Selasa, 24 November 2020

Kisah Tiga Anak Terhormat

 Matur salam, para pembaca. Kisah kali ini saya akan menceritakan kisah tiga anak batara Tunggal Padawenang. Kisah bermula dari perebutan takhta Jonggring Saloka lalu berlanjut ke perebutan kitab ajaib Jamus Kalimahosada. Dikisahkan pula, bagaimana para punakawan muncul dan lahir. Kisah ini saya ambil sumber dri Serat Paramayoga, Serat Purwacerita, dan blog caritawayang.blogspot.co.id dengan sedikit pengembangan.

Perebutan Takhta Jonggring Saloka

Senja berganti malam dan malam pun mulai menampakkan terangnya. Hari-hari dan waktu berlalu. Para putra Sang batara Tunggal sudah pada dewasa. Batara Antaga Tejamaya, Batara Ismaya Badranaya, dan Batara Manikmaya telah menunjukkan kualitas dan kemampuan mereka mewarisi segala ilmu, kesaktian, dan perbawa dari sang ayah. Sudah layak mereka disebut ksatria dewa yang linuwih. Pada hari yang cerah ceria, alkisah. Sang Batara Tunggal yang didampingi dua permaisurinya, Dewi Darmani dan Dewi Wirandi dihadap para putranya. Ia ingin turun takhta dan undur diri dari kahyangan menuju alam kelanggengan. Tapi sebelum itu, Sang Batara Tunggal ingin menceritakan kisah kelahiran ketiga putranya dulu. “Anak-anakku, aku memanggil kalian kemari untuk sesuatu hal yang penting. Sebentar lagi aku akan undur diri dari kahyangan. Tapi sebelumnya aku akan bercerita. Dahulu kalian terlahir dari sebutir telur yang kemudian tercipta menjadi manusia-manusia dewa. Aku bingung aku tak tau siapa yang layak menjadi pewaris kahyangan ini. Kalian lahir bersamaan. Tak ada satupun dari kalian yang lebih tua atau lebih muda.”

Sang Batara Tunggal memanggil ketiga anaknya
Sebelum menyelesaikan sabdanya, tiba-tiba Batara Antaga berkata pada sang ayah “ampun ayahanda, kalau untuk mencari siapa yang tertua pastilah cangkang telur, sebab cangkang telur berada di luaran isi dan ditakdirkan untuk melindungi putih dan kuning telur.” Namun Batara Ismaya menyanggah “tidak Antaga. Cangkang telur dan isi sudah ada bersamaan. Tak mungkin ada cangkang telur tanpa putih dan kuning telur, juga tidak akan ada telur lahir dengan cangkang kosong tanpa isi yang menyempurnakan. Yang terpenting dari sebuah telur adalah putih dan kuning telur itulah yang akan menjadi cikal bakal dan tanda kehidupan. Kulit hanya ragangan namun isi telurlah yang menjadi sumber dan intinya.”


 

Debat berakhir Tengkar

Batara Antaga tersinggung dengan kata-kata Batara Ismaya. Ia yang terlahir dari cangkang telur merasa harga dirinya direndahkan, tak dianggap penting. Batara Antaga pun menjadi semakin jumawa “kau salah, Ismaya. Cangkang telur itu keras maka cangkanglah yang terkuat. Putih telur dan kuning telur jauh lebih lembek dan lemah yang ada malah berselerak merata-rata.” “ Antaga dari mana pemikiranmu itu, cangkang telur walaupun keras tapi mudah retak dan pecah berantakan. Mana bisa itu bisa disebut kuat?”  Merah padamlah muka Batara Antaga. Godaan nafsu amarah semakin menjadi-jadi sehingga Batara Antaga tak mampu lagi berpikir jernih. Batara Ismaya yang tadi bisa tenang juga semakin jengah dan mulai terpancing kemarahannya. Adu mulut dan pertengkaran diantara mereka tak terelakkan. Semakin lama semakin panaslah hati mereka hingga Batara Antaga dengan kejumawaannya menantang Batara Ismaya “kita adu kekuatan. Siapa yang terkuat diantara kita!” “baiklah, siapa takut!”

Jumawanya Antaga, Teguhnya Ismaya, dan Cerdiknya Manikmaya

Adigang adigung adiguna, itulah yang menggambarkan sifat Batara Antaga. Batara Ismaya sebenarnya kesal dan suntuk dengan kejumawaan saudaranya itu. Namun bukan sikap seorang ksatria bila menolak tantangan meski dari saudara sendiri karena akan dianggap sikap seorang pengecut. Sekalian juga bagi Batara Ismaya untuk membeli pelajaran padanya bahawa di atas langit masih ada langit, jangan menyombangkan diri dengan kesaktian yang dimiliki. Melihat perselisihan kedua putranya, Sang Batara Tunggal berusaha melerai dan menasihati mereka namun keduanya sudah termakan nafsu setan sehingga tak menghiraukan lagi nasihat sang ayah. Di dalam hati, Sang Batara Tunggal bergumam “Bertikai dengan saudara sendiri? Apa kalian tak akan menyesal di kemudian hari?” sementara itu, Batara Manikmaya diam saja seakan tak ingin ikut campur namun dalam pikirnya, ia sadar untuk apa ia ikut bertarung. Itu hanya akan membuat tenaga mereka menjadi mubazir percuma. Iniah kesempatan yang baik untuk mengambil hati sang ayah. Pertarungan kedua ksatria dewa itu berlangsung berhari-hari. Berbagai kesaktian, senjata, dan ajian telah mereka kerahkan tanpa kenal lelah. Pengaruh pertarungan mereka berefek pada bumi. Bumi gonjang-ganjing, langit kolap-kalip. Kahyangan Jonggring Saloka bergetar hebat karenanya. Gunung dan bukit longsor. Hujan dan badai salju menenggelamkan puncak Himalaya hingga ke dataran di bawahnya. Api menyambar-nyambar dari angkasa. Laut menjadi bergejolak. Prabu Dewa Yuyut, kakek mereka yang kini menjadi dewa para kepiting menjadi sedih mendengar kedua cucunya berseteru. Rusaklah kehidupan di marcapada. Bukan hanya makhluk-makhluk kasat mata yang terkena dampaknya namun makhluk-makhluk tak kasat mata juga menderita karenanya.

Sayembara Menelan Gunung

Karena tak ada satupun yang kalah atau menang, maka Sang Batara Tunggal memutuskan membuat sayembara.”hentikan! kalian menghabisakan energi dan membuat berbagai makhluk menderita. Daripada itu lebih baik kita adakan sayembara. Siapa yang mampu memakan gunung Jamurdipa lalu mengeluarkannya lagi, dialah yang pantas disebut yang tertua dan mewarisi seluruh kahyangan.”Keduanya menyanggupi sayembara itu. Batara Antaga dan Batara Ismaya segera berubah wujud menjadi raksasa yang tingginya melebihi Pegunungan Himalaya. Mereka segera mengambil gunung untuk ditelan mentah-mentah. Dengan tergesa-gesa, Batara Antaga berhasil mencabut gunung. Namun ia salah ambil. Gunung yang ia ambil bukan gunung Jamurdipa melainkan gunung Pawaka. Ketika ditelan, Gunung Pawaka masih lebih besar dari mulutnya dan tanpa diduga-duga, tiba-tiba gunung Pawaka meledak dan laharnya membuat lidah dan bibir Batara Antaga menjadi luka, nyaris robek mulutnya. Asap beracunnya membuat batara Antaga limbung dan ambruk. Di tempat lain, Batara Ismaya mengambil gunung Jamurdipa yang asli. Ditelannya gunung itu. Karena ukuran tubuh raksasa Batara Ismaya tujuh kali Pegunungn Himalaya, dengan mudah pula ia menelan gunung Jamurdipa. Namun, tiba-tiba gunung itu tersangkut di tenggorokan Batara Ismaya. Terasa tercekik dan sulit bernafas. Matanya sampai sembab dan berair. Lalu Batara Ismaya segera meminum air laut sambil mengerahkan seluruh tenaga dan kesaktiannya. Gunung Jamurdipa berhasil amblas ke dalam perutnya namun karena terlalu banyak meminum air laut, tubuhnya menjadi sangat lemas dan lelah, tak sanggup lagi ia memuntahkan Gunung Jamurdipa. Matanya berkunang-kunang dan tubuhnya seketika ambruk.

Tobatnya Antaga dan Ismaya

Hari mulai berganti. Alam mulai tenang. Di atas rerumputan yang dibasahi embun, terbangunlah Batara Antaga dan Batara Ismaya yang sudah siuman setelah sayembara itu. keduanya mulai teringat kesadarannya. Bingung dan linglung masih menggelayuti isi kepala mereka. Ketika mereka saling bertatapan, terkejutlah mereka dan salah satu dari mereka bertanya “Siapa kamu?” yang ditanya menjawab Batara Antaga, si penanya terkejut setengah mati. Bagaimana tidak terkejut, yang mengaku Batara Antaga penampilannya buruk sekali. Yang dia ingat Batara Antaga itu ksatria dewa yang tampan dan gagah perkasa tapi yang didepannya ini, penampilannya lebih mirip jin atau dedemit dengan mata lebar, tubuh tak simetris menakutkan, dan mulut robek dengan bibir yang dower mirip moncong anjing. Lalu Batara Antaga balik bertanya “lalu, kamu sendiri siapa?” yang ditanya menjawab Batara Ismaya. Sontak Batara Antaga terkaget bukan kepalang. Betapa tidak, Batara Ismaya yang ia kenal berwajah sejernih cahaya bulan purnama dan berparas elok tapi yang didepannya ini bertubuh gemuk, lebih gemuk daripada Batara Antaga dan berwajah bulat mirip wajah kucing. Raut mukanya juga sangat tua dengan mata yang sembab, hidung ingusan dan rambut memutih, jauh sekali dari Batara Ismaya yang ia kenal. Lalu mereka menuju ke telaga di dekat kaki gunung untuk berkaca. Terkejutlah mereka melihat wujud tampan mereka telah berubah menjadi buruk rupa. Mereka menangis layaknya anak kecil. Mereka sadar mungkin ini adalah hukuman dari Tuhan karena tak mengindahkan nasihat dari orang tua.

Batara Antaga dan batara Ismaya segera menghadap lalu sujud sungkem, meminta maaf kepada orang tuanya.

Manikmaya menjadi penghulu baru para dewa
Di sana juga ada Batara Manikmaya dan Dewi Kanastren, istri Batara Ismaya, salah satu putri Sang Dewa Hening/Nioya/Maharesi Kasyapa. Batara Ismaya merasa tak layak menjadi suami Dewi Kanastren karena wujudnya sudah menjadi buruk namun apa yang dikatakan Dewi Kanastren membuanya terkaget dan terharu “kakanda, sepreti apapun rupamu dan keadaanmu, aku akan selalu bersama kakanda. Susah senang kita jalani bersama.” lalu Sang Batara Tunggal menasihati kedua putranya itu “anak-anakku, aku tak mampu mengembalikan wujud karena ini adalah kehendak Tuhan yang Maha Kuasa. Kini wujud dewata kalian telah lenyap berubah menjadi kesaktian belaka. Pergunakanlah untuk hal-hal baik. Kelak ada masanya kalian harus turun ke marcapada untuk membimbing para manusia. Antaga harus membimbng para manusia berbudi angkara dan berganti nama menjadi Togog. sedangkan Ismaya harus membimbing para manusia berbudi luhur dan namamu akan menjadi Semar.” Lalu Batara Manikmaya dipanggil oleh sang ayah dan dinobatkan menjadi pemimpin kahyangan “Mulai sekarang, Manikamya yang akan mewarisi seluruh kahyangan ini.” Batara Manikmaya dilantik menjadi pemimpin para dewa dan mengganti namanya menjadi Batara Guru. Sang Batara Tunggal kemudian turun takhta dan berganti nama menjadi Batara Padawenang tinggal di Alang-alang Kumitir.

Pemberontakan Rudra, Sang Dewa Rancasan

Di tempat lain di negeri Selongkandi. Batara Rudra atau Sang Dewa Rancasan sedang dilanda kesal hati dan penuh kedengkian. Mukanya sangat kecut menyimpan perasaan sebal. Sikapnya sudah berubah 180 derajat. Sejak ayahnya menikah lagi, ia merasa curahan kasih sayang ayah dan ibunya kepada Batara Manikmaya dan kedua saudaranya lebih banyak daripada dirinya sendiri. Iri hati dan kedengkian mulai menjalari hatinya. Terlebih setelah datangnya seorang pertapa sakti yang kini menjadi patihnya. Batara Rudra tidak sadar bahwa patihnya itu adalah penyamaran Azazil, sang Iblis yang selalu berusaha menjerumuskan anak cucu Adam ke dalam kenistaan dan dosa. Azazil tak henti menghasut dan menanamkan kebencian kepada batara Rudra. Kini sifat Batara Rudra menjadi sangat keras kepala, suka menurutkan hawa nafsu, dan penuh angkara murka. Kegemarannya adalah suka menyetubuhi para raksasa perempuan sehingga lahirlah dari mereka para denawa (raksasa liar yang doyan mengumbar nafsu).Tiap kali mendengar atau bahkan memikirkan Batara Manikmaya ataupun kahyangan Jonggring Saloka, kepalanya terasa penuh dan hatinya menjadi sepanas api neraka. Penyakit dengki, dendam kesumat, dan kesombongan terus menembus hati dan pikirannya.”wahai Rudra, jika kau merasa iri dengan Manikmaya, bangunlah sebuah kahyangan tandingan. Aku yakin kahyangan buatanmu akan jauh lebih indah daripada onggokan taman di Pegunungan Himalaya itu.” Azazil berusaha memanas-manasi Batara Rudra. Akhirnya batara Rudra membangun kahyangan tandingan bernama kahyangan  Tunjugkresna (Tunjung=bunga teratai ; kresna=hitam). Secara diam-diam, Azazil mencuri sebuah kitab dari reruntuhan Kusniyamalebari dan memberikannya pada batara Rudra. Kitab ini kitab ajaib. Sebuah kitab kuno peninggalan orang-orang Kusniyamalebari dahulu, yang berisi tentang petunjuk menggapai derajat tinggi di hadapan Tuhan yang Maha Kuasa, Jamus Kalimahosada.

Di kahyangan Jonggring Saloka, Batara Guru kedatangan Dewi Dewanjali, salah satu kakaknya dari ibu Dewi Darmani. Adapun kakaknya yang lain, Dewi Darmastuti telah menikah dengan Sang Dewa Hening dan telah berganti nama menjadi Dewi Aditi. Dia ingin tinggal di kahyangan Jonggring Saloka dan ingin mengabdi di sana karena di Selongkandi ia prihatin melihat tingkah kakak tertua yang penuh angkara murka dan kini membuat kahyangan tandingan bernama Tunjungkresna “baiklah, kanda dewi. Aku akan menerima kakanda dewi. Sekarang masuklah. Anggap saja di rumah sendiri.” Setelah itu Batara Guru menjadi gundah. Kakak sulungnya membuat kahyangan tandingan yang jauh lebih indah dari kahyangan Jonggring Saloka. Daripada memendam perasaan iri dengan sang kakak tiri, ia kemudian bersemedi dan membuka mata ketiga miliknya yang ada di tengah dahi. Menurut penglihatan mata ketiga itu, ia melihat sebuah kitab ajaib yang isinya berupa jalan untuk menggapai kemuliaan di hadapan Tuhan yang Maha Kuasa. Mata ketiganya juga berhasil menjabarkan intisari dari kitab itu yang kemudian dituliskan ulang dan diberi nama Lontar Sastrajendra Hayuningrat Pangruwatingdiyu. Namun sayang kini kitab yang sebenaranya itu ada di tangan pengumbar angkara murka yaitu Batara Rudra, kakak Batara Guru sendiri.

Tanpa pikir panjang, Batara Guru berpikir ia harus menyingkirkan kakak tirinya itu demi bisa memiliki Jamus Kalimahosada. Batara Guru segera memanggil kedua saudaranya, Batara Togog dan Batara Semar. Lalu diceritakannya apa yang ia lihat kepada kedua saudaranya itu “Antaga! Ismaya! Saudaraku. Aku baru saja mendapat penglihatan bahwa kakak tertua kita, Batara Rudra Sang Dewa Rancasan telah mewarisi sebuah kitab ajaib. Nama kitab itu Jamus Kalimahosada. Barangsiapa yang mampu memiliki kitab itu akan menggapai pencerahan dan kemuliaan di hadapan Yang Maha Kuasa. Bantulah aku untuk mendapatkannya.” Lalu Semar mengingatkan sang saudara “Manikmaya, tidak bisa seperti itu. Kamu tahu, kan bahwa merebut apa yang bukan hak kita adalah perbuatan yang tidak dibenarkan. Coba berpikir lebih jernih dan mintalah pada kakang Rudra secara baik-baik. ” Batara Guru tak kurang akal “tapi kakang Rudra bukan lah yang seperti kita kenal dahulu. Dia sekarang pengumbar angkara murka. Dia gemar berperilaku seperti setan yang suka bergelimang dosa. Pengumbar angkara murka harus disingkirkan sebelum sifat-sifatnya meracuni makhluk-makhluk di Triloka Buana. Kitab itu juga harus diselamatkan. Akan sangat berbahaya bila kitab itu terus berada di tangan orang jahat” Batara Semar terdiam sejenak sembari berpikir. Hening sejenak lalu Batara Togog setuju untuk menghabisi batara Rudra “baiklah, Manikmaya. Walaupun dia kakak tertua tapi kalau terus dibiarkan, seluruh dunia akan tenggelam dalam genggaman iblis Azazil. Kita harus menumpasnya.” Batara Semar berusaha mencegah “Tunggu, Antaga! Manikmaya!. Berpikirlah jernih dulu.jangan asal bunuh. Walau bagaimanapun dia juga anak ayahanda Sang Batara Tunggal.” “tapi kalo dibiarkan, angkara murka akan merajalela.” Batara Guru, Batara Semar dan Batara Togog kembali terdiam sejenak lalu ada jalan keluar dari Batara Guru “begini saja. Kita pergi menyamar saja. Kita datangi kakang Rudra. Kita ingatkan baik-baik dulu. Kalau tidak bisa, apa boleh buat demi mencegah merajalelanya angkara murka di Triloka Buana.” Batara Semar dan Batara Togog setuju. Mereka bertiga segera berangkat ke kahyangan Tunjungkresna.

Kemunculan Petruk, Gareng, Bagong dan Bilung Sarawita

Di tengah perjalanan, ketiga dewa itu bertemu dua orang pertapa sakti bernama Bambang Sukodadi dan Bambang Pencukilan saling berkelahi memperebutkan siapa yang paling sakti dan tampan. Perkelahian mereka membuat alam gonjang-ganjing. Lalu keduanya dilerai oleh Semar. meski sudah lerai, keduanya tetap saja bertarung. Akhirnya Batara Semar melemparkan sebatang pohon untuk menghentikan mereka. Namun karena kesaktian Semar, wujud kedua pertapa sakti itu berubah wujud. Bambang Sukodadi bertukar wujud menjadi pria berhidung besar, bermata juling, tangan yang agak bengkok, dan berkaki jinjit sebelah sedangkan Bambang Pencukilan benjadi pria kurus berbadan jangkung dan hidung yang panjang. Lalu datanglah seorang pertapa Gandarwa, ayah dari Bambang Pencukilan dan Bambang Sukodadi bernama Resi Swala. Dia datang untuk menjelaskan kepada tiga dewa itu “Ampun, tuanku Batara sekalian. Maafkanlah kenakalan kedua putra hamba,. Mereka memang agak nakal. Suka menyombongkan diri dengan kesaktiannya. Tolong ampuni mereka.” Bambang Pencukilan dan Bambang Sukodadi ikut pula bersujud mohon ampun berjanji tak akan mengumbar ksombongan dan bersedia menjadi anak Semar. Batara Semar segera menyuruh mereka berdiri. “sudahlah, bopo Resi. Perilaku dan tabiat yang buruk bisa diperbaiki. Sekarang yang terpenting mereka berdua bisa berubah. Apa kalian berdua mau menjadi anak-anakku?” keduanya serempak menjawab “kami mau, bopo Semar.” sejak saat itu selain dari Dewi Kanastren, Semar mendapatkan anak lagi. Oleh Semar, Bambang Sukodadi diganti namanya menjadi Gareng, lengkapnya Nala Gareng sedangkan Bambang Pencukilan menjadi Petruk Udawala. Mereka mengikuti kemanapun ayah angkat mereka pergi sambil berjenaka.

Di tengah jalan, Batara Semar dan Togog kemudian berdebat siapakah teman sejati. Lalu Togog berkata “teman sejati manusia dan para dewa adalah hasrat, keinginan.” Tapi Semar menjawab lain “menurutku yang pantas disebut teman ialah bayangan.”

Para Punakawan
Lalu atas kekuasaan Sanghyang Widhi yang Maha Berkehendak, muncullah dua sosok manusia jelmaan dari hasrat dan bayangan mereka berdua. Manusia jelmaan dari hasrat itu rupanya mirip dengan Batara Togog namun berbadan lebih kecil sedangkan manusia jelmaan bayangan mirip dengan Batara Semar namun dengan tangan berwarna kemerahan dan tubuh lebih bulat. Maka Batara Togog menamai jelmaan hasratnya itu Bilung Sarawita dan Batara Semar menamai jelmaan bayangannya itu Bagong. Gareng menjulukinya si Cepot alias si Bawor dan Petruk menjulukinya Astajingga karena tangannya yang berwarna kemerahan.

Perebutan Jamus Kalimahosada

Kahyangan Tunjungkresna memang sangat indah. Penuh dengan tumbuh-tumbuhan indah berwarna-warni namun hiasan dan ornamennya serba gelap. Konon bahan baku tembok benteng kahyangan itu berasal dari lahar gunung berapi yang masih baru. Di sana batara Rudra sang Dewa Rancasan dan patihnya Azazil sedang berasyik masyuk menggauli para raksasi dan memuaskan hawa nafsu mereka. Lalu datanglah tujuh orang pertapa “salam, Tuanku batara yang terhormat.” “hei siapa kalian? Mengganggu kesenangan kami saja.” “kami adalah para pertapa yang dikirimkan ayah paduka untuk menyadarkan tuanku dari perbuatan dosa ini.” Batara Rudra meludah dan mengumpat para pertapa itu “cuih, peduli setan dengan itu. sejak ayahanda menyayangi adik-adikku dari Ibu Dewi Wirandi, aku disisihkan. Ayah pikir Manikmaya dan saudara-saudaranya adalah dewa yang hebat tapi dia salah. Sekarang akulah dewa maharaja diraja. Kahyangan yang kubuat jauh lebih indah dari pada negeri Selongkandi ataupun Kahyangan Jonggring Saloka yang sudah diwarisinya. Aku bebas berbuat semauku. Tak ada yang bisa melarangku, adik-adikku, ayahanda, leluhur bahkan Tuhan pun tidak akan mampu melarangku.” “aku ingatkan padamu, wahai tuanku. Jangan melampaui batasanmu. Tuhan akan murka padamu. Sebelum murkaNya tiba, bertobatlah dan serahkan Jamus Kalimahosada kepada Batara Guru Manikmaya.” Batara Rudra menjadi heran kenapa pertapa ini bisa tahu tentang Jamus Kalimahosada. Lalu ia menggunakan kesaktiannya dan membuat angin topan yang menghempaskan. Tersadarlah ia bahwa tujuh pertapa itu telah badar, kembali ke wujud aslinya menjadi Batara Guru, Batara Semar, Batara Togog, Gareng, Petruk, Bagong, dan Bilung. Lalu terjadilah pertarungan antara anak-anak dewa itu.

Angin badai menderu kencang, bumi gonjang-ganjing, langit kolap-kalip, Samudera bergelora membawa banjir ke daratan. Hujan salju dan es mengguyur dataran rendah. Petir menyambar-nyambar selama berhari-hari. Gunung-gunung meletus hebat. Pertarungan antara Batara Guru melawan Batara Rudra terus berimbang tak ada yang kalah maupun menang. Namun, Batara Guru lama kelamaan menjadi kerepotan dan terdesak. Melihat saudaranya terdesak, Batara Togog segera mengerahkan kesaktiannya, menggunakan wujud dewatanya, Batara Tejamaya. Disusul Batara Semar juga mengambil rupa sebagai Badranaya, wujud dewata miliknya. Karena ketakutan, Azazil segera menghilang dan bersumpah akan terus menyesatkan manusia dan para dewa. Batara Rudra terkejut patihnya telah lari.

Rudra Rancasan hilang wadag kasarnya
Penjagaan terhadap Jamus Kalimahosada menjadi terbuka. Ketiganya dengan mudah dapat merampas Jamus Kalimahosada dari tempatnya.

Kutukan Jamus Kalimahusada

Tak terima, Batara Rudra terus melawan dan menyerang ketiga saudaranya itu bahkan tak jarang membokong dari belakang. Lalu kedua tangan Batara Rudra disambar Batara Semar dan Togog. Batara Guru menyuruh sang kakak untuk menyerah “menyerahlah, kakang Rudra.bertobatlah dari perbuatanmu yang kotor dan hina atau kau akan merasakan pedihnya ajal di tanganku!” “heh...... apa hakmu? lebih baik aku mati daripada harus tunduk kepadamu!” panaslah hati Batara Guru “tingkahmu sombong sekali. Kau tak layak hdup lagi!”  lalu ia menghujamkan Tombak Trisula ke tubuh kakak tirinya yang telah tertawan Batara Semar dan Batara Togog. Tiba-tiba, musnahlah tubuh Batara Rudra menjadi buih-buih yang berterbangan ke angkasa. Sayup-sayup terdengarlah suara kutukan dari angkasa “Mwahahahaha........Guru Manikmaya! Antaga! Ismaya! kalian pikir aku sudah mati, itu tidak mungkin. Wadagku mungkin telah hilang namun sukmaku akan terus hidup. Aku akan terus membayangi hidup kalian dalam wujud angkara murka. Silakan kalian miliki kitab itu tapi kitab itu tak akan pernah ada yang bisa memeliharanya. Kelak raja yang mewarisi dan memiliki kitab ini akan ditimpa sengsara selama hidupnya.....” suara itu hilang ditelan angni. Tiba-tiba petir menggelegar dan terjadi huru-hara yang mengerikan. Kini angkara murka semakin mudah menjangkiti hati manusia dan para dewa. Tak lama berselang, terdengarlah suara Batara Padawenang dari alam Alang-Alang Kumitir “ Manikmaya! Kamu sudah memantik perang antara denawa dan dewa. Ternayata kamu sendiri lebih jumawa dari Antaga dan Ismaya. Sewenang-wenang sendiri demi ambisi dan menghasut kedua saudaramu. Ingatlah kutukku padamu Manikmaya. Kakimu akan menjadi layuh, lehermu akan belang, tanganmu akan berubah, dan taringmu akan mencuat mirip denawa.”

Ketiga dewa itu menyesal karena terburu nafsu. Mereka segera kembali ke Kahyangan Jonggring Saloka. Dalam penyesalan, mereka terus merawat kitab Jamus Kalimahosada sampai mereka menemukan raja yang pantas untuk mewarisinya, raja yang kuat sengsara dan lahir batin yang tak mudah goyah oleh berbagai keadaan. Sementara itu,  Lontar Sastrajendra Hayuningrat Pangruwatingdiyu dijabarkan kepada Maharesi Kasyapa dan terus diajarkan kepada murid-muridnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar