Sabtu, 28 Desember 2024

Banjaran Sri Kresna Episode 5: Keajaiban Tarian Raasaleela

 Hai hai.......Selamat datang kembali....... Btw, kisah kali ini mengisahkan kedekatan Radha dan Kanha (Narayana). Kisah diawali dengan Narayana mengalahkan Watsasura yang menyamar sebagai anak lembu lalu terciptanya Tandhawa Raasaleela, dilanjutkan dengan terbunuhnay Handaka Aristasura, dan  penebusan dosa Narayana dengan mandi tujuh sumber air suci. Kisah diakhiri dengan tarian Raasaleela kembali dipentaskan di hutan Nidhiwana. Kisah ini mengambil sumber Kisah Mahabharata karya Mpu Vyasa, Serial Kolosal India Radha Krishna StarBharat, Serial Animasi Little Krishna, beberapa kitab Purana, blog https://kisahspiritualtaklekangzaman.wordpress.com/2017/07/25/krishna-kecil-memusnahkan-keserakahan-vatsasura-srimadbhagavatam/https://kisahspiritualtaklekangzaman.wordpress.com/2017/08/10/krishna-kecil-keangkuhan-aristasura-mengabaikan-guru-srimadbhagavatam/

Watsasura si Anak Lembu Iblis

Radha semakin penasaran dengan Narayana sejak pertemuannya di sidang pengadilan pencuri pakaian wanita tempo hari. Sepanjang hari ia bersama Rara Ireng mengamati Narayana. Pelan-pelan timbul rasa cinta dalam diri Radha kepada Narayana. Pada sebuah kesempatan, Narayana dan teman-temannya kepergok mencuri kendi dan guci berisi susu, mentega dan minyak ghee (samin). Radha dan Rara Ireng marah melihatnya lalu mendatanginya “Hei! kakang ini! Kembalikan minyak samin dan mentega itu.” Narayana berkelit “ehh..kenapa Radha, aku tidak mencurinya. Aku hanya mengambilkannya untuk temanku, Madhu Manggala.” Rara Ireng lalu mendekat hendak mengambil kendi yang masih utuh. Namun dengan cepat Narayana berkelit mengambil kendi itu “ ehh ehh...adikku yang manis, kamu juga mau, ya?” “apanya yang mau kakang? aku mau mengembalikannya ke bibi Komala. Siniin dong, kakang!”  Narayana menjahili adiknya itu dengan jahil. Lalu ia kabur. Radha dan Rara Ireng kesal lalu mengejar Narayana dan teman-temannya. Kejar-kejaran terjadi hingga masuk ke hutan. Setelah merasa aman, Narayana, Madhu Manggala, dan teman-temannya berpesta makan mentega dan minyak ghee. “kau hebat Narayana. Radha dan adikmu Rara Ireng sudah pasti tidak akan menemukan kendi-kendi ini.” Udawa lalu berkata “ hhhh....Kanha....sudah ya aku tidak akan ikut-ikutan lagi...” Udawa merasa sudah capek dengan kelakuan nakal adiknya “sudahlah kakang Udawa...toh bukan kali ini adhi kita ini melakukannya dan tidak pernah ketahuan. Pokoknya, Kakang Udawa! Kanha!, yuk kita makan.” Seru Kakrasana. Udawa yang tadinya lesu kembali semangat. Mereka pun makan sampai kekenyangan dan mulut belepotan susu. Suara sendawa Narayana terdengar begitu keras. Suara itu rupanya terdengar oleh Radha dan Rara Ireng. Narayana yang merasa kekenyangan lalu merasa telinganya dijewer “aduh! Adududududh.....sakit....tolong jangan jewer’ Narayana menoleh, kaget dia melihat Radha dan rara Ireng. Radha dengan wajah kesal namun sedikit manja “kakang , akan aku adukan ke bibi Komala  karena perbuatanmu!” “ja-jangan Radha...... baiklah baik... aku janji tidak akan mencuri...tolong lepaskan jeweranmu” Radha lalu berkata “ baik..aku tidak akan melaporkan ke bibi Komala. Tapi kau tetap harus di hukum....” Radha lalu berpikir hukuman apa yang pantas untuk Narayana. Lalu ia melihat sebuah pohon mangga yang berbuah banyak dan ranum. “kakang! Lihatlah ke pohon itu. buahnya sudah masak dan ranum. Aku ingin kakang dan kakakng kakrasana mengambil semua buah mangga itu semua tanpa tersisa satu pun. Karena aku aku akan membagikan buah-buah dan membuat sari buah yang enak. Aku akan datang lagi besok petang.” Narayana menyanggupinya “hmm...baiklah Radha...kalau bisa malam ini akan ku ambil semua.” Radha lalu pergi bersama Rara Ireng kembali ke desa. Narayana dan Kakrasana bersama anak-anak lainnya tetap menggembalakan anak-anak lembu di tepi Bengawan Yamuna malam itu. kakrasana lalu bertanya pada adiknya “Kanha, kau yakin akan mengambil hukuman ini?! Memetik dan mengumpulkan mangga di satu pohon besar ini perlu waktu lama lho!” Narayana lalu berkata “tenang saja kakang, kita akan dapat caranya.”

Sementara itu, di Kadipaten Sengkapura, Adipati Kangsa dilanda risau karena bermimpi buruk. Ia bermimpi dibunuh oleh anak sakti yang akan membunuhnya. Kangsa lalu memanggil bawahannya soal kabar Nagasura yang telah ia kirim ke Gokula “Mantri Akrura, bagaimana kabar Nagasura?” Mantri Akrura berkata “maaf tuanku...Nagasura telah dibunuh oleh tiga anak penggembala.” Adipati kangsa murka “Apa?! Terbunuh?! Tak bisa kubiarkan lagi. Semakin menjadi-jadi...” lalu dari luar ruangan datanglah Watsasura, salah satu ajudannya untuk membunuh Narayana. “tuanku tenang saja.....akan aku kelabuhi malaikat kematianmu dan ku habisi, tuanku Adipati.”Watsasura, sang asura lalu berangkat ke Gokula. Ketika sampai, pedukuhan tersebut telah kosong. Lalu ia menyaru sebagai pengembara dan bertanya spada setiap orang yang lewat. Menuruta penuturan orang-orang tersebut, orang-orang Gokula sudah pindah dan membangun desa baru di selatan Barsana yakni Wanua Gobajra. Tak memakai waktu lama lagi, asura itu berangkat ke Gobajra. Lalu Watsasura mencari-cari sang malaikat kematian Kangsa. Lalu ia melihat ada anak-anak penggembala sedang melempari buah mangga. Watsasura bergumam “sepertinya malaikat kematian Kangsa ada diantara anak-anak itu. aku akan berbaur dengannya dan membunuhnya.” Watsasura kemudian mengubah wujudnya menjadi anak lembu dan menyusup bersama rombongan anak lembu yang digembalakan oleh Narayana,

Narayana menunggangi Watsasura
Kakrasana dan teman-temannya. Narayana menggamit Kakrasana, agar memperhatikan anak lembu perwujudan dari Watsasura. “lihat kakang ada anak lembu yang aneh.” “benar Kanha, dia terlihat lebih besar dari biasanya. Sepertinya dia sudah bisa ditunggangi.” Udawa lalu menggetok kepala “kau ini, Kakrasana, ada-ada saja. Mana bisa anak lembu ditunggangi. Kanha adikku, baiknya kau biarkan anak lembu itu...lha mana Kanha?” Narayana yang sedang dinasehati Udawa malah mendekati anak lembu yang tidak biasa itu dan menunggangi punggungnya. Anak lembu jelmaan Watsasura pun meronta-ronta seperti ditimpa beban berat dari Narayana “ aduh...badan anak ini berat banget...punggungku bisa copot.......adudududuhh....jangan-jangan dia ini malaikat kematian Kangsa....ini kesempatan besar.” Seketika Narayana yang berada di punggung anak lembu itu kaget tiba-tiba anak lembu itu mengamuk hendak melemparkannya dari punggungnya. Akibatntya Narayana jatuh. Watsasura melihat kesempatan hendak menyeruduk anak berkulit gelap itu. Narayana cepat berkelit dan menghindar. Anak lembu itu lalu mengaum bukan melenguh seperti anak lembu pada umumnya. Suaranya sangat keras sampai-sampai Radha dan rara Ireng yang berada di Barsana mendengarnya “dinda, dengar suara auman gak?” “iya mbakyu...aku dengar. Suaranya seperti terdengar dari tempat kakang Narayana.” Entah kenapa Radha merasa khawatir dengan keselamatan Narayana. Rara Ireng melihat gelagat itu lalu mengajak Radha ke tempat Narayana dihukum kemarin “ayo mbakyu...kita ke tempat kakang sekarang.”

Sementara itu, pertarungan terjadi semakin sengit. Beberapa kali, anak lembu jelmaan Watsasura itu mengamuk lalu berlarti hendak menanduk Narayana. Untungnya Narayana gesit dan membuat anak lembu itu beberapa kali menabrak pohon mangga. Buah-buahnya yang ranum rontok semua. Udawa, Kakrasana dan para gembala terlihat senang melihat buah-buah itu berjatuhan. Karena semakin kesal, anak lembu mengubah ukuran tubuhnya menjadi raksasa. Dengan ancang-ancang, Watsasura yang sudah di mode terkuatnya menanduk Narayana. Namun Narayana sudah siap dan langsung memegang kaki kanan anak lembu tersebut, memutar-mutarnya dan melemparkannya pada pohon mangga, dan anak lembu jelmaan Watsasura tersebut mati. Radha dan Rara Ireng pun sampai di tempat Narayana “kakang, kami mendengar suara ribut dari jauh. Apa yang terjadi?” “Narayana lalu menyerahkan sekeranjang penuh buah mangga “ini kami memetik mangga-mangga ini.” Udawa lalu menyambung sambil menunjuk ke arah pohon mangga“dan juga berkelahi dengan dia.” Radha dan Rara Ireng melihat tubuh seekor anak lembu raksasa tergeletak di dekat pohon mangga. Keajaiban pun terjadi. Seberkas cahaya tiba-tiba muncul dari anak lembu tersebut kemudian jatuh di kaki Narayana dan kemudian lenyap.

Kemunculan Handaka Aristhasura

Kekuatan luar biasa Narayana telah membuat seisi desa Barsana gempar dan sangat menghormatinya. Namun tidak dengan kelaurga Lurah Ugrapada terutama Nyai Jathila dan anak perempuannya , Niken Kutila. “Kutila lalu berkata pada ibunya “anak keluarga Nanda Antagopa itu memang suka cari-cari perhatian..kalau dibiarkan, kakang Ayyan bisa tidak sukses jadi penerus kepala desa penurus ayahanda Lurah.” “kau benar, anakku. Aku juga benci sekali dengannya. Apa sih yang ia mau? Ayyan Yadawa lalu datang “sudahlah ibu...dinda..untuk apa membenci yang tidak perlu. Aku juga gak berminat menggantikan ayah untuk jadi kepala desa.” Jathila marah mendengarnya lalu ia meminta Ayyan untuk pergi mandi karena habis menggembala lembu. Di saat yang sama, datang seekor banteng liar yang tersasar. Para warga Barsana dan Gobajra khawatir jika banteng ini akan membaut gara-gara maka dengan dipimpin Lurah Ugrapada, Lurah Nanda Antagopa, dan Buyut Wresabanu mereka berama-ramai mengamankan banteng itu lalu banteng dikembalikan itu ke hutan di pinggir desa. “semoga banteng ini tidak mengamuk jika kita kembalikan ke hutan ini.” Tanpa diketahui oleh para penduduk ternyata banteng itu adalah jelmaan dari raksasa suruhan Adipati Kangsa bernama Handaka Aristasura, yang menyaru sebagai banteng”hmmm...aku akan menunggu, sampai sang malaikat kematian Kangsa datang kemari. Dia harus membayar hutang nyawa kakakku Watsasura”  Handaka Aristasura membaur bersama para banteng dan sapi liar menanti kesempatan yang bagus.

Tarian Raasaleela

Pada suatu hari di musim semi yang indah, Endang Radha, Rara Ireng dan Rarasati diiringi para gopika sedang bermain di hutan untuk mencari bunga buat dijadikan karangan bunga. “lihat Rara Ireng, karangan bunga ku cantik, kan?” Rara Ireng memuji sambil menggoda Radha “wah cantik sekali, Mbakyu. Saat pesta pekan raya nanti kau akan jadi yang paling cantik. Aku jamin kakang Narayana pasti klepek-klepek sama mbakyu.” Muka Radha menjadi merah padam berseri tanda malu lalu ia tertawa. Rarasati lalu menimpali “aduh..mbakyu Radha. Jangan dengarkan mbakyu Rara Ireng. Dia hanya menggodamu. Nah...lihat karangan bungaku juga. Gimana Mbakyu Radha? Mbakyu Rara Ireng?”  lalu datang penggembala-penggembala nakal membuat kacau hutan. Udawa, Kakrasana, Narayana dan Pragota ada di sana untuk mengawasi mereka. “Endang Radha lalu mendekati Narayana untuk menasehatinya“kakang! Aduh...lihatlah. taman bunga dan karangan bunga ini jadi rusak gara-gara lembu-lembu sapimu dan teman-teman nakalmu. Pokoknya tanggung jawab deh”

Tarian Raasaleela
Narayana lalu meminta maaf kepada Radha dan lainnya “baiklah, aku akan bertanggungjawab tapi tolong jangan panggil aku kakang. Panggil saja namaku, Kanha” “baik kakang eh maksudku Kanha.” Narayana dan teman-temannya segera membereskan kekacauan yang mereka buat. Lalu Narayana meniup serulingnya dengan alunan nada yang indah nan merdu. Para penggembala dan para gopika menari-nari dengan gemulai. Narayana dan Radha pun ikut menari bersama. Keduanya ibarat Batara Kamajaya dan Batari Ratih yang menarikan tarian cinta asmaradana dengan diiringi teman-teman mereka yang saling melemparkan bubuk warna-warni. Tarian cinta itu dikenang sebagai Tandhawa Raasaleela atau Rasamandala. Bunga-bunga berjatuhan dan pepohonan bersemi dengan indah seakan mewarnai dunia cinta Radha dan Kanha. Lalu Udawa, Kakrasana, Pragota, Ayyan dan teman-teman lainnya membuatkan sebuah ayunan, tempat dimana Radha dan Narayana bisa duduk bersama. Rara Ireng, Rarasati dan para gopika menghias ayunan itu dengan berbagai tanaman dan bunga-bunga yang indah.Setelah jadi, Kanha dan Radha duduk disana sembari saling menggamit tangan masing-masing Keduanya saling bertelekan di ayunan yang bagai dipan itu. Indah bagaikan sepasang pengantin dewata.

Amuk Handaka Aristasura

Kebetulan juga di hutan itu banteng jelmaan Handaka Aristasura sedang istirahat. Kakrasana dan Pragota yang asik makan madu bunga menyenggol tubuh si banteng . Banteng itu seketika mengamuk. Banteng itu seketika lepas kendali dan menyeruduk siapa saja di hadapannya. Untung bagai para gembala dan gopika, mereka berhasil menhindar. Namun, masalah berikutnya terjadi. Banteng itu menuju ke Gobajra dan Barsana. Para penduduk dalam bahaya. Para gembala mendatangi Narayana, meminta tolong agar dapat mengatasi banteng tersebut. Endang Radha dan Rara Ireng coba mencegah Narayana “jangan, Kanha...nanti kau bisa terbunuh.” Narayana berkata “mungkin kau benar, Radha, tapi aku tidak bisa membiarkan desa dalam bahaya.” Narayana diikuti Udawa, Pragota, Kakrasana dan Ayyan Yadawa segera kembali ke desa Barsana dan Gobajra.

Hal yang ditakuti para gembala pun terjadi. Banteng jelmaan Aristasura juga menyerang Gobajra dan Barsana. Orang-orang dibuat kalang kabut. Beberapa pohon di tepi jalan dirobohkannya. Napasnya mendengus-dengus mengerikan mengeluarkan uap yang panas, rumah-rumah di sana berguncang akibat kaki banteng yang dihentak-hentakkan. Saat demikian, Nyai jathila dan adik Ayyan, Kutila jatuh ketika berlari. Sang banteng merasa paling perkasa dan berbuat sesuai dengan kehendaknya. Melihat ada dua wanita terjatuh tak berdaya, Aristasura berlari kesana hendak menyeruduk mereka. Ayyan pun berlari menyelematkan ibu dan adiknya. “Ayaan sambil memohon “tolong banteng perkasa. Jangan sakiti ibu dan adikku.” Tapi Aristasura tetap berlari tak peduli. Disaat yang tepat, Narayana mendatangi banteng tersebut, menghadangnya.

Narayana mengalahkan Aristasura
Banteng itu berhenti seketika terkejut melihat anak berkulit gelap di hadapannya memiliki aura dewa di belakangnya. Banteng itu dengan jemawanya “ hei anak kecil, sepertinya kau orang yang ku cari selama ini. Akan ku obrak-abrik seisi desa ini lalu kau akan ku habisi!” Narayana dengan lantang berkata, “Kamu hanya menakut-nakuti wanita, anak-anak, dan para gembala yang tidak bersalah. Hadapilah aku sebelum kau hancurkan desa ini!” Narayana kemudian bertarung dengan Aristasura. Narayana sangat lincah sehingga merepotkan Aristasura. Narayana kemudian menangkap tanduknya dan saling dorong pun terjadi dengan hebatnya. Tanah berguncang menciptakan kepulan debu dimana-mana. Kemudian Narayana mengoyang-goyangkan tanduk tersebut, sehingga Aristasura terombang-ambing. Selanjutnya Narayana mencabut kedua tanduk tersebut dan memukul banteng tersebut dengan tanduk yang sudah berada di tangan Narayana. Sang banteng pun mati.

Setelah banteng raksasa itu tiada, Narayana benar-benar disambut bak pahlawan desa. Akan tetapi, salah satu orang disana tampak tidak suka, yakni Nyai Jathila dan Kutila. Kutila berkata dengan penuh kebencian “para Warga! Apa kalian tidak salah? Kalian Menjadikan Anak Nanda Ini Sebagai Pahlawan?” para penduduk bertanya “Apa Salahnya, Kutila?Jathila? Narayana sudah menyelamatkanmu dan kita semua?” Jathila lalu maju dan berkata dengan nada yang seakan menusuk dengan dalil-dalilnya “Putra Nanda dan Yasodha Ini Telah Membuat Kesalahan tak Termaafkan. Meski dia menghabisi seorang Raksasa, tapi tetap Raksasa itu wujudnya Banteng! Sapi Jantan Dewasa! Dan sudah Menjadi Ketentuan di Kitab-Kitab, Membunuh Sapi Adalah Dosa Besar. Narayana Membunuh Banteng itu Maka Dia telah melakukan Dosa Besar. Dewa Akan Murka Pada kita!” para penduduk menjadi ragu. Narayana pun lalu berdiri lalu berkata dengan nada yang lembut “Bibi, jika keadaan mendesak, manusia akan melakukan apapun demi mempertahankan hidupnya, meskipun artinya harus melawan apa yang menjadi aturan dan nilai-nilai di masyarakat. ” Narayana lalu melanjutkan ucapannya “tapi jika bibi menganggap aku berdosa karena membunuh raksasa banteng itu, baiklah. Saya tidak masalah jika saya dianggap melakukan dosa. Aku akan melakukan penebusan dosa di Bengawan Yamuna besok pagi.” Niken Kutila menolak usulan itu “hah? Mandi saja di Yamuna? Itu tidak cukup. Dosamu itu besar tau! Jangan Main-Main dengan Dosa!” Nyai Jathila menyabarkan anaknya itu lalu berkata kepada Narayana “apa yang dikatakan anakku Benar Adanya. Dosamu sangat besar, tak cukup berendam di Yamuna. Menurut Kitab-Kitab, Untuk Menebus Dosamu, Kau Harus Berendam di Tuju Sungai Suci di Seluruh Jawadwipa dan Hindustan.” Narayana dengan percaya diri setuju “baiklah, bibi Jathila. Aku akan mandi dengan tujuh air sungai suci itu.”  maka ia pergi untuk melakukan penebusan dosa. Nyai Yasodha sampai tak kuat menahan kepergian putra kesayanagnnya itu.

Sendang Radha Kundha dan Shyama Kundha

Ketika Narayana di barat hutan Goloka, datang Radha mencegah kepergian Narayana lebih jauh “Kanha, tunggu. Jangan pergi dulu. Perjalanan mandi tujuh air sungai suci memakan waktu yang sangat lama, penuh rintangan dan petaka yang menanti. Tolong Kanha, jangan pergi...aku tak sanggup kehilanganmu!” Radha memohon dengan sangat, bahkan ia sudah membawa cangkul dan timba kayu untuk membuat sendang dan mengalirkan air bengawan Yamuna. Dihadapan Narayana, Radha mencangkul tanah hingga membuat ceruk seperti parit penghalang agar Narayana tidak pergi. Narayana lalu berkata “Radha, siapa yang bilang aku akan pegi untuk menuju sungainya. Aku bisa membawa seluruh sungai suci itu ke hutan ini.” Radha berkata “Kanha, ya ampun. Sudah jangan bercanda.” “Radha, aku juga tidak bercanda. Sebaiknya kau amati saja apa yang terjadi.” Radha meskipun tidak paham, ia percaya apa yang dilakukan Kanha pasti terjadi. Narayana pun duduk di atas batu mulai bersemadi semaantara Radha berada di dekat Narayana dengan terus membuatkan sendang-sendang kecil lalu ia isi air. Air yang tertampung lalu diminum siapapun yang lewat. Hewan, manusia, bahkan bangsa halus dengan senang hati meminum air itu. Namun sekian hari berlalu, musim dingin yang bersamaan dengan bencana kemarau semakin panjang, air yang tertampung di sendang-sendang kecil buatan Radha semakin habis. Air di Yamuna juga semakin surut.

Asal muasal Sendang Shyama Kundha dan Radha Kundha
Maka ia langsung berdo’a “ya Hyang Widhi...pelayananku membantu Kanha menyucikan diri haruskah berhenti? Aku mohon petunjuk-Mu.”

Di kala Radha berdoa itulah, tiba-tiba datang suara gemuruh dari dalam tanah, lalu memancarlah tujuh sumber mata air seperti air mancur raksasa. Dari atas pancuran muncul tujuh sosok wanita yang sangat cantik. Pancuran pertama memperlihatkan wujud Dewi Gangga, sang bidadari penjaga bengawan Gangga “aku Gangga, putri Prabu Himawan, raja gunung.” Lalu pancuran kedua yakni muncul Dewi Kaweri, penjaga bengawan Kaweri “aku Kaweri, aku terlahir atas permintaan tuanku Brahma sendiri.” Di pancuran ketiga yakni Dewi Godhawari, penjaga bengawan Godhawari “aku Godhawari, airku amat manis, semanis dirimu.” Pancuran keempat yakni Dewi Sindhu, penjaga bengawan Sindhu “akulah bengawan Sindhu, airku membawa dan menyucikan segala peradaban agung.” Pancuran kelima Batari Saraswati, isteri Batara Brahma sekaligus penjaga bengawan Saraswati “aku Saraswati, aku selalu terhubung dengan kitab Weda dan Batara Wisnu.” Pancuan keenam yakni Dewi Narmada yang menjaga Bengawan Narbada “Aku Dewi Narmada, air ku bersumber langsung dari tubuh tuanku Hyang Guru Pramesthi.” Dan pancuran terakhir ialah Dewi Yami atau Yamuna, sang penjaga Bengawan Yamuna “dan aku yang menjadi kebanggaanmu, Yamuna putri batara Surya, Dewa matahari. Silahkan masuk ke airku maka aku akan tersucikan.” Setelah ke tujuh dewi sungai memperkenalkan diri, mendadak tujuh air mancur itu berkumpul mengisi sendang-sendang kecil buatan Radha. Airnya bahkan membanjiri hutan. Desa Barsana dan Gobajra ikut kebanjiran. Teman-teman Narayana pun melihat arah banjir itu bersal dari Hutan Goloka. Mereka pun segera mendatangi hutan itu. Radha yang khawatir lalu membangunkan Narayana “Kanha bangunlah...hentikan banjir ini.” Narayana pun bangun dari semadinya lalu menapakkan kakinya ke air itu. seketika banjir pun berhenti. Radha pun mengajak Narayana ke sendangnya yang kini penuh air lalu mensucikan Narayana disana. Udawa, Kakrasana, Rarasati, Pragota, Rara Ireng, dan teman-teman mereka melihat keajaiban itu merasa sangat gembira. Bencana yang menimpa desa sudah berhenti dan kini Narayana juga sudah suci dari dosa-dosanya. Setelah keluar dari sendang buatan Radha, muncul lagi satu sendang di sebelahnya. Air pun mengalir ke sendang buatan Narayana itu. Kelak sendang buatan Radha akan dipanggil Radha Kundha dan sendang yang tercipta ketika Narayana menapakkan kaki setelah mentas dari sendang Radha Kundha diberi nama Shyama Kundha.

Banke Bihari
Setelah mensucikan diri, Narayana, Radha, dan teman-temannya pergi ke hutan Nidhiwana dan menari bersama. Kembali menarikan tarian cinta Raasaleela yang indah. Menari-nari bak kupu-kupu di waktu malam. Malam itu seolah-olah antara Radha dan Kanha bersatu dalam cinta yang indah. Tarian indah menggema di tiga tempat : Nidhiwana, Goloka, dan Gowardhana. Karena itu, Narayana juga disebut sebagai Banke Bihari yang bermakna membungkukkan diri di tiga tempat.

Jumat, 13 Desember 2024

Banjaran Sri Kresna Episode 4: Kisah Ular dan Naga di Gokula

 Hai hai.......Selamat datang kembali....... Btw, kisah kali ini mengisahkan gangguan-gangguan di Gokula yang semakin menjadi setelah kematian Bakasura. Kisah diawali dengan kemucnculan adik Bakasura dan Kotana yakni Ditya Nagasura yang menyaru sebagai ular sanca raksasa dan menyembunyikan diri di balik wujud gua hendak menelan Narayana dan teman-temannya. Dilanjutkan dengan gangguan Naga Kaliya yang menghancurkan kehidupan di sekitar bengawan Yamuna. Kisah diakhiri dengan takluknya Kaliya setelah ditundukkan oleh Narayana,  kepindahan penduduk Gokula ke desa Barsana untuk menghindari kejahatan yang terjadi dan berdirinya Wanua Gobajra. Kisah ini mengambil sumber kitab Mahabharata karya Mpu Vyasa, Series Kolosal India Mahabharat Starplus dan Radha Krishna Starbharat, animasi Little Krishna, blog https://kisahspiritualtaklekangzaman.wordpress.com/tag/anand-krishna/page/58/, dan https://kisahspiritualtaklekangzaman.wordpress.com/2017/07/31/krishna-kecil-menundukkan-kaliya-panca-provokator-dalam-diri-srimadbhagavatam/

Nagasura Ngraman

Kabar kematian Bakasura telah sampai ke telinga adik bungsunya, yakni Ditya Nagasura. Bagai petir di siang bolong, kabar itu membuat hati Nagasura terpukul dan marah penuh dendam. “sudah cukup...kakak-kakakku jadi korban malaikat kematian Kangsa! Akan ku telan dia hidup-hidup bersama orang-orang terkasihnya!” tak lama kemudian, adipati Kangsa memerintahkan Nagasura untuk ke dukuh Gokula demi membalaskan dendam kedua saudaranya. “Nagasura, kau adalah ajudanku yang paling perkasa dan ssetia. Pegi carilah malaikat kematianku dan bawa dia ke tanah yang terlupakan!” Nagasura pun dengan senang hati menerima perintah itu “keinginan tuanku adalah sabda untukku, adipati.” Nagasura pun berangakt meninggalkan kadipaten Sengkapura. Setelah perjalanan yang cukup panjang, Nagasura sampai di hutan pedukuhan Gokula. Nagasura mengubah wujudnya menjadi ular sanca raksasa lalu terus membesarkan ukuran tubuhnya menjadi yang sebesar gunung anakan. Ia menyembunyikan dirinya di antara pepohonan dan semak belukar, dan membuka mulutnya lebar-lebar bagaikan sebuah gua. Berhari-hari, bahkan berbulan-bulan Nagasura menunggu kesempatan itu.

Sampai suatu ketika, datanglah Narayana dan teman-temannya di padang rumput tak jauh dari tempat Nagasura berdiam . Narayana dan pengembala lainnya yang merasa penasaran, mencoba memasuki gua tersebut. “Narayana, kita belum pernah melihat gua seperti itu sebelumnya.” Ucap Madhu Manggala. Charu lalu ikut bicara “benar temanku. Betapa indahnya gua itu disinari cahaya matahari. Pasti di sana ada banyak batu berharga di dalamnya.” Subala dan Sudhama lalu mengajak para gembala untuk masuk kesana “kalau begitu ayo kita kesana.” Kakrasana, Narayana dan Udawa memutuskan untuk menjaga ternak-ternak. Para penggembala yang menuju ke gua itu merasa heran dengan pemandangan di depan gua.  “Madhu, kau lihat ini. Jalanan ini kok jadi seperti ini. Terakhir kali kita ke sini jalanan ini tidak begini.” Ketika sampai di depan gua, Madhu menjadi agak takut “aa...Charu, aku rasu gua ini aneh. Aku tidak suka dengan bau dan suasana tempat ini”. Charu lalu berkata “Madhu, tenang saja.. berhentilah bersikap cengeng.” Para gembala muda itu memasuki mulut gua itu tanpa menyadari bahaya yang akan mereka hadapi. Saat semua gembala termasuk berada di dalam mulut gua, tiba-tiba tempat itu bergoncang hebat dan pintu goa tiba-tiba menutup.

Para putra Nanda memasuki mulut Nagasura

Gua jelmaan Nagasura langsung menutup mulutnya. Semua gembala merasa ketakutan. “tolong!! Kakang Udawa!! Kakang Kakrasana!! Narayana!!! tolong kami!!!Narayana.”suara teriakan mereka terdengar Udawa, Kakrasana dan Narayana yang ada di atas bukit. Ketiga putra Nanda itu segera menuju sumber suara. Ketika masuk ke dalam gua, tiba-tiba gua itu menutup. “tolong!!...kakang Kakrasana! Kakang Udawa! Narayana!” suara teriakan para gembala muda terdengar mulai melemah lalu menghilang. Dengan suara memekakkan telinga, Kakrasana berteriak dengan lantang “Hei.....Monster! Siapa Kau?!” Nagasura lalu berkata dengan congkak “aku nagasura.....Aku akan melampiaskan dendam kedua kakakku.”  Lidah si raksasa yang menyaru jadi ular itu lalu menggulung lidahnya hendak menjatuhkan ketiga putra Nanda itu. Udawa segera melompat ke taring Nagasura “Kakrasana! Cepat raih tangan kakang!” Kakrasana segera melompat dan bergelantungan di tangan Udawa. Sementara Narayana terjun ke dasar perut  si raksasa itu. Di dalamnya, Narayana melihat teman-teman gembalanya pingsan karena keracunan gas perut Nagasura yang beracun. “Nagasura! Kesombonganmu dan dendam kesumatmu membutakan hatimu! Sudah saatnya akhir hidupmu di pastikan!. Dengan tongkat gembalanya, Narayana memukul-mukul perut si raksasa  dan akhirnya ditusukkannya melubangi perut asura tersebut. Akhirnya Narayana dan kakak-kakaknya dapat keluar bersama dengan para gembala yang masih tergeletak pingsan.. Nagasura meronta-ronta kesakitan. Kemudian Udawa, Kakrasana dan Narayana menyerang raksasa ular sanca tersebut dengan senjata apapun sampai Nagasura benar-benar mati. Setelah itu, mereka menyeret jasad Nagasura sampai di pinggir Bengawan Yamuna. Karena teman-temannya masih pingsan, Narayana meniup serulingnya dan mengalunlah irama yang indah. Tiba-tiba datanglah hujan yang segar. Hujan itu seakan membangunkan Madhu Manggala, Charu dan teman-temannya. Mereka semua pun bergembira karean lepas dari cengkraman maut.

Ular Kaliya

Kembali ke bagian lain dari belahan Wisnu yang lain. Tak lama setelah Permadi lahir, Kerajaan Hastinapura diselimuti awan kedukaan. Prabu Pandhu Dewanata bersama isteri keduanya, Dewi Madrim meninggal dunia. Malah kabarnya Dewi Madrim meninggal untuk mengorbankan diri bersama Pandhu padahal saat itu, putri Mandraka itu baru habis masa nifasnya setelah melahirkan adik-adik Permadi yakni Nakula dan Sadewa. Setelah upacara ngaben, Dewi Kunthi meninggalkan kedaton Hastinapura membawa para putranya dan puta Madrim yang dijuluki Pandawa untuk tinggal di padepokan Saptarengga bersama para punakawan sekaligus menghilangkan trauma kesedihan karena meninggalnya Pandhu. Kerajaan Hastinapura pun diserahkan sementara kepada kakak Pandhu, Adipati Dretarastra. Putar-putra Dretarastra yakni seratus Kurawa yang dipimpin oleh Raden Suyudana dan Arya Dursasana sering menjahati para putra Pandhu lebih-lebih dengan adanya patih Sengkuni, paman mereka dari pihak ibu yang suka mengadu domba. Kini usia Permadi dan saudara-saudaranya sudah mendekati akil balig. Puntadewa berusia 15 tahun, Bratasena 13 tahun, dan Permadi sendari berusia 10 tahun. Sementara Nakula dan Sadewa berusia 9 tahun. Pada hari itu, Permadi sedang bermain panahan di pinggir bengawan Yamuna. Ketika ia melihat ke air, tiba-tiba air itu berubah menjadi hitam pekat. Tanaman-tanaman di pinggir bengawan mendadak layu lalu mengering. Ikan-ikan berloncatan dan naik ke daratan seperti hendak menghindari air yang nampak beracun. Permadi lalu memanggi kakak-kakaknya “kakang Punta! Kakang Sena! Lihat kemari!” Puntadewa pun mendekat disusul Bratasena dan Nakula-Sadewa. Kakak sulung Pandawa itu.bertanya “ada apa Permadi?” belum Permadi berkata-kata, tiba-tiba Nakula dan Sadewa batuk-batuk sambil menutup hidung “uhuk...uhuk....bau ini...ini bau busuk sekali, kakang Permadi” ujar Nakula. “Benar kakang Nakula. Air bengawan kok bisa jadi begini? Uhuj..uhuk..uhuk...” ucap Sadewa sambil menahan batuknya. Puntadewa, Bratasena dan Permadi ikut terbatuk-batuk “uhuk...uhuk...Sena cepat amankan adhi Nakula dan Sadewa. Aku akan mengamankan adhi Permadi.” Bratasena pun mengiyakan “baik kakang...ayo Nakula! Sadewa!” belum sempat kelima putra Pandhu itu beranjak dari pinggir bengawan, tiba-tiba muncul seekor ular naga berkepala banyak dari dasar bengawan. Para Pandawa muda kaget bukan kepalang. Mereka semua lari dari bengawan dengan cepat. Suara teriakan mereka terdengar oleh Dewi Kunthi dan pamomong mereka, Kakek Semar “lolalole....hmmmm...ada apa ananda semua...kok lari begitu?” Puntadewa lalu bercerita “ Kakek, tadi di bengawan ada ular raksasa membuat air Yamuna menjadi beracun.” Lalu Dewi Kunthi dan Kakek Semar melihat ke arah bengawan Yamuna. Mereka melihat di sana seekor naga berkepala banyak bertarung dengan seekor burung raksasa.

Kaliya melawan Garudheya di hadapan para Pandawa muda

Air bengawan yang sudah menghitam nampak lebih menakutkan lagi ketika bergolak dan beradu dengan dua makhluk yang saling bertarung tersebut. Kakek Semar lalu mendekat ke bengawan Yamuna. Dewi Kunthi mengingatkan untuk berhati-hati “paman...hati-hati...” lalu melemparkan sebutir kerikil ke arah mereka. Ajaib, kerikil itu melukai kedua makhluk raksasa itu hingga mereka pergi dari sana. Si ular naga berenang ke hulu sementara burung raksasa terbang ke hilir sungai. Kakek Semar lalu berkata pada para bendaranya “ndara ratu! Ananda  semua! Ular itu sudah pergi. Baik kita masuk saja ke padepokan karena hari sudah mulai gelap.” Dewi Kunthi dan para putra bersyukur lalu mereka kembali ke Padepokan Saptarengga. Kakek Semar memandang ke arah bengawan lalu bergumam “sepertinya, ini tanda sang Wisnu akan menginjak ke fase hidup baru. Ular itu akan menjadi sebabnya.”

Pada suatu hari, Narayana dan teman-temannya menggembala sapi-sapi ke arah Sungai Yamuna. Kakrasana kali ini tidak menemani mereka. Narayana dan teman-temannya bermain-main di tepi hutan dan karena hari sangat panas, beberapa teman Narayana kehausan dan pamit mencari minum ke Bengawan Yamuna. Para lembu sapi dan anak-anak penggembala berenang dengan riang gembira tanpa tahu apa yang akan terjadi berikutnya.

Di dasar Bengawan Yamuna ular naga raksasa berkepala banyak yang diusir Kakek Semar tempo hari bernama Kaliya yang hidup bersama beberapa istrinya memutuskan tinggal di hulu Bengawan Yamuna. Kaliya mengeluarkan racun yang berbahaya yang memenuhi danau tersebut dan bahkan sedikit demi sedikit air dari bengawan sudah mulai mencemari sungai itu. Bengawan Yamuna mengalir ke hilir melalui kotaraja Mandura dan di bagian hilirnya lagi melalui kotaraja Hastinapura. Semua tanaman di sekitar bengawan terkena racun dan mengalami kekeringan. Ikan-ikan mati mendadak dan Burung-burung yang melintasi sungai pun berjatuhan terkena uap beracun yang menguap di atas bengawan. Akibatnya, seisi negeri Mandura hingga Hastinapura di timur ditimpa keracunan massal.

Setelah lama menunggu teman-teman mereka yang pergi ke sungai dan tidak kembali, Narayana kemudian memanggil Udawa dan Kakrasana. “kakang Udawa! Kakakng Kakrasana, teman-teman kita lama tak kembali dari bengawan Yamuna. Ayo kita cari mereka.” Akhirnya, Udawa, Kakrasana, Narayana dan teman-temannya mengikuti jejak teman-teman mereka dan sampailah mereka di Bengawan Yamuna. Narayana melihat kawanan sapi dalam keadaan panik. Kakrasana lalu menaiki sapi itu berusaha menenangkannya “hei tenang...ada apa sapi manis?” Udawa lalu menunjuk dengan wajah khawatir “Kakrasana! Narayana! Lihat kesana! Teman-teman kita pingsan!! Ayo kita tolong mereka! Ketiga putra Nanda Antagopa itu lalu teman-teman mereka pingsan dan segera meminta teman-temannya yang lain memindahkan mereka menjauhi bengawan. Narayana segera memanjat pohon kemuning di tepi bengawan. Pohon besar itu nampak kering tanpa daun tersebut tetap bertahan hidup di akhir musim dingin. Teman-teman Narayana melihat Narayana sampai di pucuk pohon dan segera meloncat ke dalam bengawan. Semua teman-temannya khawatir akan keselamatan Narayana, dan ada yang lari ke desa memanggil Nanda, Yasodha dan orang-orang tua para gembala. Di dasar bengawan yamuna, Narayana melihat seekor ular naga berkepala banyak sedang marah-marah sambil menyemburkan racun. Narayana yang iseng lalu menarik-narik ekor ular itu. Hal itu membuat si naga itu tambah gusar dan ketika ia menoleh, ia mendapati seorang anak kecil yang entah habis makan apa bisa hidup di dalam air sama sepertinya. Uklar itu lalu mengamuk, mengibaskan ekornya berusaha menampar Narayana. Narayana lalu bertanya siapakah ular itu “ Hei naga, siapa kau dan kenapa kau meracuni air bengawan ini? Apa yang kau tidak kasihan dengan makhluk hidup yang hidup dari bengawan ini?”. Ular naga itu menjawab “ Hei anak kecil! Nama ku Kaliya. Aku penjaga bengawan ini. Aku sengaja melakukan ini karena aku terancam pada Garudeya Brihawan yang terus menggangguku.” Narayana lalu berkata “ular sakti, racunmu telah membuat air bengawan ini jadi beracun. Pergilah kau dari sini!” makin murka Naga Kaliya diusir oleh anak kecil. Lalu ia menyerang Narayana dengan membabi buta.

Cukup lama Narayana berada di dasar dan tiba-tiba muncul di permukaan sungai suci itu Naga Kaliya berusaha melilit tubuh Narayana. Dan terjadilah perkelahian yang seru. Narayana berhasil menghindar dengan sangat lincah dan tahan dengan uap beracun yang dikeluarkan oleh Kaliya. Ketika para penduduk sampai di pinggir bengawan itu, terkejutlah mereka melihat Narayana sedang bergulat dengan seekor ular naga di sana. Niken Yasodha sampai pingsan melihat anak kesayangannya itu bergulat dengan ular naga. Pada akhirnya, pertarungan itu dimenangkan oleh Narayana. Narayana memainkan serulingnya sambil menari-nari di atas lima kepala Kaliya. Kaliya kelelahan dan dari mulutnya keluar darah karena telah kehabisan racun berbisanya.

Narayana menaklukan Naga Kaliya
Kaliya sadar bahwa bila Narayana ingin membunuhnya, maka dia akan mati dengan mudah. Para istrinya keluar dan memohon pengampunan dari Narayana. “Narayana tolong maafkan suami kami!”  Nanda, Yasodha dan para gembala bersorak-sorai melihat Narayana menari-nari berlompatan di atas lima kepala Kaliya.

Akhirnya Narayana berkata, “naga Kaliya, kau kumaafkan, akan tetapi segera pergi dari bengawan ini bersama istrimu ke tempat tinggalmu di Pulau Ramanaka. Kau tak perlu takut Garudheya mengejarmu, melihat bekas tapak kakiku di kepalamu, Garudheya akan melepaskanmu. Hiduplah yang baik, karena semua racunmu telah habis.” Naga Kaliya mengantar Narayana ke pinggir bengawan Yamuna. Setelah mengantar Narayana dan menyelam ke dasar bengawan, atas seizin Hyang Widhi air bengawan kembali bersih dan bebas dari racun. Para penggembala, warga desa, dan ternak-ternak yang keracunan kembali sehat.

Adhege Wanua Gobajra

Setelah berbagai kejadian mengerikan yang mereka alami, Nanda Antagopa dan Niken Yasodha bermusyawarah dengan warga desa akan nasib mereka jika tetap di pedukuhan Gokula “warga-wargaku, aku tahu ini adalah keputusan yang berat. Tapi mengingat banyak kejadian dan kejahatan yang terjadi di Gokula, kita harus pindah dari sini. Tapi aku tidak ingin menjadi keputusan sepihak saja. Jadi aku membutuhkan pendapat kalian. Bagaimana menurut kalian semua?” seorang warga lalu memberikan suaranya disambut oleh para warga lainnya “aku Setuju!” “Aku juga!” Kami juga setuju!” “kami sebulat suara dengan pak lurah!” Setelah musyawarah itu, Lurah Nanda Antagopa berkata lagi bahawa tempat mereka untuk pindah sudah ada yakni di desa Barsana, di seberang Bengawan Yamuna. Di sana, ia memiliki teman yakni Buyut Wresabanu dan Niken Kirtidha yang bisa menjamin keamanan mereka. Singkat cerita, keesokan harinya para penduduk Gokula beserta ternak-ternaknya dipimpin Lurah Nanda Antagopa dan keluarganya pindah dari pedukuhan Gokula. Mereka menyeberangi Bengawan Yamuna dan menempuh perjalanan lebih dari tiga hari. Lalu sampailah mereka di desa Barsana. Buyut Wresabanu menyambut mereka dengan tangan terbuka “selamat datang penduduk Gokula...selamat datang di desa Barsana. Nanda, sahabatku. Pesanmu yang kapan hari kau kirimkan sudah ku baca. Silakan kalian beristirahat dan aku akan menunjukkan dimana kalian bisa tinggal.” “terima kasih, sahabatku.” Buyut Wresabanu lalu mengatakan penduduk Gokula bisa tinggal di selatan desa. Tempat itu berada di lembah dua bukit, yakni bukit Gowardhana dan bukit Goloka. Lembah itu terkenal sangat subur dan cocok untuk bertani juga menggembalakan ternak. Mulai saat itu, mereka tinggal disana dan mengubah nama tempat itu menjadi Wanua Gobraja.

Di tempat baru, para putra-putri Nanda mendapatkan teman baru. Udawa, Kakrasana, Narayana dan Pragota bersama Madhu Manggala, Charu dan Subala berteman dengan Ayan Yadawa, putra Lurah Ugrapada dan Nyai Jathila. Sedangkan Rara Ireng dan Rarasati berteman Endang Radha, putri Buyut Wresabanu dan Niken Kirtidha. Pada suatu sore yang indah, ketika itu Endang Radha bersama-sama para gopika (pengembala perempuan) mandi di pinggir sebuah telaga. Kebetulan di sana Rara Ireng dan Rarasati juga sedang mandi juga. Merka bertiga lalu saling berbincang“dinda Rarasati, bagaimana keadaan di Gokula dulu dan kenapa kalian pindah dari sana?” “Gokula sangat nyaman, tapi Gokula terus diserang para raksasa. Kata ibu, kakang Narayana yang selalu menyelamatkan Gokula.” Radha kemudian beertanya “benar begitu? kakang kalian Narayana itu orangnya sangat kuat.” Rara Ireng lalu menimpali “jangan percaya dengan apa yang kau pikirkan, mbakyu. Kakang Narayana itu sangat nakal. Di Gokula tak terhitung berapa kali kakang kami itu mencuri susu, mentega, dan madu. Sering banget lho kakang Narayana bersama teman-temannya mencuri dan memecahkan kendi berisi susu mentega, bahkan kakang kami yang tertua, Udawa dan Kakrasana ikut terpengaruh.” Radha yang mendengarnya menjadi agak jengkel. Di saat demikian tanpa mereka sadari, angin kencang tiba-tiba berembus. Pakaian-pakaian mereka terbang. Ketika melihat ke arah langit, cuacanya cerah. Rara Ireng yang kaget lalu berkata “Aaah...kakang! kembalikan pakaian kami!” Rarasati dan Endang Radha lalu menoleh dan melihat seseorang membawa lari pakaian-pakaian mereka. Radha dan Rarasati ikut jengkel. Mereka mengambil tongkat kayu dan mengejar orang itu hanya memakai kemben basahan. si pembawa pakaian itu ternyata Narayana. Narayana yang cerdik lalu berlari sekencang mungkin lalu menyangkutkan pakaian-pakaian mereka di pepohonan hutan. Para gopika , Radha, Rara Ireng dan Rarasati melihat pakaian mereka menyangkut di atas pohon. Mereka mengambilnya sambil melompat-lompat. Ketika berhasil meraih pakaian tersebut, mereka mendengar alunan suara seruling yang sangat merdu.

Narayana memainkan serulingnya
Ketika mencarinya ternyata itu Narayana bersama para penggembala lainnya duduk di balik pohon sedang menggembalakan lembu sapi. Radha lalu mendekat dengan muka masamnya “Narayana! Kamu kan yang mengambil pakaian-pakaian kami?!” Narayana berpura-pura kaget dan mengelak “hah? Apa yang aku lakukan Radha? Aku sedari tadi di sini menggembalakan ternak!” Rara Ireng ikut bicara “jelas-jelas kakang yag mengambil dan menyangkutkan pakaian kami. Hanya kakang di desa ini yang cerdik bisa begitu” Narayana lalu mendekati adiknya itu “adhiku yang manis, mana buktinya. Kan ada juga orang-orang tidak benar yang mengmbil kesempatan. Oh ya kalian belum tau ya kalau pelaku pencuri pakaian wanita yang meneror desa?” Radha dan lainnya menjawab “belum deh...memangnya kenapa?” Udawa lalu ikut bicara “sebaiknya kalian kembali saja untuk melihatnya. Singkat cerita, para Gopika kembali ke desa dan melihat si pencuri pakaian wanita itu sudah diarak warga desa untuk diadili. Para gopika lalu mnganggap pencuri itulah yang mencuri pakaian mereka. Tapi hanya Radha dan rara Ireng yang merasa ini ulah Narayana yang ia pakai untuk menjebak penjahat itu.

Sabtu, 26 Oktober 2024

Banjaran Sri Kresna Episode 3 : Amukan para Raksasa di Gokula

 Hai hai.......Selamat datang kembali....... Btw, kisah kali ini mengisahkan keadaan masa kanak-kanak Sri Kresna di padukuhan Gokula. Kisah diawali dengan Hadimanggala yang harus tinggal terpisah bersama Ki Adirata, lurah desa Petapalaya yang tak lain orang tua angkat Aradeya (Adipati Karna), tipu daya Ditya Keshin, si raksasa berwujud kuda raksasa, pembebasan hutan Entalsewu dari tangan Kangsa dengan terbunuhnya sang penjaga hutan itu yakni Janggan Dhenukasura. Kisah diakhiri dengan usaha balas dendam Ditya Bakasura kepada Narayana karena terbunuhnya Kotana namun berakhir tewas. Sumber kisah ini berasal dari blog https://kisahspiritualtaklekangzaman.wordpress.com/2017/08/11/krishna-kecil-keshi-kejatuhan-keangkuhan-diri-srimadbhagavatamhttps://kisahspiritualtaklekangzaman.wordpress.com/2017/07/30/krishna-kecil-balarama-menaklukkan-hawa-nafsu-dhenukasura-srimadbhagavatam/ , https://kisahspiritualtaklekangzaman.wordpress.com/2017/07/26/krishna-kecil-melenyapkan-pola-pikiran-keliru-bakasura-srimadbhagavatam/, Serial animasi Little Krishna, Serial Kolosal India Radha Krishna Starbharat, lakon Wayang ki Purbo Asmoro yang berjudul Kresna Lair, dan sumber lainnya.

Keangkuhan Ditya Keshin

Waktu berjalan bagaikan kilat. Tak terasa para putra Mandura kini sudah berusia 8 tahun. Pada suatu hari, Nanda Antagopa mendapat mimpi bahawa ia harus membawa salah satu putranya yakni Hadimanggala kepada Ki Adirata, seorang kepala desa di desa Petapalaya dekat wilayah Awangga, salah satu wilayah bawahan Hastinapura yang pusat penghasil kereta kencana dan kusir kereta. Dalam mimpi itu, ia mendapat penglihatan apabila Hadimanggala diasuh Ki Adirata maka ia kan menjadi orang besar di kemudian hari. Ia pun menceritakan mimpinya itu kepada Niken Yasodha. Awalnya Yasodha menolak namun keesokan harinya, Yasodha juga mendapat penglihatan yang sama. Setelah menimbang-nimbang dengan matang, akhirnya Niken Yasodha pun mengizinkan Hadimanggala pergi dan diasuh oleh Ki Adirata. Dengan air mata berlinangan, Yasodha memeluk Hadimanggala untuk terakhir kalinya sebelum pergi “Hadimanggala, kamu yang baik ya sama ayah barumu. Kalau sudah berjaya, pulanglah. Ibu akan menunggumu.” Hari itu adalah hari yang berat juga bagi abang dan kakak Hadimanggala terutama bagi Pragota karena akan ditinggal oleh adik kandungnya.

Salah seorang ajudan Adipati Kangsa adalah Ditya Keshin merasa geram. Ditya Keshin mempunyai dendam yang mendalam kepada Narayana karena telah menghabisi Trinarwata sahabatnya. Selain Trinarwata, kabar Nyai Kotana yang dibunuh oleh Narayana saat masih bayi juga membuatnya penasaran. Keshin yang penat mendengar teman-temannya dihabisi ingin menunjukkan kelebihan kekuatan dan kepatuhannya kepada Adipati Kangsa dengan mengambil wujud seekor kuda raksasa “tuanku Kangsa, izinkan aku datang ke tempat Nyai Kotana dan sahabatku Trinarwata tewas. Aku akan membawa kepala dari pembunuh teman-temanku dan ku persembahkan padamu, tuanku.” “baiklah Keshin, aku mengizinkanmu dan bawa kepala dari malaikat kematianku itu ke hadapanku!”. Kecepatan larinya secepat pikiran, dan suara ringkikannya menimbulkan badai. Batu-batu yang ada di jalan yang dilewatinya tersepak hingga beberapa puluh meter. Keshin langsung menuju dukuh Gokula dan mencari Narayana.

Agar tidak mencolok perhatian, Ditya Keshin menyamar sebagai seorang ajar (pandita) bergelar Begawan  Jaranbergola dan membuat sebuah padepokan di pinggir hutan. Di sana, para orang durjana dan perompak belajar ilmu kesaktian. Pada suatu hari, saat ia mengajar, sang begawan Jaranbergola ditemui seorang mata-mata Kangsa bernama Janggan Dhenukasura. Ia adalah telik sandi yang mampu berubah wujud menjadi kimar (keledai). Ia bertukar kabar dan informasi tentang malaikat kematian Adipati Kangsa “sahabatku, sang begawan..... aku tahu bagaimana ciri-ciri orang yang menghabisi teman-teman kita.” Begawan Jaranbergola alias Keshin antusias “bagaimana ciri-cirinya? Bagitahu padaku, Dhenukasura!” Dhenukasura pun menjabarkan ciri-cirinya: seorang anak lelaki memakai jarik batik berwana kuning, membawa banshuri (seruling), dan memakai mahkota bulu merak. Setelah menjabarkan semuanya, Dhenukasura pamit untuk kembali ke pos jaganya di bagian hutan lainnya yakni hutan Entalsewu

Dengan persiapan yang matang, Begawan Jaranbergola memerintahkan murid-muridnya yang menjadi begal dan rampok bergerak hendak mengacau dukuh Gokula demi mencari anak yang menjadi incarannya. Sementara itu, jauh dari desa di pinggir padang rumput, para gembala muda menggembalakan anak-anak sapi dan lembu. Salah seorang gembala muda bernama Madhu Manggala bermain bersama teman-temannya diantaranya adalah anak-anak Nanda Antagopa.

Narayana bertarung dengan Jaran Keshin
Diantara anak-anak itu, Narayana yang nampak paling supel dan gemar bercanda. Semua orang suka kepadanya termasuk Madhu manggala. Di suatu kesempatan, Madhu Manggala bermain lalu mendekati Narayana. Madhu Manggala berkata kalau ia bangga berteman dengannya malah ingin sepertinya.lalu Madhu bertanya “Narayana...aku boleh gak pinjam jarik, seruling dan mahkotamu? Aku ingin jadi seperti kamu” Narayana mengizinkan. “boleh, Madhu.” Setelah bertukar pakaian, Madhu Manggala izin kembali ke pedukuhan untuk sekedar bermain-main dan berpura-pura menjadi Narayana.Narayana dan teman-teman gembalanya agak risau, maka mereka diam-diam mengikuti Madhu Manggala. Benar kerisauan Narayana, mereka melihat dukuh Gokula kacau dan di tengah jalanan desa yang sepi, nampaklah Madhu Manggala yang asik dengan dunianya tiba-tiba didatangi orang-orang suruhan Begawan Jaranbergola. “Hahahaha...akhirnya kita menemukan anak yang dicari-cari guru kita, malaikat kematian Kangsa.!” Madhu manggala terkejut dan berkata “aaa..aku..aku bukan malaikat!”  salah satu diantara suruhan Jaranbergola berkata “kau memang bukan malaikat, karena kami akan mengantarkanmu ke dalam kematian!” kata-kata itu membuat Madhu Manggala takut dan pingsan. Lalu datanglah Narayana, Kakrasana, dan Udawa mengalihkan mereka. Kakrasana segera menghajar orang-orang itu dengan kemampuan gulatnya dan Udawa mengevakuasi Madhu Manggala ke tempat aman. Beberapa dari suruhan Jaranbergola berhasil kabur. Kakrasana berhasil membawa satu yang tertangkap. Meski masih berusia tujuh tahun, kakrasana sudah terkenal dengan sifatnya yang keras tapi juga lembut. Ia lalu mengintrogasinya “hei paman, katakan siapa yang menyuruhmu! Katakan atau kau merasakan pukulanku!” karena ketakutan, orang itu mengatakan apa-apa yang ia ketahui. Kakrasana pun melepaskannya. Ketika ingin memberitahukan itu kepada Narayana, Kakrasana mendapati adiknya itu tidak ada dimana-mana. “aduuh...Kanha...kau ini menghilang. Kakang Udawa, ayo kita cari Kanha.” Para penggembala muda pun meminta bantuan orang-orang dewasa untuk membantu mencari Narayana.

Rupanya Narayana sudah tahu jika sang provokator adalah Begawan Jaranbergola. Ia pun mendatangi guru itu dan berdebat dengannya. Begawan Jaranbergola kalah dalam perdebatan dan berubah wujud ke wujud aslinya yakni Ditya Keshin berwujud kuda raksasa. Ketika itu orang-orang yang mencari Narayana kaget melihat perubahan itu dan menjadi ngeri. Mereka berteriak agar Narayana menjauh “Narayana...pergi dari situ! Dia iblis!” Narayana degna tenang berkata “paman-paman semua, tenang saja....eyang resi ini sedang mau main kuda-kudaan dengan aku!”. Keshin langsung menyerang Narayana, akan tetapi Narayana bisa berkelit dengan lincah. Keshin semakin marah, matanya melotot dan giginya bergemeretak “Kau Harus Belajar Tata Krama, Anak Sombong!”. Berkali-kali Keshin menginjak-injakkan kakinya ke arah Narayana namun ia bisa berkelit dengan pantas. Narayana sengaja memain-mainkan Keshin dengan selalu berkelit dari serangannya. Akhirnya, Narayana berhasil memegang kaki belakang Keshin dan segera memutar-mutarkannya di atas kepalanya. Keshi merasa pusing dan putus asa. Kemudian Keshin merasa dirinya dilemparkan sangat tinggi dan jatuh dengan telak. Meski demikian, Keshin masih bisa melawan. Akhirnya, Narayana yang masih bocah berusia 8 tahun mematahkan rahang atas dan bawah Keshin. Seketika itu pula, nyawa Ditya Keshin pun melayang. Sebuah makhluk bersinar keluar dari tubuh Keshin, bersujud di kaki Narayana, dan menghilang sebagai makhluk setengah dewa. Karena jasa-jasanya, Narayana kembali mendapat julukan baru yakni Keshinisudhana yang bermakna “yang mengalahkan Ditya Keshin”.

Janggan Dhenukasura

Suatu hari yang cerah di musim panas, Batara Indra sang raja bidadari dimintai tolong oleh isterinya, Dewi Shaci “kakanda, persedian minuman untuk bahan membuat air Soma habis. Bisakah kau mencarikannya untukku?” batara Indra berkata “bahan baku air soma paling bagus berasal dari nira lontar yang ada di hutan Entalsewu, tapi hutan itu alas gung liwang-liwung, jalma mara jalma mati..” Dewi Shaci lalu merayu “kan kakanda adalah dewa petir dan raja bidadari yang hebat, apa hutan itu telah membuat hati kakanda menjadi ciut?” Batara Indra lalu berkata “tentu saja tidak! Aku akan ambilkan buah-buahan dan air lontar dari hutan angker itu untukmu, cintaku!” maka Batara Indra pun pergi ke hutan Entalsewu. Sesampainya di pinggir hutan itu, para bidadara membuat pengalih perhatian agar para siluman disana sibuk sendiri. Datanglah angin kencang yang menerbangkan pepohonan dan buah-buahan disana berjatuhan. Batara Indra segera mengambili buah lontar, legen, nira, dan mangga itu. namun tiba-tiba datanglah seekor keledai raksasa menghadangnya. Dialah Janggan Dhenukasura, sang telik sandi adipati Kangsa yang ditugasi menjaga hutan itu setelah tewasnya Ditya Keshin “hahahaha...batara...kau ini kesasar?...kau kenapa mau mencuri buah-buahan hutan ini? Kalau kau mau buah, langkahi dulu mayatku!”terjadilah pertarungan antara Batara Indra dan Janggan Dhenukasura yang sangatlah sengit. Batara Indra tiba-tiba merasa goyah keseimbangan akibat hantaman Janggan Dhenukasura ke arahnya. Di saat demikian, Janggan Dhenukasura menginjak-injak tanah tempat sang dewa petir itu sehingga runtuh. Batara Indra hampir saja jatuh namun ia segera ditolong gajah Erawata dan segera melarikan diri. Janggan Dhenukasura sangat bangga bisa mempercundangi dewa.

Di suatu ketika, kala itu sudah hampir tiba musim panen, anak-anak Nanda Antogopa dianggap sudah mandiri dan dapat dipercayakan untuk menggembala sapi dan lembu dewasa, mereka tidak menggembalakan anak sapi lagi. Udawa, Kakrasana, Narayana, Pragota, dan teman-teman sebayanya setiap hari menggembalakan sapi ke hutan Gobajra yang banyak rumputnya. Kemudian mereka bermain-main di tepi hutan. Kali ini Kakrasana agak capek dan tertidur di bawah pohon. Narayana memijat-mijat betis Kakrasana. Dan beberapa temannya melepaskan lelah di dekat mereka dan beberapa yang lain masih tetap bermain di hutan. Pada waktu itu, 3 orang anak gembala: Madhu Manggala, Subala, dan Charu, sedang bermain mendekati Narayana dan Kakrasana. Mereka berkata, “Kakrasana! Narayana! kalian  mencium harum yang terbawa oleh angin ke tempat ini?” Udawa menimpali “ya, bau ini wangi seperti nira pohon lontar atau tal yang dijadikan legen.” Pragota ikut bicara “bukan cuma itu, aku juga mencium aroma mangga yang ranum.” Begitu mendengar kata mangga, Madhu pun ikut nimbrung “Mangga? Mana-mana? Aku mau mangga!” para penggembala muda pun tertawa dengan tingkah Madhu Manggala. Narayana pun mempertajam indria penciuamannya “hmmm...bau ini sepertinya dari hutan Entalsewu.” Mendengar kata hutan Entalsewu, para penggembala jadi ngeri sendiri “aduhh...kok dari situ? Aku gak jadi deh...tau sendiri kan kalau hutan Entalsewu itu angker. Jalma mara, jalma mati. Nafsu makanku langsung lenyap” Ujar Subala. Charu pun menenangkan Subala “jangan takut, Subala. Kan ada Kakrasana dan kakang Udawa yang akan melindungi kita. Lagipula Narayana juga pasti melindungi kita juga.” Setelah dibujuk, akhirnya mereka sepakat untuk ke hutan Entalsewu.

Demikianlah para putra Nanda Antagopa menemani para gembala muda masuk ke Hutan Entalsewu. Kakrasana menggoyang pohon dan buah-buahan yang telah ranum berjatuhan, kemudian diambil oleh para gembala kecil. Adalah Janggan Dhenukasura masih dalam wujud keledai kala itu sedang beristirahat, tiba-tiba ia merasa terusik dengan suara sayup-sayup dari kejauhan “heh siapa yang berani masuk ke hutan ini? Aku harus cari dia!”. Dhenukasura segera mempertajam indria pendengarnya lalu terdengarlah suara langkah kaki. Mendengar ada suara langkah kaki dan suara buah-buahan yang berjatuhan, Janggan Dhenukasura mendatangi mereka, dengan napas yang terengah-engah dan suara penuh kemarahan “Hei, Kalian Maling Cilik...Kalian Sudah Berani Masuk Hutan Ini, Maka Hukuman Untuk Kalian Yakni Kematian!”  tanpa peringatan, dia menyepak Kakrasana. Kakrasana menjadi kalap lalu melawan Dhenukasura dan dalam suatu kesempatan memegang kaki belakang Dhenukasura. Kemudian keledai tersebut diputar-putarkannya di sekeliling tubuhnya dan dilemparkan ke pohon. Pohon tersebut roboh dan kemudian menimpa pohon disebelahnya dan Dhenukasura mati. Seberkas sinar keluar dari tubuhnya dan jatuh di kaki Narayana lalu lenyap. Madhu Manggala lalu bertanya kepada Narayana “Narayana, apa Dhenukasura sudah mati?” Dengan santai Narayana berkata “ tentu saja, kakangku Kakrasana kan pegulat paling kuat diantara kita.” Udawa lalu meminta adik-adik dan teman-temannya untuk berwaspada “tunggu, ku rasa ini belum selesai.” Benar saja kata-kata Udawa. Seluruh kerabat Janggan Dhenukasura kemudian mengepung mereka “Kalian Hebat Sekali Bisa Menghabisi Pimpinan kami! Tapi Kalian tidak akan bisa Keluar Hidup-Hidup!”

Kakrasana dan Narayana mengalahkan para kerabat Dhenukasura 
para kerabat Dhenukasura lalu mengubah wujud menjadi keledai raksasa dan menyerang para gembala. Akan tetapi mereka semuanya dapat dipegang kakinya oleh Kakrasana dan Narayana lalu dicampakkan tinggi-tinggi ke udara sampai habis nyawa mereka. Udawa dan Pragota ikut membantu. Mereka berdua merobohkan tunggul-tunggul pohon lalu dilemparkan ke arah para raksasa keledai yang tersisa. Seluruh gerombolan keledai mati. Setelah mengalahkan Janggan Dhenukasura dan kerabat-kerabatnya, para gembala mengambil buah-buahan dari hutan Entalsewu dan memberikannya kepada para penduduk Gokula. Sejak saat itu, Hutan Entalsewu sudah “terbuka”, orang-orang dan binatang-binatang berani memasukinya.

Dendam Bakasura

Di istana Adipati Kangsa, Ditya Bakasura masih saja tidak tenang hatinya disebabkan kematian sang saudari tercinta, Nyai Kotana delapan tahun yang lalu. Diam-diam tanpa seizin sang kakak yakni Ditya Nagasura, Ditya Bakasura memohon izin kepada sang adipati Sengkapura ingin menyelidiki siapa penyebab kematian sang saudari “tuanku Kangsa izinkan hamba pergi barang sejenak untuk menyelidiki kematian adik saya, Kotana. Barangkali pembunuh adik saya itu adalah malaikat kematian tuanku.” Adipati Kangsa juga berpikiran sama “kau benar Bakasura, selidikilah dan jika benar dia adalah malaikat kematianku, habisi saja langsung tanpa ampun.”Ditya Bakasura segera mengubah wujudnya menjadi burung bangau raksasa dan pergi dari istana.

Setelah pergi dari istana, Bakasura dalam wujud bangau mengganggu masyarakat di sekitar bengawan Gangga dan Yamuna dengan mencuri ikan-ikan dan hasil ternak mereka. Rakyat dilanda rasa takut karena Bakasura ikut menelan siapa saja yang menghalanginya. Lalu dari kejauhan, Bakasura melihat segerombolan anak-anak penggembala. Diantara mereka ada satu anak yang seakan memiliki aura yang unik. Ditya Bakasura segera terbang ke sana. Tanpa disadari siapapun, Bakasura pun menyaru sebagai bukit besar.

Anak-anak penggembala yang dipimpin para putra Nanda Antagopa mulai melepaskan lembu dan sapi di pesisir bengawan Yamuna. Lalu mereka pergi bermain petak umpet. Kali ini giliran Udawa yang jaga “baik teman-teman, aku hitung sampai sepuluh, kalian sembunyi! 1! 2! 3! 4!...” para gembala segera bersembunyi. Kakrasana dan Pragota bersembunyi di balik pohon, Madhu Manggala berselindung di balik semak-semak, Charu, Subala, dan Sudhama ngumpet di balik batu besar. Sementara Narayana bersembunyi di bawah kayu dekat bukit besar. Tatkala Narayana duduk di sana tiba-tiba bukit besar itu bergerak lalu bertukar wujud ke wujud asal yakni menjadi Bakasura, si burung bangau raksasa. Anak-anak gembala yang menyaksikan hal demikian lari tunggang langgang. Tanpa mengambil waktu lama, Ditya Bakasura segera membuka paruhnya dan menelan Narayana bulat-bulat. Anak-anak penggembala kaget bukan kepalang menyaksikan hal itu. Udawa dan Kakrasana menenangkan teman-temannya “kalian jangan panik....adhiku Narayana pasti bisa melawan raksasa ini.”

Tak dinyana, tiba-tiba Ditya Bakasura diserang oleh kekuatan tidak terlihat. Rupanaya para dewa datang membantu Narayana. Batara Bayu dan Batara Sambu beserta beberapa gandarwa (bidadara) menyerang Ditya Bakasura dengan angin panas dan awan panas mereka hingga tubuh Bakasura hangus terbakar. Namun, Ditya Bakasura masih saja bisa bangun dan tak terluka sedikitpun. Sekali lagi para dewa merasa dipercundangi oleh raksasa. Bakasura lalu sesumbar “larilah kalian para dewa! Dendamku untuk Kotana telah kulunaskan! Aku telah menghabisi malaikat kematian tuanku Kangsa dan tidak ada satupun yang bisa mengalahkan aku! Aku sang pemuja Wisnu sejati...tidak seorang pun!”

Di saat sedang sesumbar begitu, tiba-tiba tenggorokan Ditya Bakasura menjadi panas seperti terbakar. Selain itu, ia merasa mual karena tekaknya ditendang sesuatu.

Narayana bertarung dengan Ditya Bakasura
Rupanya Narayana masih tertahan di tenggorokan sang raksasa bangau. Ia memukul-mukul dan menendang jalur nafas si raksasa yang diseliputi dendam itu. Maka Bakasura memuntahkan kembali Narayana dan terjadilah pertarungan yang sengit “Bakasura! Kau sangat sombong dan mengagungkan dirimui sebagai pemuja sejati! Sekarang rasakan kemarahanku!” Dengan marah, Bakasura mematuk Narayana dengan paruhnya yang seperti gunting baja raksasa. Berkali-kali Narayana berkelit menghindar. Kekesalan Bakasura semakin naik dan ia berusaha kembali menelan Narayana, namun kali ini Narayana berhasil berkelit dann naik ke leher bakasura dan mencekiknya hingga Bakasura tumbang. Meski sudah tumbang, Bakasura terus mengarahkan paruhnya ke arah Narayana. Namun fatal bagi Bakasura, Narayana memegang paruh sang bangau dan membukanya dengan paksa. Mulut bangau raksasa tersebut terbelah dan matilah Bakasura.

Dari jasad Bakasura, tiba-tiba muncul seberkas cahaya yang kemudian mewujud sebagai makhluk seperti bidadara. Ia pun berlutut di di kaki Narayana lalu terbang kembali ke kahyangan. Bakasura dalam kehidupan sebelumnya adalah seorang bidadara pemuja Batara Wisnu. Karena ingin memberikan persembahan terbaik kepada Batara Wisnu, maka dia memetik bunga teratai dari danau milik Batari Durga, istri Batara Guru tanpa izin. Seorang penjaga menangkap sang bidadara dan membawanya ke tempat Batara Guru. Karena dia telah mencuri maka dia mendapat hukuman terlahir di dunia sebagai raksasa yang ingin memperoleh segala sesuatu dengan sekejap tanpa bekerja keras dan pengorbanan. Akan tetapi, karena dia mempersembahkan bunga tersebut kepada Batara Wisnu, maka di jaman Dupara Yuga, Bakasura akan mendapatkan pembebasan dari Narayana alias Sri Kresna, yang merupakan avatar (titisan) dari sang dewa pujaannya, Batara Wisnu.

Minggu, 08 September 2024

Banjaran Sri Kresna Episode 2: Narayana si Anak Ajaib

Hai hai.......Selamat datang kembali....... Btw, kisah kali ini mengisahkan keadaan Sri Kresna kecil dan saudara-saudaranya setelah sampai di Gokula. Kisah diawali dengan terbunuhnya Nyai Kotana alias Putana ditangan bayi Narayana (Kresna) lalu dilanjutkan dengan Kisah Narayana menumbangkan dua pohon beringin dan terbebasnya dua bidadara (gandarwa). Kisah diakhiri dengan terbunuhnya Ditya Trinarwata yang hendak menculik dan menghabisi Narayana. Sumber kisah ini berasal dari blog https://kisahspiritualtaklekangzaman.wordpress.com/2017/07/22/krishna-kecil-bisakah-gusti-diikat-yashoda-bisa-srimadbhagavatam/, Serial Kolosal India Radha Krishna Starbharat, Serial Animasi Little Krishna, blog https://kisahspiritualtaklekangzaman.wordpress.com/2017/07/16/krishna-kecil-pemberian-air-susu-asura-putana-srimadbhagavatam/, dan beberapa sumber lainnya.

Nyai Kotana

Setelah Dewi Yogamaya muncul dan ia mendengar darinya bahwa penyebab kematiannya telah aman disatu tempat, Kangsa menjadi dibayang-bayangi ketakutan dan kekhawatiran “ahhh... bedebah......anak-anak penyebab kematianku sudah terselamatkan. Aku harus bertindak dengan cepat.” Di istananya di Sengkapura, ia memanggil beberapa ajudannya. Yang pertama datang ialah tiga raksasa bersaudara. Mereka yakni Nyai Kotana, sang telik sandi yang lihai dan licik, Ditya Keshin, raksasa berkepala kuda, Nagasura, si raksasa bersisik kebal dan kandel. Lalu datang pula Trinarwata, si raksasa yang sanggup menciptakan angin ribut. Lalu Ditya Aristha dan Wasasura, dua bersaudara raksasa berkepala banteng. Datang pula Ditya Pralamba, guru Ditya Suratrimantra yang doyan bergulat, dan juga Yomasura, si manusia kelelawar. Kangsa tidak tahu dimana keberadaan anak-anak penyebab kematiannya maka ia mengutus Nyai Kotana mencari keberadaannya “Nyai, aku utus kau mencari anak penyebab kematianku. Kalau ketemu, habisi saja langsung!” Nyai Kotana pun dengan senang hati melaksanakan perintah sang atasan “Hanya dia yang tidak tahu Kotana yang meremehkan kekuatanku. Dengan racunku, akan kubuat anak-anak itu dan mereka yang menghalangiku mati dalam sekejap.”Nyai Kotana pun terbang mencari setiap anak-anak bayi di sekitar wilayah Wangsa Yadawa dan Baharata untuk dihabisi. Rakyat di Mandura, Lesanpura, Kumbinapuri, dan Hastinapura dihantui ketakutan akan hilangnya anak-anak dan bayi. Ketika melewati kerajaan Hastinapura tepatnya di Partapan Saptarengga, ia melihat anak bayi bernama Bambang Permadi. Dalam penglihatannya, anak ini punya kekuatan menghancurkan sebuah negara. Ia menyangka anak inilah penyebab kematian tuannya. Ia pun mendekati bayi itu namun sebuah kekuatan ajaib menghalangi. Kekuatan ajaib itu serasa seperti ribuan panah menacap di tubuhnya dan membuat Nyai Kotana menjerit kesakitan. Hal itu menyebabkan bayi Permadi terbangun lalu menangis dan membuat keributan.

Nyai Kotana melarikan diri dari Pandhu
Lalu datang para prajurit datang lalu orang tua bayi itu yang tak lain raja Hastinapura, Pandhu Dewanata, Dewi Kunthi, dan Dewi Madrim “Hei, raksasi! Beranainya kau mengganggu anakku. Pergi kau atau ku bunuh saat ini juga!” Prabu Pandhu pun memanah raksasi itu. Raksasi Kotana merasa walau anak ini anak sakti tapi ia bukanlah penyebab kematian Kangsa. Ia pun pergi melarikan diri lalu ia sampai di hutan dan bersembunyi di sebuah goa besar.

Sementara itu,di pedukuhan Gokula, Nanda Antagopa dan Niken Yasodha sedang bercengkrama dengan keluarganya. Di sana ada Dewi Rohini menggendong Kakrasana alias Balarama dan Rara Ireng. Bayi Narayana digendong Niken Yasodha. Udawa, anak tertua mereka bermain-main dengan tiga adiknya yang masih juga masih bayi yakni Niken Larasati, Pragota, dan Hadimanggala di ayunan mereka. Lalu datang sang carik desa Gokula yakni Carik Sukantha “pak Lurah Nanda, persiapan pesta selapanan untuk anak-anak pak lurah sudah selesai. Setelah adicara ini, semoga anak-anak pak lurah akan aman dan selalu sehat.” “semoga Hyang Widhi menghendaki itu.” lalu ia menengok ke arah langit yang gelap tertutup mendung. Dengan menghela nafas, ia berkata “tapi kita harus berwaspada. Kangsa masih mengancam kita dengan penarikan upeti yang tidak masuk akal dan ajudannya yang sakti-sakti. Bisa saja ajudan-ajudannya dikirim kemari untuk mencelakai kita dan anak-anak kita ini.” Tak lama, kilatan petir menyambar dengan gemuruh yang menggelegar. Nanda Antagopa dan semua anggota keluarganya segea memasuki rumah karena sebentar lagi hujan akan segera turun. Beberapa hari kemudian, rakyat dukuh Gokula sedang menyiapkan pesta selapanan untuk keenam anaknya. Para penduduk desa bergumam dengan ketampanan dan kecantikan mereka, terutama dua bayi gondang kinasih Kakrasana dan Narayana. “kalian sudah melihat bayi nini Dewi Rohini dan nini Yasodha?” tanya salah satu warga. Lalu salah seorang kerabat Yasodha yakni Niken Prabawati berkata “aku sudah melihatnya...mereka sangat tampan dan cantik. Kakrasana seperti bidadara, lalu adiknya Narayana...ya ampun kulit gelapnya manis seperti gula jawa,. Bagaikan dewa Wisnu sendiri turun ke bumi...bagaikan malaikat...” Tak dinyana oleh mereka, Nyai Kotana telah mencuri dengar hal itu di balik pohon-pohon di dekat situ. “Hmmm...Narayana...bagai malaikat....sepertinya dia yang ku cari....tapi jika memang dia seperti anak di Hastinapura waktu itu, aku tak boleh lengah..” Nayi Kotana pun membalurkan racun miliknya ke payudaranya. Ia akan membunuh bayi itu dengan susu beracunnya. Setelah persiapan selesai, Nyai Kotana segera menyusup ke dukuh Gokula.

Pesta selapanan para putra-putri Nanda Antagopa pun digelar meriah. Di tengah meriahnya pesta, datang lah seorang wanita yang sangat cantik. Wajahnya begitu ayu dan molek dengan badan yang sintal berisi. Para penduduk terpesona dan terkagum-kagum dengan kecantikan sang wanita. Ia lalu berdiri di hadapan keluarga Nanda Antagopa. Niken Yasoda pun bertanya “wanita cantik, siapakah gerangan puan? Apakah gerangan maksud puan datang ke rumahku yang sederhana ini?” Wanita itu berkata “aku seorang bidadari dari kahyangan sana. kedatanganku ingin mengabdi kepada anak tuanku karena ku dengar anak tuanku sangat kuat.” Niken Yasoda pun merasa terhormat karena kedatangan seorang dewi yang ingin mengabdi kepada putranya. Ia pun mempersilakan sang dewi itu melihat sang anak. Ketika memasuki kamar, dewi cantik itu segera menggendong bayi Narayana. Ketika melihat bayi itu, ia seakan melihat bayangan dewa melindunginya. Tanpa rasa takut, wanita itu menggendong Narayana dan membawanya ke ruangan sepi, ia lalu segera menyusui si jabang bayi. “bagus, cah ganteng. Minumlah semuanya.” Ia merasa misinya berhasil, tapi ia merasa jabang bayi Narayana menyusu dengan cengkeraman yang sangat keras dan menghisap semua tenanganya “ehh...hentikan....bayi sialan...kau menghisap daya hidupku...!” wanita itu menjerit kesakitan berusaha melepaskan cengkeraman Narayana “lepaskan...lepaskan!” suara jeritan itu terdengar sangat keras sehingga mengejutkan semua orang. Niken Yasodha diikuti sang suami, Dewi Rohini, dan para penduduk segera menuju kamar tempat Narayana. Di sana mereka kaget melihat wanita cantik itu menjerit lalu bertukar wujud aslinya yakni Nyai Kotana, raksasi yang selama ini meneror Mandura hingga Hastinapura. Nyai Kotana pun berusaha melarikan diri dengan bayi Narayana masih mencengkeram puting susunya. Namun sejauh apapun Kotana melarikan diri, dengan bayi Narayana yang terus mencengkeram dadanya membuat Nyai Kotana tidak berdaya.

Nyai Kotana dihabisi bayi Narayana
Pada akhirnya, Nyai Kotana pun jatuh ambruk kehilangan nyawa dengan bayi Narayana tetap mencengkeram dan menyusu. Carik Sukantha segera mengambil bayi Narayana dan menyerahkannya kepada Niken Yasodha. Niken Yasodha segera mengambil anaknya itu dan memeluknya dengan harap-harap cemas tapi juga bangga karena sejak bayi, Narayana sanggup melakukan apa yang bahkan sulit sekali dilakukan orang dewasa.

Narayana sang Damodhara.

Hari berganti pekan, pekan berganti sasih. Tak terasa anak-anak Nanda dan Yasodha kini sudah berusia dua dan tiga tahun. Udawa yang paling tua kini sudah berusia tujuh tahun. Pada suatu hari, saat Niken Yasodha mengaduk susu untuk membuat mentega di luar dapur, Narayana kecil yang merasa lapar mendatanginya. Narayana lama memandang wajah ibunya yang cantik yang sedang sibuk mengaduk susu dalam periuk. Niken Yasodha tersenyum dan kemudian memangku Narayana kecil dan membiarkan tangan kecil Narayana ikut memegang pengaduk susu, kemudian bersama-sama dengan Narayana mengaduk susu dalam periuk. Ada rasa bahagia yang mengalir dalam diri Niken Yasodha. Dia betul-betul merasa bahagia memiliki seorang anak yang menjadi sumber kebahagiaan dirinya. 

Akan tetapi, rasa bahagia tersebut terhenti, kala dia membaui adanya bau gosong masakan di dalam periuk di dapur. Niken Yasodha segera meninggalkan Narayana kecil dan menengok masakannya di dapur. Setelah beberapa lama, ketika Niken Yasodha balik ke tempat semula, dia melihat periuk sudah pecah dan mentega yang sudah jadi hilang dan Narayana tidak nampak. Niken Yasodha tersenyum sambil berpikir bahwa Narayana telah memecahkan periuk dengan memukulnya memakai pengaduk, kemudian mengambil mentega dan bersembunyi. Niken Yasodha walaupun belum sadar siapa sejatinya Narayana, dia telah mengasihi sepenuh hati.

Sambil membawa kayu pengaduk Niken Yasodha mencari Narayana dan menemukannya sedang duduk di atas batu tempat menumbuk yang terletak di halaman sambil memakan mentega. Ada beberapa kera di depannya yang juga diberi mentega olehnya. Niken Yasodha marah juga namun ia berpikir Narayana kecil memang nakal dan bila ia dipukul dengan pengaduk walaupun pelan untuk menegur tindakannya, takut sang anak akan membencinya. Ia juga rasa kasihanmemandangkan kalau anak kecil nakal itu sudah biasa. Kemudian Niken Yasodha berupaya mendekati Narayana untuk menangkapnya. Tiba-tiba Narayana melihat Niken Yasodha datang dengan kayu pengaduk dan Narayana lari. Terjadilah kejar-mengejar antara Niken Yasodha dengan Narayana. Narayana kecil sangat lincah dan cukup sulit bagi Niken Yasodha untuk menangkapnya. Keringat Niken Yasodha bercucuran dan ikatan rambutnya terlepas menambah kecantikannya. Akhirnya, Narayana tertawa-tawa dan membiarkan dirinya dipegang oleh Niken Yasodha.” Kena kamu, anak nakal!” Niken Yasodha berkata lagi, “Narayana, kamu jangan nakal! Lain kali jangan memecahkan periuk dan mengambil mentega, Nanti ibu kuambilkan! Sekarang ibu akan ke dapur lagi, tetapi sebagai hukuman, ibu harus harus mengikatmu! Nanti ibu lepaskan ikatanmu!” Niken Yasodha kemudian mengambil tali pengikat sekitar 4 depa, mengikat batu penumbuk dan kemudian akan mengikat Narayana. Dalam pikiran Niken Yasodha biarlah Narayana bisa bergerak, tetapi tidak jauh. Akan tetapi, Niken Yasodha kaget karena talinya kurang panjang untuk mengikat badan Narayana. Niken Yasodha menyambung tali tersebut dengan tali lainnya, dan masih kurang panjang juga, sampai seluruh tali di dalam rumah diambilnya tetap kurang panjang juga.

Dewi Rohini yang baru pulang dari pasar bersama Kakrasana melihat hal itu lalu bertanya “Dinda, kau sedang apa?” Niken Yasodha berkata “aku mengikat si kecilku ini. Dia nakal sekali.” Dewi Rohini lalu membantu. Tapi anehnya bantuan dari Dewi Rohini juga tidak cukup untuk mengikat Narayana. Para Gopika (penggembala perempuan) berdatangan melihat kejadian tersebut dan ikut membantu. Niken Yasodha sampai kewalahan menyambungnya dengan tali-tali lainnya. Narayana kecil hanya tersenyum dan setelah merasa cukup mempermainkan ibunya, Narayana kemudian membiarkan dirinya diikat oleh Niken Yasodha “ini ibu, ikat aku.” Niken Yasodha kaget begitu tali itu dipegang Narayana langsung bisa pas. Yasodha pun mengikat anak kesayangannya itu “kamu jangan nakal lagi, ibu mau mengurus adik-adikmu dulu.”

Ditunggu punya tunggu, Niken Yasodha ternyata masih belum selesai mengurus adik-adik Narayana. Narayana merasa gelisah lalu ia merangkak dengan keadaan perutnya diikat ke lesung. Anehnya, meski berat, lesung itu ikut bergerak kemanapun bayi Narayana bergerak. Akhirnya ketika Narayana merangkak melewati dua buah pohon beringin, kendi itu tersangkut di celah-celahnya. Narayana terus merangkak dengan perut terikat. Kakrasana yang sedang bemain bersama Udawa melihat hal itu berkata “kakang Udawa, lihat adhi Kanha. Berusaha keluar dari pohon dengan perut terikat lesung.” “Benar adhi. Kanha lucu banget. Kanha, kamu gak bakal bisa keluar.” Narayana tidak menggubris perkataan dua abangnya itu terus berusaha keluar dari celah pohon itu hingga akhirnya tarikannya itu membuat dua pohon itu roboh.  Suaranya berdentum keras menimbulkan getaran. Udawa dan Kakrasana segera mendekati pohon itu dan bersyukur Narayana masih selamat.Udawa segera melepaskan ikatan di perut Narayana. Keajaiban pun terjadi. Dari dalam tunggul pohon muncul cahaya yang sangat terang dan mewujudlah dua bidadara yang sangat tampan rupawan. Dua bidadara itu lalu berkata “kalian anak-anak yang hebat, telah membebaskan kami dari pohon beringin ini. Kami ucapkan terima kasih. Aku Nalakubara dan ini adikku Manigriba.” “Kami telah dikutuk Batara Narada untuk hidup sebagai pohon karena ketelodoran kami.” Udawa lalu berkata sambil menunjuk Narayana“bukan saya yang membebaskan paman-paman berdua. Adik saya Kanha yang telah membebaskan paman berdua.” Nalakubara dan Manigriba pun tetap berterima kasih pada mereka dan memberikan sejumlah hadiah dari kahyangan. Lalu mereka terbang kembali ke kahyangan.

Narayana sang Damodhara
Niken Yasodha yang tadi mendengar suara berdentum dari luar segera keluar rumah diikuti beberapa warga. Ia melihat anak-anaknya berada di dekat pohon beringin yang roboh tadi. Ia segera menghampiri anak-anaknya “Udawa! Kakrasana! Apa yang terjadi? Mana adikmu?”  Udawa segera memberikan sang adik untuk digendong ibunya lalu menceritakan semuanya yang terjadi. Para warga yang mendengar hal itu merasa takjub lalu memberi julukan kepada Narayana kecil sebagai Damodhara yang bermakna perut yang diikat tali.

Trinarwata si Angin Ribut.

Kabar kejadian terbunuhnya Nyai Kotana dan robohnya dua pohon beringin oleh seorang anak kecil terdengar oleh Ditya Trinarwata, salah seorang ajudan Kangsa yang sedang mencari keberadaan Nyai Kotana yang sudah lebih dari 24 sasih tak kembali. Trinarwata segera kembali ke istana Sengkapura dan melaporkan apa yang ia dapat kepada sang tuan. “tuanku, ternyata kabar itu benar.Nyai Kotana telah dihabisi oleh anak bayi dan sekarang ada berita jika anak tersebut sudah membuat kegemparan. Dia merobohkan pohon dengan keadaan perut diikat lesung.” Kangsa murka mendengarnya “Bedebah! Pasti anak itu salah satu penyebab kematianku. Cepat kau habisi dia.” Ditya Trinarwata pun segera pergi dan berubah wujud sebagai angin ribut yang sangat kencang. 

Hari itu, Niken Yasodha selesai memandikan sang anak-anaknya. Dia merasa sedikit pusing. Melihat anak-anaknya sedang tertidur nyenyak, maka Niken Yasodha meninggalkan mereka di ayunan halaman dan masuk ke rumah menyelesaikan beberapa pekerjaan. Baru beberapa saat Niken Yasodha masuk ke dalam rumah, datang angin ribut yang berputar-putar. pedukuhan Gokula kalang kabut dibuatnya. Seluruh penduduk Gokula berada dalam kepanikan segera menutupi mata mereka dan segera masuk ke rumah, karena debu, daun-daun kering, dan kerikil berterbangan. , Niken Yasodha segera lari ke halaman mencari sang anak-anaknya. Akan tetapi, sang anak kesayangan, Narayana tidak ada di tempatnya “Narayana! Anakku Narayana! Dimana kamu? Kakanda! Ayo cari anak kita!” Nanda Antagopa segera memerintahkan para warga mencari Narayana. Beberapa saat kemudian, para warga mendengar suara tawa anak kecil dari atas lamgit. Ketika mereka mendongak, samar-samar di tengah debu dan pasir yang beterbangan mereka melihat Narayana dibawa oleh angin ribut yang berputar-putar. Niken Yasodha cemas melihat anaknya terbawa oleh angin puyuh itu.

Ditya Trinarwata membawa sang bayi terbang tinggi ke langit dan bermaksud menjatuhkannya “hahahaha...anak kecil...sebentar lagi kau akan jadi telur ceplok....” Narayana yang digendong tiba-tiba berdiri di tangan raksasa itu dan berkata “paman...mana telor ceploknya? Apa yang di atas hidung paman itu ya?” tiba-tiba melompatlah Narayana pun memukul mata Ditya Trinarwata lalu wajah dan hidungnya. Mendadak  Ditya Trinarwata merasa anak kecil itu begitu berat, sehingga dia tidak kuat membawanya. Kemudian dalam keadaan setengah sadar dia merasa tangan mungil anak kecil itu mencekiknya lalu tiba-tiba anak itu naik ke punggungnya dan diinjak-injak sampai tubuhnya hilang keseimbangan lalu jatuh menghantam bumi dengan keras. 

Trinarwata Lena
Ditya Trinarwata pun tewas menghantam tanah seperti telur ceplok. Para penduduk dukuh Gokula merasakan getaran bagai gempa bumi dan mendengar suara raksasa itu jatuh seperti bukit runtuh di tepi hutan. Mereka berlari ke sana dan melihat Trinarwata yang luar biasa besarnya mati dengan Narayana kecil yang masih berada dalam pelukannya. Carik Sukantha segera mengambil Narayana kecil dan menyerahkannya kembali kepada Niken Yasodha “Narayana, kamu ini membuat ibu khawatir...” ucap Niken Yasodha yang memeluk putra kesayangannya itu sambil menangis haru. Para penduduk bersyukur kepada dewata karena masih menyelamatkan putra Nanda Antagopa dan Niken Yasodha itu.