Hai semua pembaca dan penikmat kisah pewayangan, kisah kali ini adalah akhir dari perang Bharatayudha, yakni pertarungan terakhir Bhima Wrekodara dengan Prabu Duryudhana yang berakhir dengan kekalahan Duryudhana dan balas dendam Aswatama kepada Para Pandawa. Kisah ini mengambil sumber kitab mahabharata karya Mpu Vyasa, Serial Kolosal India Mahabharat Starplus, Blog Kerajaan Dongeng: Duryudana Gugur, Duryudana Gugur | Budaya Jawa, dan Bharatayudha (8) Rubuhan – Duryudana Gugur | Wayang Indonesia dengan penambahan dan perubahan seperlunya.
Masih di hari yang sama, Di Grojogan sewu, Prabu Baladewa melihat air terjun telah berubah memerah darah bercampur bau amis. Prabu Baladewa sadar bahwa perang telah berlangsung. Bunga teratai yang dikatakan Sri Kresna akan mekar rupanya sudah mekar dengan sempurna. Bambang Setyaka, putra Kresna yang ditugaskan ayahnya untuk menjaga pamannya itu mengungkapkan yang sebenarnya. Setyaka menjelaskan bahwa perang sudah berlangsung dan hampir berakhir. Menurut kabar dari ayahnya, Setyaka bercerita " uwa prabu, sekarang Bharatayuda sudah berlangsung, tinggal menunggu antara uwa Prabu Duryudhana atau paman Arya Wrekodara yang jadi pemenang."
Baladewa marah kepada Arya Setyaka |
Di tempat lain, Di sebuah kubangan kolam darah, Prabu Duryudhana
mandi berendam untuk mengingat-ingat dan merenungi segala dosanya kepada
Pandawa setelah menyaksikan kematian Sengkuni. Di saat yang sama Prabu Baladewa
yang baru tiba segera mengajak salah satu murid kinasih sekaligus iparnya itu
ke medan laga. “adhi prabu, ayo kita selesaikan perang ini....kalah atu menang
biarlah dewa yang akan menentuan.” Tapi sebelum itu, Prabu Duryudhana akan ke
kemah perang dulu untuk berpamitan kepada keluarganya “Tentu saja, kakang guru,
tapi biarkan aku ke kemah dulu...aku mau pamitan kepada Eyang Krepa dan dinda
dewi banowati.”Prabu Baladew setuju dan segera menuju kemah.
Di balairung kemah
perang, Prabu Duryudhana datang lalu memanggil Resi kerajaan Mpu Krepa.
Duryudhana mewasiatkan kepada mereka " bopo Rsi Krepa...aku titipkan
Hastinapura kepada bopo dan jagalah adinda intan payungku Banowati. Aku merasa
waktuku sudah tak lama lagi. Aku akan beradu gada melawan Bhimasena.
Barangsiapa diantara kami yang menang, bopo harus menjaga Hastinapura segenap
jiwa raga dan taatilah siapa pemenang perangnya karena dia yang dibawah
lindungan Hyang Widhi." Prabu Duryudhana pun mengunjungi kemah istrinya
itu dan berpamitan "dinda Banowati....tak lama lagi entah aku atau dindamu
Bhimasena akan gugur sebagai kusuma negara. Sudah habis semua pepunden harta
dan persediaan makanan, beserta orang-orang terkasih telah gugur dalam
peperangan ini. Eyang Bhisma, telah tumbang membela negeri. Guru kami Dorna,
pun telah tiada lalu suami dari kakakmu Srutikanti, sahabatku Kakanda Karna,
pun gugur setelah menjadi senapati Hastina melawan dinda Arjuna. Kakakmu
Surtikanti, mati bela pati, setelah melihat kematian suaminya.begitu juga
ayahanda Salya juga gugur beberapa jam lalu....” geram Duryudhana membayangkan
gugurnya para jagoan-jagoan andalannya dalam pertempuran itu. Apabila aku
menyerah nanti , sia-sia perjuangan
adik-adikku, kakanda Karna, guru Dorna, dan Eyang Bhisma lalu akan mengutukku
di akhirat nanti. Maka dari itu, selama aku masih bernafas, tak akan ku
menyerah sejengkal pun."
Banowati menghela nafas
dan berkata dengan lirihnya “Bukankah Pandawa itu kan masih saudara kita
sendiri toh, kakanda? Kakanda cukup memberikan hak-hak mereka dari sepenggalan
tanah di Hastinapura yang kakanda rebut, bukankah Ayahanda Prabu Salya pun
telah bersedia memberikan negeri Mandraka bila kakanda menghendakinya, jadi
perang saudara ini pun tidak perlu diperpanjang lagi kan?” pedih hati Banowati
tidak berdaya.“Ooooh dinda Banowati, mengapa dinda tidak mengerti bagaimana
perih hati ini menyaksikan kemenangan sedikit demi sedikit diraih Pandawa.
Meskipun itu tidak diperolehnya dengan cuma-cuma. Sudah banyak prajurit,
penggawa bahkan anak-anak kami baik di pihak Pandawa maupun pihakku yang gugur
demi negara masing-masing. Tapi Pandawa tetap lima sedangkan Kurawa sudah
nyaris pupus. Karenanya restuilah suamimu ini untuk maju ke medan laga. Perang
hanya menghasilkan dua pilihan. Antara menang… atau kalah sebagai pecundang,
antara hidup… atau mati meregang nyawa. Itu yang kanda sadari dan tentunya
dinda tahu bagaimana cinta kakanda kepadamu. Dari awal kita menikah hingga kini
tiada berkurang, bahkan terus bertambah dari waktu ke waktu. Cintaku memang
buta, tidak peduli akan terpaan, hinaan, tertawaan, ejekan sindiran, cibiran
bahkan kejadian buruk apapun itu dan sekalipun itu datang dari gejolak di
hatimu, yang setidaknya aku sudah ketahui semuanya.” Dengan lembutnya Duryudhana
mengungkapkan hal itu. Sungguh pamitan yang mungkin saling tak bersambut.
Banowati menjadi sedih karenanya namun mau apa dikata ia tak mampu mencinta
setulus hati kepada suaminya. Cintanya hanya mampu tercurah pada Arjuna. Dalam
lamunan, Banowati memikirkan kenapa takdir cintanya begitu rumit, derita cinta
ini tiada akhir.
Singkat kata, semua orang berkumpul di tegal Kurusetra. Sebagai wasit ialah Prabu Baladewa, orangnya jujur dan menjunjung tinggi keadilan sementara pendiriannya tidak memihak Kurawa maupun Pandawa walau dirinya masih bersaudara dengan mereka. Wrekodara yang juga mengharapkan dirinya mendapat kesempatan untuk melawan Duryudhana segera maju ke depan membawa gadanya yang sebesar kepala. Baladewa memberi ketentuan bahwa pertarungan ini adalah antara dua ksatria dan tidak boleh ada pihak ketiga. Prabu duryudhana punberkata dengan lantang kepada Arya Wrekodara “Bhima, kau telah menghisap dan merobek-robek dada adikku Dursasana dan menghabisi adik-adikku yang lain...bersiaplah kau untuk kalah!” Arya Wrekodara pun membalas kata-kata Duryudhana “salahmu Dhewe kakangku......awakmu seng buat gara-gara dengan merebut kerajaan kami dan menghina Yundaku Drupadi! Saiki rasakno kemarahanku!”
Pertarungan Bhima vs Duryudhana |
Pada sore hari ke delapan
belas itu, Bharatayudha resmi diakhiri. Bhima telah berhasil mengalahkan sang
raja Hastinapura pemimpin seratus Kurawa. Dalam keadaan sekarat, Duryudhana
menyatakan bahwa dirinya siap mati jika ditemani pasangan hidupnya, Banowati.
Atas nasihat Kresna, Bhima pun mengambil Sengkuni yang masih sekarat untuk
diserahkan kepada Duryudhana. Prabu Duryudhana yang sudah kehilangan
penglihatannya akibat luka parah segera menggigit leher Sengkuni yang dikiranya
Banowati. Akibat gigitan itu, Sengkuni pun tewas seketika. Prabu Duryudhana
lalu tak sadarkan diri. Para Pandawa pun memerintahkan para prajurit yang masih
tersisa untuk menyiapkan upacara ngaben kepada sang raja Hastinapura. Para Pandawa
lalu meninggalkan jasad Duryudhana di sana untuk bersiap-siap. Namun Duryudhana
yang masih bertahan terus memanggil-manggil sahabatnya Bambang Aswatama dan adiknya
yang terakhir, Kartamarma. Ia tahu kalau baik Aswatama maupun Kartamarma masih
di sekitar Tegal Kurusetra.
Berita kemenangan Pandawa
dan kalahnya Duryudhana terdengar oleh Aswatama yang mengembara menunggu waktu
untuk pembalasan dendam kepada para Pandawa. Bambang Aswatama mencari
keberadaan sang raja Hastinapura itu. Sayup-sayup terdengar suara teriakan yang
lirih dari tengah lapangan yang telah banjir darah dan abu jenazah itu. Di
tengah Tegal Kurusetra, Aswatama menemukan Duryudhana yang sudah sekarat
menunggu ajal. " sahabatku, Duryudhana. Bertahanlah aku akan menyembuhkanmu."
Di sisa tenaganya, Prabu Duryudhana berkata " tidak usah, sahabatku.
Aku....sudah mengakui kekalahanku. Sekarang, kau...harus tunduk
kepada....saudara kita, para Pandawa......aku berharap....para Pandawa akan
mendoakan ku sehingga....... dosa yang ku perbuat selama hidupku.... diampuni
Dewata....sekarang kau harus ke kemah Pandawa di Upalawaya sana.....menyerahkan
baik-baik....ini permintaan terakhir......dari sahabatmu!" Setelah berkata
demikian, prabu Duryudhana pun gugur. Aswatama menangis meraung -raung.
Kematian para Kurawa khususnya Prabu Duryudhana telah menjadi alasan kuat untuk
menyerang kemah Pandawa malam ini.