Jumat, 13 Desember 2024

Banjaran Sri Kresna Episode 4: Kisah Ular dan Naga di Gokula

 Hai hai.......Selamat datang kembali....... Btw, kisah kali ini mengisahkan gangguan-gangguan di Gokula yang semakin menjadi setelah kematian Bakasura. Kisah diawali dengan kemucnculan adik Bakasura dan Kotana yakni Ditya Nagasura yang menyaru sebagai ular sanca raksasa dan menyembunyikan diri di balik wujud gua hendak menelan Narayana dan teman-temannya. Dilanjutkan dengan gangguan Naga Kaliya yang menghancurkan kehidupan di sekitar bengawan Yamuna. Kisah diakhiri dengan takluknya Kaliya setelah ditundukkan oleh Narayana,  kepindahan penduduk Gokula ke desa Barsana untuk menghindari kejahatan yang terjadi dan berdirinya Wanua Gobajra. Kisah ini mengambil sumber kitab Mahabharata karya Mpu Vyasa, Series Kolosal India Mahabharat Starplus dan Radha Krishna Starbharat, animasi Little Krishna, blog https://kisahspiritualtaklekangzaman.wordpress.com/tag/anand-krishna/page/58/, dan https://kisahspiritualtaklekangzaman.wordpress.com/2017/07/31/krishna-kecil-menundukkan-kaliya-panca-provokator-dalam-diri-srimadbhagavatam/

Nagasura Ngraman

Kabar kematian Bakasura telah sampai ke telinga adik bungsunya, yakni Ditya Nagasura. Bagai petir di siang bolong, kabar itu membuat hati Nagasura terpukul dan marah penuh dendam. “sudah cukup...kakak-kakakku jadi korban malaikat kematian Kangsa! Akan ku telan dia hidup-hidup bersama orang-orang terkasihnya!” tak lama kemudian, adipati Kangsa memerintahkan Nagasura untuk ke dukuh Gokula demi membalaskan dendam kedua saudaranya. “Nagasura, kau adalah ajudanku yang paling perkasa dan ssetia. Pegi carilah malaikat kematianku dan bawa dia ke tanah yang terlupakan!” Nagasura pun dengan senang hati menerima perintah itu “keinginan tuanku adalah sabda untukku, adipati.” Nagasura pun berangakt meninggalkan kadipaten Sengkapura. Setelah perjalanan yang cukup panjang, Nagasura sampai di hutan pedukuhan Gokula. Nagasura mengubah wujudnya menjadi ular sanca raksasa lalu terus membesarkan ukuran tubuhnya menjadi yang sebesar gunung anakan. Ia menyembunyikan dirinya di antara pepohonan dan semak belukar, dan membuka mulutnya lebar-lebar bagaikan sebuah gua. Berhari-hari, bahkan berbulan-bulan Nagasura menunggu kesempatan itu.

Sampai suatu ketika, datanglah Narayana dan teman-temannya di padang rumput tak jauh dari tempat Nagasura berdiam . Narayana dan pengembala lainnya yang merasa penasaran, mencoba memasuki gua tersebut. “Narayana, kita belum pernah melihat gua seperti itu sebelumnya.” Ucap Madhu Manggala. Charu lalu ikut bicara “benar temanku. Betapa indahnya gua itu disinari cahaya matahari. Pasti di sana ada banyak batu berharga di dalamnya.” Subala dan Sudhama lalu mengajak para gembala untuk masuk kesana “kalau begitu ayo kita kesana.” Kakrasana, Narayana dan Udawa memutuskan untuk menjaga ternak-ternak. Para penggembala yang menuju ke gua itu merasa heran dengan pemandangan di depan gua.  “Madhu, kau lihat ini. Jalanan ini kok jadi seperti ini. Terakhir kali kita ke sini jalanan ini tidak begini.” Ketika sampai di depan gua, Madhu menjadi agak takut “aa...Charu, aku rasu gua ini aneh. Aku tidak suka dengan bau dan suasana tempat ini”. Charu lalu berkata “Madhu, tenang saja.. berhentilah bersikap cengeng.” Para gembala muda itu memasuki mulut gua itu tanpa menyadari bahaya yang akan mereka hadapi. Saat semua gembala termasuk berada di dalam mulut gua, tiba-tiba tempat itu bergoncang hebat dan pintu goa tiba-tiba menutup.

Para putra Nanda memasuki mulut Nagasura

Gua jelmaan Nagasura langsung menutup mulutnya. Semua gembala merasa ketakutan. “tolong!! Kakang Udawa!! Kakang Kakrasana!! Narayana!!! tolong kami!!!Narayana.”suara teriakan mereka terdengar Udawa, Kakrasana dan Narayana yang ada di atas bukit. Ketiga putra Nanda itu segera menuju sumber suara. Ketika masuk ke dalam gua, tiba-tiba gua itu menutup. “tolong!!...kakang Kakrasana! Kakang Udawa! Narayana!” suara teriakan para gembala muda terdengar mulai melemah lalu menghilang. Dengan suara memekakkan telinga, Kakrasana berteriak dengan lantang “Hei.....Monster! Siapa Kau?!” Nagasura lalu berkata dengan congkak “aku nagasura.....Aku akan melampiaskan dendam kedua kakakku.”  Lidah si raksasa yang menyaru jadi ular itu lalu menggulung lidahnya hendak menjatuhkan ketiga putra Nanda itu. Udawa segera melompat ke taring Nagasura “Kakrasana! Cepat raih tangan kakang!” Kakrasana segera melompat dan bergelantungan di tangan Udawa. Sementara Narayana terjun ke dasar perut  si raksasa itu. Di dalamnya, Narayana melihat teman-teman gembalanya pingsan karena keracunan gas perut Nagasura yang beracun. “Nagasura! Kesombonganmu dan dendam kesumatmu membutakan hatimu! Sudah saatnya akhir hidupmu di pastikan!. Dengan tongkat gembalanya, Narayana memukul-mukul perut si raksasa  dan akhirnya ditusukkannya melubangi perut asura tersebut. Akhirnya Narayana dan kakak-kakaknya dapat keluar bersama dengan para gembala yang masih tergeletak pingsan.. Nagasura meronta-ronta kesakitan. Kemudian Udawa, Kakrasana dan Narayana menyerang raksasa ular sanca tersebut dengan senjata apapun sampai Nagasura benar-benar mati. Setelah itu, mereka menyeret jasad Nagasura sampai di pinggir Bengawan Yamuna. Karena teman-temannya masih pingsan, Narayana meniup serulingnya dan mengalunlah irama yang indah. Tiba-tiba datanglah hujan yang segar. Hujan itu seakan membangunkan Madhu Manggala, Charu dan teman-temannya. Mereka semua pun bergembira karean lepas dari cengkraman maut.

Ular Kaliya

Kembali ke bagian lain dari belahan Wisnu yang lain. Tak lama setelah Permadi lahir, Kerajaan Hastinapura diselimuti awan kedukaan. Prabu Pandhu Dewanata bersama isteri keduanya, Dewi Madrim meninggal dunia. Malah kabarnya Dewi Madrim meninggal untuk mengorbankan diri bersama Pandhu padahal saat itu, putri Mandraka itu baru habis masa nifasnya setelah melahirkan adik-adik Permadi yakni Nakula dan Sadewa. Setelah upacara ngaben, Dewi Kunthi meninggalkan kedaton Hastinapura membawa para putranya dan puta Madrim yang dijuluki Pandawa untuk tinggal di padepokan Saptarengga bersama para punakawan sekaligus menghilangkan trauma kesedihan karena meninggalnya Pandhu. Kerajaan Hastinapura pun diserahkan sementara kepada kakak Pandhu, Adipati Dretarastra. Putar-putra Dretarastra yakni seratus Kurawa yang dipimpin oleh Raden Suyudana dan Arya Dursasana sering menjahati para putra Pandhu lebih-lebih dengan adanya patih Sengkuni, paman mereka dari pihak ibu yang suka mengadu domba. Kini usia Permadi dan saudara-saudaranya sudah mendekati akil balig. Puntadewa berusia 15 tahun, Bratasena 13 tahun, dan Permadi sendari berusia 10 tahun. Sementara Nakula dan Sadewa berusia 9 tahun. Pada hari itu, Permadi sedang bermain panahan di pinggir bengawan Yamuna. Ketika ia melihat ke air, tiba-tiba air itu berubah menjadi hitam pekat. Tanaman-tanaman di pinggir bengawan mendadak layu lalu mengering. Ikan-ikan berloncatan dan naik ke daratan seperti hendak menghindari air yang nampak beracun. Permadi lalu memanggi kakak-kakaknya “kakang Punta! Kakang Sena! Lihat kemari!” Puntadewa pun mendekat disusul Bratasena dan Nakula-Sadewa. Kakak sulung Pandawa itu.bertanya “ada apa Permadi?” belum Permadi berkata-kata, tiba-tiba Nakula dan Sadewa batuk-batuk sambil menutup hidung “uhuk...uhuk....bau ini...ini bau busuk sekali, kakang Permadi” ujar Nakula. “Benar kakang Nakula. Air bengawan kok bisa jadi begini? Uhuj..uhuk..uhuk...” ucap Sadewa sambil menahan batuknya. Puntadewa, Bratasena dan Permadi ikut terbatuk-batuk “uhuk...uhuk...Sena cepat amankan adhi Nakula dan Sadewa. Aku akan mengamankan adhi Permadi.” Bratasena pun mengiyakan “baik kakang...ayo Nakula! Sadewa!” belum sempat kelima putra Pandhu itu beranjak dari pinggir bengawan, tiba-tiba muncul seekor ular naga berkepala banyak dari dasar bengawan. Para Pandawa muda kaget bukan kepalang. Mereka semua lari dari bengawan dengan cepat. Suara teriakan mereka terdengar oleh Dewi Kunthi dan pamomong mereka, Kakek Semar “lolalole....hmmmm...ada apa ananda semua...kok lari begitu?” Puntadewa lalu bercerita “ Kakek, tadi di bengawan ada ular raksasa membuat air Yamuna menjadi beracun.” Lalu Dewi Kunthi dan Kakek Semar melihat ke arah bengawan Yamuna. Mereka melihat di sana seekor naga berkepala banyak bertarung dengan seekor burung raksasa.

Kaliya melawan Garudheya di hadapan para Pandawa muda

Air bengawan yang sudah menghitam nampak lebih menakutkan lagi ketika bergolak dan beradu dengan dua makhluk yang saling bertarung tersebut. Kakek Semar lalu mendekat ke bengawan Yamuna. Dewi Kunthi mengingatkan untuk berhati-hati “paman...hati-hati...” lalu melemparkan sebutir kerikil ke arah mereka. Ajaib, kerikil itu melukai kedua makhluk raksasa itu hingga mereka pergi dari sana. Si ular naga berenang ke hulu sementara burung raksasa terbang ke hilir sungai. Kakek Semar lalu berkata pada para bendaranya “ndara ratu! Ananda  semua! Ular itu sudah pergi. Baik kita masuk saja ke padepokan karena hari sudah mulai gelap.” Dewi Kunthi dan para putra bersyukur lalu mereka kembali ke Padepokan Saptarengga. Kakek Semar memandang ke arah bengawan lalu bergumam “sepertinya, ini tanda sang Wisnu akan menginjak ke fase hidup baru. Ular itu akan menjadi sebabnya.”

Pada suatu hari, Narayana dan teman-temannya menggembala sapi-sapi ke arah Sungai Yamuna. Kakrasana kali ini tidak menemani mereka. Narayana dan teman-temannya bermain-main di tepi hutan dan karena hari sangat panas, beberapa teman Narayana kehausan dan pamit mencari minum ke Bengawan Yamuna. Para lembu sapi dan anak-anak penggembala berenang dengan riang gembira tanpa tahu apa yang akan terjadi berikutnya.

Di dasar Bengawan Yamuna ular naga raksasa berkepala banyak yang diusir Kakek Semar tempo hari bernama Kaliya yang hidup bersama beberapa istrinya memutuskan tinggal di hulu Bengawan Yamuna. Kaliya mengeluarkan racun yang berbahaya yang memenuhi danau tersebut dan bahkan sedikit demi sedikit air dari bengawan sudah mulai mencemari sungai itu. Bengawan Yamuna mengalir ke hilir melalui kotaraja Mandura dan di bagian hilirnya lagi melalui kotaraja Hastinapura. Semua tanaman di sekitar bengawan terkena racun dan mengalami kekeringan. Ikan-ikan mati mendadak dan Burung-burung yang melintasi sungai pun berjatuhan terkena uap beracun yang menguap di atas bengawan. Akibatnya, seisi negeri Mandura hingga Hastinapura di timur ditimpa keracunan massal.

Setelah lama menunggu teman-teman mereka yang pergi ke sungai dan tidak kembali, Narayana kemudian memanggil Udawa dan Kakrasana. “kakang Udawa! Kakakng Kakrasana, teman-teman kita lama tak kembali dari bengawan Yamuna. Ayo kita cari mereka.” Akhirnya, Udawa, Kakrasana, Narayana dan teman-temannya mengikuti jejak teman-teman mereka dan sampailah mereka di Bengawan Yamuna. Narayana melihat kawanan sapi dalam keadaan panik. Kakrasana lalu menaiki sapi itu berusaha menenangkannya “hei tenang...ada apa sapi manis?” Udawa lalu menunjuk dengan wajah khawatir “Kakrasana! Narayana! Lihat kesana! Teman-teman kita pingsan!! Ayo kita tolong mereka! Ketiga putra Nanda Antagopa itu lalu teman-teman mereka pingsan dan segera meminta teman-temannya yang lain memindahkan mereka menjauhi bengawan. Narayana segera memanjat pohon kemuning di tepi bengawan. Pohon besar itu nampak kering tanpa daun tersebut tetap bertahan hidup di akhir musim dingin. Teman-teman Narayana melihat Narayana sampai di pucuk pohon dan segera meloncat ke dalam bengawan. Semua teman-temannya khawatir akan keselamatan Narayana, dan ada yang lari ke desa memanggil Nanda, Yasodha dan orang-orang tua para gembala. Di dasar bengawan yamuna, Narayana melihat seekor ular naga berkepala banyak sedang marah-marah sambil menyemburkan racun. Narayana yang iseng lalu menarik-narik ekor ular itu. Hal itu membuat si naga itu tambah gusar dan ketika ia menoleh, ia mendapati seorang anak kecil yang entah habis makan apa bisa hidup di dalam air sama sepertinya. Uklar itu lalu mengamuk, mengibaskan ekornya berusaha menampar Narayana. Narayana lalu bertanya siapakah ular itu “ Hei naga, siapa kau dan kenapa kau meracuni air bengawan ini? Apa yang kau tidak kasihan dengan makhluk hidup yang hidup dari bengawan ini?”. Ular naga itu menjawab “ Hei anak kecil! Nama ku Kaliya. Aku penjaga bengawan ini. Aku sengaja melakukan ini karena aku terancam pada Garudeya Brihawan yang terus menggangguku.” Narayana lalu berkata “ular sakti, racunmu telah membuat air bengawan ini jadi beracun. Pergilah kau dari sini!” makin murka Naga Kaliya diusir oleh anak kecil. Lalu ia menyerang Narayana dengan membabi buta.

Cukup lama Narayana berada di dasar dan tiba-tiba muncul di permukaan sungai suci itu Naga Kaliya berusaha melilit tubuh Narayana. Dan terjadilah perkelahian yang seru. Narayana berhasil menghindar dengan sangat lincah dan tahan dengan uap beracun yang dikeluarkan oleh Kaliya. Ketika para penduduk sampai di pinggir bengawan itu, terkejutlah mereka melihat Narayana sedang bergulat dengan seekor ular naga di sana. Niken Yasodha sampai pingsan melihat anak kesayangannya itu bergulat dengan ular naga. Pada akhirnya, pertarungan itu dimenangkan oleh Narayana. Narayana memainkan serulingnya sambil menari-nari di atas lima kepala Kaliya. Kaliya kelelahan dan dari mulutnya keluar darah karena telah kehabisan racun berbisanya.

Narayana menaklukan Naga Kaliya
Kaliya sadar bahwa bila Narayana ingin membunuhnya, maka dia akan mati dengan mudah. Para istrinya keluar dan memohon pengampunan dari Narayana. “Narayana tolong maafkan suami kami!”  Nanda, Yasodha dan para gembala bersorak-sorai melihat Narayana menari-nari berlompatan di atas lima kepala Kaliya.

Akhirnya Narayana berkata, “naga Kaliya, kau kumaafkan, akan tetapi segera pergi dari bengawan ini bersama istrimu ke tempat tinggalmu di Pulau Ramanaka. Kau tak perlu takut Garudheya mengejarmu, melihat bekas tapak kakiku di kepalamu, Garudheya akan melepaskanmu. Hiduplah yang baik, karena semua racunmu telah habis.” Naga Kaliya mengantar Narayana ke pinggir bengawan Yamuna. Setelah mengantar Narayana dan menyelam ke dasar bengawan, atas seizin Hyang Widhi air bengawan kembali bersih dan bebas dari racun. Para penggembala, warga desa, dan ternak-ternak yang keracunan kembali sehat.

Adhege Wanua Gobajra

Setelah berbagai kejadian mengerikan yang mereka alami, Nanda Antagopa dan Niken Yasodha bermusyawarah dengan warga desa akan nasib mereka jika tetap di pedukuhan Gokula “warga-wargaku, aku tahu ini adalah keputusan yang berat. Tapi mengingat banyak kejadian dan kejahatan yang terjadi di Gokula, kita harus pindah dari sini. Tapi aku tidak ingin menjadi keputusan sepihak saja. Jadi aku membutuhkan pendapat kalian. Bagaimana menurut kalian semua?” seorang warga lalu memberikan suaranya disambut oleh para warga lainnya “aku Setuju!” “Aku juga!” Kami juga setuju!” “kami sebulat suara dengan pak lurah!” Setelah musyawarah itu, Lurah Nanda Antagopa berkata lagi bahawa tempat mereka untuk pindah sudah ada yakni di desa Barsana, di seberang Bengawan Yamuna. Di sana, ia memiliki teman yakni Buyut Wresabanu dan Niken Kirtidha yang bisa menjamin keamanan mereka. Singkat cerita, keesokan harinya para penduduk Gokula beserta ternak-ternaknya dipimpin Lurah Nanda Antagopa dan keluarganya pindah dari pedukuhan Gokula. Mereka menyeberangi Bengawan Yamuna dan menempuh perjalanan lebih dari tiga hari. Lalu sampailah mereka di desa Barsana. Buyut Wresabanu menyambut mereka dengan tangan terbuka “selamat datang penduduk Gokula...selamat datang di desa Barsana. Nanda, sahabatku. Pesanmu yang kapan hari kau kirimkan sudah ku baca. Silakan kalian beristirahat dan aku akan menunjukkan dimana kalian bisa tinggal.” “terima kasih, sahabatku.” Buyut Wresabanu lalu mengatakan penduduk Gokula bisa tinggal di selatan desa. Tempat itu berada di lembah dua bukit, yakni bukit Gowardhana dan bukit Goloka. Lembah itu terkenal sangat subur dan cocok untuk bertani juga menggembalakan ternak. Mulai saat itu, mereka tinggal disana dan mengubah nama tempat itu menjadi Wanua Gobraja.

Di tempat baru, para putra-putri Nanda mendapatkan teman baru. Udawa, Kakrasana, Narayana dan Pragota bersama Madhu Manggala, Charu dan Subala berteman dengan Ayan Yadawa, putra Lurah Ugrapada dan Nyai Jathila. Sedangkan Rara Ireng dan Rarasati berteman Endang Radha, putri Buyut Wresabanu dan Niken Kirtidha. Pada suatu sore yang indah, ketika itu Endang Radha bersama-sama para gopika (pengembala perempuan) mandi di pinggir sebuah telaga. Kebetulan di sana Rara Ireng dan Rarasati juga sedang mandi juga. Merka bertiga lalu saling berbincang“dinda Rarasati, bagaimana keadaan di Gokula dulu dan kenapa kalian pindah dari sana?” “Gokula sangat nyaman, tapi Gokula terus diserang para raksasa. Kata ibu, kakang Narayana yang selalu menyelamatkan Gokula.” Radha kemudian beertanya “benar begitu? kakang kalian Narayana itu orangnya sangat kuat.” Rara Ireng lalu menimpali “jangan percaya dengan apa yang kau pikirkan, mbakyu. Kakang Narayana itu sangat nakal. Di Gokula tak terhitung berapa kali kakang kami itu mencuri susu, mentega, dan madu. Sering banget lho kakang Narayana bersama teman-temannya mencuri dan memecahkan kendi berisi susu mentega, bahkan kakang kami yang tertua, Udawa dan Kakrasana ikut terpengaruh.” Radha yang mendengarnya menjadi agak jengkel. Di saat demikian tanpa mereka sadari, angin kencang tiba-tiba berembus. Pakaian-pakaian mereka terbang. Ketika melihat ke arah langit, cuacanya cerah. Rara Ireng yang kaget lalu berkata “Aaah...kakang! kembalikan pakaian kami!” Rarasati dan Endang Radha lalu menoleh dan melihat seseorang membawa lari pakaian-pakaian mereka. Radha dan Rarasati ikut jengkel. Mereka mengambil tongkat kayu dan mengejar orang itu hanya memakai kemben basahan. si pembawa pakaian itu ternyata Narayana. Narayana yang cerdik lalu berlari sekencang mungkin lalu menyangkutkan pakaian-pakaian mereka di pepohonan hutan. Para gopika , Radha, Rara Ireng dan Rarasati melihat pakaian mereka menyangkut di atas pohon. Mereka mengambilnya sambil melompat-lompat. Ketika berhasil meraih pakaian tersebut, mereka mendengar alunan suara seruling yang sangat merdu.

Narayana memainkan serulingnya
Ketika mencarinya ternyata itu Narayana bersama para penggembala lainnya duduk di balik pohon sedang menggembalakan lembu sapi. Radha lalu mendekat dengan muka masamnya “Narayana! Kamu kan yang mengambil pakaian-pakaian kami?!” Narayana berpura-pura kaget dan mengelak “hah? Apa yang aku lakukan Radha? Aku sedari tadi di sini menggembalakan ternak!” Rara Ireng ikut bicara “jelas-jelas kakang yag mengambil dan menyangkutkan pakaian kami. Hanya kakang di desa ini yang cerdik bisa begitu” Narayana lalu mendekati adiknya itu “adhiku yang manis, mana buktinya. Kan ada juga orang-orang tidak benar yang mengmbil kesempatan. Oh ya kalian belum tau ya kalau pelaku pencuri pakaian wanita yang meneror desa?” Radha dan lainnya menjawab “belum deh...memangnya kenapa?” Udawa lalu ikut bicara “sebaiknya kalian kembali saja untuk melihatnya. Singkat cerita, para Gopika kembali ke desa dan melihat si pencuri pakaian wanita itu sudah diarak warga desa untuk diadili. Para gopika lalu mnganggap pencuri itulah yang mencuri pakaian mereka. Tapi hanya Radha dan rara Ireng yang merasa ini ulah Narayana yang ia pakai untuk menjebak penjahat itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar