Matur salam, para pembaca. Kisah kali ini saya akan menceritakan kisah tiga anak batara Tunggal Padawenang. Kisah bermula dari perebutan takhta Jonggring Saloka lalu berlanjut ke perebutan kitab ajaib Jamus Kalimahosada. Dikisahkan pula, bagaimana para punakawan muncul dan lahir. Kisah ini saya ambil sumber dri Serat Paramayoga, Serat Purwacerita, dan blog caritawayang.blogspot.co.id dengan sedikit pengembangan.
Perebutan
Takhta Jonggring Saloka
Senja berganti malam dan malam pun mulai menampakkan terangnya. Hari-hari dan waktu berlalu. Para putra Sang batara Tunggal sudah pada dewasa. Batara Antaga Tejamaya, Batara Ismaya Badranaya, dan Batara Manikmaya telah menunjukkan kualitas dan kemampuan mereka mewarisi segala ilmu, kesaktian, dan perbawa dari sang ayah. Sudah layak mereka disebut ksatria dewa yang linuwih. Pada hari yang cerah ceria, alkisah. Sang Batara Tunggal yang didampingi dua permaisurinya, Dewi Darmani dan Dewi Wirandi dihadap para putranya. Ia ingin turun takhta dan undur diri dari kahyangan menuju alam kelanggengan. Tapi sebelum itu, Sang Batara Tunggal ingin menceritakan kisah kelahiran ketiga putranya dulu. “Anak-anakku, aku memanggil kalian kemari untuk sesuatu hal yang penting. Sebentar lagi aku akan undur diri dari kahyangan. Tapi sebelumnya aku akan bercerita. Dahulu kalian terlahir dari sebutir telur yang kemudian tercipta menjadi manusia-manusia dewa. Aku bingung aku tak tau siapa yang layak menjadi pewaris kahyangan ini. Kalian lahir bersamaan. Tak ada satupun dari kalian yang lebih tua atau lebih muda.”
Sang Batara Tunggal memanggil ketiga anaknya |
Debat
berakhir Tengkar
Batara
Antaga tersinggung dengan kata-kata Batara Ismaya. Ia yang terlahir dari
cangkang telur merasa harga dirinya direndahkan, tak dianggap penting. Batara
Antaga pun menjadi semakin jumawa “kau salah, Ismaya. Cangkang telur itu keras
maka cangkanglah yang terkuat. Putih telur dan kuning telur jauh lebih lembek
dan lemah yang ada malah berselerak merata-rata.” “ Antaga dari mana
pemikiranmu itu, cangkang telur walaupun keras tapi mudah retak dan pecah
berantakan. Mana bisa itu bisa disebut kuat?”
Merah padamlah muka Batara Antaga. Godaan nafsu amarah semakin
menjadi-jadi sehingga Batara Antaga tak mampu lagi berpikir jernih. Batara Ismaya
yang tadi bisa tenang juga semakin jengah dan mulai terpancing kemarahannya. Adu
mulut dan pertengkaran diantara mereka tak terelakkan. Semakin lama semakin
panaslah hati mereka hingga Batara Antaga dengan kejumawaannya menantang Batara
Ismaya “kita adu kekuatan. Siapa yang terkuat diantara kita!” “baiklah, siapa
takut!”
Jumawanya
Antaga, Teguhnya Ismaya, dan Cerdiknya Manikmaya
Adigang
adigung adiguna, itulah yang menggambarkan sifat Batara Antaga. Batara Ismaya
sebenarnya kesal dan suntuk dengan kejumawaan saudaranya itu. Namun bukan sikap
seorang ksatria bila menolak tantangan meski dari saudara sendiri karena akan
dianggap sikap seorang pengecut. Sekalian juga bagi Batara Ismaya untuk membeli
pelajaran padanya bahawa di atas langit masih ada langit, jangan menyombangkan
diri dengan kesaktian yang dimiliki. Melihat perselisihan kedua putranya, Sang
Batara Tunggal berusaha melerai dan menasihati mereka namun keduanya sudah
termakan nafsu setan sehingga tak menghiraukan lagi nasihat sang ayah. Di dalam
hati, Sang Batara Tunggal bergumam “Bertikai dengan saudara sendiri? Apa kalian
tak akan menyesal di kemudian hari?” sementara itu, Batara Manikmaya diam saja
seakan tak ingin ikut campur namun dalam pikirnya, ia sadar untuk apa ia ikut
bertarung. Itu hanya akan membuat tenaga mereka menjadi mubazir percuma. Iniah
kesempatan yang baik untuk mengambil hati sang ayah. Pertarungan kedua ksatria
dewa itu berlangsung berhari-hari. Berbagai kesaktian, senjata, dan ajian telah
mereka kerahkan tanpa kenal lelah. Pengaruh pertarungan mereka berefek pada bumi.
Bumi gonjang-ganjing, langit kolap-kalip. Kahyangan Jonggring Saloka bergetar
hebat karenanya. Gunung dan bukit longsor. Hujan dan badai salju menenggelamkan
puncak Himalaya hingga ke dataran di bawahnya. Api menyambar-nyambar dari
angkasa. Laut menjadi bergejolak. Prabu Dewa Yuyut, kakek mereka yang kini
menjadi dewa para kepiting menjadi sedih mendengar kedua cucunya berseteru.
Rusaklah kehidupan di marcapada. Bukan hanya makhluk-makhluk kasat mata yang
terkena dampaknya namun makhluk-makhluk tak kasat mata juga menderita
karenanya.
Sayembara
Menelan Gunung
Karena
tak ada satupun yang kalah atau menang, maka Sang Batara Tunggal memutuskan
membuat sayembara.”hentikan! kalian menghabisakan energi dan membuat berbagai
makhluk menderita. Daripada itu lebih baik kita adakan sayembara. Siapa yang
mampu memakan gunung Jamurdipa lalu mengeluarkannya lagi, dialah yang pantas
disebut yang tertua dan mewarisi seluruh kahyangan.”Keduanya menyanggupi
sayembara itu. Batara Antaga dan Batara Ismaya segera berubah wujud menjadi
raksasa yang tingginya melebihi Pegunungan Himalaya. Mereka segera mengambil
gunung untuk ditelan mentah-mentah. Dengan tergesa-gesa, Batara Antaga berhasil
mencabut gunung. Namun ia salah ambil. Gunung yang ia ambil bukan gunung
Jamurdipa melainkan gunung Pawaka. Ketika ditelan, Gunung Pawaka masih lebih
besar dari mulutnya dan tanpa diduga-duga, tiba-tiba gunung Pawaka meledak dan
laharnya membuat lidah dan bibir Batara Antaga menjadi luka, nyaris robek
mulutnya. Asap beracunnya membuat batara Antaga limbung dan ambruk. Di tempat
lain, Batara Ismaya mengambil gunung Jamurdipa yang asli. Ditelannya gunung
itu. Karena ukuran tubuh raksasa Batara Ismaya tujuh kali Pegunungn Himalaya,
dengan mudah pula ia menelan gunung Jamurdipa. Namun, tiba-tiba gunung itu
tersangkut di tenggorokan Batara Ismaya. Terasa tercekik dan sulit bernafas.
Matanya sampai sembab dan berair. Lalu Batara Ismaya segera meminum air laut
sambil mengerahkan seluruh tenaga dan kesaktiannya. Gunung Jamurdipa berhasil
amblas ke dalam perutnya namun karena terlalu banyak meminum air laut, tubuhnya
menjadi sangat lemas dan lelah, tak sanggup lagi ia memuntahkan Gunung
Jamurdipa. Matanya berkunang-kunang dan tubuhnya seketika ambruk.
Tobatnya
Antaga dan Ismaya
Hari
mulai berganti. Alam mulai tenang. Di atas rerumputan yang dibasahi embun,
terbangunlah Batara Antaga dan Batara Ismaya yang sudah siuman setelah
sayembara itu. keduanya mulai teringat kesadarannya. Bingung dan linglung masih
menggelayuti isi kepala mereka. Ketika mereka saling bertatapan, terkejutlah
mereka dan salah satu dari mereka bertanya “Siapa kamu?” yang ditanya menjawab
Batara Antaga, si penanya terkejut setengah mati. Bagaimana tidak terkejut,
yang mengaku Batara Antaga penampilannya buruk sekali. Yang dia ingat Batara
Antaga itu ksatria dewa yang tampan dan gagah perkasa tapi yang didepannya ini,
penampilannya lebih mirip jin atau dedemit dengan mata lebar, tubuh tak
simetris menakutkan, dan mulut robek dengan bibir yang dower mirip moncong
anjing. Lalu Batara Antaga balik bertanya “lalu, kamu sendiri siapa?” yang
ditanya menjawab Batara Ismaya. Sontak Batara Antaga terkaget bukan kepalang.
Betapa tidak, Batara Ismaya yang ia kenal berwajah sejernih cahaya bulan
purnama dan berparas elok tapi yang didepannya ini bertubuh gemuk, lebih gemuk
daripada Batara Antaga dan berwajah bulat mirip wajah kucing. Raut mukanya juga
sangat tua dengan mata yang sembab, hidung ingusan dan rambut memutih, jauh
sekali dari Batara Ismaya yang ia kenal. Lalu mereka menuju ke telaga di dekat
kaki gunung untuk berkaca. Terkejutlah mereka melihat wujud tampan mereka telah
berubah menjadi buruk rupa. Mereka menangis layaknya anak kecil. Mereka sadar
mungkin ini adalah hukuman dari Tuhan karena tak mengindahkan nasihat dari
orang tua.
Batara Antaga dan batara Ismaya segera menghadap lalu sujud sungkem, meminta maaf kepada orang tuanya.
Manikmaya menjadi penghulu baru para dewa |
Pemberontakan
Rudra, Sang Dewa Rancasan
Di
tempat lain di negeri Selongkandi. Batara Rudra atau Sang Dewa Rancasan sedang dilanda
kesal hati dan penuh kedengkian. Mukanya sangat kecut menyimpan perasaan sebal.
Sikapnya sudah berubah 180 derajat. Sejak ayahnya menikah lagi, ia merasa
curahan kasih sayang ayah dan ibunya kepada Batara Manikmaya dan kedua
saudaranya lebih banyak daripada dirinya sendiri. Iri hati dan kedengkian mulai
menjalari hatinya. Terlebih setelah datangnya seorang pertapa sakti yang kini
menjadi patihnya. Batara Rudra tidak sadar bahwa patihnya itu adalah penyamaran
Azazil, sang Iblis yang selalu berusaha menjerumuskan anak cucu Adam ke dalam kenistaan
dan dosa. Azazil tak henti menghasut dan menanamkan kebencian kepada batara
Rudra. Kini sifat Batara Rudra menjadi sangat keras kepala, suka menurutkan
hawa nafsu, dan penuh angkara murka. Kegemarannya adalah suka menyetubuhi para
raksasa perempuan sehingga lahirlah dari mereka para denawa (raksasa liar yang
doyan mengumbar nafsu).Tiap kali mendengar atau bahkan memikirkan Batara
Manikmaya ataupun kahyangan Jonggring Saloka, kepalanya terasa penuh dan
hatinya menjadi sepanas api neraka. Penyakit dengki, dendam kesumat, dan
kesombongan terus menembus hati dan pikirannya.”wahai Rudra, jika kau merasa
iri dengan Manikmaya, bangunlah sebuah kahyangan tandingan. Aku yakin kahyangan
buatanmu akan jauh lebih indah daripada onggokan taman di Pegunungan Himalaya
itu.” Azazil berusaha memanas-manasi Batara Rudra. Akhirnya batara Rudra
membangun kahyangan tandingan bernama kahyangan Tunjugkresna (Tunjung=bunga teratai ;
kresna=hitam). Secara diam-diam, Azazil mencuri sebuah kitab dari reruntuhan
Kusniyamalebari dan memberikannya pada batara Rudra. Kitab ini kitab ajaib.
Sebuah kitab kuno peninggalan orang-orang Kusniyamalebari dahulu, yang berisi
tentang petunjuk menggapai derajat tinggi di hadapan Tuhan yang Maha Kuasa, Jamus
Kalimahosada.
Di
kahyangan Jonggring Saloka, Batara Guru kedatangan Dewi Dewanjali, salah satu kakaknya
dari ibu Dewi Darmani. Adapun kakaknya yang lain, Dewi Darmastuti telah menikah
dengan Sang Dewa Hening dan telah berganti nama menjadi Dewi Aditi. Dia ingin
tinggal di kahyangan Jonggring Saloka dan ingin mengabdi di sana karena di
Selongkandi ia prihatin melihat tingkah kakak tertua yang penuh angkara murka
dan kini membuat kahyangan tandingan bernama Tunjungkresna “baiklah, kanda
dewi. Aku akan menerima kakanda dewi. Sekarang masuklah. Anggap saja di rumah
sendiri.” Setelah itu Batara Guru menjadi gundah. Kakak sulungnya membuat
kahyangan tandingan yang jauh lebih indah dari kahyangan Jonggring Saloka. Daripada
memendam perasaan iri dengan sang kakak tiri, ia kemudian bersemedi dan membuka
mata ketiga miliknya yang ada di tengah dahi. Menurut penglihatan mata ketiga
itu, ia melihat sebuah kitab ajaib yang isinya berupa jalan untuk menggapai
kemuliaan di hadapan Tuhan yang Maha Kuasa. Mata ketiganya juga berhasil
menjabarkan intisari dari kitab itu yang kemudian dituliskan ulang dan diberi
nama Lontar Sastrajendra Hayuningrat Pangruwatingdiyu. Namun sayang kini kitab
yang sebenaranya itu ada di tangan pengumbar angkara murka yaitu Batara Rudra,
kakak Batara Guru sendiri.
Tanpa
pikir panjang, Batara Guru berpikir ia harus menyingkirkan kakak tirinya itu
demi bisa memiliki Jamus Kalimahosada. Batara Guru segera memanggil kedua
saudaranya, Batara Togog dan Batara Semar. Lalu diceritakannya apa yang ia lihat
kepada kedua saudaranya itu “Antaga! Ismaya! Saudaraku. Aku baru saja mendapat
penglihatan bahwa kakak tertua kita, Batara Rudra Sang Dewa Rancasan telah
mewarisi sebuah kitab ajaib. Nama kitab itu Jamus Kalimahosada. Barangsiapa
yang mampu memiliki kitab itu akan menggapai pencerahan dan kemuliaan di
hadapan Yang Maha Kuasa. Bantulah aku untuk mendapatkannya.” Lalu Semar
mengingatkan sang saudara “Manikmaya, tidak bisa seperti itu. Kamu tahu, kan
bahwa merebut apa yang bukan hak kita adalah perbuatan yang tidak dibenarkan.
Coba berpikir lebih jernih dan mintalah pada kakang Rudra secara baik-baik. ”
Batara Guru tak kurang akal “tapi kakang Rudra bukan lah yang seperti kita
kenal dahulu. Dia sekarang pengumbar angkara murka. Dia gemar berperilaku
seperti setan yang suka bergelimang dosa. Pengumbar angkara murka harus
disingkirkan sebelum sifat-sifatnya meracuni makhluk-makhluk di Triloka Buana.
Kitab itu juga harus diselamatkan. Akan sangat berbahaya bila kitab itu terus
berada di tangan orang jahat” Batara Semar terdiam sejenak sembari berpikir.
Hening sejenak lalu Batara Togog setuju untuk menghabisi batara Rudra “baiklah,
Manikmaya. Walaupun dia kakak tertua tapi kalau terus dibiarkan, seluruh dunia
akan tenggelam dalam genggaman iblis Azazil. Kita harus menumpasnya.” Batara
Semar berusaha mencegah “Tunggu, Antaga! Manikmaya!. Berpikirlah jernih
dulu.jangan asal bunuh. Walau bagaimanapun dia juga anak ayahanda Sang Batara
Tunggal.” “tapi kalo dibiarkan, angkara murka akan merajalela.” Batara Guru,
Batara Semar dan Batara Togog kembali terdiam sejenak lalu ada jalan keluar
dari Batara Guru “begini saja. Kita pergi menyamar saja. Kita datangi kakang
Rudra. Kita ingatkan baik-baik dulu. Kalau tidak bisa, apa boleh buat demi
mencegah merajalelanya angkara murka di Triloka Buana.” Batara Semar dan Batara
Togog setuju. Mereka bertiga segera berangkat ke kahyangan Tunjungkresna.
Kemunculan
Petruk, Gareng, Bagong dan Bilung Sarawita
Di
tengah perjalanan, ketiga dewa itu bertemu dua orang pertapa sakti bernama
Bambang Sukodadi dan Bambang Pencukilan saling berkelahi memperebutkan siapa
yang paling sakti dan tampan. Perkelahian mereka membuat alam gonjang-ganjing. Lalu
keduanya dilerai oleh Semar. meski sudah lerai, keduanya tetap saja bertarung.
Akhirnya Batara Semar melemparkan sebatang pohon untuk menghentikan mereka.
Namun karena kesaktian Semar, wujud kedua pertapa sakti itu berubah wujud.
Bambang Sukodadi bertukar wujud menjadi pria berhidung besar, bermata juling,
tangan yang agak bengkok, dan berkaki jinjit sebelah sedangkan Bambang
Pencukilan benjadi pria kurus berbadan jangkung dan hidung yang panjang. Lalu
datanglah seorang pertapa Gandarwa, ayah dari Bambang Pencukilan dan Bambang
Sukodadi bernama Resi Swala. Dia datang untuk menjelaskan kepada tiga dewa itu
“Ampun, tuanku Batara sekalian. Maafkanlah kenakalan kedua putra hamba,. Mereka
memang agak nakal. Suka menyombongkan diri dengan kesaktiannya. Tolong ampuni
mereka.” Bambang Pencukilan dan Bambang Sukodadi ikut pula bersujud mohon ampun
berjanji tak akan mengumbar ksombongan dan bersedia menjadi anak Semar. Batara
Semar segera menyuruh mereka berdiri. “sudahlah, bopo Resi. Perilaku dan tabiat
yang buruk bisa diperbaiki. Sekarang yang terpenting mereka berdua bisa
berubah. Apa kalian berdua mau menjadi anak-anakku?” keduanya serempak menjawab
“kami mau, bopo Semar.” sejak saat itu selain dari Dewi Kanastren, Semar
mendapatkan anak lagi. Oleh Semar, Bambang Sukodadi diganti namanya menjadi
Gareng, lengkapnya Nala Gareng sedangkan Bambang Pencukilan menjadi Petruk
Udawala. Mereka mengikuti kemanapun ayah angkat mereka pergi sambil berjenaka.
Di tengah jalan, Batara Semar dan Togog kemudian berdebat siapakah teman sejati. Lalu Togog berkata “teman sejati manusia dan para dewa adalah hasrat, keinginan.” Tapi Semar menjawab lain “menurutku yang pantas disebut teman ialah bayangan.”
Para Punakawan |
Perebutan
Jamus Kalimahosada
Kahyangan
Tunjungkresna memang sangat indah. Penuh dengan tumbuh-tumbuhan indah
berwarna-warni namun hiasan dan ornamennya serba gelap. Konon bahan baku tembok
benteng kahyangan itu berasal dari lahar gunung berapi yang masih baru. Di sana
batara Rudra sang Dewa Rancasan dan patihnya Azazil sedang berasyik masyuk
menggauli para raksasi dan memuaskan hawa nafsu mereka. Lalu datanglah tujuh
orang pertapa “salam, Tuanku batara yang terhormat.” “hei siapa kalian?
Mengganggu kesenangan kami saja.” “kami adalah para pertapa yang dikirimkan ayah
paduka untuk menyadarkan tuanku dari perbuatan dosa ini.” Batara Rudra meludah
dan mengumpat para pertapa itu “cuih, peduli setan dengan itu. sejak ayahanda
menyayangi adik-adikku dari Ibu Dewi Wirandi, aku disisihkan. Ayah pikir
Manikmaya dan saudara-saudaranya adalah dewa yang hebat tapi dia salah.
Sekarang akulah dewa maharaja diraja. Kahyangan yang kubuat jauh lebih indah
dari pada negeri Selongkandi ataupun Kahyangan Jonggring Saloka yang sudah
diwarisinya. Aku bebas berbuat semauku. Tak ada yang bisa melarangku,
adik-adikku, ayahanda, leluhur bahkan Tuhan pun tidak akan mampu melarangku.”
“aku ingatkan padamu, wahai tuanku. Jangan melampaui batasanmu. Tuhan akan
murka padamu. Sebelum murkaNya tiba, bertobatlah dan serahkan Jamus Kalimahosada
kepada Batara Guru Manikmaya.” Batara Rudra menjadi heran kenapa pertapa ini
bisa tahu tentang Jamus Kalimahosada. Lalu ia menggunakan kesaktiannya dan
membuat angin topan yang menghempaskan. Tersadarlah ia bahwa tujuh pertapa itu
telah badar, kembali ke wujud aslinya menjadi Batara Guru, Batara Semar, Batara
Togog, Gareng, Petruk, Bagong, dan Bilung. Lalu terjadilah pertarungan antara
anak-anak dewa itu.
Angin badai menderu kencang, bumi gonjang-ganjing, langit kolap-kalip, Samudera bergelora membawa banjir ke daratan. Hujan salju dan es mengguyur dataran rendah. Petir menyambar-nyambar selama berhari-hari. Gunung-gunung meletus hebat. Pertarungan antara Batara Guru melawan Batara Rudra terus berimbang tak ada yang kalah maupun menang. Namun, Batara Guru lama kelamaan menjadi kerepotan dan terdesak. Melihat saudaranya terdesak, Batara Togog segera mengerahkan kesaktiannya, menggunakan wujud dewatanya, Batara Tejamaya. Disusul Batara Semar juga mengambil rupa sebagai Badranaya, wujud dewata miliknya. Karena ketakutan, Azazil segera menghilang dan bersumpah akan terus menyesatkan manusia dan para dewa. Batara Rudra terkejut patihnya telah lari.
Rudra Rancasan hilang wadag kasarnya |
Kutukan
Jamus Kalimahusada
Tak
terima, Batara Rudra terus melawan dan menyerang ketiga saudaranya itu bahkan
tak jarang membokong dari belakang. Lalu kedua tangan Batara Rudra disambar
Batara Semar dan Togog. Batara Guru menyuruh sang kakak untuk menyerah
“menyerahlah, kakang Rudra.bertobatlah dari perbuatanmu yang kotor dan hina
atau kau akan merasakan pedihnya ajal di tanganku!” “heh...... apa hakmu? lebih
baik aku mati daripada harus tunduk kepadamu!” panaslah hati Batara Guru
“tingkahmu sombong sekali. Kau tak layak hdup lagi!” lalu ia menghujamkan Tombak Trisula ke tubuh
kakak tirinya yang telah tertawan Batara Semar dan Batara Togog. Tiba-tiba,
musnahlah tubuh Batara Rudra menjadi buih-buih yang berterbangan ke angkasa.
Sayup-sayup terdengarlah suara kutukan dari angkasa “Mwahahahaha........Guru
Manikmaya! Antaga! Ismaya! kalian pikir aku sudah mati, itu tidak mungkin.
Wadagku mungkin telah hilang namun sukmaku akan terus hidup. Aku akan terus membayangi
hidup kalian dalam wujud angkara murka. Silakan kalian miliki kitab itu tapi
kitab itu tak akan pernah ada yang bisa memeliharanya. Kelak raja yang mewarisi
dan memiliki kitab ini akan ditimpa sengsara selama hidupnya.....” suara itu
hilang ditelan angni. Tiba-tiba petir menggelegar dan terjadi huru-hara yang
mengerikan. Kini angkara murka semakin mudah menjangkiti hati manusia dan para
dewa. Tak lama berselang, terdengarlah suara Batara Padawenang dari alam
Alang-Alang Kumitir “ Manikmaya! Kamu sudah memantik perang antara denawa dan
dewa. Ternayata kamu sendiri lebih jumawa dari Antaga dan Ismaya.
Sewenang-wenang sendiri demi ambisi dan menghasut kedua saudaramu. Ingatlah
kutukku padamu Manikmaya. Kakimu akan menjadi layuh, lehermu akan belang, tanganmu
akan berubah, dan taringmu akan mencuat mirip denawa.”
Ketiga
dewa itu menyesal karena terburu nafsu. Mereka segera kembali ke Kahyangan
Jonggring Saloka. Dalam penyesalan, mereka terus merawat kitab Jamus
Kalimahosada sampai mereka menemukan raja yang pantas untuk mewarisinya, raja
yang kuat sengsara dan lahir batin yang tak mudah goyah oleh berbagai keadaan.
Sementara itu, Lontar Sastrajendra
Hayuningrat Pangruwatingdiyu dijabarkan kepada Maharesi Kasyapa dan terus
diajarkan kepada murid-muridnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar