa Dewa, Sang Dewa Nurcahya adalah manusia biasa yang berbadan jasmani, putra Nabi Syis, cucu Nabi Adam yang setelah bertapa sekian lama bertapa akhirnya berubah wujud menjadi manusia berbadan ruhani yang tembus pandang layaknya bangsa jin. Dari sini, ia ingin memiliki keturunan yang bisa memiliki dua wujud yaitu wujud jasmani dan ruhani agar bisa menguasai Triloka Buana yaitu alam mayapada, alam madyapada, dan alam marcapada. Maka ia pun meminta izin pada istrinya, Dewi Darmani untuk menikah lagi. Dewi Darmani setuju-setuju saja bahkan merestui sang suami “kalau ini demi kahyangan, aku rela kakanda menikah lagi. Aku merestuimu” “Terima kasih, dinda.”
Singkat cerita, Sang Batara Tunggal pergi ke pinggir laut dan bertapa memohon petunjuk dari Tuhan yang Maha Kuasa. Di tempat lain, di antara karang-karang indah, Prabu Dewa Yuyut atau sering dipanggil Batara Rekatatama, raja kepiting dari Samuderalaya melihat perbawa seorang anak dewa bertapa di dekat tempat tinggalnya. Lalu secara gaib, ia membawa Sang Batara Tunggal ke kediamannya. Ketika terbangun Sang batara Tunggal terkejut mendapati dirinya berada diantara rakyat kepiting dan disambut oleh Prabu Dewa Yuyut “ampun Tuanku, sebenaranya saya ada dimana ini?” “ampun paduka, paduka ada istana patik, istana Samuderalaya. Putri saya sejak kemarin dilanda kasmaran karena bermimpi bertemu dengan seorang yang tampan dan dia berkata bahwa orang itu paduka sendiri.” Lalu muncullah dari kedaton putri Prabu Dewa Yuyut, Dewi Wirandi. Seketika Sang Batara Tunggal jatuh cinta padanya. Untuk beberapa lama, Sang Batara Tunggal tinggal di dunia bawah air bersama Dewi Wirandi dan rakyat kepiting. Karena sudah saling cocok dan saling mengerti, pernikahan mereka dilangsungkan. Pernikahan berlangsung meriah selama tujuh hari tujuh malam.
Telur Sakti
Hari berganti pekan, pekan pun berganti bulan. Kehamilan Dewi Wirandi semakin lama semakin tua. Hingga tibalah masanya ia bersalin. Saat itu bumi mulai gonjang-ganjing. Hujan dan topan turun tak terkendali. Kilat menyambar-nyambar, halilintar menggelegar. Bersamaan itu pula Dewi Wirandi melahirkan. Namun yang dilahirkannya bukanlah bayi namun sebutir telur raksasa bercahaya terang dan tiba-tiba telur itu terbang keluar dari dasar laut. “kakanda, anak kita terbang. Bagaimanan ini? kita harus menyusulnya” ia pun setuju dan segera menggendong sang istri. Sang batara Tunggal dan Dewi Wirandi mohon pamit pada Prabu Dewa Yuyut untuk menyusul telur yang berisi jabang bayi mereka. Telur bercahaya itu terbang kesana-kemari dengan gesitnya. Sang batara Tunggal tak mampu menangkapnya. Lalu telur itu bergerak terbang lurus ke arah Pegunungan Himalaya. Dengan ajian Kilat Bawana, Sang Batara Tunggal dan Dewi Wirandi menyusul anak mereka.
Lahirnya Tiga Anak Terhormat
Sang batara Wenang tengah asyik berbincang dengan istrinya di kahyangan Jonggring Saloka dikejutkan dengan adanya sebutir telur raksasa bercahaya. Telur itu sangat gesit dan licin sehingga susah ditangkap. Lalu kakek dari telur itu mengambil Cupu Kamandalu dan berdoa’a. Dipercikilah telur itu dengan Tirta Maolkayat dan ajaib, telur itupun berhenti dan dapat ditangkap.
Lahirnya Tiga Anak Terhormat |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar