Kisah Mahabarata :
Parikêsit Jumeneng Ratu
Tahun-tahun beralih bagaikan kilat. Usia cucu para Pandawa dan Kurawa telah
cukup untuk pergi menimba ilmu. Para cucu Pandawa dan Kurawa diantaranya
Parikesit, Pancakesuma, Sasikirana, Wiratmaka, Warsaka, Wikrakasana, Wresaketu,
Dewakumara, Dursabala, Danurwenda, Jayasena dll sudah waktunya menimba ilmu.
Para Pandawa bertanya kepada satu-satunya orang suci besar trakhir kebanggan
Hastinapura dan Amarta yakni Empu Krepa kemana kiranya para cucu mereka ini harus
menimba ilmu. Datang pula Prabu Baladewa telah berpakaian pendita ditemani cucunya,
Raden Wisabajra ke padepokan Empu Krepa “kakang balarama, kau disini. Ada apa
kakang berpakaian seperti pendita?” Prabu Baladewa berkata “wah...adik-adikku
para Pandawa...aku kemari untuk belajar lepas dari kemelekatan duniawi.” Prabu
Baladewa menjelaskan bahwa ia sudah meninggalkan takhtanya di Mandura. Negeri
Mandura sekarang dipimpin oleh Prabu Walmuka dan cucnya, Raden Wisabajra. Empu
Krepa lalu berkata “aku sarankan kenapa tidak ke Sokalima? Kalian didik saja
cucu-cucu kalian di Sokalima. Sejak kakang Dorna meninggal di Kurusetra tak ada
pengurusnya. Bahkan cucuku Suwela tidak mau jadi guru disana.” Para pandawa
bertanya.”Suwela? siapa itu Suwela, guru?” Empu Krepa menjawab “dia putra
Aswatama....aku tidak pernah tau siapa ibunya Suwela. Kata Aswatama dulu, dia
anaknya dengan seorang gadis kampung di sekitar sini.” Para Pandawa bertanya
kemana perginya Suwela. Empu Krepa berkata kalau Suwela sudah lama meninggalkan
Sokalima dan pergi mengembara. Setelah menimbang-nimbang, para Pandawa memutuskan
untuk mendaftarkan para keturunan mereka di Sokalima. “guru kami titipkan
cucu-cucu kami di Sokalima. Tolong bimbinglah mereka .” Sejak ditinggalkan
Begawan Dorna, padepokan Sokalima seakan mati segan, hidup pun enggan. Awalnya setelah
ditinggalkan Suwela, padepokan itu diurus oleh Empu Krepa selaku kakak ipar
Begawan Dorna tapi Empu Krepa kali ini menolaknya.” maaf, cucu-cucuku. Aku
sudah terlalu tua untuk mengajar. Aku ingin menyepi, meninggalkan kenikmatan
duniawi. Seluruh kerabatku sudah tiada semua. Aku akan pergi tapi aku akan
memberikan tampuk kepemimpinan di Sokalima ini dulu kepada anak prabu Baladewa."
Pelantikan Begawan Curiganata |
Hingga tak terasa, Hari telah berganti pekan, pekan berganti sasih, dan sasih pun
berganti tahun. Berbagai ilmu diserap dan matangkan. Hari berganti pekan. Pekan
berganti sasih dan sasih berganti tahun, kini genap 10 tahun para keturunan Pandawa dan
Kurawa menimba ilmu dan telah siap meniti karir mereka masing-masing. Ke
semuanya diwisuda dan mengambil jalan sendiri-sendiri. Parikesit dan
Pancakesuma kembali ke Hastinapura. Sasikirana kembali ke Pringgondani bersama
ketiga adiknya Suryakaca dan Jaya Sumpena. Danurweda kembali ke Jangkarbumi dan
langsung diangkat sebagai adipati baru. Harya Jayasena kembali ke
Parangjaladri. Wresaketu, putra bungsu Adipati Karna bersama dua keponakannya
yakni Bambang Warsaka dan Bambang Wikrakasana kembali ke Awangga dan Petapalaya
untuk menjadi raja. Sedangkan Dewakumara, putra Lesmana Mandrakumara ditemani
Dursabala, putra Arya Durcala kembali ke negeri Gandaradesa. Dewakumara pun
mengganti namanya menjadi Mangkubumi Sarojakumara. Disana tiga paman mereka
yakni Patih Antisura, Prabu Kretiwindu, dan Harya Kertisura telah menunggu.
Ketiganya adalah cucu Patih Harya Sengkuni yakni dari putranya, Prabu Uluka.
Sayangnya, Prabu Kretiwindu sama seperti kakeknya, orangnya licik dan penuh
maksud jahat, berbeda dengan kedua saudaranya yang memilih untuk perdamaian. Kedua
cucu para Kurawa itu selalu dihasut agar memusuhi cucu Pandawa dan Adipati
Karna. Karena tidak tahan lagi, Harya Kertisura meninggalkan Gandaradesa untuk
ke kerajaan Sindhu Banakeling. Di sana ia melayani dua putra Jayadrata yakni
Bambang Wisamuka dan Bambang Surata.
Beberapa bulan setelah pulang dari Sokalima, bambang Pancakesuma dipanggil kakeknya, Prabu Puntadewa “Pancakesuma, kemarilah...ada sesuatu yang harus ku bicarakan.” “baik, eyang prabu.” Prabu Yudhistira pun melihat Pancakesuma sudah cukup umur dan ilmunya untuk memimpin sebuah negara. Maka hari itu, Prabu Yudhistira mengajaknya ke Istana Indraprastha. Di sana ia telah disambut oleh Patih Wiwitsuh “lho ananda Pancakesuma, dah besar panjang kau sekarang. Bagaimana persiapannya, kakang prabu.” “sudah siap, kakang Wiwitsuh.” Pancakesuma bertanya “ lho lho....persiapan untuk apa ini, eyang? Eyang berdua telah menyembunyikan sesuatu dariku.” Prabu Yudhistira dan patih Wiwitsuh hanya tersenyum. Lalau datanglah Bambang Parikesit dan dan para eyang Pandawa, eyang putri Sumbadra, eyang putri Drupadi dan bibi suri Utari. Hadir pula eyang Prabu Sri kresna dan kakek Semar disana. prabu Yudhistira berkata kepada Pancakesuma “cucuku, kau sudah siap secara mental, ilmu, dan fisik untuk memimpin. sekarang aku akan melantikmu sebagai raja negara Amarta ini mendampingi eyang patih Wiwitsuh.”
Pancakesuma ditabalkan sebagai raja Amarta |
Setalah pelantikan Pancakesuma, kestabilan di jawadwipa dan hindustan semakin menguat. Hari berganti pekan, pekan berganti sasih dan akhirnya sudah genap lima tahun Pancakesuma menjadi raja bersamaan saat ini genap pula 30 tahun sejak Bharatayudha berakhir. Prabu Yudhistira sudah semakin jompo di usianya yang hampir mencapai kepala sembilan. Singkat cerita, diadakan pasewakan agung di Hastinapura.para raja seluruh tanah Aryawata (Jawadwipa dan Hindustan) diundang. Prabu Pancakesuma dan bambang Parikesit yang masih mengembara pun dipanggil pulang. Di sana Prabu Yudhistira berkata " mulai sasih depan, saat tanggal lima belas di saat tanggal 15 malam kreshnapaksha sasih Manggakala, aku akan mundur dari takhta Hastinapura." Seluruh kerajaan di Jawadwipa-Hindustan kaget mendengarnya. Para raja seluruh Jawadwipa dan Hindustan bertanya-tanya siapakah raja selanjutnya di Hastinapura. Dengan pertimbangan sangat matang dari para sesepuh, pemilihan suara, dan kesepakatan bersama, para raja seluruh Jawadwipa dan Hindustan memilih Bambang Parikesit dijadikan raja Hastinapura berikutnya. Semua orang nampak bersorask sorai namun hanya Prabu Kismaka raja Trajutrisna, Prabu Wesiaji dari Pringgondani, Bambang Wisamuka dari Sindu banakeling, dan Mangkubumi Sarojakumara dari Sarojawinangun yang hanya diam begeming. Nampak dari raut wajah mereka menyimpan rasa tidak puas. Berita tentang terpilihnya Bambang Parikesit sebagai calon raja Hastinapura telah santer hingga ke Gandaradesa. Prabu Kretiwindu yang sengaja tidak ikut kesana melihat ada kesempatan baik dibalik terpilihnya Parikesit sebagai raja Hastinapura “hmmm sepertinya ini akan menarik. Baik aku mencari siapapun yang tidak puas dengan hal ini...hehehehe....” maka disusunlah rencana untuk kudeta Parikesit.
Dengan lidah yang tajam namun manis itu, dipujuklah para raja yang tidak suka dengan para Pandawa. Dimulai dari prabu Kismaka “heh...dengar ini prabu Kretiwindu...menurutku, eyang para Pandawa terlalu menonjolkan anak Abimanyu.dan lagi Parikesit hanya anak ingusan. baik aku saja yang kesana mengingatkannya dulu sebelum menjadi raja tak berguna .” “benar gusti prabu Kismaka. Tapi apa gusti ingat akan sejarah orang tuamu?” “maksudmu Kretiwindu? Yang aku tahu gusti ayahanda Sitija dan ibuku mati sebagai korban perang” Prabu Kretiwindu bercerita kalau sekitar tiga puluh lima tahun yang lalu, terjadi perang Wangsa Yadawa pertama yakni Perang Gonjalisuta. Perang antara Trajutrisna dengan Dwarawati. Perang itu disebabkan kelakuan pamannya sendiri yakni Samba yang bermadu kasih dengan ibu Kismaka yakni Dewi Hagnyanawati saat Kismaka baru lahir. Karena kelakuann Samba ini, Sitija membunuh Samba dengan dijuwing-juwing (mutilasi) dan Dewi Hagnyanawati bunuh diri. Akhirnya prabu Sri Kresna menghabisi Prabu Sitija dengan Cakra Widaksana. Mendengar kebenaran in, Prabu Kismaka langsung marah dan menggebrak meja takhtanya sampai rusak. “Eyang Prabu Kresna...Tegas benar Kau Membunuh AYAHKU! Dasar Iblis! Akan Ku Lumat Dia sampai Jadi Bubur.” “Maka dari itu, gusti. Untuk membalas kematian ayah dan ibumu, bantu aku juga untuk rekrut raja-raja lainnya. Aku lihat raja Pringgondani, Prabu Wesiaji juga tak suka. Bantu aku untuk membujuknya.” Mendengar nama Pringgondani disebut Kismaka makin naik darah. Teringat diingatannya bagaimana ayah dari Sasikirana, yakni Prabu Gatotkaca selalu menghalang-halangi ayahnya Sitija untuk berada di pihak Pandawa. Maka ia ingin mengadu domba para keturunan Gatotkaca agar saling berperang. Berkirim suratlah Prabu Kismaka dengan Prabu Wesiaji sang raja wakil Pringgondani untukmenyusun kudeta kepada Parikesit. Prabu Wesiaji juga diingatkan kembali bagaimana ayahnya, Brajadentha dulu dikalahkan oleh Gatotkaca saat penobatan sang Prabu Purbaya Karincingwesi (nama gelar Gatotkaca sebagai raja). Prabu Wesiaji teringat luka lama itu dan menjadi kesal. Maka ia pun mengajak salah satu putra Gatotkaca yang paling mungkin untuk diajak yakni Bambang Sasikirana. Di saat kedua adik Sasikirana sedang sowan ke Hastinapura, Prabu Wesiaji dan Kretiwindu mendatangi Bambang Sasikirana di rumahnya di puri Pringcendani. Dengan bujuk rayu manis, Prabu Wesiaji berkata “anakku Sasikirana.....kau masih ingatkan ketika masih kecil kau melihat dengan mata kepala sendiri ayahmu mati jadi tumbal para Pandawa di Bharatayudha? Ingatlah itu...sekarang para Pandawa hendak melantik orang yang jadi musabab kematian ayahmu? Aku harap kau bisa melihat mana yang baik mana yang buruk. Keputusanmu akan paman tunggu.” Prabu Wesiaji pun pergi berlalu. Sementara itu, di alam bawah sadar Sasikirana, tumbuh berontak dua kepribadiannya uyakni Sasikirana dan Megantara. Megantara berkata “sudahlah...lampiaskan dendammu kepada para Pandawa licik itu. Ayahanda juga meninggal gara-gara mereka” Sementara kepribadian lembut Sasikirana yakni Suryakirana menghalangi “jangan Sasikirana, bagaimanapun mereka itu eyangmu, mereka juga sangat menyesali kematian ayah. Ada alasan kenapa ayahanda gugur di Bharatayudha.” Kepribadian Megantara lalu menyerang kepribadian Suryakirana.
Kemarahan Sasikirana |
Syahdan ketika itu
Amarta kala itu sedang kosong hanya ada Prabu Pancakesuma sendiri. Patih
Wiwitsuh sedang keluar mewakilkan sang raja sowan ke Hastinapura karena Prabu
Pancakesuma sendiri lebih suka di Indraprastha daripada ke Hastinapura entah
apa alasannya. Lalu datanglah Prabu Kretiwindu “salam gusti anom Prabu.” “salam,
kakanda Kretiwindu. Ada apa kau datang kemari.” Kretiwindu pun berbasa-basi
“hanya kunjungan kerabat biasa. Melepas rindu pada seoirang raja yang bagaikan
bunga di tepi jalan.” Prabu Pancakesuma lalu berkata ‘Hah? Apa maksudmu
kakanda? Bunga di tepi jalan...aku jadi bingung.” Kretiwindu berkata “ya masakah gak tau kau?
Sebentar lagi kan adikmu Parikesit akan menjadi raja. Kau ini bagaimana? Kau
itu kan cucu langsung Prabu Yudhistira, kok malah adik sepupumu Parikesit yang
jadi raja di Hastinapura bukan kamu. Mana logikamu. Aku tidak rela kalau
eyang-eyang melakukan ketidak adilan seperti ini...aku sedih jadinya.” Pancakesuma
jadi murka “Diam kau, Kretiwindu! Aku tau apa yang dipikirkan eyang. Gak usah
ikut campur urusan kami.” Kretiwindu tak kurang akal “Hei! Hei! Jangan marah
begitu...sebelum kau marah pada orang yang salah, biar kau tahu sejarahnya” “sejarah?
Maksudmu apa?” “akan aku ceritakan kisah kelahiran adikmu si parikesit itu.”
Kretiwindu bercerita saat malam kelahiran Parikesit, ayah dan ibu Pancakesuma
yakni Pancawala dan Pergiwati sedang tidur bersama paman-paman dan ibinya
sesama keturunan pandawa yang tersisa di malam terakhir Bharatayudha. Lalu pada
malam itu juga datang pembunuh yang menghabisi mereka bersepuluh. Bukan hanya
itu, pamanya, Arya Drestajumena dan bibi Srikandhi turut dibunuh juga Dewi
Banowati, janda Prabu Duryudhana turut dihabisi. Tujuan pembunuhan itu untuk
menghabisi Parikesit yang saat itu masih dalam kandungan. Mendengar pejelasan
itu, Prabu Pancakesuma murka. Ia tahu penyebab kematian orang tuanya karena
keberadaan Parikesit “Jadi Begitu Ternyata! Eyang Prabu Kenapa kau sembunyikan
ini Ayah dan Ibu Meninggal gara-gara
Parikesit. Aku Akan Balas Kematian Mereka! Biar tau Rasa Dia! Kretiwindu aku
akan Membantumu. Akan Kubuat Hastinapura Lebur Menjadi Abu!” Tapi Kertiwindu
secara cepat melarang tindakan Pancakesuma. “ee…eeee.e.. sabar… sabar… gusti! Di Hastinapua sedang ada raja-raja
dari 1000 negara serta para investor konglomerat yang tengah hadir untuk
menyambut diangkatnya Parikesit. Jadi kalau gusti Pancakusuma kesana hari ini
pasti akan kalah” ungkap Kretiwindu untuk melerai kemarahan
Pancakesuma. “ibarat mancing ikannya
tapi sebisa mungkin tetep bening airnya” Kretiwindu menambahi. Dan
memberi masukan agar Prabu Pancakesuma menggagalkan pengangkatan Parikesit
ketika acara pesta akbar dilakukan di Hastinapura yaitu dengan membunuh
Parikesit sementara dia dan para raja lainnya akan membuat kekacauan di luar
beteng keraton.Usul tersebut diterima oleh Pancakusuma.
Singkat kata, para raja
hasil hasutan Kretiwindu pun bekerjasama membuat keadaan Hastinapura menjadi
kacau. Mereka menyebarkan kabar-kabar burung tentang politik kotor Parikesit
yang menyuap para tetua Hastinapura bahkan nama-nama Kakek Semar sebagai
pamomong yang agung dilecehkan sebagai punokawan gagal, punokawan licik, guru
mata duitan, guru ini dan itu dan ujaran kebencian sebagainya. Bukan Cuma berbagai
kabar burung, para pemberontak merusak berbagai sumber sadang pangan rakyat,
mematikan perekonomian, infrastruktur, menggunduli hutan dan sebagainya atas
nama Parikesit sebagai raja baru yang akan menggusur daerah mereka menjadi
kawasan elit. Rakyat pun murka, tumpah ruah kejalan-jalan melakukan
protes terhadap pemerintah Astina. Kerusuhan dimana-mana disegala penjuru Hastinapura
tidak dapat dielakan lagi, Rakyat melakukan penjarahan, membakar rumah-rumah
dan luapan kemarahan lain. Keadaan di istana tak ada bedanya, para pejabat diam
saja. Para Pandawa, Prabu Sri Kresna diam saja bergeming seakan membiarkan
kericuhan yang ada. Hal ini membuat Semar kecewa dan akhirnya minggat.
Parikesit sedih ditinggal para punakawan. Parikesit datang menggugat para tetua
“eyang-eyang sekalian, kenapa kalian diam saja ! tidak kah kalian lihat
kekacauan yang terjadi saat ini. Sudah jelas ada orang mencatut namaku dan
kakek Semar tapi sama sekali kalian tidak membelanya? Mana hati nurani kalian?”
apakah sudah matikah? Aku kecewa sekali dengan ini.” Parikesit mengalami
kebingunan. Semar yang merupakan penasihat negara di Hastinapura selama ini
telah terlanjur minggat. Padahal Semar, Gareng, Petruk & Bagong selalu
memberikan masukan-masukan penting dalam menghadapi berbagai masalah di Hastinapura
selama ini. Disisi yang lain Semar sangat nggondok atau kuciwo dengan ulah para
pejabat Hastinapura yang tak mendengar aspirasi rakyat. Aspirasi mereka bahkan
tidak dianggap.
Hari-hari pelantikan Parikesit yang tinggal menghitung hari dan krisis yang semakin membesar, telah membuat Hastinapura diambang kehancuran. Parikesit mengerahkan bala tentara dan para kesatria mereka untuk menangani konflik. Setelah itu diadakan lah rapat darurat antar sesama muda-mudi para keturunan Pandawa dan Kurawa. Rapat itu dilaksanakan di kerajaan bawah tanah di Saptapertala. Mereka yang hadir yakni adik-adik Sasikirana yaitu Suryakaca dan Jayasumpena diiringi sepupunya sesama para cucu Wrekodara yakni Arya Danurwenda, Arya Jayasena, Arya Srenggamurti, dan Endang Pancaseni datang lalu disusul adik-adik sepupu Parikesit sesama cucu Arjuna yakni Wiratmaka putra Irawan , Wisangkara putra Wisanggeni, dan Harya Dwara putra Samba dengan Sunggatawati. Turut datang juga cucu Yudhistira yang lain yakni Endang Yodeyi putra Harya Yodeya, cucu Nakula dan Sadewa yakni Bambang Niramitra dan Bambang Suhatra.
Rapata antara keturunan Pandawa dan Kurawa |
Singkat cerita semua
divisi bergerak mengumpulkan informasi. Di tengah kerusuhan mendekati hari
pelantikan, mereka sangat membaur. Dari informasi-informasi itu terkumpul satu
pola yang sama yakni mereka berkumpul di satu tempat yakni sebuah hutan di perbatasan
Gandaradesa. Semua info telah didapat.diadakan lah penggeledahan mereka
menemukan ada bekas altar pemujaan kepada iblis dan juga ruangan rapat strategi
dan mapaknya mereka sudah pergi lama sekali namun merka berhasil mendapatkan
salah satu informan itu bahwa dalang itu semua adalah Prabu Kretiwindu. Kini tinggal satu hal lagi yakni mencari
kemana minggatnya kakek Semar. Kali ini Parikesit sendiri akan ikut mencari
memakai nama samaran Paripurna. Setelah pencarian diseluruh penjuru negeri, Kakek
Semar berhasil ditemukan di Desa Widarakandang, bersama Dewi Radha dan Dewi
Rukmini. namun kakek Semar tidak mau ditemui Parikesit. Singkat cerita
diutuslah Endang Pancaseni menemui Semar dirumah Dewi Radha. “salam eyang dewi
Radha.” “salam cucuku, Pancaseni. Apa kamu ingin bertemu dengan kakek Semar.
Beliau menunggumu di kamar.” Endang Pancaseni lalu datang masuk ke kamar dan
berdiskusi.. Kakek Semar pun berkata “cucuku, kamu harus hati-hati. Macan yang
terlihat tenang jangan dianggap sedang kenyang. justru dia sedang dalam keadaan
berbahaya.” Endang Pancaseni agak binguing namun ia berjanji akan waspada
begitupun yang lainnya. Lalu Paripurna masuk ke rumah dan membuka samarannya
“eyang buyut, maafkan aku eyang. Aku jujur sedang bingung kemana harus mengadu.”
“cucuku, sebenarnya para tetua juga sedang berusaha mencari tahu siapa penyebab
dari segala kerusahan ini dan minggatnya aku itu bukan karena tak suka
melainkan para tetua mendapat kabar kalau di kerusahan itu ada orang-orang kita
yang terlibat.itu sebabnya aku minggat untuk menyelidiki itu” Kakek Semar pun
berkata berhasil membawanya.” Kakek Semar lalu menunjukkan siapa korbannya.
Ketika memasuki kamar kosong di pojok dekat kamar mandi, ada orang yang sedang
diikat dengan rantai dan ditutup kain di matanya. Ketika Parikesit membuka
penutup itu, Tak disangka orang itu ialah Bambang Sasikirana. “kakang
Sasikirana?” suara Parikesit terdengar membuat berberapa cucu Pandawa datang.
Di sana Sasikirana marah-marah dengan tangan terikat “bajingan kalian, Parikesit...gara-gara
bapakmu. Bapakku mati sebagai tumbal Bharatayudha!” Suryakaca segera mentotok tubuh
abangnya itu. Setelah Sasikirana sedikit tenang, Suryakaca segera memanggil
Jayasumpena untuk melepaskan ikatan abang sulung mereka itu“ Adhiku cepat bantu
aku lepaskan ikatan kakang Sasikirana “ teriak Suryakaca kepada Jayasumpena.
Baik kakang Kaca! Kakang Sasikirana bertahanlah!” setelah berhasil lepas,
rupanya Sasikirana yang sudah dikuasai kepribadian Megantara berpura-pura
pingsan lalu segera terbang keluar dan mengobrak-abrik sekeliling desa
Widarakandang dengan membawa angin besar.
Keadaan desa benar-benar kacau balau. Dewi Rukmini dan Dewi Radha dibuat kalang kabut. Penduduk Widarakandang dilanda kepanikan. Di angkasa, Sasikiana berkata “Hahahah...Kalian Mudah Sekali Ditipu...Akan Ku obrak-abrik desa ini Lalu Ku Obrak-Abrik Hastinapura..... Kalian Harus Membayar Kematian Ayah Dan Ibuku.” Ucapan Sasikirana itu membuat kesabaran Suryakaca dan Jayasumpena habis. Mereka segera mengeluarkan kekuatan masing-masing. Suryakaca juga ikut terbang menghajar Sasikirana di angkasa. Jayasumpena dengan tangan mengepal, ia mengeluarkan tapak kilat Brajamusthi. Seketika muncul angin dan topan badai dengan halilintar menggemuruh menghantam Sasikirana. Tak terima dikeroyok dua adiknya, Sasikirana terbang berputar-putar dan melambari angin buatannya dengan tapak api Brajadentha. Seketika, muncul angin dengan api panas membakar dan menghanguskan seisi desa Widarakandang. Para cucu Pandawa segerta membantu evakuasi warga. Namun rupanya Danurwenda ikut berang dengan tingkah adik sepupnya itu maka ia bertukar wujud menjadi naga dan mencaplok Sasikirana dan membenamkannya ke bawah tanah. Tak terima diserang dari belakang, Sasikirana balas menyerang Danurwenda dengan berubah menjadi Garudhayaksha. Ia mengangkat Naga Danurwenda dan menghajarnya di angkasa. Diantara keduanya tak ada yang kalah maupun menang. Hal itu mengingatkan kakek Semar dengan pertarungan Antareja dan Gatotkaca dahulu. Sementara Danurwenda dan Sasikirana bertarung, Suryakaca dan Jayasumpena segera membuat kombo jurus Tapak Cakrabayu dan tapak kilat Brajamusthi.
Sasikirana Mbalela |
Begitu Sasikirana sudah
benar-benar lemah, kakek Semar menjelaskan bahwa ia meracau-racau dan menyerang
para saudaranya sendiri karena masih trauma kehilangan bapaknya. Ditambah,
kakek Semar juga melihat ada aura gelap melingkupinya. Sepertinya ada orang
yang berhasil mengguna-guna dan membuat traumanya bertambah parah bahkan tanpa
disadari Suryakaca dan Jayasumpena, kepribadian jahat milik Sasikirana semakin
kuat dan menguasai Sasikirana. “Lepaskan Aku! Keparat! Aka kubunuh penyebab bapakku mati!” tak dinyana
Danurwenda menampar adiknya itu “Dinda! Sadarlah! Kau pikir kau sendiri yang
kehilangan ayahmu! Adikmu Suryakaca Juga Jayasumpena Mereka Yang Paling
Menderita! Bukan Cuma Yatim Piatu, Mereka Juga Kehilangan Figur Kakak Yang
Lembut! Biar Aku Beritahu Kau. Bukan Cuma Paman Prabu Gatotkaca Yang Mati Di Bharatayudha!
Bapakku Antareja! Pamanda Antasena! Pamanda Srenggini! Pamanda Resi Pancasena!
Bahkan Bapak-Bapak Kita Semua Menjadi
Korban Bharatayudha!.” Aku Juga Melihat Bagaimana Ayahandaku Mati Di Depan
Mataku! Tapi Aku Tak Punya Dendam Apapun Karena Aku Sadar Itu Sudah Takdirnya
Terlepas Dari Campur Tangan Siapa! Itu Semua Demi Kita Yang Sekarang Hidup
Lebih Baik!” Sasikirana pun tak mampu lagi menahan kesedihannya lalu
menumpahkan segala duka, marah, rindu, dan kecewanya di dalam tangis
penyesalan. Seluruh saudara memeluk Sasikirana dan berkata pada Sasikirana.”kakang
jangan sedih sendirian! Kami ada di sini bersamamu. Berbagilah semua perasaan
itu.” Di dalam alam bawah sadar Sasikirana
perlahan tapi pasti, penjara amarah yang mengurung Suyakirana pudar dan
bisa dihancurkan. Kepribadian Megantara berhasil dikalahkan kepribadian
Suryakirana. Kemarahan Sasikirana mereda dan taring di mulutnya mengecil. “kakang
Danurwenda! Adhi-adhiku Suryakca dan Jayasumpena! Jayasena! Srenggamurti!
Pancaseni! Dinda Parikesit! Maafkan aku! aku telah kehilangan rumah dalam waktu
lama. Tapi Sekarang Aku Kembali. Aku kembali menemukan rumahku kembali! Kalian adalah
rumahku!” semua pun bergembira dan bahagia. Semar pun menyetujui komitmen
politik dari Parikesit. Semar bersama Gareng, Petruk dan Bagong bersama rakyat
lainnya akhirnya kembali ke Hastinapura dan membantu mengelesaikan krisis yang
tengah terjadi disana. Ditempat yang lain bala pasukan Hastinapura menggempur para
perusuh setelah mengetahui bahwa mereka yang berulah atas terjadinya krisis di Hastinapura
itu. Rupanya yang berhasil ditangkap ialah Bambang Wisamuka, putra Jayadrata
dan Sarojakumara putra Lesmana Mandrakumara. Namun malang untuk Prabu Wesiaji.
Ia memilih bunuh diri dengan menusuk dirinya sendiri saat terdesak berhadapan
dengan seorang pria misterius. Menurut prajurit yang ada di sana, prajurit itu
datang dan menakut-nakuti Prau Wesiaji lalu tak dinyana, Prabu Wesiaji
menabrakkan diri ke keris yang dipegang pria itu. Lalu sang pria misterius itu
pergi entah kemana. Mereka yang tersisa akhirnya dimasukkan ke penjara untuk
diadili. Selama di penjara, kepribadian mereka seperti berubah-ubah kadang baik
kadang buruk. Melihat pola yang sama dengan Sasikirana dapat disimpulkan bahwa
ini bukan sekadar kerusahan fisik saja melainkan juga memakai kata-kata verbal yang
dilambari ilmu hitam.
Pas dihari acara pelantikan digelar, kericuhan di Hastinapura sedikit mereka. Pancakusuma dan Prabu Kismaka datang keacara tersebut bersama 1000 pejabat dan konglomerat dari negara lainnya. Ketika mendekati Parikesit untuk menyalami dan memberikan ucapan selamat, Pancakusuma tetiba krodha menjadi raksasa besar. Bumi Hastinapura tergoncang menyambut perubahan wujud dari Pancakusuma. Suaranya lantang bagai angin topan yang menderu-deru. Seluruh isi istana kelabakan. “kau telah menipuku Parikesit, aku yang harusnya berhak atas tahta Hastinapura. Kalian telah menghianati aku. Kau adalah penyebab kematisan ayahanda dan ibundaku.” ujar Pancakusuma yang sedang berupaya memakan Parikesit yang hanya sebesar jempol kakinya. Para cucu Wrekodara segera mengamankan keadaan dengan menyerang raksasa jelmaan Pancakesuma. Kismaka pun ikut menyerang sang eyang, Prabu Sri Kresna. Pertarungan antara cucu dan kakek terjadi sengit di tengha pelantikan. “kakek keparat...kau lebih memilih membunuh ayahku daripada menghukum paman Samba. Lihat Dwara sekarang enak-enakan disini. Ayahku akan sangat bahagia kalau aku bisa membalas kematiannya.” “apa maksudmu? Aku memang membunuh ayahandamu tapi aku punya alasan dan tidak punya pilihan lain.” Begitu mendengar alasan khusus itu, Prabu Kismaka lengah dan bisa dihajar dengan Aji Kesawa milik eyangnya. Seketika itu Kismaka limbung dan jatuh. Lalu Prabu Sri Kresna duduk dan bersemadi. Ia masuk ke alam bawah sadar Kismaka dan memberikan penglihatan kepadanya. “lihatlah itu cucuku.” Munculah gambaran tentang peristiwa Gonjalisuta dulu. Terlihat alasan khusus itu yakni karena Samba menggoda ibu Kismaka begitu pula sebaliknya, ternyata Dewi Hagnyanawati, ibu Kismaka sudah bermain api dengan Samba. Hal itu membuat Sitija murka lalu membunuh Samba dan menyebabkan sang isteri bunuh diri. Kebimbangan Sri Kresna harus menghukum siapa akhirnya ia bertanya pada nenek Kismaka yakni Dewi Pertiwi. Dewi Pertiwi mengizinkan agar anaknya dibebaskan dari dosanya membunuh Samba.” Ayahanada Ibunda...” Kismaka terduduk lemas dan meminta maaf “Eyang aku sudah salah paham. Kakang Kretiwindhu berkata padaku kalau ayahnda dan ibunda meninggal karena keegoisan seseorang. Ternyata itu bukan karena keigoisan eyang semata tapi juga karena kebimbangan hati eyang dan eyang Pertiwi yang mengizinkan ayahanda dibunuh saja.” Prabu Sri Kresna pun memeluk Kismaka “maafkan eyang ya nak....kalau ada ajian memutar waktu aku ingin memperbaiknya tapi aku sendiri tidak mampu......sebentar lagi dosa dosa yang dilakukan eyangmu ini akan dibayar lunas pada waktunya.” Di alam nyata Sri Kresna memeluk Kismaka dengan penuh kehangatan. Kismaka pun menyesal dan memaafkan sang eyang. Semar datang pada waktu yang tepat. Dengan seketika dia bertukar wujud juga. Semar berukar wujud menjadi Batara Ismaya. Semar berpakaian indah gemelapan ditimpa cahaya seterang matahari. Seluruh istana menghormat kepadanya.
Pancakesuma Mbalela |
Arjuna merasa kesal
karena hasutan seorang Kretiwindu, pelantikan yang harusnya bahagia hampir
berubah menjadi sebuah tragedi. Dengan kemarahannya, Arjuna menmbakkan panah ke
arah Kretiwindu. Kretiwindu yang melihat itu lari menyelamatkan diri namun
terlambat. Panah itu telah menancap di dadanya dan membuatnya jatuh kehilangan
nyawanya. Pesalah sudah duhukum namun Dangyang Suwela, orang yang juga dicari
itu dari pelacakan raja mbalela sampai saat ini belum juga ditemukan. Ia
menghilang bagaikan asap. Setelah prosesi pemakaman Kretiwindu usai, acara
pelantikan dilanjutkan setelah sempat tertunda selama beberapa hari. Disaksikan
para tetua Hastinapura, prabu Sri Kresna melantik para keturunan Pandawa dan
keturunan para Kurawa sebagai penerus kerajaan. Prabu Parikesit, putra Abimanyu
dilantik menjadi raja Hastinapura dengan wakilnya yakni Harya Dwara, putra
Samba. Prabu Pancakesuma yang berhasil disadarkan lalu kembali dilantik ulang sebagai
raja Amarta dan tugas patih tertap dipegang Patih Wiwitsuh dengan didampingi
putranya Yuyutsena, Kurawa yang masih tersisa. cucu Nakula yakni Bambang
Niramitra dan Endang Pritawati, putra dan putri Pramusinta dengan Rayungwulan
dan cucu Sadewa yakni Niken Sayekti dan Bambang Suhatra, putra dan putri dari
Sabekti dan Pramuwati dan turut hadir disana . berkat kecerdasan dari para cucu
Pandawa atas jasa-jasa mereka menjalankan misi sebelum pelantikan dan
pengusutan terhadap pencemaran nama baik Parikesit dan Kakek Semar, Cucu Ajuna
yang lain yakni Bambang Wiratmaka, putra Irawan dan Bambang Wisangkara, putra
Wisanggeni dilantik sebagai kepala bhayangkari dan telik sandi Hastinapura.
Putra pertama Prabu Gatotkaca yakni Prabu Sasikirana dilantik sebagai raja
Pringgandani. Kedua adiknya yakni Bambang Suryakaca dan Arya Jayasumpena
menjadi patih dan kepala bhayangkari kerajaan. Arya Danurwenda, putra Antareja
menjadi raja Jangkarbumi dan Jayasena, putra Antasena, dilantik sebagai
Haryapati Parangjaledri bergelar Haryapati Antasurya. Aya Srenggamurti dilantik
pula sebagai raja Gisiksamodra dan Endang Pancaseni menjadi kepala Komnas
Perempuan se Jawadwipa dan Hindustan
mendampingi Endang Yodeyi. Dibawah kekuasaan Parikesit dan Pancakesuma,
Kerajaan Hastinapura dan Amarta memutuskan untuk membentuk poros
Indraprastha-Kurugangga-Awangga-Sindu-Dwaraka-Mandura-Madra dengan demikian
akan memudahkan segala sesuatunya dan perekonomian mengalir lancar. Sejak rapat
darurat itu, Prabu Parikesit semakin akrab dengan Prabu Warsaka, putra Bambang
Warsakusuma, cucu Adipati Karna. Selain itu, Prabu Surata, putra Jayadrata
dengan Dewi Durshilawati semakin mempererat jalinan persahabatan dengan cucu
Arjuna itu. Sesekali Dewi Durshilawati juga datang untuk menjenguk putranya,
Wisamuka yang masih direhabilitasi sejak keluar dari penjara sehari setelah
pelantikan Parikesit. Nampaknya Wisamuka punya mengalami berat semenjak bertemu
Kretiwindu. Kapok rasanya harus berurusan dengan keturunan Sengkuni.
Beberapa hari setelah pelantikan Parikesit sebagai raja baru, Para tetua Hastinapura yakni Dewi Kunthi, Dewi Gendari, Adipati Dretarastra,
dan Arya Widura secara bersamaan mendapatkan mimpi melihat cahaya dan terdampar
di taman bunga. Karena mimpi itu, mereka memutuskan untuk meninggalkan keraton
dan menjalani hidup sebagai seorang pertapa. Singkat cerita, para tetua sampai
di hutan di kaki bukit dan mulai bersemadhi. Selama berhari-hari, mereka duduk
diam sehinggalah di hari yang teramat terik panas di musim kemarau, hutan
tiba-tiba terbakar dan api mengepung mereka dari segala penjuru. Namun semuanya
tetap khusyuk bersemadhi sehingga mereka pun lemas kehabisan nafas dan ikut
terbakar. Kabar itu terdengar hingga ke telinga para Pandawa, Prabu Sri Kresna,
Begawan Curiganata, dan para cucu. Berdukalah seantero Jawadwipa.