Minggu, 08 September 2024

Banjaran Sri Kresna Episode 2: Narayana si Anak Ajaib

Hai hai.......Selamat datang kembali....... Btw, kisah kali ini mengisahkan keadaan Sri Kresna kecil dan saudara-saudaranya setelah sampai di Gokula. Kisah diawali dengan terbunuhnya Nyai Kotana alias Putana ditangan bayi Narayana (Kresna) lalu dilanjutkan dengan Kisah Narayana menumbangkan dua pohon beringin dan terbebasnya dua bidadara (gandarwa). Kisah diakhiri dengan terbunuhnya Ditya Trinarwata yang hendak menculik dan menghabisi Narayana. Sumber kisah ini berasal dari blog https://kisahspiritualtaklekangzaman.wordpress.com/2017/07/22/krishna-kecil-bisakah-gusti-diikat-yashoda-bisa-srimadbhagavatam/, Serial Kolosal India Radha Krishna Starbharat, Serial Animasi Little Krishna, blog https://kisahspiritualtaklekangzaman.wordpress.com/2017/07/16/krishna-kecil-pemberian-air-susu-asura-putana-srimadbhagavatam/, dan beberapa sumber lainnya.

Nyai Kotana

Setelah Dewi Yogamaya muncul dan ia mendengar darinya bahwa penyebab kematiannya telah aman disatu tempat, Kangsa menjadi dibayang-bayangi ketakutan dan kekhawatiran “ahhh... bedebah......anak-anak penyebab kematianku sudah terselamatkan. Aku harus bertindak dengan cepat.” Di istananya di Sengkapura, ia memanggil beberapa ajudannya. Yang pertama datang ialah tiga raksasa bersaudara. Mereka yakni Nyai Kotana, sang telik sandi yang lihai dan licik, Ditya Keshin, raksasa berkepala kuda, Nagasura, si raksasa bersisik kebal dan kandel. Lalu datang pula Trinarwata, si raksasa yang sanggup menciptakan angin ribut. Lalu Ditya Aristha dan Wasasura, dua bersaudara raksasa berkepala banteng. Datang pula Ditya Pralamba, guru Ditya Suratrimantra yang doyan bergulat, dan juga Yomasura, si manusia kelelawar. Kangsa tidak tahu dimana keberadaan anak-anak penyebab kematiannya maka ia mengutus Nyai Kotana mencari keberadaannya “Nyai, aku utus kau mencari anak penyebab kematianku. Kalau ketemu, habisi saja langsung!” Nyai Kotana pun dengan senang hati melaksanakan perintah sang atasan “Hanya dia yang tidak tahu Kotana yang meremehkan kekuatanku. Dengan racunku, akan kubuat anak-anak itu dan mereka yang menghalangiku mati dalam sekejap.”Nyai Kotana pun terbang mencari setiap anak-anak bayi di sekitar wilayah Wangsa Yadawa dan Baharata untuk dihabisi. Rakyat di Mandura, Lesanpura, Kumbinapuri, dan Hastinapura dihantui ketakutan akan hilangnya anak-anak dan bayi. Ketika melewati kerajaan Hastinapura tepatnya di Partapan Saptarengga, ia melihat anak bayi bernama Bambang Permadi. Dalam penglihatannya, anak ini punya kekuatan menghancurkan sebuah negara. Ia menyangka anak inilah penyebab kematian tuannya. Ia pun mendekati bayi itu namun sebuah kekuatan ajaib menghalangi. Kekuatan ajaib itu serasa seperti ribuan panah menacap di tubuhnya dan membuat Nyai Kotana menjerit kesakitan. Hal itu menyebabkan bayi Permadi terbangun lalu menangis dan membuat keributan.

Nyai Kotana melarikan diri dari Pandhu
Lalu datang para prajurit datang lalu orang tua bayi itu yang tak lain raja Hastinapura, Pandhu Dewanata, Dewi Kunthi, dan Dewi Madrim “Hei, raksasi! Beranainya kau mengganggu anakku. Pergi kau atau ku bunuh saat ini juga!” Prabu Pandhu pun memanah raksasi itu. Raksasi Kotana merasa walau anak ini anak sakti tapi ia bukanlah penyebab kematian Kangsa. Ia pun pergi melarikan diri lalu ia sampai di hutan dan bersembunyi di sebuah goa besar.

Sementara itu,di pedukuhan Gokula, Nanda Antagopa dan Niken Yasodha sedang bercengkrama dengan keluarganya. Di sana ada Dewi Rohini menggendong Kakrasana alias Balarama dan Rara Ireng. Bayi Narayana digendong Niken Yasodha. Udawa, anak tertua mereka bermain-main dengan tiga adiknya yang masih juga masih bayi yakni Niken Larasati, Pragota, dan Hadimanggala di ayunan mereka. Lalu datang sang carik desa Gokula yakni Carik Sukantha “pak Lurah Nanda, persiapan pesta selapanan untuk anak-anak pak lurah sudah selesai. Setelah adicara ini, semoga anak-anak pak lurah akan aman dan selalu sehat.” “semoga Hyang Widhi menghendaki itu.” lalu ia menengok ke arah langit yang gelap tertutup mendung. Dengan menghela nafas, ia berkata “tapi kita harus berwaspada. Kangsa masih mengancam kita dengan penarikan upeti yang tidak masuk akal dan ajudannya yang sakti-sakti. Bisa saja ajudan-ajudannya dikirim kemari untuk mencelakai kita dan anak-anak kita ini.” Tak lama, kilatan petir menyambar dengan gemuruh yang menggelegar. Nanda Antagopa dan semua anggota keluarganya segea memasuki rumah karena sebentar lagi hujan akan segera turun. Beberapa hari kemudian, rakyat dukuh Gokula sedang menyiapkan pesta selapanan untuk keenam anaknya. Para penduduk desa bergumam dengan ketampanan dan kecantikan mereka, terutama dua bayi gondang kinasih Kakrasana dan Narayana. “kalian sudah melihat bayi nini Dewi Rohini dan nini Yasodha?” tanya salah satu warga. Lalu salah seorang kerabat Yasodha yakni Niken Prabawati berkata “aku sudah melihatnya...mereka sangat tampan dan cantik. Kakrasana seperti bidadara, lalu adiknya Narayana...ya ampun kulit gelapnya manis seperti gula jawa,. Bagaikan dewa Wisnu sendiri turun ke bumi...bagaikan malaikat...” Tak dinyana oleh mereka, Nyai Kotana telah mencuri dengar hal itu di balik pohon-pohon di dekat situ. “Hmmm...Narayana...bagai malaikat....sepertinya dia yang ku cari....tapi jika memang dia seperti anak di Hastinapura waktu itu, aku tak boleh lengah..” Nayi Kotana pun membalurkan racun miliknya ke payudaranya. Ia akan membunuh bayi itu dengan susu beracunnya. Setelah persiapan selesai, Nyai Kotana segera menyusup ke dukuh Gokula.

Pesta selapanan para putra-putri Nanda Antagopa pun digelar meriah. Di tengah meriahnya pesta, datang lah seorang wanita yang sangat cantik. Wajahnya begitu ayu dan molek dengan badan yang sintal berisi. Para penduduk terpesona dan terkagum-kagum dengan kecantikan sang wanita. Ia lalu berdiri di hadapan keluarga Nanda Antagopa. Niken Yasoda pun bertanya “wanita cantik, siapakah gerangan puan? Apakah gerangan maksud puan datang ke rumahku yang sederhana ini?” Wanita itu berkata “aku seorang bidadari dari kahyangan sana. kedatanganku ingin mengabdi kepada anak tuanku karena ku dengar anak tuanku sangat kuat.” Niken Yasoda pun merasa terhormat karena kedatangan seorang dewi yang ingin mengabdi kepada putranya. Ia pun mempersilakan sang dewi itu melihat sang anak. Ketika memasuki kamar, dewi cantik itu segera menggendong bayi Narayana. Ketika melihat bayi itu, ia seakan melihat bayangan dewa melindunginya. Tanpa rasa takut, wanita itu menggendong Narayana dan membawanya ke ruangan sepi, ia lalu segera menyusui si jabang bayi. “bagus, cah ganteng. Minumlah semuanya.” Ia merasa misinya berhasil, tapi ia merasa jabang bayi Narayana menyusu dengan cengkeraman yang sangat keras dan menghisap semua tenanganya “ehh...hentikan....bayi sialan...kau menghisap daya hidupku...!” wanita itu menjerit kesakitan berusaha melepaskan cengkeraman Narayana “lepaskan...lepaskan!” suara jeritan itu terdengar sangat keras sehingga mengejutkan semua orang. Niken Yasodha diikuti sang suami, Dewi Rohini, dan para penduduk segera menuju kamar tempat Narayana. Di sana mereka kaget melihat wanita cantik itu menjerit lalu bertukar wujud aslinya yakni Nyai Kotana, raksasi yang selama ini meneror Mandura hingga Hastinapura. Nyai Kotana pun berusaha melarikan diri dengan bayi Narayana masih mencengkeram puting susunya. Namun sejauh apapun Kotana melarikan diri, dengan bayi Narayana yang terus mencengkeram dadanya membuat Nyai Kotana tidak berdaya.

Nyai Kotana dihabisi bayi Narayana
Pada akhirnya, Nyai Kotana pun jatuh ambruk kehilangan nyawa dengan bayi Narayana tetap mencengkeram dan menyusu. Carik Sukantha segera mengambil bayi Narayana dan menyerahkannya kepada Niken Yasodha. Niken Yasodha segera mengambil anaknya itu dan memeluknya dengan harap-harap cemas tapi juga bangga karena sejak bayi, Narayana sanggup melakukan apa yang bahkan sulit sekali dilakukan orang dewasa.

Narayana sang Damodhara.

Hari berganti pekan, pekan berganti sasih. Tak terasa anak-anak Nanda dan Yasodha kini sudah berusia dua dan tiga tahun. Udawa yang paling tua kini sudah berusia tujuh tahun. Pada suatu hari, saat Niken Yasodha mengaduk susu untuk membuat mentega di luar dapur, Narayana kecil yang merasa lapar mendatanginya. Narayana lama memandang wajah ibunya yang cantik yang sedang sibuk mengaduk susu dalam periuk. Niken Yasodha tersenyum dan kemudian memangku Narayana kecil dan membiarkan tangan kecil Narayana ikut memegang pengaduk susu, kemudian bersama-sama dengan Narayana mengaduk susu dalam periuk. Ada rasa bahagia yang mengalir dalam diri Niken Yasodha. Dia betul-betul merasa bahagia memiliki seorang anak yang menjadi sumber kebahagiaan dirinya. 

Akan tetapi, rasa bahagia tersebut terhenti, kala dia membaui adanya bau gosong masakan di dalam periuk di dapur. Niken Yasodha segera meninggalkan Narayana kecil dan menengok masakannya di dapur. Setelah beberapa lama, ketika Niken Yasodha balik ke tempat semula, dia melihat periuk sudah pecah dan mentega yang sudah jadi hilang dan Narayana tidak nampak. Niken Yasodha tersenyum sambil berpikir bahwa Narayana telah memecahkan periuk dengan memukulnya memakai pengaduk, kemudian mengambil mentega dan bersembunyi. Niken Yasodha walaupun belum sadar siapa sejatinya Narayana, dia telah mengasihi sepenuh hati.

Sambil membawa kayu pengaduk Niken Yasodha mencari Narayana dan menemukannya sedang duduk di atas batu tempat menumbuk yang terletak di halaman sambil memakan mentega. Ada beberapa kera di depannya yang juga diberi mentega olehnya. Niken Yasodha marah juga namun ia berpikir Narayana kecil memang nakal dan bila ia dipukul dengan pengaduk walaupun pelan untuk menegur tindakannya, takut sang anak akan membencinya. Ia juga rasa kasihanmemandangkan kalau anak kecil nakal itu sudah biasa. Kemudian Niken Yasodha berupaya mendekati Narayana untuk menangkapnya. Tiba-tiba Narayana melihat Niken Yasodha datang dengan kayu pengaduk dan Narayana lari. Terjadilah kejar-mengejar antara Niken Yasodha dengan Narayana. Narayana kecil sangat lincah dan cukup sulit bagi Niken Yasodha untuk menangkapnya. Keringat Niken Yasodha bercucuran dan ikatan rambutnya terlepas menambah kecantikannya. Akhirnya, Narayana tertawa-tawa dan membiarkan dirinya dipegang oleh Niken Yasodha.” Kena kamu, anak nakal!” Niken Yasodha berkata lagi, “Narayana, kamu jangan nakal! Lain kali jangan memecahkan periuk dan mengambil mentega, Nanti ibu kuambilkan! Sekarang ibu akan ke dapur lagi, tetapi sebagai hukuman, ibu harus harus mengikatmu! Nanti ibu lepaskan ikatanmu!” Niken Yasodha kemudian mengambil tali pengikat sekitar 4 depa, mengikat batu penumbuk dan kemudian akan mengikat Narayana. Dalam pikiran Niken Yasodha biarlah Narayana bisa bergerak, tetapi tidak jauh. Akan tetapi, Niken Yasodha kaget karena talinya kurang panjang untuk mengikat badan Narayana. Niken Yasodha menyambung tali tersebut dengan tali lainnya, dan masih kurang panjang juga, sampai seluruh tali di dalam rumah diambilnya tetap kurang panjang juga.

Dewi Rohini yang baru pulang dari pasar bersama Kakrasana melihat hal itu lalu bertanya “Dinda, kau sedang apa?” Niken Yasodha berkata “aku mengikat si kecilku ini. Dia nakal sekali.” Dewi Rohini lalu membantu. Tapi anehnya bantuan dari Dewi Rohini juga tidak cukup untuk mengikat Narayana. Para Gopika (penggembala perempuan) berdatangan melihat kejadian tersebut dan ikut membantu. Niken Yasodha sampai kewalahan menyambungnya dengan tali-tali lainnya. Narayana kecil hanya tersenyum dan setelah merasa cukup mempermainkan ibunya, Narayana kemudian membiarkan dirinya diikat oleh Niken Yasodha “ini ibu, ikat aku.” Niken Yasodha kaget begitu tali itu dipegang Narayana langsung bisa pas. Yasodha pun mengikat anak kesayangannya itu “kamu jangan nakal lagi, ibu mau mengurus adik-adikmu dulu.”

Ditunggu punya tunggu, Niken Yasodha ternyata masih belum selesai mengurus adik-adik Narayana. Narayana merasa gelisah lalu ia merangkak dengan keadaan perutnya diikat ke lesung. Anehnya, meski berat, lesung itu ikut bergerak kemanapun bayi Narayana bergerak. Akhirnya ketika Narayana merangkak melewati dua buah pohon beringin, kendi itu tersangkut di celah-celahnya. Narayana terus merangkak dengan perut terikat. Kakrasana yang sedang bemain bersama Udawa melihat hal itu berkata “kakang Udawa, lihat adhi Kanha. Berusaha keluar dari pohon dengan perut terikat lesung.” “Benar adhi. Kanha lucu banget. Kanha, kamu gak bakal bisa keluar.” Narayana tidak menggubris perkataan dua abangnya itu terus berusaha keluar dari celah pohon itu hingga akhirnya tarikannya itu membuat dua pohon itu roboh.  Suaranya berdentum keras menimbulkan getaran. Udawa dan Kakrasana segera mendekati pohon itu dan bersyukur Narayana masih selamat.Udawa segera melepaskan ikatan di perut Narayana. Keajaiban pun terjadi. Dari dalam tunggul pohon muncul cahaya yang sangat terang dan mewujudlah dua bidadara yang sangat tampan rupawan. Dua bidadara itu lalu berkata “kalian anak-anak yang hebat, telah membebaskan kami dari pohon beringin ini. Kami ucapkan terima kasih. Aku Nalakubara dan ini adikku Manigriba.” “Kami telah dikutuk Batara Narada untuk hidup sebagai pohon karena ketelodoran kami.” Udawa lalu berkata sambil menunjuk Narayana“bukan saya yang membebaskan paman-paman berdua. Adik saya Kanha yang telah membebaskan paman berdua.” Nalakubara dan Manigriba pun tetap berterima kasih pada mereka dan memberikan sejumlah hadiah dari kahyangan. Lalu mereka terbang kembali ke kahyangan.

Narayana sang Damodhara
Niken Yasodha yang tadi mendengar suara berdentum dari luar segera keluar rumah diikuti beberapa warga. Ia melihat anak-anaknya berada di dekat pohon beringin yang roboh tadi. Ia segera menghampiri anak-anaknya “Udawa! Kakrasana! Apa yang terjadi? Mana adikmu?”  Udawa segera memberikan sang adik untuk digendong ibunya lalu menceritakan semuanya yang terjadi. Para warga yang mendengar hal itu merasa takjub lalu memberi julukan kepada Narayana kecil sebagai Damodhara yang bermakna perut yang diikat tali.

Trinarwata si Angin Ribut.

Kabar kejadian terbunuhnya Nyai Kotana dan robohnya dua pohon beringin oleh seorang anak kecil terdengar oleh Ditya Trinarwata, salah seorang ajudan Kangsa yang sedang mencari keberadaan Nyai Kotana yang sudah lebih dari 24 sasih tak kembali. Trinarwata segera kembali ke istana Sengkapura dan melaporkan apa yang ia dapat kepada sang tuan. “tuanku, ternyata kabar itu benar.Nyai Kotana telah dihabisi oleh anak bayi dan sekarang ada berita jika anak tersebut sudah membuat kegemparan. Dia merobohkan pohon dengan keadaan perut diikat lesung.” Kangsa murka mendengarnya “Bedebah! Pasti anak itu salah satu penyebab kematianku. Cepat kau habisi dia.” Ditya Trinarwata pun segera pergi dan berubah wujud sebagai angin ribut yang sangat kencang. 

Hari itu, Niken Yasodha selesai memandikan sang anak-anaknya. Dia merasa sedikit pusing. Melihat anak-anaknya sedang tertidur nyenyak, maka Niken Yasodha meninggalkan mereka di ayunan halaman dan masuk ke rumah menyelesaikan beberapa pekerjaan. Baru beberapa saat Niken Yasodha masuk ke dalam rumah, datang angin ribut yang berputar-putar. pedukuhan Gokula kalang kabut dibuatnya. Seluruh penduduk Gokula berada dalam kepanikan segera menutupi mata mereka dan segera masuk ke rumah, karena debu, daun-daun kering, dan kerikil berterbangan. , Niken Yasodha segera lari ke halaman mencari sang anak-anaknya. Akan tetapi, sang anak kesayangan, Narayana tidak ada di tempatnya “Narayana! Anakku Narayana! Dimana kamu? Kakanda! Ayo cari anak kita!” Nanda Antagopa segera memerintahkan para warga mencari Narayana. Beberapa saat kemudian, para warga mendengar suara tawa anak kecil dari atas lamgit. Ketika mereka mendongak, samar-samar di tengah debu dan pasir yang beterbangan mereka melihat Narayana dibawa oleh angin ribut yang berputar-putar. Niken Yasodha cemas melihat anaknya terbawa oleh angin puyuh itu.

Ditya Trinarwata membawa sang bayi terbang tinggi ke langit dan bermaksud menjatuhkannya “hahahaha...anak kecil...sebentar lagi kau akan jadi telur ceplok....” Narayana yang digendong tiba-tiba berdiri di tangan raksasa itu dan berkata “paman...mana telor ceploknya? Apa yang di atas hidung paman itu ya?” tiba-tiba melompatlah Narayana pun memukul mata Ditya Trinarwata lalu wajah dan hidungnya. Mendadak  Ditya Trinarwata merasa anak kecil itu begitu berat, sehingga dia tidak kuat membawanya. Kemudian dalam keadaan setengah sadar dia merasa tangan mungil anak kecil itu mencekiknya lalu tiba-tiba anak itu naik ke punggungnya dan diinjak-injak sampai tubuhnya hilang keseimbangan lalu jatuh menghantam bumi dengan keras. 

Trinarwata Lena
Ditya Trinarwata pun tewas menghantam tanah seperti telur ceplok. Para penduduk dukuh Gokula merasakan getaran bagai gempa bumi dan mendengar suara raksasa itu jatuh seperti bukit runtuh di tepi hutan. Mereka berlari ke sana dan melihat Trinarwata yang luar biasa besarnya mati dengan Narayana kecil yang masih berada dalam pelukannya. Carik Sukantha segera mengambil Narayana kecil dan menyerahkannya kembali kepada Niken Yasodha “Narayana, kamu ini membuat ibu khawatir...” ucap Niken Yasodha yang memeluk putra kesayangannya itu sambil menangis haru. Para penduduk bersyukur kepada dewata karena masih menyelamatkan putra Nanda Antagopa dan Niken Yasodha itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar