Matur Salam, para pembaca. Kisah yang kli ini saya tulis menceritakan tentang Dewi Sri dan Batara Sadana, dewi pangan dan dewa sandang yang ada dipuja di Jawa dan Bali. Dikisahkan pula asal mula serangga menjadi hama. Kisah ini mengambil sumber dari blog albumceritawayang.blogspot.com, Serat Pustakaraja Purwa karya Raden Ngabehi Ranggawarsita, dan kisah legenda Dewi Sri dengan perubahan dan pengembangan seperlunya.
Geger
Tisnawati
Kahyangan
hari itu cerah ceria, burung-burung berkicau dan hinggap di pohon-pohon manggadewa
Tangganingjiwa. Suasana yang tenang dikejutkan dengan suara alunan senandung
yang merdu luarbiasa. Batara Guru dan para dewa lainnya mencari sumber suara
itu. ketahuanlah senandung itu dinyanyikan oleh Dewi Tisnawati, salah satu
bidadari taman Kaendran. Parasnya cantik jelita, wajahnya bercahaya bak sinar
bulan purnama. Batara Guru kepincut padanya, lupa kalau dia sudah beristrikan
Dewi Durga. “Tisnawati, indah sekali lagu yang kau senandungkan. Aku ingin
menikahimu menggantikan dinda Durga.” Dewi Tisnawati tidak mau namun ia takut
untuk menolak sang raja dewa. Ia pun membuat permintaan “ampun paduka ulun,
hamba akan memenuhi pernikahan jika paduka ulun bisa memberikan baju yang tak
bisa usang selamanya, makanan yang sekali makan bisa mengenyangkan, dan gamelan
kepyok.” Batara Guru menyanggupi dan mengutus putra Batara Kala dengan Dewi
Permoni, Kala Gumarang untuk mencari benda-benda itu.
Di tengah perjalanan, kala Gumarang lupa tugasnya dan malah terpesona pada Dewi Srilaksmi, istri Batara Wisnu.
Geger Tisnawati |
Mendapati
Kala Gumarang bertukar wujud menjadi babi hutan dan tak mampu kembali ke
kahyangan, Batara Guru marah besar dan memaksa Dewi Tisnawati untuk
melayaninya, Dewi Tisnawati ketakutan dan memilih terjun ke Marcapada. Dia pun
berdoa “Ohh Sanghyang Jagat Pramuditha, Sanghyang Widhi yang maha
Agung...tolong lenyapkanlah tubuhku saja dari dunia ini.” Tuhan Yang maha Kuasa
mengabulkan permintaan sang bidadari. Atmanya menyatu bersama tanaman padi,
jagung, jewawut, buah-buahan, sayur-mayur, dan tanaman-tanaman lainnya.
Sementara tubuhnya yang hancur di tanah ditumbuhi pepohonan dan bertukar
menjadi hutan di Krendhawana.
Terciptanya
Hama Pertanian
Kala Gumarang yang masih berwujud babi hutan mengobrak-abrik hutan dan segala tanaman pertanian di seluruh Jawadwipa. Menyadari Jawadwipa akan ditimpa kelaparan jika dibiarkan, Batara Wisnu dan Dewi Srilaksmi berbagi tugas.
Kala Gumarang Tigas |
Kelahiran
Sri-Sadana
Pada
suatu malam , Prabu Srimahapunggung mendapat mimpi. Di dalam mimpi itu, sang
ayah dan ibunya, Batara Wisnu dan Dewi Srilaksmi akan menitis “anakku, Srigati.
Kami akan menitiskan sedikit sifat kami pada salah satu putra-putrimu. Tolong
jagalah titisan kami baik-baik.” Prabu Srimahapunggung terbangun dan mendapati
istrinya yang tengah hamil tua kesakitan tanda akan melahirkan. Setelah
menunggu beberapa lama, lahirlah sepasang bayi kembar buncing. Anak yang
perempuan dinamai Dewi Sri dan yang laki-laki dinamai Raden Sadana. Tiga tahun
kemudian setelah kelahiran Sri dan Sadana, lahirlah dua putra kembar yaitu
Raden Wandu dan Raden Oya. Keempat putra-putri prabu Srimahapunggung itu tumbuh
menjadi gadis yang cantik jelita dan para pemuda yang tampan. Dewi Sri selain
ayu juga cerdas. Raden Sadana dan kedua adiknya menjadi pribadi yang gentur
tapa dan belajarnya.
Minggatnya
Sri-Sadana
25
tahun telah berlalu, Raden Wandu dan Raden Oya sudah menikah namun tidak bagi
kakak mereka, Dewi Sri dan Raden Sadana. Mereka belum mau menikah. Raden Sadana
enggan menikah bila Dewi Sri belum menikah “ayahanda prabu, bukan anak prabu
tidak mau menikah namun hamba ingin agar Yunda Sri menikah dulu.” “tidak, Dimas
Sadana. Kau harus lah yang menikah dahulu. Tak payah pedulikan kakakmu. Kakak akan
menempuh perjalanan menjadi dewi kahyangan.” Prabu Srimahapunggung menjadi
pusing karena tabiat kedua anaknya. Hingga pada suatu malam Dewi Sri kabur dari
keraton lalu disusul Raden Sadana keesokan harinya.
Kembaranya
Dewi Sri
Di
rimba yang luas, Dewi Sri mengembara dengan bebas. Bisa menari-nari diantara
bunga-bunga, makan buah-buahan hutan yang enak, dan belajar mempraktekkan bela
diri yang ia kuasai. Ia merasa dekat sekali dengan alam hijau terbuka. Lalu ia
tiba di sebuah kampung. Di sana ia bertemu sepasang suami istri bernama Ki
Bawada dan Nimas Patani. Nimas Patani sangat baik hati dan mempersilakan putri
raja Srimahapunggung itu. Dewi Sri ingin pergi melihat dipan balai Nimas Patani.
Di sana, Dewi Sri mengajarkan tata cara membersihkan tempat tidur itu, karena tempat
tidur yang bersih bisa membawa keberkahan dari Tuhan yang Maha Kuasa. Lalu
datang seorang perampok bernama Kalandaru yang telah lama mengincar Dewi Sri di
hutan. Ki Bawada tewas demi melindungi Dewi Sri. Dia berwasiat agar Dewi Sri
dan Nimas Patani segera lari ke desa tetangga.
Dewi
Sri dan Nimas Patani berhasil melarikan diri dan sampai di desa Karanglengki. Di
sana mereka bertemu Ki Buyut Krama dan Nimas Sambawati. Kebetulan Nimas
Sambawati adalah sahabat Nimas Patani. Semenjak minggat dari keraton, Dewi Sri
baru kali ini merasakan lapar. Nimas Sambawati pun menyajikan nasi golong,
pecel, ayam, sayur menir dan sekendi air pegunungan. Dewi Sri merasa berterima
kasih telah disajikan makanan seenak itu. dia kemudian mengajarkan doa ketika
hendak dan sesudah makan dan tata cara menjaga kebersihan dapur, gentong
pedaringan(tempat beras), dan kebersihan kamar mandi. Lalu datanglah Kalandaru dan
gerombolannya mengejar Dewi Sri. Ki Buyut Krama segera menyuruh Dewi Sri,
istrinya, dan Nimas Patani agar mengungsi ke rumah Ki Wangkeng di Mendangwatu.Dewi
Sri dan para nimas segera melarikan diri sementara Ki Buyut Krama tewas setelah
memerangi perampok Kalandaru. Hari pun mulai beranjak petang. Perjalanan ketiga
wanita itu sampai di rumah seorang remaja bernama Nimas Sindura. Kebetulan di
sana ada orang tua Nimas Sindura, yakni Ki Radima dan Niken Sangkep. Mereka
bertiga memohon izin untuk menginap sejenak. Ketiganya disambut penuh hormat
oleh tuan rumah. Ketika itu, Nimas Sindura sedang memetik bunga di taman.
Dilihatnya itu taman dan kebun Ki Radima dipenuhi bunga-bunga dan sayur mayur.
Dewi Sri mengajarkan mereka tata cara merawat taman dan kebun serta bagaimana
doa agar kebun dan taman tetap subur. Setelah puas beristirahat, dini hari itu Dewi
Sri, Nimas Sambawati, dan Nimas Patani melanjutkan perjalanan. Karena hari
masih gelap, keluarga Ki Radima ikut mengantarkannya ke desa Mendangwatu. Di
tengah jalan, rombongan Dewi Sri bertemu seorang pengembara muda bernama Umbul
Manggala bersama sepasang sapi miliknya. Sapi jantan milik Umbul Manggala
sedang sakit karena luka peradangan di kakinya. Dewi Sri segera mencari
dedaunan obat lalu berdoa pada Yang Maha Kuasa. Ajaib, luka itu langsung sembuh
atas kemurahan Yang Maha Kuasa. Dewi Sri bertanya padanya “nak Umbul, hendak
kemana kamu tengah malam begini?” “begini, gusti putri, hamba tidak punya
tempat tinggal. Rumah hamba dibakar perampok. Hamba berhasil melarikan diri
bersama sepasang sapi saya ini.” Mendengar kisah itu, Dewi Sri merasa kasihan.
Ia menawarkan agar ikut dengannya ke desa Mendangwatu. Dia juga mengajarkan
Umbul Manggala tata cara merawat hewan yang sakit dan cara membersihkan
kandang. Sebagai tanda terima kasih, Dewi Sri dipersilakan naik ke atas
punggung sapi betina milik Umbul Manggala. Tibalah rombongan Dewi Sri di desa
Bojakata. Kala itu desa Bojakata sedang ditimpa kelaparan. Padi-padi di sawah
dan lumbung dimakan wereng dan ulat merah, begitu juga pohon buah-buahan, tanaman
sayur-mayur, jagung, dan jawawut yang ada di sana. Lalu mereka singgah di rumah
salah satu warga di sana yaitu Ki Warahas dan Niken Pitengan. Dewi Sri ikut
membantu mereka dan warga desa membasmi hama dan ia pun berdoa agar hama-hama
dan penyakit minggat dari desa Bojakata. Setelah beberapa hari, hama wereng dan
ulat merah benar-benar pergi dan hila ng. Dewi Sri juga mengganti nama Niken
Pitengan menjadi Niken Martani dan Ki Warahas menjadi Ki Buyut Muskala karena
nama adalah sebuah doa yang mungkin bisa baik atau buruk pengaruhnya. Di sana
ia mengajarkan pada mereka tatacara menjaga kebersihan lumbung dan gudang.
Pertemuan
Kembali
Di
tengah perjalanan, rombongan Dewi Sri bertemu dengan rombongan Raden Sadana.
Dewi Sri sangat senang bertemu kembali dengan saudara kembarnya itu bahkan kini
Raden Sadana sudah menikah dengan putri Begawan Brahmanaresi, saudara prabu
Bremana yakni Dewi Laksmitawahini. Kini mereka bersama-sama menuju ke desa
Mendangwatu. Sesampainya di sana, mereka disambut baik oleh kepala desa
Mendangwatu, Ki Buyut Wangkeng dan Niken Sani. Di sana sedang panen padi. Ki Buyut
Wangkeng sedang menjemur padi sementara Niken Sani dan para putrinya sedang
menumbuk padi dengan alu dan lesung. Dewi Sri dan Raden Sadana merasa tentram
mendengar suara lesung yang ditabuh itu.
Dia memerintahkan Niken Sani dan suaminya agar suara-suara itu dilestarikannya sebagai
tradisi Jawadwipa. Sejak kedatangan Dewi Sri dan Raden Sadana, kehidupan di
penjuru Jawadwipa menjadi makmur dan tentram. Namun tiba-tiba datanglah
Kalandaru dan para perampok. Kali ini mereka datang dengan pemimpin mereka
yaitu Pulaswa. Mereka menghancurkan dan membakar seluruh desa Mendangwatu. Para
pria membantu kedua junjungan mereka. Ki Buyut Wangkeng dan Umbul Manggala mematrapkan
Aji Pangasrepan untuk menurunkan hujan es dan angin dingin. Awalnya para
perampok yang terdesak namun setelah Pulaswa turun tangan, lama-lama keduanya
mulai terdesak. Dewi Sri dan Raden Sadana segera memerintahkan pengikut mereka
agar segera melarikan diri. Pulaswa melihat paras Dewi Sri menjadi terpesona dan
dengan kesaktiannya, dia menculiknya. Dibawalah Dewi Sri ke puncak gunung dan
minta untuk dilayani. Tentu saja, Dewi Sri menolak. Karena memberontak dan
meronta-ronta, Dewi Sri terjatuh ke jurang . Dewi Sri berdoa sambil memanggil datuknya,
Batara Wisnu” Eyang Wisnu, tolong cucumu.” Keajaiban terjadi. Datanglah kendaraan
Batara Wisnu, Garuda Brihawan mengangkat tubuh Dewi Sri. Sementara itu Raden
Sadana dan para punakawannya berhasil mengalahkan para perampok. Bahkan Pulaswa
dan Kalandaru berhasil ditewaskan Raden Sadana.
Adhege Sri Ngawanti
Para
pengikut Dewi Sri dan Raden Sadana telah menunggu di pinggir desa menatap getir
desa Mendangwatu yang kini merah membara dimakan si jago merah. Pandangan getir
itu seketika hilang dengan kembalinya Dewi Sri dan Raden Sadana. Merka kembali
mengembara dan sampailah di Hutan Medangagung. Tanah di hutan itu sangat subur
dan di sana mereka mendirikan desa baru. Setelah selesai, para pengikut Dewi
Sri dan raden Sadana mengadakan jamuan syukur. Dewi Sri, Raden Sadana, dan Dewi
Laksmitawahini yang kini sedang hamil muda memutuskan untuk memulai hidup baru
di desa itu. Desa baru itu dinamai Desa Sri Awanti, namun karena lidah orang Jawadwipa
nama desa berubah menjadi Sri Ngawanti.
Kutuk
Pasu Srimahapunggung
Berbulan-bulan telah berlalu, pasukan kerajaan Purwacerita mencari-cari keberadaan Dewi Sri dan Raden Sadana. Tiap gunung, lembah, dan bukit ditelusuri. Mereka juga menelusuri berbagai desa dan kampung. Banyak warga-warga desa mengatakan kedatangan Dewi Sri dan Raden Sadana membawa desa mereka menjadi makmur dan tumbuh berkembang. Para pasukan Kerajaan Purwacerita segera melaporkan laporan itu pada Prabu Srimahapunggung. Prabu Srimahapunggung memutuskan untuk ikut mencari mereka. Berhari-hari setelah sang prabu sendiri turun tangan, akhirnya mereka menemukan Dewi Sri dan raden Sadana di desa Sri Ngawanti. Sang prabu gembira hati karena sudah berjumpa dengan kedua putra-putrinya. Prabu Srimahapunggung meminta kedua anaknya itu kembali lagi ke keraton namun Dewi Sri dan Raden Sadana menolak karena ingin tinggal bersama rakyat saja. Merah padamlah telinga dan muka ayah mereka itu dan murkalah ia “Kalian berdua, lebih suka tinggal di hutan.
Kutuk pasu Srimahapunggung |
Titisan
Dewi Tisnawati
Di
desa Wasutira, kepala desa itu, Kyai Brikhu dan Niken Sanggi tak kunjung
dikaruniai anak dikarenakan Niken Sanggi mandul. Namun mereka tak putus asa
memohon pada Sanghyang Widhi yang Maha Berkehendak. Lalu datang mimpi kepada
Kyai Brikhu bahwa sebentar lagi Niken Sanggi hamil titisan Dewi Tisnawati dan
saat hari kelahiran anaknya, akan datang seekor ular sanca besar di dalam
lumbung yang akan menjadi ibu peri sang anak. Benar saja, sepekan setelah mimpi
itu datang, Niken Sanggi hamil. Sembilan bulan telah berlalu. Tibalah hari
kelahiran anak mereka dan lahirlah anak perempuan yang cantik. Karena
cantiknya, anak mereka diberi nama Niken Raketan. Hari itu beras di rumah
habis, maka Kyai Brikhu mengambil gabah yang ia simpan dalam lumbung untuk
ditumbuk. Betapa terkejutnya ia melihat ada ular sanca besar tidur melingkar di
atas gunungan gabah dan padi.”mungkin ini ular yang akan jadi ibu peri
anakku”gumamnya. Ular sanca itu lalu ia bawa ke kamar tengah, tempat anaknya
biasa dibaringkan. Sejak saat itu, Kyai Brikhu dan istrinya merawat ular itu
bersama Niken Raketan bagaikan anaknya sendiri.
Saban hari, mereka memberi makan ular itu dengan katak dan tikus. Lalu
pada suatu malam, Kyai Brikhu bermimpi didatangi si ular. Dia berbicara“Ki
sanak, aku tidak mau makan katak dan tikus. Aku hanya ingin sirih pinang,
bunga, dan lampu yang terus menyala.” Kyai Brikhu menaati kemauan si ular. Maka
sejak hari itu, tiap malam di kamar tengah selalu tersedia sirih beserta
perlengkapannya, bunga dan lampu yang menyala sepanjang malam.
Kesewenang-wenangan
Batara Guru
Batara
Guru sangat gusar karena tiba-tiba kahyangan kacau-balau. Banyak angin ribut,
Bumi Gonjang-ganjing, langit kolap-kalip. Huru-hara banyak berlaku. Dia melihat
melalui Mustika Retnadumilah bahwa Dewi Tisnawati telah menitis kepada anak
Kyai Brikhu yaitu Niken Raketan. Ia memerintahkan para dewa untuk mencelakai
bayi Niken Raketan agar Dewi Tisnawati mau keluar dari tubuh sang bayi. Yang
pertama kali diutus adalah Batara Kala, sang dewa malapetaka dan pasukannya.
Dia berangkat dalam wujud serigala. Sementara itu Kyai Brikhu yang sedang tidur
siang mendapat mimpi dari sang ular “Ki sanak, sebentar lagi akan datang
gerombolan serigala ke hendak membunuh bayi ki sanak. Cepat lumuri pintu
rumahmu dengan belerang dan asapi dengan daun kelapa tiga kali. Lalu kelilingi
rumah dan sajikan nasi punar dengan lauk hati sambil bermantra Batara Kala.”
Kyai Brikhu terbangun dan segera melaksanakan nasihat itu. Malam harinya
gerombolan serigala itu tak mampu menemukan rumah Kyai Brikhu dan gagal
membunuh Niken Raketan lalu kembali ke Kahyangan. Hari berikutnya, Batara Guru
mengutus Batara Brahma. Dia berangkat dalam wujud banteng liar. Kyai Brikhu
mendapat mimpi lagi dari si ular sanca “ki sanak, cepat asapi rumah mu dengan
kulit bawang merah dan daun kelapa tiga kali. Pasang daun nanas di atas kusen
pintu. Jangan lupa kelilingi rumah dan sajikan nasi merah, sayur rebus, gantal,
dan seperangkat kinang sambil bermantra Batara Brahma.” Kyai Brikhu terbangun
dan segera melaksanakan perintah itu. malam harinya gerombolan banteng liar
datang mengobrak-abrik desa namun mereka gagal membunuh Niken Raketan. Hari
selanjutnya, Batara Wisnu sendiri yang datang dalam wujud babi celeng. Kyai
Brikhu lagi-lagi mendapat mimpi dari ular sanca “Ki sanak, cepatlah bangun.
Sebentar lagi sepasukan babi celeng akan menyerang desa dan rumah ki sanak.
Segera asapi pintu rumahmu dengan daun kelapa dan daun tanjung tiga kali.
Jangan lupa kelilingi rumah dan sajikan nasi hitam dengan lauk ikan laut sambil
bermantra Batara Wisnu.” Kyai Brikhu bangun dan segera melaksanakna nasihat itu.
malam harinya gerombolan babi celeng mengobrak-abrik seisi desa namun sama
seperti sebelumnya, gagal mencelakai bayi Niken Raketan.
Batara
Guru menjadi gusar dan memutuskan untuk berangkat secara langsung disertai para
dewa. Mereka berubah wujud menjadi berbagai macam hewan mulai dari kerbau,
banteng, nyamuk, kalajengking, serigala, tikus, burung gagak, kambing, dan
Batara Guru sendiri berubah menjadi raja ikan. Dewi Sri dalam wujud ular segera
memberikan nasihat kepada Kyai Brikhu “ ki sanak, sebentar lagi berbagai
malapetaka akan datang ke desa ki sanak. Bangunkan setiap orang di desa dan
jangan sampai lalai dengan gendongan Raketan. Kumpulkan mereka sekarang juga
dan selenggarakan upakara menolak bala.” Malam harinya, asap dupa dan kemenyan
mengebul dimana-mana. Berbagai banten sesajian diletakkan segala penjuru desa.
Penjor janur kuning ditegakkan di gerbang desa. Seisi desa berkumpul di
lapangan desa dan segera melukat diri mereka dengan tirta suci pancuran lalu segera
memanjatkan do’a pada Sanghyang Widhi yang Maha Kuasa agar bala bencana
tertolak dari desa Wasutira. Hal yang paling ditakutkan tiba. Hewan-hewan
penjelmaan para dewa datang menyerang dan mengobrak-abrik seluruh penjuru desa bersamaan
dengan datangnya berbagai bala bencana. Bumi gonjang-ganjing langit
kolap-kalip. Angin topan menderu. Hujan turun lebat tak terkendali. Halilintar
menyambar-nyambar. Desa dilanda ketakutan. Namun, penduduk desa Wasutira tetap
memanjatkan do’a dengan khusyuk tanpa tergoda sedikitpun untuk meninggalkan
desa. Niken Sanggi dibantu beberapa wanita tak sedikitpun lengah dalam
menggendong Niken Raketan. Ketika keadaan semakin kritis, muncul kekuatan besar
seperti cahaya menerangi seisi desa. Dan bersamaan itu pula berbagai bala
bencana perlahan mereda dan akhirnya berhenti. Para dewa termasuk Batara Guru
gagal mencelakai bayi Niken Raketan.
Gugatnya
Batara Narada (Daruna-Daruni nitis)
Batara
Guru segera mengutus istrinya, Dewi Durga, Dewi Saraswati, istri batara Brahma dan
Dewi Srilaksmi, istri Batara Wisnu menyelidiki apa yang menyebabkan para dewa
tidak bisa mendekati Niken Raketan. Tiga dewi kahyangan turun dan menyamar
sebagai burung gelatik lalu hinggap di lubang angin rumah Kyai Brikhu. Ketika
melihat ke dalam ruang tengah, bayi Niken Raketan sedang tidur di atas punggung
seekor ular sanca. Tiga dewi itu melihat melalui mata batin dan mereka tersadar
ular itu adalah jelmaan Dewi Sri yang sedang menjalani hukuman kutukan. Tiga
dewi itu merasa kasihan melihat bayi seimut itu harus dicelakai demi ruh
titisan bidadari. Ketiganya segera kembali ke kahyangan dan meminta gugat
kepada Batara Guru. Batara Narada menengahi dan mengingatkan kembali
junjungannya itu “Adi Guru tolong pikirkanlah sekali lagi. Adi Guru akan
mendapatan hukuman dari Yang Maha Kuasa demi menghabisi nyawa bayi tak bersalah
demi kepuasan pribadi Adi Guru. Jikalau Adi Guru menginginkan ruh Tisnawati,
maka adi guru harus mengganti saja ruhnya dengan dewi lain pada Raketan. Lagipula,
Tisnawati sendiri ingin menjalani hidupnya sebagai ruh tumbuh-tumbuhan tanpa
gangguan Adi Guru.” Batara Guru menimbang-nimbang pendapat Batara Narada memnag
benar tpi ia bingung mencari jalan keluarnya. Kebetulan sekali, para dewa tiba-tiba
datang membawa dua penduduk kahyangan bernama Batara Daruna dan Dewi Daruni.
Dua bersaudara ini kedapatan melakukan hubungan sumbang, saling berzina satu
sama lain. Batara Guru mendapat jalan keluar. Batara Guru berkata pada Daruna
dan Daruni “mulai hari ini, kalian berdua harus menjalani sengsara di dunia,
menitis sebagai manusia. Daruna, kau akan menitis pada putra Sadana dan kau
Daruni, kau menitis pada Niken Raketan menggantikan Tisnawati.” Setelah itu
kedua dewa-dewi yang terhukum itu segera turun ke marcapada.
Lahirnya
Arya Suganda
Pada
saat yang sama, Dewi Laksmitawahini sudah hamil tua hampir waktunya melahirkan.
Dia tetap setia menanti kepulangan Raden Sadana. Lalu pada saat nya Dewi
Laksmitawahini bersalin. Saat itu datang seekor burung walet masuk ke rumah
Dewi Laksmitawahini. Saat itu Umbul Manggala sedang menunggui istri
junjungannya itu terganggu dengan burung walet yang terbang kesana-kemari.
Akhirnya Umbul Manggala melepaskan anak panah dan jrass tertancaplah anak panah
itu ke dada burung walet. Ajaib, burung walet kembali berubah menjadi Raden
Sadana. Bulu-bulunya berubah menjadi gulungan panjang kain katun yang halus.
Umbul Manggala berlutut minta maaf tidak tahu bahwa burung walet itu jelmaan
Sadana. Lalu terdengarlah tangisan bayi. Lalu masuk lah ia ke kamar. Dewi Laksmitawahini
melahirkan anak laki-laki yang sehat. Raden Sadana memberi nama anaknya itu
Arya Suganda. Dia kemudian memakaikan kain panjang jelmaan bulu-bulunya sebagai
bedong untuk anaknya. Umbul Manggala bertanya bagaimana ia bisa kembali. Raden
Sadana bercerita bahawa setelah meneria kutukan, ia terus mengembara sebagai
burung walet memakan hama-hama tanaman padi, jagung, jawawut, sayur mayur, dan
buah-buahan di penjuru Jawadwipa. Ia terus mengembara sampailah ia memutuskan
kembali ke desa Sri Ngawanti. Tak lama kemudian datang Batara Indra memberi
kabar “anakku Sadana, sudah saatnya kamu mendapatkan derajat sebagai dewa. Aku
kesini ingin menjemputmu ke kahyangan.” “ampun pukulun, berilah hamba waktu
sampai saudari saya, Sri menjadi dewi juga.” Batara Indra mengerti dan akan
kembali lagi jika sudah saatnya tiba.
Dewi
Sri kembali jadi manusia
Sementara
itu para bidadari datang membujuk Dewi Sri agar bersedia menjadi dewi kahyangan
“Dewi Sri, kami para bidadari datang diutus Sang Batara Guru Siwa Manikmaya
untuk menjemputmu untuk menjadi dewi di kahyangan para dewa” “aku akan penuhi
dan naik sebagai dewi tapi ada syaratnya.” Para bidadari bertanya “apa
syaratnya, putri batara Srigati?” Dewi Sri menjawab :aku ingin saudara saya,
Sadana yang sekarang menjadi burung walet dikembalikan wujudnya sebagai
manusia.” Para bidadari kembali ke kahyangan namun mereka mendapat berita dari
Batara Narada bahwa Raden Sadana telah kembali ke wujud manusianya semula. Maka
para bidadari membawa kabar ini kepada Dewi Sri. Dewi Sri merasa sangat gembira
mendengar kabar itu. karena permintaannya terkabul, maka Dewi Sri yang berwujud ular dikembalikan
ke wujud asalnya, sebagai gadis cantik jelita. Tapi Dewi Sri masih khawatir
tentang nasib Niken Raketan namun para bidadari mengatakan bahwa Niken Raketan
tidak akan dicelakai namun hanya ditukar rohnya. Benar saja datanglah ruh Dewi
Daruni masuk menyatu dengan bayi Niken Raketan disusul keluarnya Dewi
Tisnawati. Dewi Tisnawati memutuskan ikut bersama Dewi Sri.
Pesan
untuk Kyai Brikhu
Sebelum
pergi, Dewi Sri ingin berpamitan pada Kyai Brikhu dan Niken Sanggi. Terkejutlah
kepala desa Wasutira itu dan istrinya melihatnya “cah ayu, nanda siapa dan
kenapa kamu bisa ada di sini?” Dewi Sri menjawab Aku Dewi Sri, putri Prabu
Srimahapunggung. Aku adalah ular sanca yang menjaga Raketan” terkejutlah Kyai
Brikhu dan Niken Sanggi menyadari si ular yang membantu mereka adalah putri
raja mereka. Dewi Sri kemudian berpamitan
“terima kasih Ki sanak dan Ni sanak sudah merawat saya. Berkat bantuan
Ki sanak, saya bisa kembali ke wujud asal. Sebelum saya pergi ada satu pesanan
dari saya. Agar sandang dan pangan keluaraga ki sanak terpenuhi, jangan lupa
meletakkan sesajian di ruang tengah rumah ki sanak.” Usai berpamitan, Dewi Sri
menghilang dari pandangan dan terbang ke kahyangan. Dalam perjalanan menuju
kahyangan, ia kembali bertemu dengan saudaranya, raden Sadana yang juga
diangkat menjadi dewa setelah kelahiran putranya. Kelak diramalkan anak Sadana
akan berjodoh dengan anak asuh Dewi Sri dan menurunkan raja-raja besar di
Jawadwipa.
Sri
Sadana Makahyangan
Kedatangan Dewi Sri dan Raden Sadana disambut oleh Batara Guru dan para dewa lainnya. Batara Guru bertanya “anakku Sri dan Sadana. Setelah kamu berdua menjadi Dewa-Dewi nanti, adakah keinginan kalian yang ingin aku wujudkan?” dewi Sri kemudian mengutarakan “Ampun...paduka Ulun, hamba hanya ingin sebuah kereta yang ditarik dua Lembu Gumarang dan sebuah cambuk dari naga.” Batara Guru mengerti arti kiasan itu. Dewi Sri ingin menjadi dewi pangan dan pertanian. Batara Guru mendekat ke Raden Sadana dan bertanya apa permintaanya. Lalu Raden Sadana mengajukan keinginan “saya hanya ingin duduk dekat saudari saya. Saya juga ingin mempunyai karung berisi penuh kapuk dan kapas.” Batara Guru paham bahwa Raden Sadana ingin menjadi Dewa sandang-papan dan selalu bersama saudarinya.
Dewi Sri dan Raden Sadana menjadi dewa |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar