Hai hai.......Selamat datang kembali....... Btw, kisah kali ini mengisahkan keadaan masa kanak-kanak Sri Kresna di padukuhan Gokula. Kisah diawali dengan Hadimanggala yang harus tinggal terpisah bersama Ki Adirata, lurah desa Petapalaya yang tak lain orang tua angkat Aradeya (Adipati Karna), tipu daya Ditya Keshin, si raksasa berwujud kuda raksasa, pembebasan hutan Entalsewu dari tangan Kangsa dengan terbunuhnya sang penjaga hutan itu yakni Janggan Dhenukasura. Kisah diakhiri dengan usaha balas dendam Ditya Bakasura kepada Narayana karena terbunuhnya Kotana namun berakhir tewas. Sumber kisah ini berasal dari blog https://kisahspiritualtaklekangzaman.wordpress.com/2017/08/11/krishna-kecil-keshi-kejatuhan-keangkuhan-diri-srimadbhagavatam, https://kisahspiritualtaklekangzaman.wordpress.com/2017/07/30/krishna-kecil-balarama-menaklukkan-hawa-nafsu-dhenukasura-srimadbhagavatam/ , https://kisahspiritualtaklekangzaman.wordpress.com/2017/07/26/krishna-kecil-melenyapkan-pola-pikiran-keliru-bakasura-srimadbhagavatam/, Serial animasi Little Krishna, Serial Kolosal India Radha Krishna Starbharat, lakon Wayang ki Purbo Asmoro yang berjudul Kresna Lair, dan sumber lainnya.
Keangkuhan
Ditya Keshin
Waktu berjalan bagaikan
kilat. Tak terasa para putra Mandura kini sudah berusia 8 tahun. Pada suatu
hari, Nanda Antagopa mendapat mimpi bahawa ia harus membawa salah satu putranya
yakni Hadimanggala kepada Ki Adirata, seorang kepala desa di desa Petapalaya
dekat wilayah Awangga, salah satu wilayah bawahan Hastinapura yang pusat
penghasil kereta kencana dan kusir kereta. Dalam mimpi itu, ia mendapat
penglihatan apabila Hadimanggala diasuh Ki Adirata maka ia kan menjadi orang
besar di kemudian hari. Ia pun menceritakan mimpinya itu kepada Niken Yasodha.
Awalnya Yasodha menolak namun keesokan harinya, Yasodha juga mendapat
penglihatan yang sama. Setelah menimbang-nimbang dengan matang, akhirnya Niken
Yasodha pun mengizinkan Hadimanggala pergi dan diasuh oleh Ki Adirata. Dengan
air mata berlinangan, Yasodha memeluk Hadimanggala untuk terakhir kalinya
sebelum pergi “Hadimanggala, kamu yang baik ya sama ayah barumu. Kalau sudah
berjaya, pulanglah. Ibu akan menunggumu.” Hari itu adalah hari yang berat juga
bagi abang dan kakak Hadimanggala terutama bagi Pragota karena akan ditinggal
oleh adik kandungnya.
Salah seorang ajudan Adipati
Kangsa adalah Ditya Keshin merasa geram. Ditya Keshin mempunyai dendam yang
mendalam kepada Narayana karena telah menghabisi Trinarwata sahabatnya. Selain
Trinarwata, kabar Nyai Kotana yang dibunuh oleh Narayana saat masih bayi juga
membuatnya penasaran. Keshin yang penat mendengar teman-temannya dihabisi ingin
menunjukkan kelebihan kekuatan dan kepatuhannya kepada Adipati Kangsa dengan
mengambil wujud seekor kuda raksasa “tuanku Kangsa, izinkan aku datang ke
tempat Nyai Kotana dan sahabatku Trinarwata tewas. Aku akan membawa kepala dari
pembunuh teman-temanku dan ku persembahkan padamu, tuanku.” “baiklah Keshin, aku
mengizinkanmu dan bawa kepala dari malaikat kematianku itu ke hadapanku!”.
Kecepatan larinya secepat pikiran, dan suara ringkikannya menimbulkan badai.
Batu-batu yang ada di jalan yang dilewatinya tersepak hingga beberapa puluh
meter. Keshin langsung menuju dukuh Gokula dan mencari Narayana.
Agar tidak mencolok
perhatian, Ditya Keshin menyamar sebagai seorang ajar (pandita) bergelar
Begawan Jaranbergola dan membuat sebuah
padepokan di pinggir hutan. Di sana, para orang durjana dan perompak belajar
ilmu kesaktian. Pada suatu hari, saat ia mengajar, sang begawan Jaranbergola ditemui
seorang mata-mata Kangsa bernama Janggan Dhenukasura. Ia adalah telik sandi
yang mampu berubah wujud menjadi kimar (keledai). Ia bertukar kabar dan
informasi tentang malaikat kematian Adipati Kangsa “sahabatku, sang
begawan..... aku tahu bagaimana ciri-ciri orang yang menghabisi teman-teman
kita.” Begawan Jaranbergola alias Keshin antusias “bagaimana ciri-cirinya?
Bagitahu padaku, Dhenukasura!” Dhenukasura pun menjabarkan ciri-cirinya:
seorang anak lelaki memakai jarik batik berwana kuning, membawa banshuri
(seruling), dan memakai mahkota bulu merak. Setelah menjabarkan semuanya,
Dhenukasura pamit untuk kembali ke pos jaganya di bagian hutan lainnya yakni
hutan Entalsewu
Dengan persiapan yang matang, Begawan Jaranbergola memerintahkan murid-muridnya yang menjadi begal dan rampok bergerak hendak mengacau dukuh Gokula demi mencari anak yang menjadi incarannya. Sementara itu, jauh dari desa di pinggir padang rumput, para gembala muda menggembalakan anak-anak sapi dan lembu. Salah seorang gembala muda bernama Madhu Manggala bermain bersama teman-temannya diantaranya adalah anak-anak Nanda Antagopa.
Narayana bertarung dengan Jaran Keshin |
Rupanya Narayana sudah
tahu jika sang provokator adalah Begawan Jaranbergola. Ia pun mendatangi guru
itu dan berdebat dengannya. Begawan Jaranbergola kalah dalam perdebatan dan
berubah wujud ke wujud aslinya yakni Ditya Keshin berwujud kuda raksasa. Ketika
itu orang-orang yang mencari Narayana kaget melihat perubahan itu dan menjadi
ngeri. Mereka berteriak agar Narayana menjauh “Narayana...pergi dari situ! Dia
iblis!” Narayana degna tenang berkata “paman-paman semua, tenang saja....eyang
resi ini sedang mau main kuda-kudaan dengan aku!”. Keshin langsung menyerang Narayana,
akan tetapi Narayana bisa berkelit dengan lincah. Keshin semakin marah, matanya
melotot dan giginya bergemeretak “Kau Harus Belajar Tata Krama, Anak Sombong!”.
Berkali-kali Keshin menginjak-injakkan kakinya ke arah Narayana namun ia bisa
berkelit dengan pantas. Narayana sengaja memain-mainkan Keshin dengan selalu
berkelit dari serangannya. Akhirnya, Narayana berhasil memegang kaki belakang
Keshin dan segera memutar-mutarkannya di atas kepalanya. Keshi merasa pusing
dan putus asa. Kemudian Keshin merasa dirinya dilemparkan sangat tinggi dan
jatuh dengan telak. Meski demikian, Keshin masih bisa melawan. Akhirnya,
Narayana yang masih bocah berusia 8 tahun mematahkan rahang atas dan bawah
Keshin. Seketika itu pula, nyawa Ditya Keshin pun melayang. Sebuah makhluk
bersinar keluar dari tubuh Keshin, bersujud di kaki Narayana, dan menghilang
sebagai makhluk setengah dewa. Karena jasa-jasanya, Narayana kembali mendapat
julukan baru yakni Keshinisudhana yang bermakna “yang mengalahkan Ditya
Keshin”.
Janggan
Dhenukasura
Suatu hari yang cerah
di musim panas, Batara Indra sang raja bidadari dimintai tolong oleh
isterinya, Dewi Shaci “kakanda, persedian minuman untuk bahan membuat air Soma
habis. Bisakah kau mencarikannya untukku?” batara Indra berkata “bahan baku air
soma paling bagus berasal dari nira lontar yang ada di hutan Entalsewu, tapi
hutan itu alas gung liwang-liwung, jalma mara jalma mati..” Dewi Shaci lalu
merayu “kan kakanda adalah dewa petir dan raja bidadari yang hebat, apa hutan
itu telah membuat hati kakanda menjadi ciut?” Batara Indra lalu berkata “tentu
saja tidak! Aku akan ambilkan buah-buahan dan air lontar dari hutan angker itu
untukmu, cintaku!” maka Batara Indra pun pergi ke hutan Entalsewu. Sesampainya
di pinggir hutan itu, para bidadara membuat pengalih perhatian agar para
siluman disana sibuk sendiri. Datanglah angin kencang yang menerbangkan
pepohonan dan buah-buahan disana berjatuhan. Batara Indra segera mengambili
buah lontar, legen, nira, dan mangga itu. namun tiba-tiba datanglah seekor keledai raksasa
menghadangnya. Dialah Janggan Dhenukasura, sang telik sandi adipati Kangsa yang
ditugasi menjaga hutan itu setelah tewasnya Ditya Keshin
“hahahaha...batara...kau ini kesasar?...kau kenapa mau mencuri buah-buahan
hutan ini? Kalau kau mau buah, langkahi dulu mayatku!”terjadilah pertarungan
antara Batara Indra dan Janggan Dhenukasura yang sangatlah sengit. Batara Indra
tiba-tiba merasa goyah keseimbangan akibat hantaman Janggan Dhenukasura ke
arahnya. Di saat demikian, Janggan Dhenukasura menginjak-injak tanah tempat
sang dewa petir itu sehingga runtuh. Batara Indra hampir saja jatuh namun ia
segera ditolong gajah Erawata dan segera melarikan diri. Janggan Dhenukasura
sangat bangga bisa mempercundangi dewa.
Di suatu ketika, kala
itu sudah hampir tiba musim panen, anak-anak
Nanda Antogopa dianggap sudah mandiri dan dapat dipercayakan untuk
menggembala sapi dan lembu dewasa, mereka tidak menggembalakan anak sapi
lagi. Udawa, Kakrasana, Narayana, Pragota, dan
teman-teman sebayanya setiap hari menggembalakan sapi ke hutan Gobajra yang
banyak rumputnya. Kemudian mereka bermain-main di tepi hutan. Kali ini Kakrasana agak capek dan tertidur
di bawah pohon. Narayana memijat-mijat
betis Kakrasana. Dan
beberapa temannya melepaskan lelah di dekat mereka dan beberapa yang lain masih
tetap bermain di hutan. Pada waktu itu, 3 orang anak gembala: Madhu Manggala,
Subala, dan Charu, sedang bermain mendekati Narayana dan Kakrasana. Mereka
berkata, “Kakrasana! Narayana! kalian
mencium harum yang terbawa oleh angin ke tempat ini?” Udawa menimpali
“ya, bau ini wangi seperti nira pohon lontar atau tal yang dijadikan legen.”
Pragota ikut bicara “bukan cuma itu, aku juga mencium aroma mangga yang ranum.”
Begitu mendengar kata mangga, Madhu pun ikut nimbrung “Mangga? Mana-mana? Aku
mau mangga!” para penggembala muda pun tertawa dengan tingkah Madhu Manggala. Narayana
pun mempertajam indria penciuamannya “hmmm...bau ini sepertinya dari hutan
Entalsewu.” Mendengar kata hutan Entalsewu, para penggembala jadi ngeri sendiri
“aduhh...kok dari situ? Aku gak jadi deh...tau sendiri kan kalau hutan
Entalsewu itu angker. Jalma mara, jalma mati. Nafsu makanku langsung lenyap”
Ujar Subala. Charu pun menenangkan Subala “jangan takut, Subala. Kan ada
Kakrasana dan kakang Udawa yang akan melindungi kita. Lagipula Narayana juga
pasti melindungi kita juga.” Setelah dibujuk, akhirnya mereka sepakat untuk ke
hutan Entalsewu.
Demikianlah para putra Nanda Antagopa menemani para gembala muda masuk ke Hutan Entalsewu. Kakrasana menggoyang pohon dan buah-buahan yang telah ranum berjatuhan, kemudian diambil oleh para gembala kecil. Adalah Janggan Dhenukasura masih dalam wujud keledai kala itu sedang beristirahat, tiba-tiba ia merasa terusik dengan suara sayup-sayup dari kejauhan “heh siapa yang berani masuk ke hutan ini? Aku harus cari dia!”. Dhenukasura segera mempertajam indria pendengarnya lalu terdengarlah suara langkah kaki. Mendengar ada suara langkah kaki dan suara buah-buahan yang berjatuhan, Janggan Dhenukasura mendatangi mereka, dengan napas yang terengah-engah dan suara penuh kemarahan “Hei, Kalian Maling Cilik...Kalian Sudah Berani Masuk Hutan Ini, Maka Hukuman Untuk Kalian Yakni Kematian!” tanpa peringatan, dia menyepak Kakrasana. Kakrasana menjadi kalap lalu melawan Dhenukasura dan dalam suatu kesempatan memegang kaki belakang Dhenukasura. Kemudian keledai tersebut diputar-putarkannya di sekeliling tubuhnya dan dilemparkan ke pohon. Pohon tersebut roboh dan kemudian menimpa pohon disebelahnya dan Dhenukasura mati. Seberkas sinar keluar dari tubuhnya dan jatuh di kaki Narayana lalu lenyap. Madhu Manggala lalu bertanya kepada Narayana “Narayana, apa Dhenukasura sudah mati?” Dengan santai Narayana berkata “ tentu saja, kakangku Kakrasana kan pegulat paling kuat diantara kita.” Udawa lalu meminta adik-adik dan teman-temannya untuk berwaspada “tunggu, ku rasa ini belum selesai.” Benar saja kata-kata Udawa. Seluruh kerabat Janggan Dhenukasura kemudian mengepung mereka “Kalian Hebat Sekali Bisa Menghabisi Pimpinan kami! Tapi Kalian tidak akan bisa Keluar Hidup-Hidup!”
Kakrasana dan Narayana mengalahkan para kerabat Dhenukasura |
Dendam
Bakasura
Di istana Adipati
Kangsa, Ditya Bakasura masih saja tidak tenang hatinya disebabkan kematian sang
saudari tercinta, Nyai Kotana delapan tahun yang lalu. Diam-diam tanpa seizin
sang kakak yakni Ditya Nagasura, Ditya Bakasura memohon izin kepada sang
adipati Sengkapura ingin menyelidiki siapa penyebab kematian sang saudari “tuanku
Kangsa izinkan hamba pergi barang sejenak untuk menyelidiki kematian adik saya,
Kotana. Barangkali pembunuh adik saya itu adalah malaikat kematian tuanku.”
Adipati Kangsa juga berpikiran sama “kau benar Bakasura, selidikilah dan jika benar
dia adalah malaikat kematianku, habisi saja langsung tanpa ampun.”Ditya
Bakasura segera mengubah wujudnya menjadi burung bangau raksasa dan pergi dari
istana.
Setelah pergi dari
istana, Bakasura dalam wujud bangau mengganggu masyarakat di sekitar bengawan
Gangga dan Yamuna dengan mencuri ikan-ikan dan hasil ternak mereka. Rakyat dilanda
rasa takut karena Bakasura ikut menelan siapa saja yang menghalanginya. Lalu dari
kejauhan, Bakasura melihat segerombolan anak-anak penggembala. Diantara mereka
ada satu anak yang seakan memiliki aura yang unik. Ditya Bakasura segera
terbang ke sana. Tanpa disadari siapapun, Bakasura pun menyaru sebagai bukit
besar.
Anak-anak penggembala
yang dipimpin para putra Nanda Antagopa mulai melepaskan lembu dan sapi di
pesisir bengawan Yamuna. Lalu mereka pergi bermain petak umpet. Kali ini
giliran Udawa yang jaga “baik teman-teman, aku hitung sampai sepuluh, kalian
sembunyi! 1! 2! 3! 4!...” para gembala segera bersembunyi. Kakrasana dan
Pragota bersembunyi di balik pohon, Madhu Manggala berselindung di balik
semak-semak, Charu, Subala, dan Sudhama ngumpet di balik batu besar. Sementara Narayana
bersembunyi di bawah kayu dekat bukit besar. Tatkala Narayana duduk di sana
tiba-tiba bukit besar itu bergerak lalu bertukar wujud ke wujud asal yakni menjadi
Bakasura, si burung bangau raksasa. Anak-anak gembala yang menyaksikan hal demikian
lari tunggang langgang. Tanpa mengambil waktu lama, Ditya Bakasura segera membuka
paruhnya dan menelan Narayana bulat-bulat. Anak-anak penggembala kaget bukan
kepalang menyaksikan hal itu. Udawa dan Kakrasana menenangkan teman-temannya “kalian
jangan panik....adhiku Narayana pasti bisa melawan raksasa ini.”
Tak dinyana, tiba-tiba
Ditya Bakasura diserang oleh kekuatan tidak terlihat. Rupanaya para dewa datang
membantu Narayana. Batara Bayu dan Batara Sambu beserta beberapa gandarwa
(bidadara) menyerang Ditya Bakasura dengan angin panas dan awan panas mereka
hingga tubuh Bakasura hangus terbakar. Namun, Ditya Bakasura masih saja bisa
bangun dan tak terluka sedikitpun. Sekali lagi para dewa merasa dipercundangi
oleh raksasa. Bakasura lalu sesumbar “larilah kalian para dewa! Dendamku untuk
Kotana telah kulunaskan! Aku telah menghabisi malaikat kematian tuanku Kangsa
dan tidak ada satupun yang bisa mengalahkan aku! Aku sang pemuja Wisnu
sejati...tidak seorang pun!”
Di saat sedang sesumbar begitu, tiba-tiba tenggorokan Ditya Bakasura menjadi panas seperti terbakar. Selain itu, ia merasa mual karena tekaknya ditendang sesuatu.
Narayana bertarung dengan Ditya Bakasura |
Dari jasad Bakasura,
tiba-tiba muncul seberkas cahaya yang kemudian mewujud sebagai makhluk seperti
bidadara. Ia pun berlutut di di kaki Narayana lalu terbang kembali ke
kahyangan. Bakasura dalam kehidupan sebelumnya adalah seorang bidadara pemuja Batara
Wisnu. Karena ingin memberikan persembahan terbaik kepada Batara Wisnu, maka
dia memetik bunga teratai dari danau milik Batari Durga, istri Batara Guru
tanpa izin. Seorang penjaga menangkap sang bidadara dan membawanya ke tempat Batara
Guru. Karena dia telah mencuri maka dia mendapat hukuman terlahir di dunia
sebagai raksasa yang ingin memperoleh segala sesuatu dengan sekejap tanpa
bekerja keras dan pengorbanan. Akan tetapi, karena dia mempersembahkan bunga
tersebut kepada Batara Wisnu, maka di jaman Dupara Yuga, Bakasura akan mendapatkan
pembebasan dari Narayana alias Sri Kresna, yang merupakan avatar (titisan) dari
sang dewa pujaannya, Batara Wisnu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar