Sabtu, 28 Desember 2024

Banjaran Sri Kresna Episode 5: Keajaiban Tarian Raasaleela

 Hai hai.......Selamat datang kembali....... Btw, kisah kali ini mengisahkan kedekatan Radha dan Kanha (Narayana). Kisah diawali dengan Narayana mengalahkan Watsasura yang menyamar sebagai anak lembu lalu terciptanya Tandhawa Raasaleela, dilanjutkan dengan terbunuhnay Handaka Aristasura, dan  penebusan dosa Narayana dengan mandi tujuh sumber air suci. Kisah diakhiri dengan tarian Raasaleela kembali dipentaskan di hutan Nidhiwana. Kisah ini mengambil sumber Kisah Mahabharata karya Mpu Vyasa, Serial Kolosal India Radha Krishna StarBharat, Serial Animasi Little Krishna, beberapa kitab Purana, blog https://kisahspiritualtaklekangzaman.wordpress.com/2017/07/25/krishna-kecil-memusnahkan-keserakahan-vatsasura-srimadbhagavatam/https://kisahspiritualtaklekangzaman.wordpress.com/2017/08/10/krishna-kecil-keangkuhan-aristasura-mengabaikan-guru-srimadbhagavatam/

Watsasura si Anak Lembu Iblis

Radha semakin penasaran dengan Narayana sejak pertemuannya di sidang pengadilan pencuri pakaian wanita tempo hari. Sepanjang hari ia bersama Rara Ireng mengamati Narayana. Pelan-pelan timbul rasa cinta dalam diri Radha kepada Narayana. Pada sebuah kesempatan, Narayana dan teman-temannya kepergok mencuri kendi dan guci berisi susu, mentega dan minyak ghee (samin). Radha dan Rara Ireng marah melihatnya lalu mendatanginya “Hei! kakang ini! Kembalikan minyak samin dan mentega itu.” Narayana berkelit “ehh..kenapa Radha, aku tidak mencurinya. Aku hanya mengambilkannya untuk temanku, Madhu Manggala.” Rara Ireng lalu mendekat hendak mengambil kendi yang masih utuh. Namun dengan cepat Narayana berkelit mengambil kendi itu “ ehh ehh...adikku yang manis, kamu juga mau, ya?” “apanya yang mau kakang? aku mau mengembalikannya ke bibi Komala. Siniin dong, kakang!”  Narayana menjahili adiknya itu dengan jahil. Lalu ia kabur. Radha dan Rara Ireng kesal lalu mengejar Narayana dan teman-temannya. Kejar-kejaran terjadi hingga masuk ke hutan. Setelah merasa aman, Narayana, Madhu Manggala, dan teman-temannya berpesta makan mentega dan minyak ghee. “kau hebat Narayana. Radha dan adikmu Rara Ireng sudah pasti tidak akan menemukan kendi-kendi ini.” Udawa lalu berkata “ hhhh....Kanha....sudah ya aku tidak akan ikut-ikutan lagi...” Udawa merasa sudah capek dengan kelakuan nakal adiknya “sudahlah kakang Udawa...toh bukan kali ini adhi kita ini melakukannya dan tidak pernah ketahuan. Pokoknya, Kakang Udawa! Kanha!, yuk kita makan.” Seru Kakrasana. Udawa yang tadinya lesu kembali semangat. Mereka pun makan sampai kekenyangan dan mulut belepotan susu. Suara sendawa Narayana terdengar begitu keras. Suara itu rupanya terdengar oleh Radha dan Rara Ireng. Narayana yang merasa kekenyangan lalu merasa telinganya dijewer “aduh! Adududududh.....sakit....tolong jangan jewer’ Narayana menoleh, kaget dia melihat Radha dan rara Ireng. Radha dengan wajah kesal namun sedikit manja “kakang , akan aku adukan ke bibi Komala  karena perbuatanmu!” “ja-jangan Radha...... baiklah baik... aku janji tidak akan mencuri...tolong lepaskan jeweranmu” Radha lalu berkata “ baik..aku tidak akan melaporkan ke bibi Komala. Tapi kau tetap harus di hukum....” Radha lalu berpikir hukuman apa yang pantas untuk Narayana. Lalu ia melihat sebuah pohon mangga yang berbuah banyak dan ranum. “kakang! Lihatlah ke pohon itu. buahnya sudah masak dan ranum. Aku ingin kakang dan kakakng kakrasana mengambil semua buah mangga itu semua tanpa tersisa satu pun. Karena aku aku akan membagikan buah-buah dan membuat sari buah yang enak. Aku akan datang lagi besok petang.” Narayana menyanggupinya “hmm...baiklah Radha...kalau bisa malam ini akan ku ambil semua.” Radha lalu pergi bersama Rara Ireng kembali ke desa. Narayana dan Kakrasana bersama anak-anak lainnya tetap menggembalakan anak-anak lembu di tepi Bengawan Yamuna malam itu. kakrasana lalu bertanya pada adiknya “Kanha, kau yakin akan mengambil hukuman ini?! Memetik dan mengumpulkan mangga di satu pohon besar ini perlu waktu lama lho!” Narayana lalu berkata “tenang saja kakang, kita akan dapat caranya.”

Sementara itu, di Kadipaten Sengkapura, Adipati Kangsa dilanda risau karena bermimpi buruk. Ia bermimpi dibunuh oleh anak sakti yang akan membunuhnya. Kangsa lalu memanggil bawahannya soal kabar Nagasura yang telah ia kirim ke Gokula “Mantri Akrura, bagaimana kabar Nagasura?” Mantri Akrura berkata “maaf tuanku...Nagasura telah dibunuh oleh tiga anak penggembala.” Adipati kangsa murka “Apa?! Terbunuh?! Tak bisa kubiarkan lagi. Semakin menjadi-jadi...” lalu dari luar ruangan datanglah Watsasura, salah satu ajudannya untuk membunuh Narayana. “tuanku tenang saja.....akan aku kelabuhi malaikat kematianmu dan ku habisi, tuanku Adipati.”Watsasura, sang asura lalu berangkat ke Gokula. Ketika sampai, pedukuhan tersebut telah kosong. Lalu ia menyaru sebagai pengembara dan bertanya spada setiap orang yang lewat. Menuruta penuturan orang-orang tersebut, orang-orang Gokula sudah pindah dan membangun desa baru di selatan Barsana yakni Wanua Gobajra. Tak memakai waktu lama lagi, asura itu berangkat ke Gobajra. Lalu Watsasura mencari-cari sang malaikat kematian Kangsa. Lalu ia melihat ada anak-anak penggembala sedang melempari buah mangga. Watsasura bergumam “sepertinya malaikat kematian Kangsa ada diantara anak-anak itu. aku akan berbaur dengannya dan membunuhnya.” Watsasura kemudian mengubah wujudnya menjadi anak lembu dan menyusup bersama rombongan anak lembu yang digembalakan oleh Narayana,

Narayana menunggangi Watsasura
Kakrasana dan teman-temannya. Narayana menggamit Kakrasana, agar memperhatikan anak lembu perwujudan dari Watsasura. “lihat kakang ada anak lembu yang aneh.” “benar Kanha, dia terlihat lebih besar dari biasanya. Sepertinya dia sudah bisa ditunggangi.” Udawa lalu menggetok kepala “kau ini, Kakrasana, ada-ada saja. Mana bisa anak lembu ditunggangi. Kanha adikku, baiknya kau biarkan anak lembu itu...lha mana Kanha?” Narayana yang sedang dinasehati Udawa malah mendekati anak lembu yang tidak biasa itu dan menunggangi punggungnya. Anak lembu jelmaan Watsasura pun meronta-ronta seperti ditimpa beban berat dari Narayana “ aduh...badan anak ini berat banget...punggungku bisa copot.......adudududuhh....jangan-jangan dia ini malaikat kematian Kangsa....ini kesempatan besar.” Seketika Narayana yang berada di punggung anak lembu itu kaget tiba-tiba anak lembu itu mengamuk hendak melemparkannya dari punggungnya. Akibatntya Narayana jatuh. Watsasura melihat kesempatan hendak menyeruduk anak berkulit gelap itu. Narayana cepat berkelit dan menghindar. Anak lembu itu lalu mengaum bukan melenguh seperti anak lembu pada umumnya. Suaranya sangat keras sampai-sampai Radha dan rara Ireng yang berada di Barsana mendengarnya “dinda, dengar suara auman gak?” “iya mbakyu...aku dengar. Suaranya seperti terdengar dari tempat kakang Narayana.” Entah kenapa Radha merasa khawatir dengan keselamatan Narayana. Rara Ireng melihat gelagat itu lalu mengajak Radha ke tempat Narayana dihukum kemarin “ayo mbakyu...kita ke tempat kakang sekarang.”

Sementara itu, pertarungan terjadi semakin sengit. Beberapa kali, anak lembu jelmaan Watsasura itu mengamuk lalu berlarti hendak menanduk Narayana. Untungnya Narayana gesit dan membuat anak lembu itu beberapa kali menabrak pohon mangga. Buah-buahnya yang ranum rontok semua. Udawa, Kakrasana dan para gembala terlihat senang melihat buah-buah itu berjatuhan. Karena semakin kesal, anak lembu mengubah ukuran tubuhnya menjadi raksasa. Dengan ancang-ancang, Watsasura yang sudah di mode terkuatnya menanduk Narayana. Namun Narayana sudah siap dan langsung memegang kaki kanan anak lembu tersebut, memutar-mutarnya dan melemparkannya pada pohon mangga, dan anak lembu jelmaan Watsasura tersebut mati. Radha dan Rara Ireng pun sampai di tempat Narayana “kakang, kami mendengar suara ribut dari jauh. Apa yang terjadi?” “Narayana lalu menyerahkan sekeranjang penuh buah mangga “ini kami memetik mangga-mangga ini.” Udawa lalu menyambung sambil menunjuk ke arah pohon mangga“dan juga berkelahi dengan dia.” Radha dan Rara Ireng melihat tubuh seekor anak lembu raksasa tergeletak di dekat pohon mangga. Keajaiban pun terjadi. Seberkas cahaya tiba-tiba muncul dari anak lembu tersebut kemudian jatuh di kaki Narayana dan kemudian lenyap.

Kemunculan Handaka Aristhasura

Kekuatan luar biasa Narayana telah membuat seisi desa Barsana gempar dan sangat menghormatinya. Namun tidak dengan kelaurga Lurah Ugrapada terutama Nyai Jathila dan anak perempuannya , Niken Kutila. “Kutila lalu berkata pada ibunya “anak keluarga Nanda Antagopa itu memang suka cari-cari perhatian..kalau dibiarkan, kakang Ayyan bisa tidak sukses jadi penerus kepala desa penurus ayahanda Lurah.” “kau benar, anakku. Aku juga benci sekali dengannya. Apa sih yang ia mau? Ayyan Yadawa lalu datang “sudahlah ibu...dinda..untuk apa membenci yang tidak perlu. Aku juga gak berminat menggantikan ayah untuk jadi kepala desa.” Jathila marah mendengarnya lalu ia meminta Ayyan untuk pergi mandi karena habis menggembala lembu. Di saat yang sama, datang seekor banteng liar yang tersasar. Para warga Barsana dan Gobajra khawatir jika banteng ini akan membaut gara-gara maka dengan dipimpin Lurah Ugrapada, Lurah Nanda Antagopa, dan Buyut Wresabanu mereka berama-ramai mengamankan banteng itu lalu banteng dikembalikan itu ke hutan di pinggir desa. “semoga banteng ini tidak mengamuk jika kita kembalikan ke hutan ini.” Tanpa diketahui oleh para penduduk ternyata banteng itu adalah jelmaan dari raksasa suruhan Adipati Kangsa bernama Handaka Aristasura, yang menyaru sebagai banteng”hmmm...aku akan menunggu, sampai sang malaikat kematian Kangsa datang kemari. Dia harus membayar hutang nyawa kakakku Watsasura”  Handaka Aristasura membaur bersama para banteng dan sapi liar menanti kesempatan yang bagus.

Tarian Raasaleela

Pada suatu hari di musim semi yang indah, Endang Radha, Rara Ireng dan Rarasati diiringi para gopika sedang bermain di hutan untuk mencari bunga buat dijadikan karangan bunga. “lihat Rara Ireng, karangan bunga ku cantik, kan?” Rara Ireng memuji sambil menggoda Radha “wah cantik sekali, Mbakyu. Saat pesta pekan raya nanti kau akan jadi yang paling cantik. Aku jamin kakang Narayana pasti klepek-klepek sama mbakyu.” Muka Radha menjadi merah padam berseri tanda malu lalu ia tertawa. Rarasati lalu menimpali “aduh..mbakyu Radha. Jangan dengarkan mbakyu Rara Ireng. Dia hanya menggodamu. Nah...lihat karangan bungaku juga. Gimana Mbakyu Radha? Mbakyu Rara Ireng?”  lalu datang penggembala-penggembala nakal membuat kacau hutan. Udawa, Kakrasana, Narayana dan Pragota ada di sana untuk mengawasi mereka. “Endang Radha lalu mendekati Narayana untuk menasehatinya“kakang! Aduh...lihatlah. taman bunga dan karangan bunga ini jadi rusak gara-gara lembu-lembu sapimu dan teman-teman nakalmu. Pokoknya tanggung jawab deh”

Tarian Raasaleela
Narayana lalu meminta maaf kepada Radha dan lainnya “baiklah, aku akan bertanggungjawab tapi tolong jangan panggil aku kakang. Panggil saja namaku, Kanha” “baik kakang eh maksudku Kanha.” Narayana dan teman-temannya segera membereskan kekacauan yang mereka buat. Lalu Narayana meniup serulingnya dengan alunan nada yang indah nan merdu. Para penggembala dan para gopika menari-nari dengan gemulai. Narayana dan Radha pun ikut menari bersama. Keduanya ibarat Batara Kamajaya dan Batari Ratih yang menarikan tarian cinta asmaradana dengan diiringi teman-teman mereka yang saling melemparkan bubuk warna-warni. Tarian cinta itu dikenang sebagai Tandhawa Raasaleela atau Rasamandala. Bunga-bunga berjatuhan dan pepohonan bersemi dengan indah seakan mewarnai dunia cinta Radha dan Kanha. Lalu Udawa, Kakrasana, Pragota, Ayyan dan teman-teman lainnya membuatkan sebuah ayunan, tempat dimana Radha dan Narayana bisa duduk bersama. Rara Ireng, Rarasati dan para gopika menghias ayunan itu dengan berbagai tanaman dan bunga-bunga yang indah.Setelah jadi, Kanha dan Radha duduk disana sembari saling menggamit tangan masing-masing Keduanya saling bertelekan di ayunan yang bagai dipan itu. Indah bagaikan sepasang pengantin dewata.

Amuk Handaka Aristasura

Kebetulan juga di hutan itu banteng jelmaan Handaka Aristasura sedang istirahat. Kakrasana dan Pragota yang asik makan madu bunga menyenggol tubuh si banteng . Banteng itu seketika mengamuk. Banteng itu seketika lepas kendali dan menyeruduk siapa saja di hadapannya. Untung bagai para gembala dan gopika, mereka berhasil menhindar. Namun, masalah berikutnya terjadi. Banteng itu menuju ke Gobajra dan Barsana. Para penduduk dalam bahaya. Para gembala mendatangi Narayana, meminta tolong agar dapat mengatasi banteng tersebut. Endang Radha dan Rara Ireng coba mencegah Narayana “jangan, Kanha...nanti kau bisa terbunuh.” Narayana berkata “mungkin kau benar, Radha, tapi aku tidak bisa membiarkan desa dalam bahaya.” Narayana diikuti Udawa, Pragota, Kakrasana dan Ayyan Yadawa segera kembali ke desa Barsana dan Gobajra.

Hal yang ditakuti para gembala pun terjadi. Banteng jelmaan Aristasura juga menyerang Gobajra dan Barsana. Orang-orang dibuat kalang kabut. Beberapa pohon di tepi jalan dirobohkannya. Napasnya mendengus-dengus mengerikan mengeluarkan uap yang panas, rumah-rumah di sana berguncang akibat kaki banteng yang dihentak-hentakkan. Saat demikian, Nyai jathila dan adik Ayyan, Kutila jatuh ketika berlari. Sang banteng merasa paling perkasa dan berbuat sesuai dengan kehendaknya. Melihat ada dua wanita terjatuh tak berdaya, Aristasura berlari kesana hendak menyeruduk mereka. Ayyan pun berlari menyelematkan ibu dan adiknya. “Ayaan sambil memohon “tolong banteng perkasa. Jangan sakiti ibu dan adikku.” Tapi Aristasura tetap berlari tak peduli. Disaat yang tepat, Narayana mendatangi banteng tersebut, menghadangnya.

Narayana mengalahkan Aristasura
Banteng itu berhenti seketika terkejut melihat anak berkulit gelap di hadapannya memiliki aura dewa di belakangnya. Banteng itu dengan jemawanya “ hei anak kecil, sepertinya kau orang yang ku cari selama ini. Akan ku obrak-abrik seisi desa ini lalu kau akan ku habisi!” Narayana dengan lantang berkata, “Kamu hanya menakut-nakuti wanita, anak-anak, dan para gembala yang tidak bersalah. Hadapilah aku sebelum kau hancurkan desa ini!” Narayana kemudian bertarung dengan Aristasura. Narayana sangat lincah sehingga merepotkan Aristasura. Narayana kemudian menangkap tanduknya dan saling dorong pun terjadi dengan hebatnya. Tanah berguncang menciptakan kepulan debu dimana-mana. Kemudian Narayana mengoyang-goyangkan tanduk tersebut, sehingga Aristasura terombang-ambing. Selanjutnya Narayana mencabut kedua tanduk tersebut dan memukul banteng tersebut dengan tanduk yang sudah berada di tangan Narayana. Sang banteng pun mati.

Setelah banteng raksasa itu tiada, Narayana benar-benar disambut bak pahlawan desa. Akan tetapi, salah satu orang disana tampak tidak suka, yakni Nyai Jathila dan Kutila. Kutila berkata dengan penuh kebencian “para Warga! Apa kalian tidak salah? Kalian Menjadikan Anak Nanda Ini Sebagai Pahlawan?” para penduduk bertanya “Apa Salahnya, Kutila?Jathila? Narayana sudah menyelamatkanmu dan kita semua?” Jathila lalu maju dan berkata dengan nada yang seakan menusuk dengan dalil-dalilnya “Putra Nanda dan Yasodha Ini Telah Membuat Kesalahan tak Termaafkan. Meski dia menghabisi seorang Raksasa, tapi tetap Raksasa itu wujudnya Banteng! Sapi Jantan Dewasa! Dan sudah Menjadi Ketentuan di Kitab-Kitab, Membunuh Sapi Adalah Dosa Besar. Narayana Membunuh Banteng itu Maka Dia telah melakukan Dosa Besar. Dewa Akan Murka Pada kita!” para penduduk menjadi ragu. Narayana pun lalu berdiri lalu berkata dengan nada yang lembut “Bibi, jika keadaan mendesak, manusia akan melakukan apapun demi mempertahankan hidupnya, meskipun artinya harus melawan apa yang menjadi aturan dan nilai-nilai di masyarakat. ” Narayana lalu melanjutkan ucapannya “tapi jika bibi menganggap aku berdosa karena membunuh raksasa banteng itu, baiklah. Saya tidak masalah jika saya dianggap melakukan dosa. Aku akan melakukan penebusan dosa di Bengawan Yamuna besok pagi.” Niken Kutila menolak usulan itu “hah? Mandi saja di Yamuna? Itu tidak cukup. Dosamu itu besar tau! Jangan Main-Main dengan Dosa!” Nyai Jathila menyabarkan anaknya itu lalu berkata kepada Narayana “apa yang dikatakan anakku Benar Adanya. Dosamu sangat besar, tak cukup berendam di Yamuna. Menurut Kitab-Kitab, Untuk Menebus Dosamu, Kau Harus Berendam di Tuju Sungai Suci di Seluruh Jawadwipa dan Hindustan.” Narayana dengan percaya diri setuju “baiklah, bibi Jathila. Aku akan mandi dengan tujuh air sungai suci itu.”  maka ia pergi untuk melakukan penebusan dosa. Nyai Yasodha sampai tak kuat menahan kepergian putra kesayanagnnya itu.

Sendang Radha Kundha dan Shyama Kundha

Ketika Narayana di barat hutan Goloka, datang Radha mencegah kepergian Narayana lebih jauh “Kanha, tunggu. Jangan pergi dulu. Perjalanan mandi tujuh air sungai suci memakan waktu yang sangat lama, penuh rintangan dan petaka yang menanti. Tolong Kanha, jangan pergi...aku tak sanggup kehilanganmu!” Radha memohon dengan sangat, bahkan ia sudah membawa cangkul dan timba kayu untuk membuat sendang dan mengalirkan air bengawan Yamuna. Dihadapan Narayana, Radha mencangkul tanah hingga membuat ceruk seperti parit penghalang agar Narayana tidak pergi. Narayana lalu berkata “Radha, siapa yang bilang aku akan pegi untuk menuju sungainya. Aku bisa membawa seluruh sungai suci itu ke hutan ini.” Radha berkata “Kanha, ya ampun. Sudah jangan bercanda.” “Radha, aku juga tidak bercanda. Sebaiknya kau amati saja apa yang terjadi.” Radha meskipun tidak paham, ia percaya apa yang dilakukan Kanha pasti terjadi. Narayana pun duduk di atas batu mulai bersemadi semaantara Radha berada di dekat Narayana dengan terus membuatkan sendang-sendang kecil lalu ia isi air. Air yang tertampung lalu diminum siapapun yang lewat. Hewan, manusia, bahkan bangsa halus dengan senang hati meminum air itu. Namun sekian hari berlalu, musim dingin yang bersamaan dengan bencana kemarau semakin panjang, air yang tertampung di sendang-sendang kecil buatan Radha semakin habis. Air di Yamuna juga semakin surut.

Asal muasal Sendang Shyama Kundha dan Radha Kundha
Maka ia langsung berdo’a “ya Hyang Widhi...pelayananku membantu Kanha menyucikan diri haruskah berhenti? Aku mohon petunjuk-Mu.”

Di kala Radha berdoa itulah, tiba-tiba datang suara gemuruh dari dalam tanah, lalu memancarlah tujuh sumber mata air seperti air mancur raksasa. Dari atas pancuran muncul tujuh sosok wanita yang sangat cantik. Pancuran pertama memperlihatkan wujud Dewi Gangga, sang bidadari penjaga bengawan Gangga “aku Gangga, putri Prabu Himawan, raja gunung.” Lalu pancuran kedua yakni muncul Dewi Kaweri, penjaga bengawan Kaweri “aku Kaweri, aku terlahir atas permintaan tuanku Brahma sendiri.” Di pancuran ketiga yakni Dewi Godhawari, penjaga bengawan Godhawari “aku Godhawari, airku amat manis, semanis dirimu.” Pancuran keempat yakni Dewi Sindhu, penjaga bengawan Sindhu “akulah bengawan Sindhu, airku membawa dan menyucikan segala peradaban agung.” Pancuran kelima Batari Saraswati, isteri Batara Brahma sekaligus penjaga bengawan Saraswati “aku Saraswati, aku selalu terhubung dengan kitab Weda dan Batara Wisnu.” Pancuan keenam yakni Dewi Narmada yang menjaga Bengawan Narbada “Aku Dewi Narmada, air ku bersumber langsung dari tubuh tuanku Hyang Guru Pramesthi.” Dan pancuran terakhir ialah Dewi Yami atau Yamuna, sang penjaga Bengawan Yamuna “dan aku yang menjadi kebanggaanmu, Yamuna putri batara Surya, Dewa matahari. Silahkan masuk ke airku maka aku akan tersucikan.” Setelah ke tujuh dewi sungai memperkenalkan diri, mendadak tujuh air mancur itu berkumpul mengisi sendang-sendang kecil buatan Radha. Airnya bahkan membanjiri hutan. Desa Barsana dan Gobajra ikut kebanjiran. Teman-teman Narayana pun melihat arah banjir itu bersal dari Hutan Goloka. Mereka pun segera mendatangi hutan itu. Radha yang khawatir lalu membangunkan Narayana “Kanha bangunlah...hentikan banjir ini.” Narayana pun bangun dari semadinya lalu menapakkan kakinya ke air itu. seketika banjir pun berhenti. Radha pun mengajak Narayana ke sendangnya yang kini penuh air lalu mensucikan Narayana disana. Udawa, Kakrasana, Rarasati, Pragota, Rara Ireng, dan teman-teman mereka melihat keajaiban itu merasa sangat gembira. Bencana yang menimpa desa sudah berhenti dan kini Narayana juga sudah suci dari dosa-dosanya. Setelah keluar dari sendang buatan Radha, muncul lagi satu sendang di sebelahnya. Air pun mengalir ke sendang buatan Narayana itu. Kelak sendang buatan Radha akan dipanggil Radha Kundha dan sendang yang tercipta ketika Narayana menapakkan kaki setelah mentas dari sendang Radha Kundha diberi nama Shyama Kundha.

Banke Bihari
Setelah mensucikan diri, Narayana, Radha, dan teman-temannya pergi ke hutan Nidhiwana dan menari bersama. Kembali menarikan tarian cinta Raasaleela yang indah. Menari-nari bak kupu-kupu di waktu malam. Malam itu seolah-olah antara Radha dan Kanha bersatu dalam cinta yang indah. Tarian indah menggema di tiga tempat : Nidhiwana, Goloka, dan Gowardhana. Karena itu, Narayana juga disebut sebagai Banke Bihari yang bermakna membungkukkan diri di tiga tempat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar