Pagi yang cerah ceria,
musim sedang beralih dari kemarau dan bediding yang menggigit menuju musim
hujan yang penuh kesuburan.... Desa Karangtumaritis ialah sepenggal kahyangan yang
jatuh di antara banyaknya daerah di seluruh Jawadwipa, sama asrinya dengan desa
Widarakandang dan Warsana, tempat tinggal masa kecil Prabu Sri Kresna dulu. Alam
bersenandung melalui suara gemericik air yang sedang membaluri hamparan sawah
yang menghijau dan berdendang melalui riang kicau burung-burung yang sedang
bermain-main di rimbun dedaunan. Sungai baru saja mengalir dengan banyak air
setelah lama debit airnya kecil. Hanya terpisahkan sebuah sungai, Tak jauh dari
sawah yang hijau itu berbagai tumbuhan berbunga indah, rumput dan lalang
menghampar menciptakan lapangan padang rumput yang sedap dipandang hati. Dengan
bau tanah kering yang baru tersiram hujan, Tanah lapang itu disebut sebagai
Ara-ara Klampis Ireng oleh warga sekitar, karena di tengah lapangan padang
rumput itu tumbuh sebatang pohon klampis besar yang gagah sendirian, hanya
rumput lalang dan semak bunga yang menemani pohon klampis jomblo ini. Terlihat
disana sapi, lembu, kambing, dan domba merumput dengan riangnya. Sebagian lagi
ada yang menyusu bersama anak-anak mereka. Nada seruling para gopala dan gopi
(penggembala) mengalun bersama datangnya sang pagi. Desa Karangtumaritis yang
asri dipimpin kakek Semar ya ki lurah Badranaya ya ki lurah Janggan
Asmarasanta. Desa ini sebenarnya terdiri dari tiga pedukuhan yakni Blubuktiba
yang dipimpin Gareng sebagai sang kamituwa, Kembangsore dengan kamituwanya
yakni Petruk, dan Karang Kadempel yang dinaungi oleh Bagong. Kali ini pusat perhatian akan terpusat di
dukuh Blubuktiba. Dari jauh, tampak rumah mungil tapi asri pinggir sawah,
ditemani rerimbunan pohon bambu, di situ Gareng bersama keluarga kecilnya
bernaung. Hari itu, Semar dan Bagong alias Cepot alias Bambang Astajingga alias
Mangundiwangsa berkumpul di rumah itu bersama keluarga Gareng. Mereka berunding
untuk mempersiapkan rencana pernikahan Endang Nalawati, anak Nala Gareng alias
Cakrawangsa alias Bambang Sukodadi alias Pancal Pamor; dengan Lengkung Kusuma,
anak Petruk alias Kantong Bolong alias Bambang Pecuk Pecukilan. Mereka tetap
optimis dapat menyelenggarakan acara pernikahan itu meskipun dengan segala
keterbatasan. Gareng beramah tamah dengan Bagong “lha Gong, endi bojomu karo
anakmu? Ko gak melu “ “ ohh bojoku...Lelasari ya Bagawati bersama anakku si
Besut neng omahe kang Petruk” Gareng lalu memanggil putrinya “Nalawati mrene,
nduk” “Engghi, mo” Endang Nalawati pun mendekati sang ayah. Ayahnya lalu
menanyakan kesiapan sang putri “Kamu sudah siap, nduk?”, tanya Gareng. “Ya
sudah to, romo. Aku kan sudah lama merencanakan rumah tangga dengan kakang
Lengkung”. “Kamu sudah tahu bagaimana seharusnya punya suami?” lanjut Gareng. Bagong
nyeletuk, “Apa perlu aku ajari....?” seisi rumah kaget lalu tertawa. Gareng pun
berkata sambil menampar kepala sang adik “Maksudmu apa tha , Gong?” “aduh! Lara
ki kang Gareng.....aduhhh benjut ki ndasku......ealah talah, ne’ aku ngomong, ojo dipotong sek......” Bagong lalu melanjutkan bicara “ngene kang, ojo salah paham. Pikiranmu ojo
ngeres dulu. Maksudku, aku ajari bagaimana menjadi istri yang baik”. Bagong
dengan gayanya yang khas, menasehati keponakannya yang akan menikah itu. Kakek Semar
melanjutkan, “Begini, begini ya Reng. Walaupun romo ini sudah tua, tidak bisa
uwur-uwur, memberi sumbangsih secara materi, ning romo ingin uwur tutur - uwur
sembur marang cucuku Nalawati, sebelum janji sucinya.” Kakek Semar mendekati
cucu perempuannya itu “cucuku seng ayu
dhewe, Eling yo nduuk pepilinge Eyang. Apa itu yang disebut, pangkat dan
derajat kui mung sampiran. Harta benda, rajakaya, anak keturunan seng berbakti mung
titipan semana saking seng Maha Kawasa, mung kudu amanah. Yang penting kamu
harus bisa menjaga ketenteraman jiwa dalam berumah tangga yo nduuk. Suami dan
istri kudu isok nyambung. Nyambung dalam komunikasi, tetap saling mendukung
dalam suka dan duka”.“Betul jarene eyangmu, kudu nyambung, nyatu, dan saling
mahami....iku kuncine..... penting ojo padu wae (jangan bertengkar melulu)”,
sahut Dewi Sariwati, istri Gareng yang tak lain ialah ibu Nalawati.
Rupanya kegayengan
keluarga besar kakek Semar tidak berlangsung lama. Bala Kurawa memecahkan
suasana musyawarah mereka. Dengan angkuh Sengkuni, Lesmana Mandrakumara, dan
Dursasana menghampiri Punakawan yang masih tampak terheran-heran itu. “Selamat
datang ndara Patih dan para bangsawan semua”, sambut Semar. “Ya, kakang Semar.
Begini ya Gareng, kedatanganku ke sini akan melamar anakmu Nalawati”, datar
suara Sengkuni tanpa basa-basi. “Hoi, paman Sengkuni, yang jelas dong
ngomongnya! Kok paman yang melamar?! Melamar untuk cucu…, begitu!”, bentak
Dursasana sambil menggoyang-goyangkan tangannya yang kekar. “Cepetan kenapa
yuuung….”, Lesmana tak sabar. “Sebentar Dur, paman belum selesai bicara. Mono…
sabar disik yo lee…”. “Kalau ngomong mbok ya jangan sambil merem gitu to maan,
hehehe….”, Dursasana mengingatkan. “Saya akan melamar anakmu, Nalawati, untuk
cucuku Lesmana Mandrakumara”. “Njeeeh… kanjeng romo Gareeng…”, suara Lesmana
melengking “Beluum! (sambil menabok Lesmana). Kamu ini ya bodoh sekali…. Belum
jadi menantu kok memanggil romo Gareng, hehehe…”, bentak Dursasana. “Bukannya
sudah disetujui man?” “ Belum!! Ini baru melamar! Byuh, byuh, kok nyocol wae
bocah iki to yo, hehehe…”, Dursasana mencoba menenangkan. “Kamu akan hidup
mulia dan bahagia, jika mau berbesanan dengan Raja Hastinapura”, Sengkuni
mengiming-imingi Gareng.
Belum terjawab tawaran
Sengkuni, tiba-tiba datang Boma Sitija, raja Trajutrisna. “Baginda Boma,
selamat datang”, Gareng menyambut. “Ya, ya…”. “Bakti hamba baginda”. kata
Bagong. “Ya, Bagong”. “Bakti kula gus”, Semar melanjutkan. “Ya, Eyangku Semar,
sama-sama”, Sitija menerima sembah bakti Punokawan. “Inikah yang namanya
Nalawati?”, tanya Prabu Boma Sitija. “Njiih den…”, Gareng menjawab. “Njanur
gunung, paduka rawuh di padepokan Blubuktiba, ada perlu apa ya?”, tanya Gareng.
“Begini ya Reng, kedatanganku ke sini dengan membawa berpeti-peti perhiasan dan
bermacam-macam rajabrana. Saya ingin melamar anakmu Nalawati, untuk menjadi
istriku”. Prabu Boma Sitija menjelaskan kalau dia ingin menikahi Nalawati
karena keinginan dari isterinya, Dewi Hagnyanawati. Dewi Hagnayanawati berkata
ia mau melayani sang suami lagi kalau dimadu dengan Endang Nalawati. Mendengar
maksud kedatangan Sitija seperti itu lantas Dursasana mengingatkan. “Lho-lho-lho,
awas Reng, yang datang duluan ke sini Patih Hastinapura, hehehe…”. “Terus
terang saya merasa tersanjung. Anak saya dilamar pangeran, pertama: calon raja,
yaitu ndara Lesmana Mandrakumara.. Dan ini ada lagi Raja Trajutrisna. Saya
seperti kurung munggah lumbung. Namun perlu njenengan berdua ketahui, bahwa
saya sudah sepakat akan berbesanan dengan adik saya Petruk”. Harya Dursasana
lalu berkata “Wes Reng gak usah basa-basi...urusan Petruk gampang, wes kawinkan
anakmu dengan ponakanku.....” “jangan dengarkan dia! Lebih baik nikahkan saja
intan payungmu kui denganku, lamaran Petruk dibatalkan saja. Kalau dia marah,
aku yang tanggung jawab”, ucap Sitija dengan setengah memaksa. “Untuk aku saja,
aku masih perjaka. Dia sudah punya istriii…”, suara Lesmana mendayu-dayu tidak
terima. “Gareng! Kamu harus luluskan permintaan kami! Sudah, jangan banyak
bicara, hajar saja dia!!”, Dursasana hilang kesabaran. Ditendangnya Sitija
hingga terjerembab ke belakang. Pertarungan tak bisa dielakkan. “Wah, wah, wah,
bagaimana ini? Ini bisa-bisa menggegerkan Padukuhan Blubuktiba”, kata Bagong. “Sudah,
sudah, jangan panik, romo akan selesaikan masalah ini”, kata Semar. “Mongso
bodho-a mo, yang penting bagaimana suasana bisa tenteram kembali”, Gareng
pasrah.
Situasi tak bisa
dikendalikan. Tak hanya Sitija yang meladeni gempuran Dursasana, pasukan
Trajutrisna pun bertempur melawan pasukan Hastinapura. Sambil menghunus keris,
Sengkuni di pinggir arena mengamat-amati jalannya pertarungan, mencari celah,
berharap bisa menghabisi Boma dari belakang. “Sudah, sudah, cukup, cukup,
berhenti bertarung deen…, berhenti, berhenti, sabar, sabar, ya ndoroo…”, Semar
mencoba melerai. “Boma, kau tamu kurang ajar!”, bentak Dursasana. “Kurawa biang
onar!”, Boma tidak terima.“Apa maumu?!”, Dursasana membentak lagi. “Semaumu!”,
Boma Sitija tak mau kalah. Entah dengan kekuatan apa, Endang Nalawati mendekati
medan laga dan melerai kedua pelamar itu “ Sudah cukup!....kalau ingin
mendapatkanku, minimal pake effort...aja mung nggawe otot dan dengkul!” Kedua
orang itu kaget dengan ketegasan Nalawati. “Nalawati sudah mulai turun tangan,
kalau begini terus bagaimana ini mo?” Gareng bingung. “Lha, terus maumu gimana
Gong?”, balas Semar.“Sudah mo, segera urusi yang baik gimana mo, jangan
diulur-ulur, nanti ceritanya kepanjangan”, Bagong sambil terengah-engah. Kakek
Semar pun memanggil sang cucu “nduk....mrene...eyang arep ngomong.” Endang
Nalawati mendekati sang eyang. Keduanya segera berbicara empat mata. Nalawati
lalu membisiki apa yang jadi keingiinannya kepada kakek Semar. Semar paham,
mereka pun segera berdiri “Begini saja, semuanya, saya tidak berpihak kepada
siapapun. Setelah saya bicara empat mata dengan cucu saya, Saya punya
permintaan: siapa saja bisa menjadi calon pengantin pria, asalkan bisa
mempersembahkan cunduk Sekar Wijayakusuma”, tegas Semar. “Lho, yang punya itu
kan Ayahanda Kresna, kalau begitu aku, aku yang akan mendapatkannya”, kata Sitija
sambil bergegas pergi. “Paman, … paman, bagaimana ini??”, Dursasana gundah. “Sudah,
jangan khawatir. Biar tidak kedahuluan Boma, kita cari jalan pintas
Dur”.“Monggo, monggo Man”. Sementara itu, di rumah, Gareng tidak setuju dengan
keputusan mendadak sang ayah. “Lha mo...kok malah ngene? Maksud saya,
diputuskan supaya tidak ada keributan lagi mo. Lha ini kok ndadak…”.“Mencari
masalah baru…”, timpal Bagong. “Lha ini romo justru minta Cangkok Wijayakusuma.
Kalau ribut lagi gimana?” protes Gareng. “Ribut tapi kan tidak di sini lagian
iki ya keinginan putrimu, Reng”, Semar beralasan.
|
Bagong membawa kabar dari Gareng |
“masalahnya iku sayembara
kayak ngene kae harus adil lho mo. Maksud saya begini, … Petruk, adhi Petruk
yang juga melamar ini harus mendapatkan syarat yang sama”. “Bener kang Gareng.
Kalau terdengar oleh yang lainnya gimana?”, kata Bagong. “Ya iri to…. Daripada
saling iri, ya nggak adil itu namanya”, Gareng meyakinkan. “Jadi Petruk juga
kena syarat?” tanya Semar “Ya, iya tho mo… Wong syarat perpanjangan kontrak
tambang saja harus diworo-woro. Kalau tidak, gak bahaya tha?… ” “Ya, iya juga sih….
Terus bagaimana baiknya?”, Semar bingung. “Romo ini gimana sih, dimintai
pendapat kok malah bingung juga?”, Gareng kesal. “Sudah, begini saja, saya akan
menulis surat ke Petruk. Nanti antarkan ke dia ya Gong. Masalah transport pakai
uangmu dulu, nanti dihitung belakangan”, Gareng tetap pada pendiriannya.
Sore itu Pedukuhan
Kembangsore benar-benar anteng. Petruk dan istrinya, Dewi Prantawati, jagong di
teras pondok. Lengkung Kusuma, anak mereka, sumringah, karena hari-harinya
dilalui dengan hati berbunga-bunga. “Lengkung, kenapa kamu cengar-cengir
sendiri?”, tanya Prantawati. “Hatiku senang mbok”.“Senang kenapa?” “Lha aku
ditunggui bapak dan simbok”. “Kamu ini kok ya ndak ngerti to, simbok sedang
sayang-sayangan sama bapakmu, kamu kok nyela saja”. “Dasar anak tidak tahu
malu, ya gini ini”, Petruk membenarkan. “Mbok ya agak ngerti sedikit gitu to
le, le…”. “Ya harus sabar dan maklum to mbok” kilah Lengkung Kusuma.“Maklum
gimana?”, tanya Petruk. “Bapak sudah pernah jadi saya, tapi saya kan belum
pernah jadi bapak. Tegasnya, bapak kan sudah melakoni muda, tapi saya belum
melakoni tua seperti bapak. Jadi kalau ada saruning tumindak, salah-salah
sedikit ya dimaklumi lah”. “Apiik…. Kamu sekarang kok pandai, nak?” “Ya ini
berkat piwulange romo prabu Kantong Bolong. Mbok, kita ini beruntung lho punya
bapak Petruk”.“Memang kenapa le?” “Bapak tidak pernah kena kasus korupsi.
Sampai saat ini bapak aman-aman saja, tidak bisa diusut kekayaannya”. “Kowe iki
piye to? Gimana mau mengusut, lha wong bapak ki kekayaannya mung sak mene wae;
kaedus banyu sesiwur (mendapat jatah sedikit dan harus berbagi dengan sesama
yang lebih membutuhkan). Makan saja susah, mau korupsi dari mana?”. “Namanya
juga Kantong Bolong. Walaupun dapat berapa saja ya bablaas wae. Ning bablas
kanggo manfa’ate wong liyo”, sahut Lengkung. “Lha wong nama itu cuma nama
julukan saja kok lee…”, jawab Prantawati “Mencontoh pola hidup bapak ini
membanggakan. Pola hidup sederhana, bersahaja, prasojo”, lanjut Lengkung.
Tak lama datang sepupu
Lengkung Kusuma yakni Bambang Besut Katinja, anak Bagong. Ia datang bersama
ibunya, Lelasari alias Bagawati, “sampurasun...kula nuwun..... “ “dewi Prantawati
menjemput masuk ipar dan keponakan tercintanya itu. “Owalha Besut...tho...wes
gedhe ae ...perasaan terakhir aku ketemu, awakmu sek segedhe layah” yo lha....
uwa Petruk...saiki gedhe sak wetenge bapak Bagong.... ginak-ginuk imut. Timbang
uwa...ket aku cilik sampe saiki...sek tetep wae, kuru kaya biting......”
Seloroh Besut.....”adududuh..ahahaha....mentala ta’gemplang arek siji ki....wes
plek ketipleke Bagong” Besut lalu memberi salam pada Lengkung Kusuma dengan
gayanya yang sok cool “ Yo wassap bro...ihik-ihik...arek seng kape nikah
rek.....hahahaha.....” “ lho Sut...asyuu kowe....hahaha suwun, Sut...awakmu
kapan nyusul?” “tenang, kang
Lengkung....aku wes onok gaetan...iku si Dadapsari, anake Mbok Cangik.. kan
lumayan....aku wes confess kari ngenteni tanggale...” keduanya bercengkrama
bersama. Lalu Lengkung bertanya pada mboknya “Sebentar mbok, saya mau tanya,
sebenarnya betul nggak sih saya ini anaknya bapak?” “Lho, pertanyaanmu kok aneh
to le?” “Lengkung! Berani-beraninya kamu ngomong begitu. Memang selama ini
wajahmu mirip siapa, hah?!” bentak Petruk dengan gayanya yang lucu. “Pokoknya
saya yakin. Akan saya umumkan bahwa mbok hamil tidak sama njenengan”, tantang
Lengkung. Petruk gusar, “Lengkung, jelek-jelek begini bapakmu mantunya Raja
Dwarawati. Ibumu itu masih termasuk putri keraton. Eyang putrimu iku, Dewi
Radha, kembang desane Desa Widarakandang... eyang tirimu, Dewi Rukmini,
Jembawati, Setyaboma, Pertiwi, dan 16.000 lainnya cantik-cantik. Ojo salah....Memang
bapakmu jelek, tapi ibumu cantik. Harapan bapak menikahi ibumu supaya punya
anak bagus, ternyata nongol kamu yang punya wajah malah gabungan bapak karo
mbokmu. Gantengmu nurun mbokmu tapi irungmu nurun aku......Banjur kamu ngomong
seperti itu, opo karepmu?”. “Pak, mau diapakan juga, mau dikloning atau
diapakan, namanya gen saya ini ya begini ini, tetap saja jelek. Tetapi yang
pasti, simbok hamil tidak dengan bapak”. “Lantas sama siapaa…??” Petruk kesal. “Simbok
itu hamil sendiri. Apa bapak ikut hamil?” “Ya tidak to”. “Saya tadi bilang
apa?” “Oooo, begitu to le…” tanggap Prantawati. “Lho, fakta kan, ini fakta….
Jeleknya orang tua itu begini niih. Maunya menang sendiri”. “Benar kamu le.
Kang, anakmu pandai, mestinya kamu harus senang, ojo nesu gitu to kang Petruk”.
“Yaa, tapi kepintarannya jangan disalahgunakan untuk ngakali bapaknya gitu…hadududh...ancen
putune Sri Kresna awakmu iki...pinter ngakali wong”. “Ini kan hanya tukar
pikiran pak; sharing gitu lo…hehehe”, Lengkung membela diri. Keluarga Petruk
kala itu sangat gembira hati.
Lamat-lamat dari
kejauhan, tampak sesosok makhluk kayak genuk berjalan ginak-ginuk,
ketebang-ketebong sedang menuju rumah Petruk. “Eee, bagaimana kabarmu adhi
Bagong...?” Lho...kakang Bagong...salam kakang” ucap Lelasari.... “Ini Lengkung
to? Lengkung yang dulu masih ingusan itu?” “Ya, iya. Ini keponakanmu yang mau
nikah sama Nalawati. Saiki wes gagah tho....?”, jawab Petruk. “lho bapak?”
Besut pun mendekati bapaknya. Benar-benar Bagong ini memper wajahnya hanya beda
di badannya saja. Kalo Bagong badannya lebih bulat, bentuk badan Besut lebih ke
arah gempal badannya. Tanpa basa-basi Bagong memulai pembicaraan “Mbakyu, ini
ada kabar…”. “Lho, belum hajatan kok kamu sudah ngasih amplop to dik? Sudah,
sudah, tidak usah repot. Sudah cukup kok dik Bagong” Prantawati pura-pura
menolak. “Mau nyumbang kali mbok…”, Lengkung mencoba menjelaskan. “Yang mau
nyumbang itu siapa?” tegas Bagong. “Itu surat untuk siapa?”, tanya Petruk. “Ini
dari kang Gareng”. “Ooo, ya, ini memang tulisannya kang Gareng. Senajan
tangannya bengkok, ning tulisannya morat-marit”, ledek Petruk. “Wuiih, nulisnya
dalam bentuk Sinom, Gong”.“Memang kebiasaan kang Gareng kalau mengirim surat
dalam bentuk tembang”.Petruk pun membaca isi surat tu “Bersama surat ini,
menjumpai adinda suami-istri. Dinda Petruk yang berbahagia. Pertama-tama saya
sampaikan salam sejahtera. Yang kedua, untuk diketahui, tentang rencana kita
berbesanan. Perkawinan Lengkung dengan Nalawati. Bisa terlaksana jika Lengkung Kusuma
datang dengan bercunduk Cangkok Kembang Wijayakusuma.”
Selesai membaca surat,
tiba-tiba saja Petruk nyaduk Bagong. Tentu saja Bagong kaget. “Gong, kamu tahu
tidak isi surat tadi. Bait terakhir maksudnya apa? Menyebut cunduk Kembang
Wijayakusuma segala?” “Yaa…, Cangkok Kembang Wijayakusuma itu….” Bagong ragu. “Kalau
begini caranya, jelas kang Gareng ki esuk tempe – sore dele,
mencla-mencle, clewa-clewo koyo kebo!” “Mencla-mencle gimana?” Bagong
pura-pura tidak tahu. “Lho, dulu dia kelihatan apa, sekarang kelihatan apa?” “Dulu
jelek, sekarang sama saja”, tanggap Bagong. “Ini hanya akal bulus kang Gareng
saja. Ini alasan untuk menolak secara halus. Coba pikir. Makanya gunakan otakmu
untuk mikir! Terus aku dimintai bebana, harus datang dengan membawa Cangkok
Kembang Wijayakusuma”, Petruk tidak terima. “Ini urusanmu. Kalau pengantin
perempuan minta syarat itu sudah lumrah. Kok jadinya aku yang dimarahi??”,
Bagong juga tidak terima. “Lumrah jaremu? lumrah bagaimana?!” “Urusanmu sama Gareng, kok
marah sama aku”, sambil lari Bagong menampel surat yang dipegang Petruk. “Sabar
adhi, sabar”, Prantawati menenangkan. “Sudah, jangan ikut campur. Lengkung,
kamu di rumah saja. Istriku juga, di rumah saja. Biar, akan aku labrak Gareng!”
Petruk pergi sambil menghunus kapaknya yakni Kyai Pethel.
Baru tiga langkah Petruk
melangkahkan kakinya, dari kejauhan tampak Para Pandawa dan Dewi Drupadi yang
akan berangkat ke pengasingan. Namun sekarang, para Pandawa harus datang karena
ada pernikahan yang harus mereka hadiri yakni pernikahan Lengkung Kusuma dengan
Endang Nalawati. Petruk mengurungkan niatnya. “Petruk”, sapa Arya Wrekodara. “Apa?!”,
jawab Petruk ketus. “Ya jangan kasar begitu to mo sama eyang ndoro Wrekodara”,
Lengkung mengingatkan. “Kula, Baginda Bhima”. “waaa....Kethokane awakmu nesu
ngunu? Sampe menghunus kapak begitu, mau apa? Bukannya sebentar lagi awakmu arep
nduwe gawe? Kalau memang onok masalah, mbok ya dirembug baik-baik. Ojo
nesu-nesu seperti itu”. “Sinuhun, saya kan akan menikahkan anak saya Lengkung
Kusuma dengan Nalawati, anaknya kang Gareng”. “Lha kedatangan kami ke sini ini
kan untuk membantu hajatanmu itu. Anggap saja kehadiran kami ingin menebus dosa
kami sewaktu di arena dadu tempo hari”. Sambung Prabu Yudhistira “Nggih, kalau
itu saya sudah tahu sinuhun, tapi saya menyayangkan mulut Gareng yang tidak
bisa diugemi, tidak bisa dipercaya”. Ucap Petruk sambil marah-marah “Petruk!”
sahut Arjuna. “Nggih, den”. “Sabarkan hatimu paman. Kalau ada masalah, sebaiknya
dibicarakan dulu baik-baik”, Arjuna ikut menasehati. “Tidak bisa! Pokoknya saya
akan melabrak Gareng! Dia minta syarat Cangkok Kembang Wijayakusuma. Pokoknya
akan saya habisi dia!”ucap kesal Petruk sambil menghunuskan kapaknya “Petruk,
berat mana sekarang, KMP atau KIH??!” Bagong kesal menimpali. “Bagong, ini
bukan perkara politik”, Dewi Drupadi menimpali sambil tersenyum. “Iki piyee?
Gong, jaga mulutmu! Jangan cengengesan! Pokoknya ini tidak sampai setengah jam,
Gareng rampung! Mau apa?! Mpun, njenengan diam saja. Paling-paling Semar
berpihak ke dia. Nanti kalau Semar membantunya, akan saya kapak juga! Jika
Semar tidak terima, lapor Pandawa, Pandawa saya kapak sekalian! Jika Pandawa
tidak terima, lapor penasehatnya yang namanya Kresna, ….”, Petruk tetap
meletup-letup.
“Mau kau kepras juga,
gitu??” timpal Nakula.“Kepras sekalian!”, sela Lengkung Kusuma. “Yang jadi
pokok masalahnya adalah Lengkung, jadi… kepras sekalian Lengkungnya!” teriak Besut
tak mau kalah. “Sudah, saya selesaikan saja!” Petruk tak sabar. “Sebentar,
sebentar pak…”, Lengkung mencegah. Sadewa lalu berkata “Sik to, bendaramu
Madukara mau bertanya kepadamu” “ok,
monggo ndoro!” sahut Petruk “sebentar paman! Masa’aku mau dikepras sisan?”
tanya Arjuna. “Kepras sekalian!”, bentak Bagong memanas-manasi.“Ya nggak begitu
too….”, jawab Petruk. “Kalau perlu semua Punokawan dikepras sisan!”, Lengkung
tak mau kalah. Para Pandawa senyam-senyum saja. “Wonten dhawuh ndoro…”, Petruk
mereda. Lengkung pun bertanya kepada Arjuna “ampun eyang ndoro, bapa Petruk
emang begini tha?” Arjuna menjawab “ya Lengkung, cucuku sayang. Bapamu emang
gitu. Setiap kami pergi bersama, sifatnya sama seperti yang kamu lihat, cucuku.
Dia orangnya asik, cuek, tapi kalau sudah urusan harga diri, jangan
ditanya. Ngamuknya setara sama kakekmu Prabu Baladewa dari Mandura. Dulu
saat mendapatkan ibumu, dia bahkan bisa membuat kakekmu Baladewa, Setyaki, dan
Udawa tak berkutik.”
“Nala Gareng minta syarat
Kembang Wijayakusuma?”, tanya Arjuna dengan tenang. "Nggih ndoro”. "Yang
punya Cangkok Kembang Wijayakusuma tidak ada lain ya hanya kakang Madhawa, Sri
Bathara Kresna”. “Awas…, tidak dipinjamkan, keprass!!” tiba-tiba Besut teriak
cuek. “Sut, lambemu kebablasan neh, tak kepras sisan mengko”, bentak Petruk. “Wah,
Ne’ aku dadi kakang Jlitheng sudah deg-degan lho…”, Arya Wrekodara sambil
senyum. “Ndara Arjuna dan ndara Pandawa sekalian, saya sudah tahu kalau Cangkok
Kembang Wijayakusuma itu agemipun paduka Ndarawati. Namun, ini hanya alasan
Gareng untuk menolak secara halus”. “Apakah tidak bisa diganti dengan kembang
lainnya?” tanya Yudhistira. “Kembang apa?” “Kembang gula malah bikiin….”,
celetuk Lengkung. “Kembang gula itu bukannya permen, mut-mutan?” tanya Petruk. “Kembang
gula aku moh, aku kencing manis”, jawab Besut menolak, walaupun tak ditawari. “Petruk,
sudah, kamu tenang saja, aku akan bicara Lengkung Kusuma”, Arjuna menenangkan. Lalu
Arjuna mengajak bicara. Setelah cukup lama, Lengkung Kusuma pun berbalik “Sut,
Besut! Ayo melu aku ke Dukuh Blubuktiba. Kita temui Nalawati di sana.” Maka
berangkatlah Lengkung Kusuma dan Besut ke Dukuh Blubuktiba.
Petruk kaget “lho
ndoro...kok Lengkung disuruh ke Blubuktiba?” “aku suruh kesana karena menurut
firasatku, kakang Madhawa sekarang ada di sana sekarang. Kau tahukan siapa
kakang Madhawa? Dia kakek dari anakmu, Truk. Masakah kakek tidak akan datang ke
pernikahan cucunya?” “Betulkah ndoro??” “Lho, betul, aku percaya pada indria
dan firasatku ini”. “Sebentar den, nalarnya bagaimana?” Petruk tak yakin. “Sekarang
coba pikirkan, istrimu Prantawati itu siapa?” Tanya Nakula....dia putri keraton
Dwarawati. “dan lagi siapa ayah ibunya?” Tanya Sadewa, “dia putri ndoro Prabu
Sri Kresna dan Dewi Radha.”ujar Petruk. “nah itu tau” ujar Arya Wrekodara
sambil senyam-senyum “Ya juga sih, memang putrinya. Tapi…” “Kalau begitu Lengkung
Kusuma ya cucunya sendiri to? Sudah sepantasnya dia berada disana untuk
anak-cucunya” jawab Arjuna dengan lugas. “Jadi, dia pasti lahir-batin rela
meminjamkan Cangkok Kembang Wijayakusuma?” “Tentu saja, Petruk”. Arjuna
meyakinkan sang Kantong Bolong. “Aduh, sinuwun, saya menghaturkan banyak terima
kasih sudah membantu sya berpikir jernih. Kalau bisa jangan hanya kembangnya,
sukur-sukur sekalian biayanya juga akan saya minta kepadanya”. “Dapuranmu,
Truuk, Truk!” cela Bagong. “Nah, ujung-ujungnya perkara itu juga tho? Lihat
kondisi tho Truk...ndoro kita para Pandawa sedang kehilangan harta gara-gara
acara dadu kapan hari”. Para Pandawa hanya tertunduk mengingat kejadian
beberapa hari lalu “aduh, ndoro.
maafakan saya yang tidak peka.” “sudahlah, Paman Petruk. Memang takdir
kami begini..... mari kita ke rumah paman Gareng” ajak Yudhistira untuk segera
ke Blubuktiba menyusul sang putra Petruk.
Singkat cerita, malam
harinya Lengkung Kusuma dan Besut sampai di dukuh Blubuktiba di sana sudah ada
Prabu Sri Kresna dan kedua isteri utamanya, Dewi Radha dan Dewi Rukmini. Mereka
bersama Gareng dan Kakek Semar“waa... eyang prabu dan eyang prameswari. Wes
neng kene wae. Salam, eyang Prabu! Eyang Semar!
Paman eh bapa Gareng!” Prabu Sri Kresna dan Kakek Semar menerima salam
mereka “Salam!.” Prabu Sri Kresna memeluk cucunya itu“Lengkung wes gedhe
awakmu...sekarang sudah mau nikah.....” Bersama dengan itu, Besut ikut
menyalami Prabu Sri Kresnas “Lengkung, Sapa iki...kok mirip Bagong tapi luwih
gempal?” tanya Prabu Sri Kresna “ohh iki Besut eyang Prabu, masa gak
kenal...anake paman Bagong. Arep nikah sisan....karo Nyai Dadapsari anake Mbok Cangik,
tapi rung kelakon...” ejek Lengkung. Gareng tertawa mendengar keponkannya itu
bercanda. Besut menimpali “cocotmu, kang Lengkung!” Dewi Radha lalu mendekati
cucunya “Lengkung, sekarang kau sudah dewasa. Kerja sudah mapan. Sudah jadi
juragan sapi di Kembangsore.” “benar
kata Eyang putri Radha, sekarang Lengkung sudah mandiri...cocok sekali untuk
berumah tangga....didikan kakanda Prabu dan Petruk emang gak
kaleng-kaleng...”puji Dewi Rukmini. “tapi ada yang kurang nih Yunda Radha” “eh
apa dinda Rukmini?” tanya Dewi Radha. “kurang siraman, eyang prameswari.” Sahut
Besut. “kakang Lengkung dari Kembangsore belum mandi dan berhias padahal mau
nikah.” Seloroh Besut sambil bercanda. “asem koen, Sut...isin ki didepan dua
eyang putri ki...” Prabu Sri Kresna lalu berkata “benar kata Besut....dari tadi
perjalanan berjam-jam pasti belum mandi dan berhias. Masa’ ketemu calon isteri
kucel begitu...ingat Lengkung yang dilihat nanti ya kesan pertama...kalo kata
orang daratan besar, First Impression. Mari kita kedalam, bebersih dan
istirahat yang cukup. Besok kan kamu mau menikah!” Lengkung menolak dengan
halus “nanti dulu, eyang Prabu. Kedatangan ku kemari mau meminjam sesuatu. “apa
itu, cucuku?” tanya Sri Kresna “kata paman eh bapa Gareng, dinda Nalawati
meminta calon pengantinnya harus membawa cundhuk dari bunga dan yang dimintanya
itu Cangkok Kembang Wijayakusuma. Setauku, hanya eyang yang punya bunga itu.
Dari kabar beredar, anake gusti Prabu Duryudhana, paman Lesmana sama paman
prabu Boma Sitija sedang berusaha memintanya. Nah biar aku gak keduluan makanya
aku kesini eh ketemu eyang Prabu disini” Prabu Sri Kresna memuji langkah cerdas
sang cucu “Wah wah...pinter juga kamu....kamu memang cucuku...cerdasmu minta
ampun....Baiklah, kalau begitu, Lengkung Kusuma, sini mendekatlah, akan saya
beri kamu cunduk Kembang Wijayakusuma”. Maka, diselipkanlah Cangkok Kembang
Wijayakusuma oleh Prabu Sri Kresna di ikat kepala Lengkung Kusuma.Gareng pun
mendekat ke keponakannya dan menyatakan Lengkung Kusuma sebagai pemenang
sayembara. Lalu datanglah Prabu Boma Sitija melabrak sang ayah “Ayahanda, ini
bagaimana ceritanya? Mengapa Cangkok Kembang Wijayakusuma diberikan kepada
anaknya Petruk? Padahal saya sudah memastikan, kalau sayalah yang akan
bersanding dengan Nalawati”. “Ananda, istrimu Hagnyanawati adalah wanita yang
cantik. Tidak kurang suatu apapun. Mengapa sekarang Ananda masih menginginkan
Nalawati? Apakah sudah melenceng kiblatmu, hah?” “Duh, kanjeng romo, justru ini
adalah keinginan Hagnyanawati. Dia akan memberikan cintanya kepada Ananda,
asalkan Ananda memadunya dengan Nalawati’. “Jagad dewa bathara. Anakku cah
bagus Sitija, ketahuilah, sebenarnya Hagnyanawati ingin mengatakan, menolak
halus cintamu, karena dia tidak mencintaimu. Sayangnya engkau kurang tanggap,
malah engkau mencoreng mukamu sendiri dengan perilakumu yang tidak terpuji
ini”. “Aduh, sungguh bodoh saya. Maafkan saya Ayahanda” Prabu Boma pun larut
dalam kesedihannya “Paman prabu, sudah, jangan kau larut dalam tangismu di hari
bahagia ini. Bersabarlah......mungkin ini adalah ujian cinta paman dengan bibi
prameswari...sekarang paman prabu kudu bangga melihat ponakannnya ini...bisa
menikahi pujaan hatinya..............apa paman prabu Boma tidak bahagia kalau
aku menikah dengan orang yang ku cintai?.” Ucap Lengkung menenangkan sang paman
“mesti aku seneng, bahagia.... tapi untuk masalah iki, aku kudu piye, Lengkung?”
Prabu Sri Kresna memberi wejangan “Ya mestinya kamu harus sabar karena semua
sudah terlanjur. Berusahalah lagi anakku. Batu yang keras bisa berlubang kalau
mendapatkan tetesan air terus menurus....Cintamu pasti akan bersambut. Tenang
saja”. Prabu Boma Sitija pun mendapatkan semangatnya kembali. Malah ia kini
membantu persiapan pernikahan sang keponakan. Tak lama kemudian datang
rombongan keluarga Petruk, Bagong dan para Pandawa. Prabu Sri Kresna bertanya
“lho adik-adikku para Pandawa dan dinda Panchali kenapa masih di sini? Bukannya
kalian harusnya mengasingkan diri.” “kakang Madhawa, awalnya kami sudah berada
di hutan Kamyaka tapi kami tidak tenang...apalagi kakang Prabu Yudhistira...berapa
hari ini ia tidak bisa tidur.. kakang prabu dibayangi mimpi buruk sepanjang
malam.....kakang Prabu merasa sangat bersalah karena permainan dadu itu, kami
harus benar-benar minta maaf kepada Bapa Semar atau kami akan terus dikejar
dosa seumur hidup karena telah mempertaruhkannya di arena dadu itu.” Kakek
Semar menenangkan hati Pandawa“owalah....ndoro, jangan begitu. Aku sudah
memaafkan kalian. Hilangkan dulu rasa takut kalian...” “tidak, Kakek Semar.
Tolong, beri kami hukuman dulu sebelum kami berangkat mengasingkan diri
sehingga tenang hati kami. Anggap saja itu sebagai penebusan dosa kami padamu”
mohon Yudhistira sambil berlutut “wes yang, jadikan badut saja!” sahut Bagong
“cangkeme, mo” bungkam Besut “ne’ aku mending suruh kasih makanan yang kita
ludahi!” Besut rupanya sama saja. Sama-sama tidak bisa direm mulutnya. Semar
pun memberikan hukumannya “baiklah, untuk tiga hari kedapan kalian jadilah
pelayan dan pramusaji di pesta pernikahan cucuku ini!” Para Pandawa pun lega
hati dan dengan Lenga Pranawa milik Arjuna, mereka membalur wajah mereka. Kini
orang-orang akan melihat mereka sebagai pelayan dan pramusaji berwajah buruk rupa.
Keesokan harinya, Di teras rumah Gareng, acara resepsi
pernikahan antara Bambang Lengkung Kusuma dengan Endang Nalawati berlangsung
meriah. Para tamu bergantian mengucapkan selamat kepada kedua mempelai.
Hilir-mudik para pramusaji menjamu para tamu yang datang dan pergi. Di antara
para pramusaji itu ada para Pandawa yang sedang dihukum oleh kakek Semar
sebagai pelayan. Mereka berhati-hati agar tidak diketahui oleh para Kurawa yang
sewatu-waktu bisa datang kapan saja. Benar saja, di tengah acara yang meriah itu,
tiba-tiba suasana dikagetkan dengan kehadiran tamu yang tak diundang, rombongan
keluarga Kurawa.
|
Pernikahan Lengkung Kusuma dengan Nalawati |
Tanpa ba-bi-bu, dengan arogansinya Sengkuni nyerocos:
“Permintaanmu, ternyata mung akal-akalan. Sudah, tak
usah wijaya-wijaya’an. Batalkan, batalkan pernikahan ini Gareng!” “Ya, ya,
harus batal!! Harus dibatalkan demi hukum, eh, demi putra mahkota kerajaan
Hastinapura, Lesmana. Kalau tidak, awas!!”, gemuruh suara bala Kurawa lainnya. Mendengar
permintaan Sengkuni ini, Gareng lantas mengajak Lengkung dan Petruk mojok. “Kita
bicara baik-baik saja ya. Truk, memang kamu sudah keluar biaya, tapi baru
sedikit kan? Suruh ceraikan saja anakmu, daripada nanti rumahku hancur. Kalau
melihat begini apa aku tidak deg-degan?”, bisik Gareng. “Enak saja! Aku sampai
memutus urat maluku di hadapan ndoro para Pandawa segala, kok kamu mau berbuat
macam-macam (sambil meraba-raba kapak di pinggangnya)….”.“lha aku juga dilema
ki, aku sudah mengumumkan pemenang sayembaranya iku Lengkung tapi aku wedhi
ki...eruh dhewe kan pasukane Kurawa iki wes kemriyek ngene...omahku isok
hancur.” Sementara bala Kurawa sudah berteriak-teriak provokatif. “Sinuhun
Boma, sudah, silahkan diselesaikan saja…”, Petruk dan Gareng kesal. “Baiklah,
akan saya babat mereka semua, Petruk”. “paman Prabu Boma, mau melakukan apa
njenengan?” tanya Lengkung. “Mau saya bereskan mereka semua”. “Sudah-sudah”. “Maksud
loh?” “Sudah jangan terlalu lama kalau mau membereskan”. “Hai Kurawa, selalu
saja kalian membuat rusuh, membuat onar. Ini, hadapi aku, Sitija Boma
Narakasura, putra Kresna. Pamannya Lengkung Kusuma”. Prabu Boma pun mengusir
rombongan para Kurawa dengan kekuatan saktinya. Angin kencang datang
menerbangkan kembali para Kurawa kembali ke Hastinapura. Pernikahan pun
dilanjutkan dengan meriah.
Setelah tiga hari tiga
malam pesta pernikahan, para Punakawan yakni kakek Semar, Gareng, Petruk, dan
Bagong memutuskan ikut para Pandawa dan Dewi Drupadi mengasingkan diri. “owalah...ndoro
eyang para Pandawa, lebih lama dong disini.” “benar, eyang ndoro, aku dan
kakanda Lengkung ingin kalian berbahagia untuk sesaat saja sebelum kalian
mengasingkan diri.” “tidak bisa cucuku, eyang-eyang dan bapa-bapa kalian harus
menjalani ini semua, sesuai perjanjian kami dengan Duryudhana.” Ucap Prabu
Yudhistira. “ kami tidak bisa janji dalam dua belas tahun kedepan kami akan
baik-baik saja. Doakan kami semoga dimudahkan perkara kami oleh Hyang Widhi.
Kalian jaga tali persaudaraan dengan para paman kalian, putra-putra kami,
kakang Madhawa dan para keluarga Yadawa. Kami pamit berangkat.” Arjuna dan para
Pandawa lainnya beserta Dewi Drupadi pun berangkat ke hutan Kamyaka, disusul
oleh Kakek Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong. Perlahan sosok mereka hilang di
telan kegelapan hutan Kamyaka. Sekarang ketiga dukuh di Karangtumaritis
diambilalih sementara oleh ketiga putra-putri Punakawan. Lengkung Kusuma dan
Endang Nalawati memimpin dukuh Kembangsore dan Blubuktiba sementara Besut
memimpin Dukuh Karang Kadempel.