Sabtu, 26 Oktober 2024

Banjaran Sri Kresna Episode 3 : Amukan para Raksasa di Gokula

 Hai hai.......Selamat datang kembali....... Btw, kisah kali ini mengisahkan keadaan masa kanak-kanak Sri Kresna di padukuhan Gokula. Kisah diawali dengan Hadimanggala yang harus tinggal terpisah bersama Ki Adirata, lurah desa Petapalaya yang tak lain orang tua angkat Aradeya (Adipati Karna), tipu daya Ditya Keshin, si raksasa berwujud kuda raksasa, pembebasan hutan Entalsewu dari tangan Kangsa dengan terbunuhnya sang penjaga hutan itu yakni Janggan Dhenukasura. Kisah diakhiri dengan usaha balas dendam Ditya Bakasura kepada Narayana karena terbunuhnya Kotana namun berakhir tewas. Sumber kisah ini berasal dari blog https://kisahspiritualtaklekangzaman.wordpress.com/2017/08/11/krishna-kecil-keshi-kejatuhan-keangkuhan-diri-srimadbhagavatamhttps://kisahspiritualtaklekangzaman.wordpress.com/2017/07/30/krishna-kecil-balarama-menaklukkan-hawa-nafsu-dhenukasura-srimadbhagavatam/ , https://kisahspiritualtaklekangzaman.wordpress.com/2017/07/26/krishna-kecil-melenyapkan-pola-pikiran-keliru-bakasura-srimadbhagavatam/, Serial animasi Little Krishna, Serial Kolosal India Radha Krishna Starbharat, lakon Wayang ki Purbo Asmoro yang berjudul Kresna Lair, dan sumber lainnya.

Keangkuhan Ditya Keshin

Waktu berjalan bagaikan kilat. Tak terasa para putra Mandura kini sudah berusia 8 tahun. Pada suatu hari, Nanda Antagopa mendapat mimpi bahawa ia harus membawa salah satu putranya yakni Hadimanggala kepada Ki Adirata, seorang kepala desa di desa Petapalaya dekat wilayah Awangga, salah satu wilayah bawahan Hastinapura yang pusat penghasil kereta kencana dan kusir kereta. Dalam mimpi itu, ia mendapat penglihatan apabila Hadimanggala diasuh Ki Adirata maka ia kan menjadi orang besar di kemudian hari. Ia pun menceritakan mimpinya itu kepada Niken Yasodha. Awalnya Yasodha menolak namun keesokan harinya, Yasodha juga mendapat penglihatan yang sama. Setelah menimbang-nimbang dengan matang, akhirnya Niken Yasodha pun mengizinkan Hadimanggala pergi dan diasuh oleh Ki Adirata. Dengan air mata berlinangan, Yasodha memeluk Hadimanggala untuk terakhir kalinya sebelum pergi “Hadimanggala, kamu yang baik ya sama ayah barumu. Kalau sudah berjaya, pulanglah. Ibu akan menunggumu.” Hari itu adalah hari yang berat juga bagi abang dan kakak Hadimanggala terutama bagi Pragota karena akan ditinggal oleh adik kandungnya.

Salah seorang ajudan Adipati Kangsa adalah Ditya Keshin merasa geram. Ditya Keshin mempunyai dendam yang mendalam kepada Narayana karena telah menghabisi Trinarwata sahabatnya. Selain Trinarwata, kabar Nyai Kotana yang dibunuh oleh Narayana saat masih bayi juga membuatnya penasaran. Keshin yang penat mendengar teman-temannya dihabisi ingin menunjukkan kelebihan kekuatan dan kepatuhannya kepada Adipati Kangsa dengan mengambil wujud seekor kuda raksasa “tuanku Kangsa, izinkan aku datang ke tempat Nyai Kotana dan sahabatku Trinarwata tewas. Aku akan membawa kepala dari pembunuh teman-temanku dan ku persembahkan padamu, tuanku.” “baiklah Keshin, aku mengizinkanmu dan bawa kepala dari malaikat kematianku itu ke hadapanku!”. Kecepatan larinya secepat pikiran, dan suara ringkikannya menimbulkan badai. Batu-batu yang ada di jalan yang dilewatinya tersepak hingga beberapa puluh meter. Keshin langsung menuju dukuh Gokula dan mencari Narayana.

Agar tidak mencolok perhatian, Ditya Keshin menyamar sebagai seorang ajar (pandita) bergelar Begawan  Jaranbergola dan membuat sebuah padepokan di pinggir hutan. Di sana, para orang durjana dan perompak belajar ilmu kesaktian. Pada suatu hari, saat ia mengajar, sang begawan Jaranbergola ditemui seorang mata-mata Kangsa bernama Janggan Dhenukasura. Ia adalah telik sandi yang mampu berubah wujud menjadi kimar (keledai). Ia bertukar kabar dan informasi tentang malaikat kematian Adipati Kangsa “sahabatku, sang begawan..... aku tahu bagaimana ciri-ciri orang yang menghabisi teman-teman kita.” Begawan Jaranbergola alias Keshin antusias “bagaimana ciri-cirinya? Bagitahu padaku, Dhenukasura!” Dhenukasura pun menjabarkan ciri-cirinya: seorang anak lelaki memakai jarik batik berwana kuning, membawa banshuri (seruling), dan memakai mahkota bulu merak. Setelah menjabarkan semuanya, Dhenukasura pamit untuk kembali ke pos jaganya di bagian hutan lainnya yakni hutan Entalsewu

Dengan persiapan yang matang, Begawan Jaranbergola memerintahkan murid-muridnya yang menjadi begal dan rampok bergerak hendak mengacau dukuh Gokula demi mencari anak yang menjadi incarannya. Sementara itu, jauh dari desa di pinggir padang rumput, para gembala muda menggembalakan anak-anak sapi dan lembu. Salah seorang gembala muda bernama Madhu Manggala bermain bersama teman-temannya diantaranya adalah anak-anak Nanda Antagopa.

Narayana bertarung dengan Jaran Keshin
Diantara anak-anak itu, Narayana yang nampak paling supel dan gemar bercanda. Semua orang suka kepadanya termasuk Madhu manggala. Di suatu kesempatan, Madhu Manggala bermain lalu mendekati Narayana. Madhu Manggala berkata kalau ia bangga berteman dengannya malah ingin sepertinya.lalu Madhu bertanya “Narayana...aku boleh gak pinjam jarik, seruling dan mahkotamu? Aku ingin jadi seperti kamu” Narayana mengizinkan. “boleh, Madhu.” Setelah bertukar pakaian, Madhu Manggala izin kembali ke pedukuhan untuk sekedar bermain-main dan berpura-pura menjadi Narayana.Narayana dan teman-teman gembalanya agak risau, maka mereka diam-diam mengikuti Madhu Manggala. Benar kerisauan Narayana, mereka melihat dukuh Gokula kacau dan di tengah jalanan desa yang sepi, nampaklah Madhu Manggala yang asik dengan dunianya tiba-tiba didatangi orang-orang suruhan Begawan Jaranbergola. “Hahahaha...akhirnya kita menemukan anak yang dicari-cari guru kita, malaikat kematian Kangsa.!” Madhu manggala terkejut dan berkata “aaa..aku..aku bukan malaikat!”  salah satu diantara suruhan Jaranbergola berkata “kau memang bukan malaikat, karena kami akan mengantarkanmu ke dalam kematian!” kata-kata itu membuat Madhu Manggala takut dan pingsan. Lalu datanglah Narayana, Kakrasana, dan Udawa mengalihkan mereka. Kakrasana segera menghajar orang-orang itu dengan kemampuan gulatnya dan Udawa mengevakuasi Madhu Manggala ke tempat aman. Beberapa dari suruhan Jaranbergola berhasil kabur. Kakrasana berhasil membawa satu yang tertangkap. Meski masih berusia tujuh tahun, kakrasana sudah terkenal dengan sifatnya yang keras tapi juga lembut. Ia lalu mengintrogasinya “hei paman, katakan siapa yang menyuruhmu! Katakan atau kau merasakan pukulanku!” karena ketakutan, orang itu mengatakan apa-apa yang ia ketahui. Kakrasana pun melepaskannya. Ketika ingin memberitahukan itu kepada Narayana, Kakrasana mendapati adiknya itu tidak ada dimana-mana. “aduuh...Kanha...kau ini menghilang. Kakang Udawa, ayo kita cari Kanha.” Para penggembala muda pun meminta bantuan orang-orang dewasa untuk membantu mencari Narayana.

Rupanya Narayana sudah tahu jika sang provokator adalah Begawan Jaranbergola. Ia pun mendatangi guru itu dan berdebat dengannya. Begawan Jaranbergola kalah dalam perdebatan dan berubah wujud ke wujud aslinya yakni Ditya Keshin berwujud kuda raksasa. Ketika itu orang-orang yang mencari Narayana kaget melihat perubahan itu dan menjadi ngeri. Mereka berteriak agar Narayana menjauh “Narayana...pergi dari situ! Dia iblis!” Narayana degna tenang berkata “paman-paman semua, tenang saja....eyang resi ini sedang mau main kuda-kudaan dengan aku!”. Keshin langsung menyerang Narayana, akan tetapi Narayana bisa berkelit dengan lincah. Keshin semakin marah, matanya melotot dan giginya bergemeretak “Kau Harus Belajar Tata Krama, Anak Sombong!”. Berkali-kali Keshin menginjak-injakkan kakinya ke arah Narayana namun ia bisa berkelit dengan pantas. Narayana sengaja memain-mainkan Keshin dengan selalu berkelit dari serangannya. Akhirnya, Narayana berhasil memegang kaki belakang Keshin dan segera memutar-mutarkannya di atas kepalanya. Keshi merasa pusing dan putus asa. Kemudian Keshin merasa dirinya dilemparkan sangat tinggi dan jatuh dengan telak. Meski demikian, Keshin masih bisa melawan. Akhirnya, Narayana yang masih bocah berusia 8 tahun mematahkan rahang atas dan bawah Keshin. Seketika itu pula, nyawa Ditya Keshin pun melayang. Sebuah makhluk bersinar keluar dari tubuh Keshin, bersujud di kaki Narayana, dan menghilang sebagai makhluk setengah dewa. Karena jasa-jasanya, Narayana kembali mendapat julukan baru yakni Keshinisudhana yang bermakna “yang mengalahkan Ditya Keshin”.

Janggan Dhenukasura

Suatu hari yang cerah di musim panas, Batara Indra sang raja bidadari dimintai tolong oleh isterinya, Dewi Shaci “kakanda, persedian minuman untuk bahan membuat air Soma habis. Bisakah kau mencarikannya untukku?” batara Indra berkata “bahan baku air soma paling bagus berasal dari nira lontar yang ada di hutan Entalsewu, tapi hutan itu alas gung liwang-liwung, jalma mara jalma mati..” Dewi Shaci lalu merayu “kan kakanda adalah dewa petir dan raja bidadari yang hebat, apa hutan itu telah membuat hati kakanda menjadi ciut?” Batara Indra lalu berkata “tentu saja tidak! Aku akan ambilkan buah-buahan dan air lontar dari hutan angker itu untukmu, cintaku!” maka Batara Indra pun pergi ke hutan Entalsewu. Sesampainya di pinggir hutan itu, para bidadara membuat pengalih perhatian agar para siluman disana sibuk sendiri. Datanglah angin kencang yang menerbangkan pepohonan dan buah-buahan disana berjatuhan. Batara Indra segera mengambili buah lontar, legen, nira, dan mangga itu. namun tiba-tiba datanglah seekor keledai raksasa menghadangnya. Dialah Janggan Dhenukasura, sang telik sandi adipati Kangsa yang ditugasi menjaga hutan itu setelah tewasnya Ditya Keshin “hahahaha...batara...kau ini kesasar?...kau kenapa mau mencuri buah-buahan hutan ini? Kalau kau mau buah, langkahi dulu mayatku!”terjadilah pertarungan antara Batara Indra dan Janggan Dhenukasura yang sangatlah sengit. Batara Indra tiba-tiba merasa goyah keseimbangan akibat hantaman Janggan Dhenukasura ke arahnya. Di saat demikian, Janggan Dhenukasura menginjak-injak tanah tempat sang dewa petir itu sehingga runtuh. Batara Indra hampir saja jatuh namun ia segera ditolong gajah Erawata dan segera melarikan diri. Janggan Dhenukasura sangat bangga bisa mempercundangi dewa.

Di suatu ketika, kala itu sudah hampir tiba musim panen, anak-anak Nanda Antogopa dianggap sudah mandiri dan dapat dipercayakan untuk menggembala sapi dan lembu dewasa, mereka tidak menggembalakan anak sapi lagi. Udawa, Kakrasana, Narayana, Pragota, dan teman-teman sebayanya setiap hari menggembalakan sapi ke hutan Gobajra yang banyak rumputnya. Kemudian mereka bermain-main di tepi hutan. Kali ini Kakrasana agak capek dan tertidur di bawah pohon. Narayana memijat-mijat betis Kakrasana. Dan beberapa temannya melepaskan lelah di dekat mereka dan beberapa yang lain masih tetap bermain di hutan. Pada waktu itu, 3 orang anak gembala: Madhu Manggala, Subala, dan Charu, sedang bermain mendekati Narayana dan Kakrasana. Mereka berkata, “Kakrasana! Narayana! kalian  mencium harum yang terbawa oleh angin ke tempat ini?” Udawa menimpali “ya, bau ini wangi seperti nira pohon lontar atau tal yang dijadikan legen.” Pragota ikut bicara “bukan cuma itu, aku juga mencium aroma mangga yang ranum.” Begitu mendengar kata mangga, Madhu pun ikut nimbrung “Mangga? Mana-mana? Aku mau mangga!” para penggembala muda pun tertawa dengan tingkah Madhu Manggala. Narayana pun mempertajam indria penciuamannya “hmmm...bau ini sepertinya dari hutan Entalsewu.” Mendengar kata hutan Entalsewu, para penggembala jadi ngeri sendiri “aduhh...kok dari situ? Aku gak jadi deh...tau sendiri kan kalau hutan Entalsewu itu angker. Jalma mara, jalma mati. Nafsu makanku langsung lenyap” Ujar Subala. Charu pun menenangkan Subala “jangan takut, Subala. Kan ada Kakrasana dan kakang Udawa yang akan melindungi kita. Lagipula Narayana juga pasti melindungi kita juga.” Setelah dibujuk, akhirnya mereka sepakat untuk ke hutan Entalsewu.

Demikianlah para putra Nanda Antagopa menemani para gembala muda masuk ke Hutan Entalsewu. Kakrasana menggoyang pohon dan buah-buahan yang telah ranum berjatuhan, kemudian diambil oleh para gembala kecil. Adalah Janggan Dhenukasura masih dalam wujud keledai kala itu sedang beristirahat, tiba-tiba ia merasa terusik dengan suara sayup-sayup dari kejauhan “heh siapa yang berani masuk ke hutan ini? Aku harus cari dia!”. Dhenukasura segera mempertajam indria pendengarnya lalu terdengarlah suara langkah kaki. Mendengar ada suara langkah kaki dan suara buah-buahan yang berjatuhan, Janggan Dhenukasura mendatangi mereka, dengan napas yang terengah-engah dan suara penuh kemarahan “Hei, Kalian Maling Cilik...Kalian Sudah Berani Masuk Hutan Ini, Maka Hukuman Untuk Kalian Yakni Kematian!”  tanpa peringatan, dia menyepak Kakrasana. Kakrasana menjadi kalap lalu melawan Dhenukasura dan dalam suatu kesempatan memegang kaki belakang Dhenukasura. Kemudian keledai tersebut diputar-putarkannya di sekeliling tubuhnya dan dilemparkan ke pohon. Pohon tersebut roboh dan kemudian menimpa pohon disebelahnya dan Dhenukasura mati. Seberkas sinar keluar dari tubuhnya dan jatuh di kaki Narayana lalu lenyap. Madhu Manggala lalu bertanya kepada Narayana “Narayana, apa Dhenukasura sudah mati?” Dengan santai Narayana berkata “ tentu saja, kakangku Kakrasana kan pegulat paling kuat diantara kita.” Udawa lalu meminta adik-adik dan teman-temannya untuk berwaspada “tunggu, ku rasa ini belum selesai.” Benar saja kata-kata Udawa. Seluruh kerabat Janggan Dhenukasura kemudian mengepung mereka “Kalian Hebat Sekali Bisa Menghabisi Pimpinan kami! Tapi Kalian tidak akan bisa Keluar Hidup-Hidup!”

Kakrasana dan Narayana mengalahkan para kerabat Dhenukasura 
para kerabat Dhenukasura lalu mengubah wujud menjadi keledai raksasa dan menyerang para gembala. Akan tetapi mereka semuanya dapat dipegang kakinya oleh Kakrasana dan Narayana lalu dicampakkan tinggi-tinggi ke udara sampai habis nyawa mereka. Udawa dan Pragota ikut membantu. Mereka berdua merobohkan tunggul-tunggul pohon lalu dilemparkan ke arah para raksasa keledai yang tersisa. Seluruh gerombolan keledai mati. Setelah mengalahkan Janggan Dhenukasura dan kerabat-kerabatnya, para gembala mengambil buah-buahan dari hutan Entalsewu dan memberikannya kepada para penduduk Gokula. Sejak saat itu, Hutan Entalsewu sudah “terbuka”, orang-orang dan binatang-binatang berani memasukinya.

Dendam Bakasura

Di istana Adipati Kangsa, Ditya Bakasura masih saja tidak tenang hatinya disebabkan kematian sang saudari tercinta, Nyai Kotana delapan tahun yang lalu. Diam-diam tanpa seizin sang kakak yakni Ditya Nagasura, Ditya Bakasura memohon izin kepada sang adipati Sengkapura ingin menyelidiki siapa penyebab kematian sang saudari “tuanku Kangsa izinkan hamba pergi barang sejenak untuk menyelidiki kematian adik saya, Kotana. Barangkali pembunuh adik saya itu adalah malaikat kematian tuanku.” Adipati Kangsa juga berpikiran sama “kau benar Bakasura, selidikilah dan jika benar dia adalah malaikat kematianku, habisi saja langsung tanpa ampun.”Ditya Bakasura segera mengubah wujudnya menjadi burung bangau raksasa dan pergi dari istana.

Setelah pergi dari istana, Bakasura dalam wujud bangau mengganggu masyarakat di sekitar bengawan Gangga dan Yamuna dengan mencuri ikan-ikan dan hasil ternak mereka. Rakyat dilanda rasa takut karena Bakasura ikut menelan siapa saja yang menghalanginya. Lalu dari kejauhan, Bakasura melihat segerombolan anak-anak penggembala. Diantara mereka ada satu anak yang seakan memiliki aura yang unik. Ditya Bakasura segera terbang ke sana. Tanpa disadari siapapun, Bakasura pun menyaru sebagai bukit besar.

Anak-anak penggembala yang dipimpin para putra Nanda Antagopa mulai melepaskan lembu dan sapi di pesisir bengawan Yamuna. Lalu mereka pergi bermain petak umpet. Kali ini giliran Udawa yang jaga “baik teman-teman, aku hitung sampai sepuluh, kalian sembunyi! 1! 2! 3! 4!...” para gembala segera bersembunyi. Kakrasana dan Pragota bersembunyi di balik pohon, Madhu Manggala berselindung di balik semak-semak, Charu, Subala, dan Sudhama ngumpet di balik batu besar. Sementara Narayana bersembunyi di bawah kayu dekat bukit besar. Tatkala Narayana duduk di sana tiba-tiba bukit besar itu bergerak lalu bertukar wujud ke wujud asal yakni menjadi Bakasura, si burung bangau raksasa. Anak-anak gembala yang menyaksikan hal demikian lari tunggang langgang. Tanpa mengambil waktu lama, Ditya Bakasura segera membuka paruhnya dan menelan Narayana bulat-bulat. Anak-anak penggembala kaget bukan kepalang menyaksikan hal itu. Udawa dan Kakrasana menenangkan teman-temannya “kalian jangan panik....adhiku Narayana pasti bisa melawan raksasa ini.”

Tak dinyana, tiba-tiba Ditya Bakasura diserang oleh kekuatan tidak terlihat. Rupanaya para dewa datang membantu Narayana. Batara Bayu dan Batara Sambu beserta beberapa gandarwa (bidadara) menyerang Ditya Bakasura dengan angin panas dan awan panas mereka hingga tubuh Bakasura hangus terbakar. Namun, Ditya Bakasura masih saja bisa bangun dan tak terluka sedikitpun. Sekali lagi para dewa merasa dipercundangi oleh raksasa. Bakasura lalu sesumbar “larilah kalian para dewa! Dendamku untuk Kotana telah kulunaskan! Aku telah menghabisi malaikat kematian tuanku Kangsa dan tidak ada satupun yang bisa mengalahkan aku! Aku sang pemuja Wisnu sejati...tidak seorang pun!”

Di saat sedang sesumbar begitu, tiba-tiba tenggorokan Ditya Bakasura menjadi panas seperti terbakar. Selain itu, ia merasa mual karena tekaknya ditendang sesuatu.

Narayana bertarung dengan Ditya Bakasura
Rupanya Narayana masih tertahan di tenggorokan sang raksasa bangau. Ia memukul-mukul dan menendang jalur nafas si raksasa yang diseliputi dendam itu. Maka Bakasura memuntahkan kembali Narayana dan terjadilah pertarungan yang sengit “Bakasura! Kau sangat sombong dan mengagungkan dirimui sebagai pemuja sejati! Sekarang rasakan kemarahanku!” Dengan marah, Bakasura mematuk Narayana dengan paruhnya yang seperti gunting baja raksasa. Berkali-kali Narayana berkelit menghindar. Kekesalan Bakasura semakin naik dan ia berusaha kembali menelan Narayana, namun kali ini Narayana berhasil berkelit dann naik ke leher bakasura dan mencekiknya hingga Bakasura tumbang. Meski sudah tumbang, Bakasura terus mengarahkan paruhnya ke arah Narayana. Namun fatal bagi Bakasura, Narayana memegang paruh sang bangau dan membukanya dengan paksa. Mulut bangau raksasa tersebut terbelah dan matilah Bakasura.

Dari jasad Bakasura, tiba-tiba muncul seberkas cahaya yang kemudian mewujud sebagai makhluk seperti bidadara. Ia pun berlutut di di kaki Narayana lalu terbang kembali ke kahyangan. Bakasura dalam kehidupan sebelumnya adalah seorang bidadara pemuja Batara Wisnu. Karena ingin memberikan persembahan terbaik kepada Batara Wisnu, maka dia memetik bunga teratai dari danau milik Batari Durga, istri Batara Guru tanpa izin. Seorang penjaga menangkap sang bidadara dan membawanya ke tempat Batara Guru. Karena dia telah mencuri maka dia mendapat hukuman terlahir di dunia sebagai raksasa yang ingin memperoleh segala sesuatu dengan sekejap tanpa bekerja keras dan pengorbanan. Akan tetapi, karena dia mempersembahkan bunga tersebut kepada Batara Wisnu, maka di jaman Dupara Yuga, Bakasura akan mendapatkan pembebasan dari Narayana alias Sri Kresna, yang merupakan avatar (titisan) dari sang dewa pujaannya, Batara Wisnu.

Minggu, 08 September 2024

Banjaran Sri Kresna Episode 2: Narayana si Anak Ajaib

Hai hai.......Selamat datang kembali....... Btw, kisah kali ini mengisahkan keadaan Sri Kresna kecil dan saudara-saudaranya setelah sampai di Gokula. Kisah diawali dengan terbunuhnya Nyai Kotana alias Putana ditangan bayi Narayana (Kresna) lalu dilanjutkan dengan Kisah Narayana menumbangkan dua pohon beringin dan terbebasnya dua bidadara (gandarwa). Kisah diakhiri dengan terbunuhnya Ditya Trinarwata yang hendak menculik dan menghabisi Narayana. Sumber kisah ini berasal dari blog https://kisahspiritualtaklekangzaman.wordpress.com/2017/07/22/krishna-kecil-bisakah-gusti-diikat-yashoda-bisa-srimadbhagavatam/, Serial Kolosal India Radha Krishna Starbharat, Serial Animasi Little Krishna, blog https://kisahspiritualtaklekangzaman.wordpress.com/2017/07/16/krishna-kecil-pemberian-air-susu-asura-putana-srimadbhagavatam/, dan beberapa sumber lainnya.

Nyai Kotana

Setelah Dewi Yogamaya muncul dan ia mendengar darinya bahwa penyebab kematiannya telah aman disatu tempat, Kangsa menjadi dibayang-bayangi ketakutan dan kekhawatiran “ahhh... bedebah......anak-anak penyebab kematianku sudah terselamatkan. Aku harus bertindak dengan cepat.” Di istananya di Sengkapura, ia memanggil beberapa ajudannya. Yang pertama datang ialah tiga raksasa bersaudara. Mereka yakni Nyai Kotana, sang telik sandi yang lihai dan licik, Ditya Keshin, raksasa berkepala kuda, Nagasura, si raksasa bersisik kebal dan kandel. Lalu datang pula Trinarwata, si raksasa yang sanggup menciptakan angin ribut. Lalu Ditya Aristha dan Wasasura, dua bersaudara raksasa berkepala banteng. Datang pula Ditya Pralamba, guru Ditya Suratrimantra yang doyan bergulat, dan juga Yomasura, si manusia kelelawar. Kangsa tidak tahu dimana keberadaan anak-anak penyebab kematiannya maka ia mengutus Nyai Kotana mencari keberadaannya “Nyai, aku utus kau mencari anak penyebab kematianku. Kalau ketemu, habisi saja langsung!” Nyai Kotana pun dengan senang hati melaksanakan perintah sang atasan “Hanya dia yang tidak tahu Kotana yang meremehkan kekuatanku. Dengan racunku, akan kubuat anak-anak itu dan mereka yang menghalangiku mati dalam sekejap.”Nyai Kotana pun terbang mencari setiap anak-anak bayi di sekitar wilayah Wangsa Yadawa dan Baharata untuk dihabisi. Rakyat di Mandura, Lesanpura, Kumbinapuri, dan Hastinapura dihantui ketakutan akan hilangnya anak-anak dan bayi. Ketika melewati kerajaan Hastinapura tepatnya di Partapan Saptarengga, ia melihat anak bayi bernama Bambang Permadi. Dalam penglihatannya, anak ini punya kekuatan menghancurkan sebuah negara. Ia menyangka anak inilah penyebab kematian tuannya. Ia pun mendekati bayi itu namun sebuah kekuatan ajaib menghalangi. Kekuatan ajaib itu serasa seperti ribuan panah menacap di tubuhnya dan membuat Nyai Kotana menjerit kesakitan. Hal itu menyebabkan bayi Permadi terbangun lalu menangis dan membuat keributan.

Nyai Kotana melarikan diri dari Pandhu
Lalu datang para prajurit datang lalu orang tua bayi itu yang tak lain raja Hastinapura, Pandhu Dewanata, Dewi Kunthi, dan Dewi Madrim “Hei, raksasi! Beranainya kau mengganggu anakku. Pergi kau atau ku bunuh saat ini juga!” Prabu Pandhu pun memanah raksasi itu. Raksasi Kotana merasa walau anak ini anak sakti tapi ia bukanlah penyebab kematian Kangsa. Ia pun pergi melarikan diri lalu ia sampai di hutan dan bersembunyi di sebuah goa besar.

Sementara itu,di pedukuhan Gokula, Nanda Antagopa dan Niken Yasodha sedang bercengkrama dengan keluarganya. Di sana ada Dewi Rohini menggendong Kakrasana alias Balarama dan Rara Ireng. Bayi Narayana digendong Niken Yasodha. Udawa, anak tertua mereka bermain-main dengan tiga adiknya yang masih juga masih bayi yakni Niken Larasati, Pragota, dan Hadimanggala di ayunan mereka. Lalu datang sang carik desa Gokula yakni Carik Sukantha “pak Lurah Nanda, persiapan pesta selapanan untuk anak-anak pak lurah sudah selesai. Setelah adicara ini, semoga anak-anak pak lurah akan aman dan selalu sehat.” “semoga Hyang Widhi menghendaki itu.” lalu ia menengok ke arah langit yang gelap tertutup mendung. Dengan menghela nafas, ia berkata “tapi kita harus berwaspada. Kangsa masih mengancam kita dengan penarikan upeti yang tidak masuk akal dan ajudannya yang sakti-sakti. Bisa saja ajudan-ajudannya dikirim kemari untuk mencelakai kita dan anak-anak kita ini.” Tak lama, kilatan petir menyambar dengan gemuruh yang menggelegar. Nanda Antagopa dan semua anggota keluarganya segea memasuki rumah karena sebentar lagi hujan akan segera turun. Beberapa hari kemudian, rakyat dukuh Gokula sedang menyiapkan pesta selapanan untuk keenam anaknya. Para penduduk desa bergumam dengan ketampanan dan kecantikan mereka, terutama dua bayi gondang kinasih Kakrasana dan Narayana. “kalian sudah melihat bayi nini Dewi Rohini dan nini Yasodha?” tanya salah satu warga. Lalu salah seorang kerabat Yasodha yakni Niken Prabawati berkata “aku sudah melihatnya...mereka sangat tampan dan cantik. Kakrasana seperti bidadara, lalu adiknya Narayana...ya ampun kulit gelapnya manis seperti gula jawa,. Bagaikan dewa Wisnu sendiri turun ke bumi...bagaikan malaikat...” Tak dinyana oleh mereka, Nyai Kotana telah mencuri dengar hal itu di balik pohon-pohon di dekat situ. “Hmmm...Narayana...bagai malaikat....sepertinya dia yang ku cari....tapi jika memang dia seperti anak di Hastinapura waktu itu, aku tak boleh lengah..” Nayi Kotana pun membalurkan racun miliknya ke payudaranya. Ia akan membunuh bayi itu dengan susu beracunnya. Setelah persiapan selesai, Nyai Kotana segera menyusup ke dukuh Gokula.

Pesta selapanan para putra-putri Nanda Antagopa pun digelar meriah. Di tengah meriahnya pesta, datang lah seorang wanita yang sangat cantik. Wajahnya begitu ayu dan molek dengan badan yang sintal berisi. Para penduduk terpesona dan terkagum-kagum dengan kecantikan sang wanita. Ia lalu berdiri di hadapan keluarga Nanda Antagopa. Niken Yasoda pun bertanya “wanita cantik, siapakah gerangan puan? Apakah gerangan maksud puan datang ke rumahku yang sederhana ini?” Wanita itu berkata “aku seorang bidadari dari kahyangan sana. kedatanganku ingin mengabdi kepada anak tuanku karena ku dengar anak tuanku sangat kuat.” Niken Yasoda pun merasa terhormat karena kedatangan seorang dewi yang ingin mengabdi kepada putranya. Ia pun mempersilakan sang dewi itu melihat sang anak. Ketika memasuki kamar, dewi cantik itu segera menggendong bayi Narayana. Ketika melihat bayi itu, ia seakan melihat bayangan dewa melindunginya. Tanpa rasa takut, wanita itu menggendong Narayana dan membawanya ke ruangan sepi, ia lalu segera menyusui si jabang bayi. “bagus, cah ganteng. Minumlah semuanya.” Ia merasa misinya berhasil, tapi ia merasa jabang bayi Narayana menyusu dengan cengkeraman yang sangat keras dan menghisap semua tenanganya “ehh...hentikan....bayi sialan...kau menghisap daya hidupku...!” wanita itu menjerit kesakitan berusaha melepaskan cengkeraman Narayana “lepaskan...lepaskan!” suara jeritan itu terdengar sangat keras sehingga mengejutkan semua orang. Niken Yasodha diikuti sang suami, Dewi Rohini, dan para penduduk segera menuju kamar tempat Narayana. Di sana mereka kaget melihat wanita cantik itu menjerit lalu bertukar wujud aslinya yakni Nyai Kotana, raksasi yang selama ini meneror Mandura hingga Hastinapura. Nyai Kotana pun berusaha melarikan diri dengan bayi Narayana masih mencengkeram puting susunya. Namun sejauh apapun Kotana melarikan diri, dengan bayi Narayana yang terus mencengkeram dadanya membuat Nyai Kotana tidak berdaya.

Nyai Kotana dihabisi bayi Narayana
Pada akhirnya, Nyai Kotana pun jatuh ambruk kehilangan nyawa dengan bayi Narayana tetap mencengkeram dan menyusu. Carik Sukantha segera mengambil bayi Narayana dan menyerahkannya kepada Niken Yasodha. Niken Yasodha segera mengambil anaknya itu dan memeluknya dengan harap-harap cemas tapi juga bangga karena sejak bayi, Narayana sanggup melakukan apa yang bahkan sulit sekali dilakukan orang dewasa.

Narayana sang Damodhara.

Hari berganti pekan, pekan berganti sasih. Tak terasa anak-anak Nanda dan Yasodha kini sudah berusia dua dan tiga tahun. Udawa yang paling tua kini sudah berusia tujuh tahun. Pada suatu hari, saat Niken Yasodha mengaduk susu untuk membuat mentega di luar dapur, Narayana kecil yang merasa lapar mendatanginya. Narayana lama memandang wajah ibunya yang cantik yang sedang sibuk mengaduk susu dalam periuk. Niken Yasodha tersenyum dan kemudian memangku Narayana kecil dan membiarkan tangan kecil Narayana ikut memegang pengaduk susu, kemudian bersama-sama dengan Narayana mengaduk susu dalam periuk. Ada rasa bahagia yang mengalir dalam diri Niken Yasodha. Dia betul-betul merasa bahagia memiliki seorang anak yang menjadi sumber kebahagiaan dirinya. 

Akan tetapi, rasa bahagia tersebut terhenti, kala dia membaui adanya bau gosong masakan di dalam periuk di dapur. Niken Yasodha segera meninggalkan Narayana kecil dan menengok masakannya di dapur. Setelah beberapa lama, ketika Niken Yasodha balik ke tempat semula, dia melihat periuk sudah pecah dan mentega yang sudah jadi hilang dan Narayana tidak nampak. Niken Yasodha tersenyum sambil berpikir bahwa Narayana telah memecahkan periuk dengan memukulnya memakai pengaduk, kemudian mengambil mentega dan bersembunyi. Niken Yasodha walaupun belum sadar siapa sejatinya Narayana, dia telah mengasihi sepenuh hati.

Sambil membawa kayu pengaduk Niken Yasodha mencari Narayana dan menemukannya sedang duduk di atas batu tempat menumbuk yang terletak di halaman sambil memakan mentega. Ada beberapa kera di depannya yang juga diberi mentega olehnya. Niken Yasodha marah juga namun ia berpikir Narayana kecil memang nakal dan bila ia dipukul dengan pengaduk walaupun pelan untuk menegur tindakannya, takut sang anak akan membencinya. Ia juga rasa kasihanmemandangkan kalau anak kecil nakal itu sudah biasa. Kemudian Niken Yasodha berupaya mendekati Narayana untuk menangkapnya. Tiba-tiba Narayana melihat Niken Yasodha datang dengan kayu pengaduk dan Narayana lari. Terjadilah kejar-mengejar antara Niken Yasodha dengan Narayana. Narayana kecil sangat lincah dan cukup sulit bagi Niken Yasodha untuk menangkapnya. Keringat Niken Yasodha bercucuran dan ikatan rambutnya terlepas menambah kecantikannya. Akhirnya, Narayana tertawa-tawa dan membiarkan dirinya dipegang oleh Niken Yasodha.” Kena kamu, anak nakal!” Niken Yasodha berkata lagi, “Narayana, kamu jangan nakal! Lain kali jangan memecahkan periuk dan mengambil mentega, Nanti ibu kuambilkan! Sekarang ibu akan ke dapur lagi, tetapi sebagai hukuman, ibu harus harus mengikatmu! Nanti ibu lepaskan ikatanmu!” Niken Yasodha kemudian mengambil tali pengikat sekitar 4 depa, mengikat batu penumbuk dan kemudian akan mengikat Narayana. Dalam pikiran Niken Yasodha biarlah Narayana bisa bergerak, tetapi tidak jauh. Akan tetapi, Niken Yasodha kaget karena talinya kurang panjang untuk mengikat badan Narayana. Niken Yasodha menyambung tali tersebut dengan tali lainnya, dan masih kurang panjang juga, sampai seluruh tali di dalam rumah diambilnya tetap kurang panjang juga.

Dewi Rohini yang baru pulang dari pasar bersama Kakrasana melihat hal itu lalu bertanya “Dinda, kau sedang apa?” Niken Yasodha berkata “aku mengikat si kecilku ini. Dia nakal sekali.” Dewi Rohini lalu membantu. Tapi anehnya bantuan dari Dewi Rohini juga tidak cukup untuk mengikat Narayana. Para Gopika (penggembala perempuan) berdatangan melihat kejadian tersebut dan ikut membantu. Niken Yasodha sampai kewalahan menyambungnya dengan tali-tali lainnya. Narayana kecil hanya tersenyum dan setelah merasa cukup mempermainkan ibunya, Narayana kemudian membiarkan dirinya diikat oleh Niken Yasodha “ini ibu, ikat aku.” Niken Yasodha kaget begitu tali itu dipegang Narayana langsung bisa pas. Yasodha pun mengikat anak kesayangannya itu “kamu jangan nakal lagi, ibu mau mengurus adik-adikmu dulu.”

Ditunggu punya tunggu, Niken Yasodha ternyata masih belum selesai mengurus adik-adik Narayana. Narayana merasa gelisah lalu ia merangkak dengan keadaan perutnya diikat ke lesung. Anehnya, meski berat, lesung itu ikut bergerak kemanapun bayi Narayana bergerak. Akhirnya ketika Narayana merangkak melewati dua buah pohon beringin, kendi itu tersangkut di celah-celahnya. Narayana terus merangkak dengan perut terikat. Kakrasana yang sedang bemain bersama Udawa melihat hal itu berkata “kakang Udawa, lihat adhi Kanha. Berusaha keluar dari pohon dengan perut terikat lesung.” “Benar adhi. Kanha lucu banget. Kanha, kamu gak bakal bisa keluar.” Narayana tidak menggubris perkataan dua abangnya itu terus berusaha keluar dari celah pohon itu hingga akhirnya tarikannya itu membuat dua pohon itu roboh.  Suaranya berdentum keras menimbulkan getaran. Udawa dan Kakrasana segera mendekati pohon itu dan bersyukur Narayana masih selamat.Udawa segera melepaskan ikatan di perut Narayana. Keajaiban pun terjadi. Dari dalam tunggul pohon muncul cahaya yang sangat terang dan mewujudlah dua bidadara yang sangat tampan rupawan. Dua bidadara itu lalu berkata “kalian anak-anak yang hebat, telah membebaskan kami dari pohon beringin ini. Kami ucapkan terima kasih. Aku Nalakubara dan ini adikku Manigriba.” “Kami telah dikutuk Batara Narada untuk hidup sebagai pohon karena ketelodoran kami.” Udawa lalu berkata sambil menunjuk Narayana“bukan saya yang membebaskan paman-paman berdua. Adik saya Kanha yang telah membebaskan paman berdua.” Nalakubara dan Manigriba pun tetap berterima kasih pada mereka dan memberikan sejumlah hadiah dari kahyangan. Lalu mereka terbang kembali ke kahyangan.

Narayana sang Damodhara
Niken Yasodha yang tadi mendengar suara berdentum dari luar segera keluar rumah diikuti beberapa warga. Ia melihat anak-anaknya berada di dekat pohon beringin yang roboh tadi. Ia segera menghampiri anak-anaknya “Udawa! Kakrasana! Apa yang terjadi? Mana adikmu?”  Udawa segera memberikan sang adik untuk digendong ibunya lalu menceritakan semuanya yang terjadi. Para warga yang mendengar hal itu merasa takjub lalu memberi julukan kepada Narayana kecil sebagai Damodhara yang bermakna perut yang diikat tali.

Trinarwata si Angin Ribut.

Kabar kejadian terbunuhnya Nyai Kotana dan robohnya dua pohon beringin oleh seorang anak kecil terdengar oleh Ditya Trinarwata, salah seorang ajudan Kangsa yang sedang mencari keberadaan Nyai Kotana yang sudah lebih dari 24 sasih tak kembali. Trinarwata segera kembali ke istana Sengkapura dan melaporkan apa yang ia dapat kepada sang tuan. “tuanku, ternyata kabar itu benar.Nyai Kotana telah dihabisi oleh anak bayi dan sekarang ada berita jika anak tersebut sudah membuat kegemparan. Dia merobohkan pohon dengan keadaan perut diikat lesung.” Kangsa murka mendengarnya “Bedebah! Pasti anak itu salah satu penyebab kematianku. Cepat kau habisi dia.” Ditya Trinarwata pun segera pergi dan berubah wujud sebagai angin ribut yang sangat kencang. 

Hari itu, Niken Yasodha selesai memandikan sang anak-anaknya. Dia merasa sedikit pusing. Melihat anak-anaknya sedang tertidur nyenyak, maka Niken Yasodha meninggalkan mereka di ayunan halaman dan masuk ke rumah menyelesaikan beberapa pekerjaan. Baru beberapa saat Niken Yasodha masuk ke dalam rumah, datang angin ribut yang berputar-putar. pedukuhan Gokula kalang kabut dibuatnya. Seluruh penduduk Gokula berada dalam kepanikan segera menutupi mata mereka dan segera masuk ke rumah, karena debu, daun-daun kering, dan kerikil berterbangan. , Niken Yasodha segera lari ke halaman mencari sang anak-anaknya. Akan tetapi, sang anak kesayangan, Narayana tidak ada di tempatnya “Narayana! Anakku Narayana! Dimana kamu? Kakanda! Ayo cari anak kita!” Nanda Antagopa segera memerintahkan para warga mencari Narayana. Beberapa saat kemudian, para warga mendengar suara tawa anak kecil dari atas lamgit. Ketika mereka mendongak, samar-samar di tengah debu dan pasir yang beterbangan mereka melihat Narayana dibawa oleh angin ribut yang berputar-putar. Niken Yasodha cemas melihat anaknya terbawa oleh angin puyuh itu.

Ditya Trinarwata membawa sang bayi terbang tinggi ke langit dan bermaksud menjatuhkannya “hahahaha...anak kecil...sebentar lagi kau akan jadi telur ceplok....” Narayana yang digendong tiba-tiba berdiri di tangan raksasa itu dan berkata “paman...mana telor ceploknya? Apa yang di atas hidung paman itu ya?” tiba-tiba melompatlah Narayana pun memukul mata Ditya Trinarwata lalu wajah dan hidungnya. Mendadak  Ditya Trinarwata merasa anak kecil itu begitu berat, sehingga dia tidak kuat membawanya. Kemudian dalam keadaan setengah sadar dia merasa tangan mungil anak kecil itu mencekiknya lalu tiba-tiba anak itu naik ke punggungnya dan diinjak-injak sampai tubuhnya hilang keseimbangan lalu jatuh menghantam bumi dengan keras. 

Trinarwata Lena
Ditya Trinarwata pun tewas menghantam tanah seperti telur ceplok. Para penduduk dukuh Gokula merasakan getaran bagai gempa bumi dan mendengar suara raksasa itu jatuh seperti bukit runtuh di tepi hutan. Mereka berlari ke sana dan melihat Trinarwata yang luar biasa besarnya mati dengan Narayana kecil yang masih berada dalam pelukannya. Carik Sukantha segera mengambil Narayana kecil dan menyerahkannya kembali kepada Niken Yasodha “Narayana, kamu ini membuat ibu khawatir...” ucap Niken Yasodha yang memeluk putra kesayangannya itu sambil menangis haru. Para penduduk bersyukur kepada dewata karena masih menyelamatkan putra Nanda Antagopa dan Niken Yasodha itu.

Sabtu, 24 Agustus 2024

Banjaran Sri Kresna Episode 1 : Kelahiran Sri Kresna

 Hai hai.......Selamat datang kembali.......Sudah lama saya tidak posting..... Setelah fokus ke Mahabharata, sekarang penulis mengisahkan kisah Banjaran. Btw, kisah kali ini mengisahkan kelahiran  Prabu Sri Kresna dan saudara-saudaranya. Sumber kisah ini berasal dari pagelaran wayang Ki Purbo Asmoro berjudul Kresna Lahir, kitab Mahabharata karya Mpu Vyasa, Serial Kolosal India Mahabharat Starplus, Radha Krishna Starbharat, blog albumkisahwayangblogspot.com dan beberpa blog pewayangan lainnya dipadukan dengan imajinasi penulis.

Kutuk Pasu Sridhama

Di Kahyangan Untarasegara yang indah, bagian dari Jonggringsaloka. Bunga-bunga bermekaran dengan indah. Pepohonan disana sangat indah memanjakan mata laksana berdaun sepuhan emas dengan batang merah bagai tembaga, dan buah berwarna perak. Para bidadara dan bidadari menari-nari dengan riang gembira. Kahyangan itu berbentuk sebuah danau indah yang dikelilingi tembok lengkung dengan gerbang-gerbang istana emas. Istana berbentuk danau semesta itu dinamai Bentukaloka.Di tengah danau sana lah bersemayam Hyang Batara Wisnu, sang dewa pengayom dan pemelihara. Disampingnya sang shakti, yakni Batari Sri Laksmi dan kedua wahana miliknya. Yang satu ular naga raksasa yakni Batara Nagaraja Adisesha dan burung elang raksasa, Garudeya Brihawan. Sang Batara melakukan yoga seteah bertemu berembug dengan Batara Guru soal kesewwnagan dan kekacauan di jaman Duparayuga, menandakan sebentar lagi era Purwa akan mengalami kemunduran. Sang dewa yang bersenjatakan Cakra Widaksana dan Cangkok Wijayakusuma itu melihat dalam mata batinnya keadaan dunia selepas masa Ramayana dilanda banyak kekacauan lalu ia terbangun dari yoga semadinya. Batari Sri Laksmi ikut terbangun dari semadi panjangnya. “suamiku, keadaan dunia wayang kacau sekali. Penindasan terjadi dimana-mana. Moral dan dharma memudar digantikan ketidakadilan. Kakek Semar yang telah lama turun ke dunia berusaha meredamnya tapi ia nampak kewalahan. Apa langkahmu selanjutnya, suamiku?” Batara Wisnu pun bangun dari tapa bratanya lalu berkata “Laksmi, sebentar lagi solusi untuk itu akan datang. Dia sedang menuju kemari.” Batari Sri Laksmi, Nagaraja Adisesha, dan Garudeya nampak dengan saksama mencerna apa perkataan sang dewa yang bergelar Narayana itu.

Di tempat lain, yakni di puncak Mahameru yakni istana Iswaraloka datanglah seorang pertapa sakti bernama Resi Sridhama. Ia seorang pemuja Wisnu yang sangat taat dan penuh dharmabakti. Ia ingin bertemu dengan sang dewa pujaanya. Hyang Batara Guru Pramesthi pun mempersilakan Sridhama menemui sang dewanya. Hyang Batara Brahma mengantarnya dengan angsa miliknya. Sepanjang perjalanan, ia melihat kawasan Untarasegara yang indah dengan istana air Bentukaloka yang laksana cermin semesta itu. setelah Batara Brahma mengantarnya, Resi Sridhama pun disambut Hyang Batara Narada yang kebetulan sedang berkeliling Untarasegara. Resi Sridhama menyampaikan tujuannya untuk bertemu Batara Wisnu, Batara Narada pun mengajaknya menuju ke istana Bentukalaoka. Sepanjang jalan, Para Bidadara-bidadari menari dengan riang gembira. Ketika tiba di depan istana, Sridhama menyaksikan pemandangan yang tidak terbayangkannya. Resi Sridhama menyaksikan Batara Wisnu memakai pakaian layaknya gembala sapi namun juga memakai mahkota raja sedang memainkan seruling  dan bersama batari Sri Laksmi yang turut memakai pakaian gadis desa namun berperhiasana emas mewah menari bagaikan merak kesimpir. Setelah menari, Batara Wisnu dan Batari Sri duduk di atas ayunan dan menikmati seguci mentega juga susu.

Resi Sridhama menyaksikan kemesraan Batara Wisnu dan Batari Sri Laksmi 
Resi Sridhama nampak tak suka dengan hal itu lebih-lebih lagi ketika batari Sri menyuapi sang suami dengan tangannya sendiri. Resi Sridhama pun menjadi semakin kesal dan menghentikan keharmonisan pasangan dewa-dewi itu “apa-apaan ini, gusti Batari!? Gusti batari telah memalukan dewa saya!” Sridhama juga berkata bahwa ini adalah penghinaan karena menurutnya tidak pantas lelaki makan makanan yang telah dimakan isterinya. Batari Sri pun berkata dengan penuh kelembutan “Sridhama, ini adalah bentuk cinta, kasih sayang yang murni.” Resi Sridhama berkata kalau pengabdian atau bhakti lebih berharga ketimbang cinta. Sridhama merasa cinta hanyalah ilusi semata. Lalu Batara Wisnu berkata “jika benar demikan, buktikanlah!” Resi Sridhama pun menyanggupinya.

Batara Wisnu pun tiba-tiba menghilang dan berada di dalam gerbang Bentukaloka. Sementara Resi Sridhama berada di luar gerbang. Batara Wisnu lalu berkata di dalam hatinya “Laksmi....!! Laksmi...!!” Sri Laksmi yang sedang berada di tengah taman bunga mendengarkannya dan pergi menemuinya, tetapi Sridhama tidak membiarkan Batari Sri Laksmi masuk. Sri Laksmi bersikeras, tetapi sia-sia. Kemudian, dia masuk mengabaikan Sridhama, Sridhama berkata dengan nada berang “jika Gusti melangkah maju, Gusti akan kehilangan suamimu!!” Sri Laksmi berkata “Wisnu ada di hatiku, jiwaku, Smriti (ingatan) ku, bagaimana aku bisa melupakannya.” Tanpa peduli resikonya, Batari Sri melangkah maju ke suaminya, kemudian Sridhama mengutuk Sri Laksmi “Gusti Telah melangkahi Pengabdianku demi Cintamu! Aku Sridhama Mengutukmu!! Semoga Gusti akan kehilangan ingatanmu!, dan harus hidup di alam bumi mengalami banyak derita! Jiwanmu akan terpisah menjadi enam wanita berbeda!” Batara Wisnu lalu muncul di hadapan Sridhama dan mewujudkan wujud dewatanya yang agung. Batari Sri juga memperlihatkan wujud indahnya yang bertangan empat. Sang Hyang Narayana pun berkata “berkat kutuk pasumu, aku dan Sri memiliki alasan untuk mewujudkan tujuan kelahiranku berikutnya. Ketahuilah, aku telah menantikan ini.” Resi Sridhama pun duduk berlutut meminta maaf karena telah menuruti nafsunya dan seenaknya mengutuk shakti dari dewanya. Batara Wisnu pun memaafkannya namun tidak dengan Batari Sri Laksmi. Menurutnya setiap perbuatan harus memberikan akibat. Maka sang dewi kesuburan itu mengutuk Sridhama “Untuk memberikan alam semesta ini pelajaran, aku harus memberikan pelajaran kepadamu! Karena Dikau Mengutuk Dewi Kemakmuran, Maka Di Kehidupanmu sebahgai Manusia Biasa, Kau akan Jauh dari Kemakmuran. Maka Terjadilah !” Resi Sridhama pun turun ke bumi menerima takdirnya.

Kabar kutukan Sridhama di dengar oleh Garudeya dan Batara Nagaraja Adisesha. Kedua hewan suci milik sang batara menghadap. Garudeya Brihawan berkata “Gusti Batara dan Batari, anda akan turun lagi ke bumi sebagai manusia. Izinkan hamba ikut sebagai wahana paduka.” Batara Nagaraja Adisesha yang berwujud ular naga sakti sedih lalu ia berkata “ jika  Gusti Batara dan Batari turun kembali, aku bersumpah tak akan melewatkan peristiwa turunnya paduak berdua. Izinkan aku turun ke bumi terlebih dahulu sebagaimana janjiku terdahulu saat terlahir sebagai Lesmana. Aku ingin turun sebagai abang dari Gusti Batara.” Batara Wisnu berkata “Garudeya! Sesha! Aku akan turun kembali sebagai pembasmi kejahatan. Aku menghargai keinginan kalian, maka aku izinkan kalian ikut denganku. Garudeya kelak kau akan ku panggil dan kau harus menjaga istanaku. Sesha, aku mengizinkanmu turun terlebih dahulu. Mulai hari ini aku akan memanggilmu kakang.” Garudeya Brihawan pun berterima kasih lalu ia kembali ke kediamannya di Kukilaloka, kahyangan para burung dan unggas. Nagaraja Adisesha pun pamit ia pun menghilang dan menjelma sebagai titik cahaya putih kemerahan menuju ke sebuah hutan. Batara Wisnu pun memeluk sang isteri sebelum pergi “Laksmi, aku akan menunggumu.” “Suamiku, aku pun menunggumu dan salah satu wujudku akan selalu bersamamu dan kakang Sesha.” Batari Sri Laksmi pun berubah menjadi wujud cahaya beraneka warna, enam macam cahayanya lalu menghilang. Batara Wisnu pun ikut membelah dirinya menjadi dua cahaya, hitam kebiruan dan kuning keemasan. Kemudian cahaya itu lenyap jatuh di hutan tempat naga Adisesha turun.

Kelahiran Tiga Permata

Sementara itu di Kerajaan Mandura, sedang mempersiapkan upacara empat bulanan tiga isteri sang raja yakni Prabu Basudewa: Dewi Rohini, Dewi Dewaki, dan Dewi Badrahini. Sebenarnya Prabu Basudewa punya isteri terua bernama Dewi Maherah, namun sang isteri tertua telah ia usir karena ketahuan bermain serong dengan seseorang yang mirip dengannya.  Pada hari itu juga raja Hastinapura yakni Pandhu Dewanata ditemani kedua isterinya, Dewi Kunthi dan Dewi Madrim. Dewi Kunthi adalah adik dari Prabu Basudewa. Dewi Kunthi saat ini mengandung anak ketiga. Selain itu datang pula adik-adik Basudewa yang lain. Mereka yakni Raden Aryaprabu dan Arya Ugrasena. Keduanya telah diangkat sebagai raja bawahan. Aryaprabu menjadi raja Kumbinapuri bergelar Bhismaka dan Ugrasena menjadi raja Lesanpura bergelar Satyajid. Setelah beramah tamah, Prabu Basudewa mengajak sang adik ipar untuk berburu hewan di hutan Boja “adhi Prabu, sekarang akan diadakan pesta empat bulanan untuk ketiga istriku dan kebetulan Dinda Kunthi juga sama hamil pula. Kita kekurangan makanan untuk pesta jadi kami harus berburu. Apakah adhi prabu mau ikut?” Pandhu Dewanata pun setuju “ Tentu, kakang Prabu. Mari segera berburu mumpung hari belum gelap” Tanpa banyak waktu mereka langsung berangkat. Sampailah mereka di hutan Boja, hutan perburuan negara Mandura. Mereka akhirnya berhasil mendapatkan anyak rusa dan kijang. Prabu Pandhu berkata “kakang prabu, sepertinya hasil buruan kita sudah cukup, kita kembali saja ke istana. Hari dah semakin gelap.” Belum sempat Prabu Basudewa bicara, datanglah sepasang harimau dan seekor ular raksasa. Tiga hewan buas itu menyerang hewan-hewan buruan dua raja tersebut. Karena terkejut, Basudewa dan Pandhu segera memanah harimau dan ular raksasa itu. ajaib, begitu tiga hewan itu tumbang, bangkai mereka hilang lalu bertukar wujud sebagai tiga cahaya. Sepasang harimau berubah menjadi cahaya hitam kebiruan dan kuning keemasan, sedangkan ular raksasa berubah menjadi cahaya putih kemerahan.

Harimau dan ular jelmaan Wisnu dan Adisesha
Ketiga cahaya itu melesat menuju keraton Mandura.” adhi prabu, cahaya itu mengarah ke keraton. Ayo kita ikuti” “mari kakang prabu Basudewa. Aku khawatir bila cahaya itu pertanda bahaya”. Ketika sampai, Prabu Basudewa dan Prabu Pandhu Dewanata melihat tiga cahaya itu masuk ke dalam perut isteri-isteri mereka yang tengah tertidur di keputren. Cahaya putih kemerahan masuk ke kandungan Dewi Rohini, sedangkan cahaya hitam kebiruan dan kuning keemasan masuk ke kandungan Dewi Dewaki dan Dewi Kunthi. Mereka merasa lega bahwa cahaya-cahaya itu tidak menyakiti isteri-isteri mereka. Upacara empat bulanan pun digelar dengan hikmat dan syahdu. Malam harinya, Prabu Basudewa mendapat mimpi dari Batara Wisnu “Basudewa, aku dan kakangku Nagaraja Adisesha telah datang kepada isterimu dan adikmu, Kunthi dalam wujud cahaya. Salah seorang anakmu dan anak Kunthi akan menjadi titisan-titisanku. Jika kelak anak-anakmu lahir, bawalah anak-anakmu ke dukuh Gokula karena kelak akan datang huru-hara yang ditimbulkan salah seorang putramu yang angkara.” Setelah mendapat mimpi itu, Prabu Basudewa pun tersentak bangun dengan keringat bercucuran. Ketiga isterinya ikut terbangun “kakanda, ada apa kakanda?” tanya Dewi Rohini “apa kakanda bermimpi buruk? Dinda Badrahini cepat tolong ambilkan air.” Ucap Dewi Dewaki. Dewi Badrahini pun segera mengambilkan air di kendi di dekatnya “ini kakanda, minumlah agar kakanda tenang.” sodor Badrahini yang membawa segelas air putih. Prabu Basudewa pun menceritakan mimpinya tadi. Isteri-isteri Basudewa pun kaget mendengarnya. Prabu Basudewa meminta para isterinya untuk merahasiakan mimpinya dari siapapun, termasuk dari Pandhu dan Kunthi. Setelah pesta empat bulanan selesai, Pandhu, Kunthi dan Madrim pun pulang ke Hastinapura.

Tiga bulan kemudian, terjadi sebuah keributan besar antara pasukan Goagra dan Mandura. Prabu Basudewa dibantu Prabu Bhismaka, dan Prabu Satyajid berusaha mengendalikan keributan itu. Lalu, datanglah seorang anak remaja tinggi besar berusia tiga belas tahun ke keraton Mandura. Sang pemuda itu mengaku bernama Kangsa, anak Dewi Maherah. Dia ingin dminta diakui sebagai putra Prabu Basudewa. “Mohon maaf, gusti Prabu. Maaf bila saya lancang. Perkenalkan, nama hamba Kangsa. aku adalah putra gusti dengan ibu Dewi Maherah yang pernah gusti prabu usir. Aku meminta hak untuk diakui sebagai putramu, gusti prabu!” Prabu Basudewa tiba-tiba teringat akan kata-kata Batara Wisnu tentang sosok putranya yang diramalkan akan membawa angkara murka. Prabu Basudewa menimbang-nimbang dan akhirnya memutuskan “Baiklah, aku akan mengakuimu sebagai putraku bila kau berhasil mengalahkan pasukan Goagra.” Tanpa ba-bi-bu lagi, Kangsa langsung ke medan perang. Seakan seperti dikode oleh Kangsa dan melihat kekuatan Kangsa yang hebat, pasukan Goagra berhasil dipukul mundur oleh Kangsa. Prabu Basudewa, Prabu Bhismaka,dan Prabu Satyajid kaget bukan kepalang. Prabu Bhismaka mengingatkan lagi “Kakang prabu, kita harus tetap waspada. Awasi anakmu yang satu ini” Prabu basudewa lalu berkata “baiklah, adhi Bhismaka. Tetap waspada. Kita tidak tahu apa niatnya selanjutnya.” Pada akhirnya, terpaksalah Prabu Basudewa mengakui Kangsa sebagai putranya dan diberi kedudukan di kadipaten Sengkapura sebagai adipati. Pada suatu hari, Kangsa berbincang-bincang pada ayahnya tentang adik-adik tirinya yang belum lahir “ayahanda, aku ingin mengasuh adik-adikku di Sengkapura. Aku merasa adik-adikku kelak akan jadi orang hebat. Akan ku perlakukan mereka layaknya pangeran dan putri dari kahyangan.” Prabu Basudewa berkata “anakku, kau masih muda. Belum mengerti caranya mengasuh anak. Menikahlah terlebih dahulu barulah kamu mengerti cara mengasuh anak.” Kangsa berkata dengan nada sedikit meninggi “Ayahnda, Aku Sudah Menikah. Sudah Menjadi Suami Dan Tak Lama Lagi Isteriku, Dewi Asti Akan Melahirkan. Jika isteriku tak mampu, masih banyak mbok-emban di Sengkapura yang bisa menyusui adik-adikku.” Prabu Basudewa berkata “hmm...akan ayahnda pikirkan lagi.” Ya sebenarnya Basudewa tahu apa niat Kangsa sebenarnya, ialah ingin menghabisi adik-adik tirinya karena ia mendapat ramalan kelak ia akan dijatuhkan dan dihabisi oleh keturunan Trah Mandura.

Singkat cerita, datanglah hari persalinan bagi Dewi Rohini. Prabu Basudewa khawatir dengan nasib anak dan isterinya. Untungnya Kangsa sedang berkunjung ke Giribajra. Para mbok emban segera mengungsikan Dewi Rohini ke dukuh Gokula. Dengan cepat, mereka menarik perahu tambang menyebrangi Bengawan Yamuna sebelum Kangsa dan pasukannya menyadari hal tersebut. Lalu dengan siasat salah seorang abdi istana kepercayaan sang prabu datang meminta bantuan “gusti prabu, bantulah hamba. Saudari hamba baru saja meninggal saat melahirkan bersama bayinya. Bantulah hamba membiayai upacara ngaben untuknya.” Prabu Basudewa mendapat akal. Kangsa pun diperdaya dengan kabar bahwa Dewi Rohini meninggal saat melahirkan bersama bayinya. Kangsa yang terpedaya percaya saja malah memimpin upacara ngaben sang ibu tiri. Di saat yang sama dengan upacara ngaben itu, Dewi Rohini yang telah sampai di hutan Gokula ditolong oleh Nanda Antagopa dan penduduk Gokula. melahirkan seorang anak yang tampan. Oleh sang ibu, anaknya itu dinamai Balarama. Namun kerna sang ibu melahirkan saat pindah tempat di pengungsian ia juga dikenal sebagai sang Kakrasana.

Lalu beberapa hari kemudian ketika Kangsa sedang berada di Mandura, Dewi Dewaki dan Dewi Badrahini akan segera melahirkan. Angin dan hujan badai turun dengan derasnya. Petir menyambar-nyambar. Tanpa disadari siapapun, secercah cahaya merasuk ke dalam kandungan Dewi Badrahini. Bersamaaan dengan hal itu, terjadi keajaiban. Kangsa dan pasukannya bahkan hampir semua dayang dan emban mendadak dilanda kantuk yang hebat malam itu lalu mereka semua jatuh tertidur. Dewi Dewaki melahirkan seorang putra yang tampan berkulit gelap kehitaman.

Basudewa mengungsikan Narayana
Prabu Basudewa menamai putranya Raden Kresna karena kulitnya yang gelap kehitaman, namun karena juga teringat bahwa putranya adalah titisan Batara Wisnu, maka ia juga memanggilnya sebagai Bambang Narayana. Namun, ia tiba-tiba teringat kata-kata Batara Wisnu harus mengungsikan putranya ke Gokula. Dewi Dewaki memohon untuk memeluk putranya untuk terakhir kali sebelum berpisah. Dewi Badrahini yang masih pembukaan pertama segera menyuruh sang suami mengungsikan bayi Kresna “kakanda, cepat bawa Kresna ke Gokula. Biar Yunda Dewaki yang menjagaku.” . Dengan berat hati Basudewa segera menuju ke Gokula.

Singkat cerita, segeralah Prabu berangkat ke Gokula membawa putranya sendirian. Perjalanan Prabu Basudewa amat panjang dan melelahkan, Ketika sampai di pinggir Bengawan Yamuna, terjadi badai dahsyat. Air bengawan banjir dan mengalir sangat deras. Ombak bengawan menggeliat seakan saling sabung menyabung laksana diaduk-aduk. Prabu Basudewa yang kebingungan berdoa agar bisa menyebrang. Atas pertolongan dewata agung, munculah seekor ular naga penjaga bengawan Yamuna bernama Kaliya menolong Prabu Basudewa menyebrang. Seekor burung merak turut menyertai mereka dengan terbang sebagai penunjuk arah. Setelah tiba di desa Gokula, badai berhenti, hujan pun mereda. Ular Naga kaliya kembali ke Bengawan Yamuna. Burung merak juga kembali ke hutan. Tak lupa, merak itu memberikan sehelai bulu ekornya dan meletakkan bulu itu di kepala bayi Kresna. Setelah berjalan hampir separuh malam, sampailah Prabu Basudewa di rumah Nanda Antagopa dan Niken Yasoda yang juga dipanggil Niken Sagopi oleh penduduk desa. Setelah membukakan pintu, Nanda Antagopa bertanya sambil berbasa-basi “Gusti Prabu Basudewa, ada keperluankah datang kesini malam begini? Dan inikah putramu gusti prabu? Sungguh tampan” Prabu basudewa menerima sanjungan Nanda “Terimakasih, Nanda. Tak usahlah kau panggil aku Gusti Prabu, panggil saja kakang. Kita sudah bersahabat sejak lama. Aku kesini untuk meminta bantuanmu dan Yasoda untuk mengasuh putraku. Bagaimana isteriku Rohini dan anaknku darinya?” Nanda Antagopa bertanya lagi “isterimu baik-baik saja. Bahkan anakmu dari dinda Rohini telah lahir sehat.” Prabu basudewa bersyukur sekali. Lalu ia mendekati Niken Yasoda “Yasoda, bagaimana kabar anak kita, Udawa?” Niken Yasoda yang sedari tadi melamun terkejut dan lalu berkata dengan canggung “Udawa baik-baik saja bahkan sekarang ia mengasuh Balarama, anak tuanku dari dinda Rohini.” Sebenarnya sebelum menikahi keempat isterinya, Basudewa muda pernah terlibat skandal dengan Yasoda sehingga melahirkan seorang anak bernama Udawa. Bahkan bukan hanya dengan Basudewa, kedua adiknya yakni Bhismaka dan Setyajid pernah juga membuat hal yang sama sehingga juga melahirkan anak-anak yakni Larasati dari Bhismaka dan si kembar Pragota dan Hadimanggala dari Setyajid beberapa hari yang lalu. Nanda Antagopa lalu kembali membuyarkan perasaan canggung itu dengan menanyakan maksud Basudewa “lalu, Apa gerangan yang terjadi sehingga gusti ehh kakang mau menyerahkan tugas ini pada kami?”. Prabu Basudewa menghela nafas lalu menceritakan segalanya, mulai dari garis nasib anak keturunannya hingga ancaman Kangsa, putra haram Dewi Maherah. Nanda Antagopa dan Niken Yasoda merasa tidak keberatan malah merasa ini menjadi suatu kehormatan besar bisa mengasuh para putra Mandura. Setelah menyerahkan putra-putrinya, Prabu Basudewa kembali ke keraton Mandura. Mulai hari itu, para putra Prabu Basudewa diasuh oleh Nanda Antagopa dan Niken Yasoda diantara para petani dan penggembala di Gokula.

Setelah mengantarkan bayi Kresna, ia segera menemui Dewi Badrahini. Tepat waktu, dengan berjalan tertatih-tatih, Dewi Dewaki mengabarkan pada suaminya jika anak Dewi Badrahini barus saja lahir. Dewi Badrahini melahirkan putri yang cantik berkulit gelap manis seperti gula jawa. namun di saat bersamaan Kangsa datang merebut sang adik dari tangan Dewi Badrahini “akhirnya, adikku telah lahir..akan aku rawat dia.” Prabu Basudewa meminta Kangsa untuk mengembalikan jabang bayi Dewi Badrahini, tapi Kangsa menolak malah mendorong ayahnya itu hingga jatuh. Dewi Dewaki dan Dewi Badrahini pun menangis melihat sang jabang bayi dibawa pergi begitu saja. Di depan mata ayah dan dua ibu tirinya, Kangsa melemparkan si jabang bayi itu tinggi-tinggi, lalu dengan tanpa rasa bersalah Kangsa  berkata “ramalan dewa akan aku patahkan! Sekarang anak ini akan mati di tanganku!” Kangsa pun melemparkan si orok yang masih merah ke dinding. Mendadak terjadi keajaiban, si jabang bayi lalu bertukar wujud menjadi sesosok dewi bertangan banyak, wajah yang mengerikan. Semua orang segera memberi hormat, kecuali Kangsa yang merasa ketakutan. Sang Dewi itu dikenal sebagai Batari Yogamaya, bentuk welas asih dari batari Durga Mahakali lalu berkata dengan penuh kemarahan “Hei Orang Berdosa! Dosamu Sudah Terlalu Banyak dan Tak Terampuni! Jangan Kira Para Dewa Akan Tutup Mata? Keangkaramurkaanmu Akan Segera Tumbang! Anak–Anak Yang Akan Menjadi Sebab Kematianmu Sudah Berada Di Tempat Yang Aman!”

Penampakan Dewi Yogamaya 
Kangsa merasa ngeri kemudian ia jatuh pingsan. Secara ajaib, Batari Yogamaya berubah kembali sebagai cahaya lalu mendekati Basudewa dan membawa anak bayi yang dilahirkan Badrahini lalu berpesan “Basudewa, anakmu baik-baik saja. Sekarang segera bawa anakmu ini juga ke Gokula! Kau tak perlu khawatir tentang keselamatanmu dan para isterimu. Aku akan melindungimu dan mereka.” Dengan kekuatan perlindungan dewi, Basudewa berhasil menyebarangi Bengawan Yamuna yang masih banjir dan kembali menemui Nanda Antagopa meminta menjaga putrinya itu. Nanada Antagopa dengan senang hati menerimanya. Sebelum kembali ke Mandura, Prabu Basudewa berpesan agar sang anak gadis anak Dewi Badrahini itu diberi nama Sumbadra alias Bratajaya. Sejak saat itu Sumbadra diasuh bersama kedua kakaknya. Karena kulitnya yang hitam manis, Niken Yasoda memanggil Sumbadra sebagai Rara Ireng.

Jumat, 12 Juli 2024

Sarpa Yadhnya (Parikesit Lena/Mahabarata Kawedar)

Hai semua pembaca dan penikmat kisah-kisah pewayangan! Setelah hampir satu bulan vakum, penulis kembali bisa menulis kisah-kisah pewayangan dan kali ini penghabisan terakhir Mahabarata, jadi Kisah mahabarata resmi selesai. Kisah kali ini mengisahkan kelahiran Resi Astika, perlakuan tidak sopan Prabu Parikesit kepada Begawan Samiti yang berakhir dengan kematian Prabu Parikesit karena gigitan Naga Taksaka. Kisah diakhiri dengan Resi Astika menghentikan sesaji kurban ular yang dilakukan Prabu Udrayana dan diwedarkannya isi Kisah Mahabarata. Sumber kisah ini adalah Kitab Mahabharata karya Mpu Vyasa, https://id.wikipedia.org/wiki/Parikesithttps://id.wikipedia.org/wiki/Adiparwahttps://metrobali.com/negeri-terbelit-naga-taksaka/, https://id.wikipedia.org/wiki/Jaratkaruhttps://en.wikipedia.org/wiki/Manasa, dan sumber-sumber lain di internet.

Alkisahnya, Dewi Manasa, putri Batara Guru yang diaku sebagai adik Batara Basuki dan Naga Taksaka, putra Dewi Kadru tinggal di sebuah hutan yang jauh di pedalaman. Di gubuknya yang indah, hidup bersama para ular. Dewi Manasa adalah anak jelmaan racun Halahala Kalakota yang dahulu ditelan Batara Guru saat pengadukan Samuderamanthana. Ketika ia turun ke bumi, ia bertemu seorang pertapa bernama Begawan Jaratkaru. Begawan Jaratkaru terlihat dalam kondisi kepayahan seperti kelelahan. Dewi Manasa menolong sang begawan yang tengah kelelahan itu. Dewi Manasa lalu bertanya “ampun resi agung, kenapa kau bisa sepayah dan selelah ini? Apakah tuanku tidak makan apapun?” Bukankah di hutan ini banyak bahan makanan yang bisa kau konsumsi?” Jaratkaru berkata “ hai wanita cantik, aku pergi seorang diri mengembara dan mengunjungi berbagai tempat suci dan petirtaan. Bahkan aku berpantang untuk makan dan tidur, serta hanya mengandalkan udara semata untuk bertahan hidup, hingga akhirnya aku berusia tua seperti sekarang ini.” Lalu Dewi Manasa menghidangkan makanan dan minuman untuknya namun ia menolak makan. Ia hanya menenggak secawan besar air untuk mengganjal perutnya.

Begawan Jaratkaru dan Dewi Manasa
Setelah dirasa kenyang, Begawan Jaratkaru lalu melanjutkan ceritanya. Begawan Jaratkaru bercerita “dalam perjalananku, aku mencium bau wangi akar narwastu lalu aku mencium sumber wangi itu berasal dari sebuah pohon dengan lubang besar menganga di bawahnya. Aku melihat sukma ayah, ibu, kakek, nenek, dan para leluhurku sedang tergantung dengan posisi kepala menghadap bawah, yang terdapat sebuah lubang mengarah ke neraka. Kaki mereka terikat dengan tali dari jalinan rumput wangi (akar narwastu) yang digerogoti oleh tikus. Mereka mencaciku yang memutuskan untuk membujang selamanya sehingga mengakhiri garis keturunan. Mereka lalu membujukku untuk menikah dan melanjutkan keturunan agar bisa berangkat ke swargamaniloka.”  Dewi Manasa kemudian tertarik dengan kisah sang begawan dan meminta melanjutkan ceritanya.  Namun setelah didesak, sang begawan melanjutkan. Begawan Jaratkaru berkata “Pada awalnya aku menolak untuk mengikuti bujukan mereka, tetapi aku terus dirayu-rayu dan akhirnya akhirnya aku menyanggupi dengan syarat: pertama, wanita yang dipilihnya harus bersedia menikah atas kemauan si wanita sendiri dan yang kedua, si wanita bersedia untuk tidak dinafkahi lahir olehku. Dalam kondisiku yang kian tua dan miskin, aku terus berkelana untuk mencari pasangan yang sesuai keinginanku. Saat berada di dalam hutan, aku berdoa tiga kali untuk memohon pasangan hidup demi menunaikan janjinya kepada leluhur. Tapi setelah tiga kali aku berdoa, tetap saja Dewata diam saja. Aku frustrasi, sedih, marah, kecewa...campur aduk sudah rasanya...usahaku terasa percuma dan sia-sia. Aku pun pergi kabur kanginan hingga sampai seperti ini.” Dewi Manasa pun merasa inilah mungkin yang dikatakan sang kakak dahulu “kelak akan datang seorang perjaka tua yang putus asa dan akan menjadikanmu pasangannya. Kelak darinya pula, akan lahir seorang anak yang cerdas dan bisa membantu hubungan baik antara para naga dan manusia.” Dewi Manasa pun berkata “ tuanku, ambillah diriku sebagai pasanganmu. Nikahilah aku. aku bersedia dengan hati rela dan ikhlas. Aku bersedia tidak kau nafkahi secara lahir. Cukup menjadi pasanganmu sudah membuatku bahagia.” Begawan jaratkaru pun tak percaya dengan yang diucapkan Manasa. Ia akhirnya menemukan orang yang ia cari-cari dan itu sesuai dengan kriterianya. Singkat cerita, di tengah hutan yang indah itu, digelarlah pernikahan antara Begawan Jaratkaru dan Dewi Manasa. Datang pula Batara Guru, Batari Durga, dan Batara Basuki memberkahi pernikahan sang putri. Setelah menikah, Jaratkaru tinggal di gubuk istrinya. Begawan Jaratkaru memperingatkan istrinya bahwa ia akan minggat apabila sang istri mengecewakannya dua kali, sehingga Manasa melayani suaminya dengan penuh perhatian. Benar saja, selama tinggal di sana, sang begawan asik terlarut dalam semadhinya. Jarang sekali ia menggauli isterinya itu atau membantunya dalam hal rumah tangga. Meski demikian, Dewi Manasa memang isteri berbakti. Keinginan suami dituruti. Sepanjang hari ia juga banting tulang mencari kayu bakar, bahan makanan, dan menyiapkan segala keperluan suaminya.  Seiring berjalannya waktu, Manasa pun hamil. Hal itu membuat keduanya bahagia bukan main dan setelah sembilan bulan lamanya mengandung, akhirnya lahir seorang anak lelaki. Nama anak itu ialah Bambang Astika.

Segalanya baik-baik saja sehingga semakin lama beban Manasa semakin berat. Sesabar-sabarnya isteri tapi jika dapat pria yang cuma bisa menumpang hidup rasanya menyiksa. Lelah dan letih rasanya. Pada suatu pagi, Dewi Manasa kelelahan karena sepanjang hari sebelumnya ia kelabakan harus mengurus rumah, merawat Astika, dan menyiapkan segalanya untuk sang suami sendirian tanpa pembantu atau teman sehingga Dewi Manasa ketiduran dan bablas sampai siang. Jaratkaru pun ikut bangun kesiangan sehingga ia melewatkan pamujan trisandhya pagi. Sang begawan murka dan terjadilah pertengkaran. Begawan Jaratkaru pun mengancam untuk mengusir sang isteri ke neraka karena dianggap sebagai istri yang lalai. namun akhirnya ia berhasil ditenangkan oleh Batara Surya. Batara Surya memberikan nasehat “Jaratkaru, kau harusnya malu pada dirimu yang malas! Kau harusnya bersyukur punya isteri berbakti dan baik hati. Jangan hidup serba enak menumpang tanpa beban. Dunia ini bukan sekadar kegiatan rohani tapi juga jasmani. Keegoisanmu di masa lalu telah memberatkan hidup orang lain!” Begawan Jaratkaru pun meminta maaf dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Sejak itu, Begawan Jaratkaru bersedia melepas kriteria isterinya yakni ia bersedia menafkahi Manasa lahir dan batin. Begawan Jaratkaru kembali hidup dengan penuh kerja keras. Sekarang selain bersemadhi, kini Jaratkaru lah yang bertugas mencari kayu bakar dan mengambil air, sementara Manasa cukup mengurus Astika kecil dan membersihkan rumah. Hari-hari yang dilalui Begawan Jaratkaru dengan normal. Namun karena usia Jaratkaru yang memang sudah tua, ia merasa kelelahan tak kuat membawa beban berat. Hal itu membuatnya gampang capek dan akhirnya pada suatu hari, karena saking lelahnya, ia ketiduran. Pada saat itu, sang resi tertidur di pangkuan istrinya setelah lelah mencari kayu bakar. Sang begawan tertidur lelap sangat sehingga sudah hampir tiba waktunya matahari terbenam yang artinya sebenta lagi masa untuk melakukan pamujan trisandhya sandekala. Di dalam tidurnya, Jaratkaru mendapat penglihatan dari para dewa-dewi bahwa sebentar lagi ia harus pergi meninggalkan isterinya. Sementara itu, Manasa menghadapi dilema. Ia bingung untuk memilih apakah lebih baik membangunkan suaminya, atau membiarkan suaminya tertidur sehingga melewatkan trisandhya sandekala. Akhirnya Manasa memilih pilihan yang pertama. Ia berbisik di telinga suaminya agar terbangun untuk menyiapkan sesajen. Tindakan tersebut membuat sang resi marah. Ia berkata bahwa matahari tidak akan berani untuk terbenam sebelum Jaratkaru melaksanakan pamujan. Jaratkaru pun meninggalkan Manasa, meskipun sang istri telah meminta maaf dan mengakui kesalahannya. "Hai suamiku, maafkan dinda! Bukan maksud dinda menghina kakanda, saat aku membangunkan kakanda. Dinda  hanya mengingatkan saat sembahyang kakanda, tiap senja. Salahkah itu, apakah aku harus menyembah kakanda? Seyogyanyalah engkau kembali ... kakanda. Karena aku telah melahirkan, anak kita ini akan menghapuskan korban ular bagi saudara-saudaraku, dan kakanda dapat membuat tapabrata lagi." Mulai dari hari itu, pernikahan antara Begawan Jaratkaru dengan Dewi Manasa sang putri ular berakhir. Anak tersebut dipeliharalah oleh Batara Basuki, dididik serta diasuh menurut segala apa yang diharuskan bagi brahmana, dirawat dan diberi kalung brahmana. Dengan lahirnya Bambang Astika, maka arwah yang menggantung di ujung bambu itu dapat melesat pulang ke alam kelanggengan, menikmati pahala tapanya, yaitu tapa yang luar biasa. Patuhlah Astika, sehingga dapat membaca Weda. Diijinkannyalah dia untuk mempelajari segala sastra, mengikuti ajaran Bhrgu. Bambang Astika tinggal dengan ibu dan pamannya sampai beberapa lama sehingga Astika sudah cukup umur. Setelah remaja, Dewi Manasa harus kembali ke kahyangan bersama kedua kakak angkatnya, Batara Basuki dan Naga Taksaka. Bambang Astika pun pergi berkelana. Setelah cukup ilmu, ia mengajar ilmu dan hikmah lalu mendirikan padepokan di pinggir Wanamarta.

Pada suatu ketika, Prabu Parikesit sedang pergi berburu di hutan Wanasengkala. Di sana ia berhasil mendapatkan bidikan seekor kijang namun karena panahnya tidak benar-benar melukainya, kijang itu berhasil kabur dan menghilang di balik kegelapan hutan. Prabu Parikesit pun mengejarnya dan tak menemukannya. Lalu di dekat sebuah pohon beringin besar, ada sebuah gubuk tua. Gubuk itu nampak reot dan rusak. Bahkan saking reotnya, beberapa ekor tikus dan juga tampak sebuah liang tempat ular bersarang di sana. Prabu Parikesit berhasil mengusir tikus-tikus tersebut dan membunuh ular yang ada di dalam liang itu. setelah membereskan gubuk itu, Prabu Parikesit beristirahat. Ketika ia masuk ke dalam gubuk, ia baru sadar kalau gubuk ini ada yang menempati. Yaitu seorang pertapa. Prabu Parikesit mengenali pertapa itu, ialah Begawan Samiti. Gubuk ini ternyata tempat tinggal begawan Samiti. Karena terlalu  kelelahan, tanpa izin sang begawan Prabu Parikesit pun langsung beristirahat setelah lelah melakukan perburuan. Ketika itu Begawan Samiti sedang melakukan tapa mbisu. Karena masih kepikiran soal buruannya yang hilang, Parikesit pun bertanya “ampun Bapa, adakah Bapa tau mana seekor kijang lewat rumah bapa? Itu buruan patik yang berhasil kabur.” Begawan Samiti hanya bergeming, diam membisu. Tak ada sepatah kata dua kata terucap dari bibir sang begawan yang kering itu, karena pantang berkata-kata saat bertapa apalagi tapa ini jenis tapa mbisu.

Prabu Parikesit mengalungkan bangkai ular di leher Begawan Samiti
Berkali-kali prabu Parikesit meminta sang begawan menjawab pertanyaannya namun hanya hening yang ada. Sang begawan tetap saja diam. Setelah pertanyaannya berkali-kali tidak digubris, Prabu Parikesit merasa dongkol hati “Dasar Begawan Bodoh! Kau Ini Benar-Benar Bisu Tuli dan Hanya Suara Nafasmu yang Ku Dengar!? Suara Hela Nafasmu Seperti Desisan Ular!!”  Dengan penuh kemarahan Prabu Parikesit mengambil bangkai ular yang tadi ia bunuh lalu dengan anak panahnya, lalu mengalungkannya ke leher Begawan Samiti. Prabu parikesit pun pulang ke Hastinapura dengan perasaan dongkol dan kecewa.

Salah seorang murid Begawan Samiti yakni Wasi Kresa baru saja kembali dari berburu dan mendengar seseorang marah-marah. Ia lalu mendekat ke gubuk dan menyaksikan tindakan tidak sopan Prabu Parikesit dengan mengintip dari balik celah gedhek (dinding anyaman bambu). Wasi Kresa pun pergi mengendap-endap meninggalkan gubuk sebelum sang prabu menyadari keberadaannya. Singkat cerita, Wasi Kresa datang ke rumah putra Begawan Samiti yakni Resi Srenggi. “Den bagus! Den Bagus Srenggi! Buka pintunya, den! Ini aku Kresa! Resi Srenggi pun membuka pintu dan menenangkan Wasi Kresa “Hei Kresa, tenang dulu.... ada apa kok nampak terburu-buru?” lalu Wasi Kresa menceritakan kejadian yang ia saksikan tadi kepada sang putra Samiti tersebut.  Resi Srenggi kaget dan segera pergi ke rumah bapaknya dan melihat ayahnya sendang bertapa bisu namun telah berkalungkan bangkai ular dan ada anak panah milik Prabu Parikesit di dekatnya. Resi Srenggi sangat murka lalu menyumpahi Prabu Parikesit “Parikesit! Dasar Raja Bodoh! Orang Sedang Bertapa Malah Kau Perlakukan Tidak Hormat! Aku Sumpahi Kau Akan Mati digigit Ular Tujuh Hari Dari Sekarang!”Sumpahan Resi Srenggi diiringi suara gelegar halilintar dan kelit yang menyambar-nyambar menakutkan. Begawan Samiti terbangun dari tapa bratanya dan merasa kecewa terhadap perbuatan putranya tersebut “Srenggi?!” bentak Begawan Samiti. resi Srenggi pun menoleh dan melihat sang ayah sudah bangun “ampun, bapa...jangan hukum daku...anak mana yang tidak sakit hati yang melihat ayahnya diperlakukan tidak adil, apalagi oleh seorang raja!” Begawan Samiti lalu berkata “kesabaranmu belum di tahap puncak, Srenggi! kau sudah berani mengutuk raja yang telah memberikan kita tempat berlindung. Kita bisa hidup di negaranya sudah bersyukur!” lalu Begawan Samiti meminta Resi Srenggi menyucikan pikirannya dahulu. Akhirnya Samiti berencana untuk membatalkan kutukan putranya. Ia lalu mengutus muridnya yang tak lain Resi Utangka. Resi Utangka sebelumnya pernah berguru kepada Begawan Weda, murid Begawan Dhomya. Resi Utangka pun datang kepada Prabu Parikesit di Hastinapura. Sesampainya di istana, Patih Harya Dwara bersama ketiga putra Parikesit yakni Raden Janamejaya (Udrayana), Raden Indrasena (Ramayana), Raden Ramasena (Ramaparwa), lalu diikuti Tumenggung Wisangkara, dan Panglima Wiratmaka bersama para keturunan Pandawa lainnya menyambut Resi Utangka dengan hormat. Resi Utangka pun membeberkan apa tujuannya datang ke hastinapura “ampun gusti Paduka, kedatangan patik kemari untuk Paduka agar datang kembali ke pertapaan guru saya, Begawan Samiti. Putra guru, den bagus Srenggi telah mengutuk pasu Paduka agar mati karena gigitan ular karena perbuatan paduka. Karena itulah , paduka telah diundang guru ke pertapaan demi melindungi diri Paduka.” Resi Yodeya, yang tak lain ayah dari Endang Yodini mendukung apa yang dikatakan Resi Utangka “anak prabu, baiknya kau datang penuhi undangan Begawan Samiti.” Lalu kakek Semar memberikan petunjuknya “hmm...ndoro prabu... dengarkanlah Den bagus Resi Utangka dan den bagus  Yodeya... ini demi kebaikan ananda prabu.” tetapi sang raja menjaga gengsi dan malu saat mendengar tawaran begawan Samiti, Resi Yodeya, dan Kakek Semar. Ia memilih untuk berlindung “tidak, tuan resi...aku malu jika harus bertemu dengan gurumu. Gurumu terlalu baik untukku. Aku akan melindungi diriku di balik tembok istana yang kokoh ini.” Maka hari itu segera dibangun tembok besar dan menara mengelilingi istana dan dalem puri. Selama beberapa hari itu, penjagaan semakin ketat dan jalan juga lorong menuju kamar sang raja Hastinapura juga dilengkapi oleh perangkap-perangkap mematikan. Sang raja mengisolasi dirinya sendiri demi terhindarkan dari kematian. Di sekeliling menara juga telah siap para tabib yang ahli menangani bisa ular.

Di tempat penyucian diri, Resi Srenggi masih merasa marah kepada Prabu Parikesit kemudian ia berdoa memanggil para naga dan ular. Tak lama kemudian, datang dari langit, seekor naga sakti terbang  ke arahnya, yaitu naga Taksaka. Naga Taksaka pun bertanya kepada sang resi “ada apa kiranya Resi memanggilku?” “hamba memanggil tuanku karena suatu tugas. Tugas dari hamba ialah menghabisi Prabu Parikesit karena dia telah menghinaku dengan mengalungkan bangkai dari bangsa tuanku di leher ayahku seakan-akan hendak menantangku.” Naga Taksaka merasa diatas angin “kebetulan sekali tuanku memenggil saya. Saya juga ada dendam pribadi dengan Arjuna dan keturunannya karena pernah mengusirku dahulu. Apapun keingiananmu akan aku kabulkan.” Maka berangkatlah Naga Taksaka pergi ke Hastinapura untuk melaksanakan perintahnya menggigit raja Parikesit. Penjagaan di Hastinapura sangat ketat. Sang Prabu berada dalam menara tinggi di tengah kamarnya dan dikelilingi oleh prajurit, brahmana, dan ahli bisa. Naga Taksaka pada awalnya mengalami kesulitan untuk menjalankan perintah itu. 

Akhirnya pada hari ketujuh, yaitu hari yang diramalkan menjadi hari kematiannya sang Prabu, naga Taksaka meminta saudaranya yakni Naga Kaliya untuk menyamar menjadi seorang pelayan dan dia akan menyamar menjadi ulat dan masuk ke dalam buah jambu yang dihaturkan kepada Sang Prabu. Pelayan jelmaan naga Kaliya pun masuk ke kamar sang prabu “ampun paduka, ini saya pelayanmu....hamba datang memberikan makanan untuk makan malam hari.” Prabu Parikesit pun berkata di tangga rahasia menara. “letakkan makanannya di depan pintu tangga. biar aku yang mengambilnya sendiri.”  Setelah pelayan itu pergi, Prabu Parikesit membuka pintu tangga. Ia pun melihat keluar jendela, hari sudah hampir gelap. Prabu parikesit pun mengambil buah jambu itu sambil berkata mengejek “ahahaha...sudah hampir malam dan hari akan berganti...sumpah Srenggi sudah tawar karena kecerdasanku menghindari kematian. Ah..aku lapar.... aku makan saja jambu ini.”

Parikesit Lena
Pada saat Prabu Parikesit menyantap jambu yang dihidangkan, Tiba-tiba seekor ulat keluar dari buah itu dan lalu berubah wujud kembali sebagai Naga Taksaka. Prabu Parikesit kaget dan ketakutan. Ia berlarian ke sana kemari. Suara minta tolong terdengar lantang namun sudah terlambat. Kutukan tersebut menjadi kenyataan., naga Taksaka melilit tubuh sang raja, menggigit dan menyuntikkan bisa racunnya. Tubuh sang prabu pun perlahan terbakar dan perlahan meleleh oleh bisa panas dan korosif milik Taksaka. Naga Taksaka pun terbang menembus atap menara istana dengan gembira hati karena dendamnya dan dendam resi Srenggi telah terbalaskan.

Orang-orang di istana melihat di kejauhan kamar raja terbakar. Raden Janamejaya bersama lainnya menuju ke kamar itu. Perangkap-perangkap maut di lorong kamar ayahnya segera di-nonaktikan. Ketika memasuki kamar, benar kamar itu terbakar tapi api itu tidak menyebar, hanya terpusat di satu tempat yakni di dekat pintu tangga menara. Di sana ia tidak melihat ayahnya melainkan hanya mahkota dan pakaiannya saja tergeletak dan di dekatnya ada setumpuk abu juga beberapa sisik ular naga. Raden Janamejaya sangat sedih karena ayahnya telah tewas digigit naga sama seperti yang dikatakan Resi Utangka tujuh hari yang lalu. Setelah tujuh hari perkabungan, Raden Janamejaya dilantik sebagai raja Hastinapura. Ia pun memakai nama saat pengembaraannya yakni Prabu Udrayana.

Setelah menjadi raja, Prabu Udrayana melakukan sesaji Aswamedha (kurban kuda) dan menaklukan kembali kerajaan Gandaradesa lalu datanglah lagi Resi Utangka. Di sana mereka melepas rindu. Prabu Udrayana lalu bercerita “Resi...ketahuilah setelah ayahnda meninggal karena Naga taksaka beberpa bulan yang lau masih menyisakan trauma padaku dan keluarga. Apa salah ayahnda sampai harus menerima kutukan itu?” Resi Utangka lalu membeberkan alasan dibalik kematian Prabu Parikesit“gusti paduka, ketahuilah paduka bahawa kematian ayahanda paduka karena dulu Naga Takska punya dendam pada keluarga paduka dan dendam itu mendapat jalan lantaran Resi Srenggi.” Prabu Udrayana terhenyak “apa maksudmu, resi?” Resi Utangka lalu menjelaskan “ paduka, sebenarnya karena setelah mengutuk, den bagus Resi Srenggi juga mengutus naga Taksaka untuk menghabisi ayahnda paduka.” Prabu Udrayana menjadi marah mendengarnya. Ia pun berlalu pergi.

Singkat cerita, sekembalinya dari Gandaradesa, Prabu Udrayana berbincang dengan para sesepuh “para tumenggung, patih dan paman-pamanku sekalian. Aku telah mendengar penjelasan dari Resi Utangka bahawa ayahanda meninggal karena ulah Naga Taksaka yang punya dendam pribadi pada keluarga kita. Aku akan mengadakan upacara sesaji Sarpa Yadhnya, sesaji untuk membunuh semua ular dan naga demi ketenangan ayahnda.”  Para sesepuh kaget mendengarnya. Lalu adik pertama sang prabu yakni Raden Indrasena menyampaikan pendapatnya “kakang prabu, apa tidak terlalu berlebihan? Hanya karena satu ular naga yang bersalah, semua harus dikorbankan? Ingat kakang, ular juga punya peran penting di dunia sebagai pembasmi hama tikus. Raja naga Anantaboga juga adalah kakek canggah kita dari eyang Antareja.” Prabu Udrayana berkata “aku tidak peduli, dinda Indrasena. Karena gigitan ular pula ayah kita meninggalkan kita semua. Dinda Ramasena, cepat siapkan sarana upacara yadhnya !” Raden Ramasena hanya bisa menyanggupi “baik, kakang prabu. Perintahmu segera ku laksanakan.” Keputusan Udrayana sangat disesalkan oleh para sesepuh terutama oleh Arya Danurwenda, sepupu ayahnya yakni putra Antareja juga Tumenggung Wiratmaka, putra Irawan yang kakek dari pihak ibu adalah tumenggung istana Jangkarbumi, kerajaan para naga. Beberapa hari kemudian, Raden Indrasena dan Raden Ramasena menyiapkan segala kebutuhan upacara dan mengundang para pendeta, ajar, resi, dan ahli mantra untuk membantu proses upacara. Setelah sarana dan prasarana sudah lengkap, sang raja menyelenggarakan Sesaji Sarpa Yadhnya. Api di tungku pengorbanan berkobar-kobar. Dengan mantra-mantra suci yang dibacakan oleh para brahmana dan resi, beribu-ribu ular (naga) melayang di langit bagaikan terhisap dan lenyap ditelan api pengorbanan. Di istana Jangkarbumi, Arya Danurwenda juga pangeran ular naga merasakan dada dan kulitnya terbakar karena ia bisa merasakan kesakitan dan penderitaan para ular yang terbakar api yadhnya. Karena keadaan semakin tidak baik-baik saja, Arya Danurwenda segera memberitahu para sepupunya yakni Prabu Sasikirana, Tumenggung Wiratmaka dan Raden Antasurya. Setelah berkumpul di istana Jangkarbumi, semuanya kaget melihat tubuh Danurwenda yang dipenuhi luka bakar “Kakang Danurwenda, kenapa dengan tubuh kakang? Tubuh kakang terlihat gosong.” Tanya Antasurya. Danurwenda lalu berkata “ini karena ananda Prabu Udrayana melakukan sesaji Sarpa Yadhnya. Kalian kan tahu aku juga pangeran ular naga.” Prabu Sasikirana membenarkan “benar juga. Upacara ini tidak boleh diteruskan. Bisa-bisa semua ular dan naga di seluruh dunia habis.” “benar kakang, tapi apa yang bisa kita lakukan?” tanya Tumenggung Wiratmaka. Lalu datanglah bersama kakek Semar Arya Wisangkara membantu “kakang semua, mungkin aku bisa memberikan solusi!”  Prabu Sasikirana bertanya apa solusinya. Arya Wisangkara berkata bahawa mereka Kerajaan Nagaloka di kahyangan.

Singkat cerita,  para cucu pandawa ditemani kakek Semar terbang ke kahyangan bertemu Naga Taksaka. Sesampainya di kahyangan, angin panas tiba-tiba bertiup kencang. Arya Danurwenda semakin merasa kesakitan. Ia tak kuat lagi berjalan dan tubuhnya seakan-akan ditarik ke bawah ke arah api yadhnya yang menyala berkobar-kobar. Prabu Sasikirana segera menggendong sepupunya itu.

Naga Taksaka disedot kekuatan mantra Sarpa Yadhnya
Ketika sampai di istana Nagaloka, para cucu Pandawa melihat Naga Taksaka mengalami hal yang sama seperti Danurwenda. Tubuh sang naga menjadi lemah dan seakan tersedot, ditarik kekuatan mantra api yadhnya. Prabu Sasikirana, Arya Wisangkara, dan Raden Antasurya segera menolong sang naga. Naga Taksaka bertanya “hei keturunan pandawa, apa yang kalian lakukan disini?” raden Antasurya berkata “naga Taksaka, bantu kami untuk menghentikan sesaji kurban ular yang dilakukan ananda prabu Udrayana.” “benar, tuanku naga Taksaka. Hanya tuan yang bisa membantu kami.” Ucap Tumenggung Wiratmaka  Naga Taksaka lau menjawab “tidakkah kalian melihat, aku juga tidak bisa membantu. Aku ikut tersedot.....” belum sempat melanjutkan bicara, Naga taksaka terhisap angin panas semakin jauh. Untungnya saja, ia masih berpegangan pada jubah milik Sasikirana dan kebetulan ia sedang terbang. Naga Taksaka lalu teringat tentang keponakannya Bambang Astika. Naga Taksaka berkata pada para cucu Pandawa “cucuku, aku tahu siapa yang bisa membantu kita.” Dengan sisa kekuatannya, Naga Taksaka menyuruh Sasikirana turun ke Hutan Wanamarta. Maka turunlah mereka ke Hutan Wanamarta. Sementara, kakek Semar akan pergi ke tempat lain untuk menemui seseorang.

Tanpa disadari mereka, sukma Maharesi Abiyasa yang tak lain kakek canggah mereka yang ada di kahyangan memperhatikan mereka. Maharesi Abiyasa segera berdoa “ohh pukulun dewata, bantulah para cicit piutku agar bisa menyadarkan Udrayana.” Tak lama kemudian datanglah batara Ganesa “Abiyasa, aku telah datang menjawab doamu. Solusi untuk masalah ini akan aku tuliskan di dalam sebuah kitab. Kitab tentang leluhurmu, dirimu, dan keturunanmu akan kutulis secara terperinci.” Batara Ganesa segera menyiapkan daun-daun lontar dan menuliskan semua isi kitab itu, dimulai dari kisah para leluhur kerajaan Hastinapura, lalu dilanjutkan kehidupan kerajaan di Hastinapura dari Santanu hingga Abiyasa, kehidupan Dretarastra, Pandu Dewanata, dan Arya Widura beserta pernikahan mereka, kisah keluarga Yadawa, kelahiran Pandawa dan Kurawa, masa muda mereka, berdirinya Amarta, permainan dadu, pengasingan dan penyamaran, Bharatayudha hingga akhirnya pada pengorbanan ular. Semua ditulis dengan rinci tanpa satu bab pun terlewat. Dengan kecepatan daya ingat sang Batara Ganesa, Kitab Mahabarata pun berhasil dituliskan. Sukma Maharesi Abiyasa lalu turun ke bumi untuk memberikan kitab itu kepada salah satu muridnya yakni Begawan Wesampayana. Kala itu Begawan Wesampayana sedang tidur dan didatangi gurunya itu lewat mimpi “muridku yang terkasih...terimalah kitab ini dan sampaikan kepada Udrayana, cucu cicitku kisah tentang kakek buyutnya dan alasan kenapa Taksaka harus menghabisi Parikesit yang sebenarnya.” “baiklah guru....hamba terima kitab ini” tak lama, Begawan Wesampayana bangun dengan keringat bercucuran dan mendapati sebuah kitab. Kitab itu sama seperti yang diberikan sang guru lewat mimpi.lalu datang kakek Semar “Wesampayana! Kau ada di padepokan? Keluarlah, ini aku kakek Semar” Begawan Wesampayana pun keluar dari padepokannya. Ia menyambut sang punakawan yang telah menemani gurunya dan para Pandawa itu. Baegawan Wesampayana berceritera “kakek, tadi aku baru saja mendapat mimpi dari guru dan mendapat kitab Mahabarata yang Beliau dapat dari Kahyangan.” Kakek Semar pun ikut bercerita bahwa sekarang ada huru-hara di Hastinapura dan dan mungkin sang guru memberinya kitab itu untuk meredam huru-hara yang terjadi. Tanpa banyak waktu, berangkatlah mereka berdua ke Hastinapura dan tak lupa pula Begawan Wesampayana membawa kitab Mahabarata.

Sesampainya di hutan, Naga Taksaka segera memanggil sang keponakan. Lalu berdirilah seorang resi muda. Ia lah Bambang Astika atau sekarang ia dikenal sebagai Resi Astika. Sang pandita muda itu menyambut kedatangan mereka. “salam paman Taksaka. Dan kalian pasti para cucu Pandawa itu. suatu kehormatan bisa bertemu kalian.” Naga Taksaka dan lainnya menerima salam Resi Astika. Sang resi lalu betanya” ada apa paman taksaka dan para cucu Pandawa yang agung menemuiku?” Naga Taksaka menceritakan setiap kejadian dari awal hingga akhir. Naga Taksaka meminta bantuan kepada Astika untuk menggagalkan upacara sesaji Prabu Udrayana “keponakanku, setelah mendengar kisahku, aku minta tolong segera hentikan sesaji Sarpa Yadhnya milik Prabu Udrayana.”

Resi Astika menghentikan sesaji Sarpa Yadhnya
Resi Astika menerima tugas tersebut lalu pergi ke lokasi upacara sesaji. Di sana angin yang sangat panas berhembus sangat kencang menarik semua ular dan naga ke tengah api yang marak. Resi Astika lalu mendekati Prabu Udrayana. Ia menyembah-nyembah sang raja Hastinapura memohon agar Sang Raja membatalkan yadhnya “ampun Paduka Prabu, tolong hentikan upacara ini. Keseimbangan alam akan goyah jika bangsa ular tidak ada.” Prabu Udrayana bertanya “apa hubungannya ini denganmu? Memang siapa kau bernai meminta begitu?” Resi Astika menajwab “aku Astika, putra Dewi Manasa sang dewi ular. Kakekku Batara Guru dan Batari Durga. Pamanku Batara Basuki dan Naga Taksaka yang akan paduka habisi. Aku mohon dengan kemurahan hati paduka hentikan sesaji ini.” Sang Raja yang memiliki rasa belas kasihan terhadap Resi Astika luluh dan akhirnya membatalkan upacaranya. Sesaat setelah upacara dibatalkan para ular naga menunduk hormat kepada Resi Astika dan memohon maaf kepada Prabu Udrayana lalu mereka kembali ke hutan. Akhirnya, Resi Astika berterima kasih kepada sang raja lalu ia mohon diri untuk kembali ke padepokannya. Naga Taksaka, Arya Danurwenda, dan para ular, naga, beserta keturunan mereka pun selamat dari upacara tersebut.

Setelah Resi Astika menggagalkan upacara yang dilangsungkan sang raja, Prabu Udrayana dikunjungi oleh kakek Semar dan Begawan Wesampayana. Sang prabu menyambut kedatangan kedua orang kepercayaan kakek buyutnya itu. “anak prabu, kedatangan ku bersama begawan Wesampayana untuk meluruskan dan bernostalgia dengan kisah-kisah dari para leluhurmu.” Prabu Udrayana seketika itu merasa rindu kepada ayah dan kakek buyutnya. Ia memohon pada Begawan Wesampayana agar menuturkan kisah para leluhurnya “Wahai bapa Begawan, engkau telah melihat dengan mata kepalamu sendiri, tingkah polah para kakek buyutku, Kurawa dan Pandawa. Aku penasaran untuk mendengarkan sejarah mereka darimu. Apa sebab dari perpecahan di antara mereka yang diakibatkan oleh perbuatan luar biasa tersebut? Mengapa pula Perang Bharatayudha—yang menyebabkan kematian insan yang tak terhitung banyaknya—terjadi di antara para leluhurku, yang pikiran jernihnya dikaburkan oleh takdir? Wahai bapa Begawan yang mulia, ceritakanlah kepadaku segala hal yang terjadi sejelas-jelasnya.” Begawan Wesampayana pun menuturkan kisah panjang untuk sang raja, yaitu kisah para kakek buyutnya―Pandawa dan Kurawa. Sesuai keinginan Udrayana, Wesampayana memulai dari ikhtisar perseteruan antara Pandawa dan Kurawa. Kemudian kisah berlanjut tanpa kronologis dan meloncat-loncat karena mengikuti kehendak sang raja.

Begawan Wesampayana mewedarkan isi kitab Mahabarata
Maka dari itu percakapan antara Udrayana dan Wesampayana menentukan mana cerita yang didahulukan dan mana yang belakangan. Kilas balik yang tercatat meliputi kisah Prabu Sentanu dan Satyawati, kemudian kelahiran Karna dan Sri Kresna, kisah awal mula kehidupan Begawan Dorna, kisah para leluhur sang raja, yaitu Dusyanta, Shakuntala, dan putra mereka yakni Baharata, serta kisah kakek moyangnya yang bernama Maharaja Yayati yang menurunkan lima putra dan mendirikan lima suku besar. Lima suku tersebut diturunkan oleh Yadu, Tuwasu, Drahyu, Hanu, dan Puru. Leluhur Udrayana diturunkan oleh Puru. Garis keturunan berlanjut kepada keluarga keraton Hastinapura. Lalu berlanjut ke kisah leluhur maharesi Abiyasa, dimulai dari Resi Manumayasa, kemudian berlanjut ke putranya, Bambang Sekutrem yang menikahi putri prabu Baharata, Nilawati lalu Begawan Sakri, hingga pernikahan anak Sakri yakni Palasara dengan Satyawati hingga melahirkan Abiyasa, orang yang menjadi penyambung darah Baharata yang hampir putus karena Bhisma, anak Sentanu bersumpah hidup membujang. Dari Abiyasa lahirlah Drestarastra, Pandhu Dewanata, dan Arya Widura. lalu juga kisah Begawan Mandawya atau Animandaya dengan Begawan Dharmajaya yang membuat sang begawan Dharmajaya lahir sebagai Arya Widura. Kisah dilanjutkan ke kelahiran Pandawa dan Kurawa, lalu masa muda mereka, pembakaran rumah Bale Sigala-gala, pernikahan Pandawa dan Kurawa, pendirian Amarta, sesaji Rajasuya, permainan dadu dan pengasingan Pandawa hingga Perang Bharatayudha. Prabu Udrayana merasa terkesan dan akhirnya tau seluk beluk tentang keluarganya. Prabu udrayana lalu bertanya “Bapa Begawan, lalu bagaimana kisah hidup mereka selanjutnya?” Begawan Wesampayana lalu menceritakan kelahiran ayah Prabu Udrayana yakni prabu Parikesit, kutukan Dewi Gendari kepada Sri Kresna, Prabu Yudhistira menjadi raja, lalu kisah diakhiri dengan kemoksaan sesepuh Hastinapura, penghancuran Trah Yadawa, dan moksanya para Pandawa. Prabu Udrayana bersama seluruh keturunan Pandawa dan Kurawa lainnya terharu. Setelah disampaikannya kisah Mahabarata, begawan Wesampayana pun pamit pulang bersama kakek Semar dan para sesepuh lainnya. Sebelum pergi, begawan Wesampayana menyerahkan Kitab Mahabarata kepada sang raja dan hendaknya isi dari kitab itu disebarkan Sejak hari itu, Kisah Mahabarata menjadi kisah yang melegenda. Prabu Udrayana memerintah negeri dengan bijaksana. Setelah meninggalnya Prabu Udrayana beberapa puluh tahun kemudian, Hastinapura diperintah putra Udrayana yakni raden Shatanika yang bergelar Prabu Gendrayana. Khawatir kisah leluhurnya akan hilang karena kitab Mahabarata yang mulai lapuk, Kitab Mahabarata ditulis ulang, diperbanyak, dan disebarkan luas ke seluruh daratan Aryawata (Hindustan dan Jawadwipa) dari generasi ke generasi.....

TAMAT