Matur salam bagi pembaca semua, penulis kali ini mengisahkan tentang keluarga Prabu Makukuhan. Prabu Makukuhan ini terkenal sebagai raja Purwacerita yang baik namun juga kejam karena ketitisan dua dewa sekaligus dan saling bertolak belakang. Kisah ini juga mengisahkan keluarga dan keturunan sang prabu yang kelakuannya melenceng dan agak bejat. Dikisahkan pula bagaimana terbentuknya penanggalan Pranata Mangsa, legenda terbelahnya Jawadwipa dan Suwarnadwipa, dan terbentuknya upacara Metri Desa (Ruwah Desa atau Bersih Desa). kisah ini bersumber dari blog albumkisahwayang.blogspot.com dan Serat Pustakaraja Purwa karya Raden Ngabehi Ranggawarsita yang telah diubah dan dipadukan dengan imajinasi penulis
Raja
Titisan Dua Dewa (Pembagian pasaran dan musim)
Kedamaian
antara para dewa dengan para raksasa tercipta kembali setelah tewasnya Ditya
Hiranyaksa dan Prabu Hiranyakasipu. Daratan Jawadwipa teratur kembali sejenak,
namun para manusia kehilangan sosok panutan karena Daratan Jawadwipa tidak ada
raja atau pun pemimpin yang benar. Para penduduk Jawadwipa generasi muda
kembali hidup tanpa tuntunan, hidup mereka laiknya hewan. Ajaran dharma seakan
terlupakan. Tibalah saatnya Batara Wisnu turun kembali ke bumi, menitis sebagai
manusia. Batara Wisnu menitis pada seorang raja bernama Prabu Makukuhan,
keturunan Maharesi Kasyapa. Adiknya, Raden Jakapuring menjadi patihnya. Batara
Rudra Rancasan di kahyangan Tunjungkresna yang sangat angkara tak tinggal diam.
Dia ikut bersemayam dalam diri Prabu Makukuhan. Sehingga ada dua dewa yang
saling bertolak belakang menitis dalam satu orang manusia. Singkat cerita,
prabu Makukuhan dan adiknya mendirikan negeri bernama Purwacerita. Dengan
kekuasaannya dan kapabilitsnya sebagai titisan Wisnu, ajaran dharma kembali ke
daratan Jawadwipa. Lalu datanglah seorang resi sakti bernama Maharesi Radi.
Oleh sang raja, ia dijadikan ahli ilmu falak. Berkat bantuan Maharesi Radi,
pembagian hari lima terbentuk lagi. Awalnya pembagian sepekan lima hari itu
dinamai Sri, Brahma, Kala, Wisnu, dan Guru/Siwa. Karena masyarakat Jawadwipa
menganggap nama-nama ini adalah tabu karena ini adalah nama para dewa, jadi
mereka menyebutnya pasaran Putih, Merah, Kuning, Hitam, dan Mancawarna. Oleh
Maharesi Radi, istilah itu diperkenalkan kembali dengan nama baru yakni
Legi/Umanis, Pahing/Pait, Pon/Jene, Wage/Cemengan, dan Kliwon/Kasih,
Pada waktu itu, masyarakat Hindustan dan Jawadwipa masih belum bisa bertani atau berladang karena tidak tahu tentang musim-musim dalam setahun. Maharesi Radi berpikir keras bagaimana cara membagi musim. Dengan melihat pergerakan matahari dan tanda-tanda alam yang menyertainya, setelah setahun, Prabu Makukuhan dan Maharesi Radi mengumpulkan para resi dan kaum cerdik pandai.
Pembagian musim (Pranata Mangsa) |
Makukuhan
yang Pahit Lidah
Pada
suatu hari, Prabu Makukuhan mendapati kedua istrinya, Dewi Nastiti dan Dewi
Wagemi yang sedang mandi di puncak gunung Kampud (kini namanya Kelud) saling
berpelukan dalam keadaan telanjang dan saling bercumbu rayu. Mereka saling
mengecup bibir dengan penuh nafsu laiknya pasangan lelaki dan perempuan dewasa
yang jatuh cinta. Mendapati kedua istrinya menyimpang dari kodrat, murkalah ia
“Terkutuk perbuatan menyimpang kamu berdua. Kalian berdua tak lebih dari
sepasang buaya!” tiba-tiba halilintar menyambar mereka dan mereka pun tewas.
Jasad mereka berubah menjadi sepasang buaya putih. Setelah kehilangan
istri-istrinya, Prabu Makukuhan menikah lagi dengan Dewi Subur, putri dari
Maharesi Radi. Dari pernikahannya kali ini,lahirlah putri yang cantik yaitu
Dewi Srigarnati.
Sengkan-Turunan
Pada
suatu hari, anak cucu Putut Jantaka yang berwujud hewan datang ke Purwacerita.
Mereka adalah Kutila Pas yang berwujud monyet, Tikus Jinada, Mahesa Kalamurti,
Lembu Kalasrenggi, Celeng Demalung, Bulus Pas, dan Kidang Unjung. Mereka
menghadap karena di hutan sedang kurang makanan. Prabu Makukuhan mengijinkan
mereka makan tapi jangan sampai mengganggu sawah dan ladang milik para
penduduk. Namun Kutila Pas bertindak jahil. Dia memakan buah-buahan yang ada di
ladang. Saudara-saudaranya pun jadi tergoda. Tikus Jinada dan kelompoknya
memakan habis padi. Pasukan monyet Kutila Pas mencuri buah-buahan. Celeng Demalung, Kidang Unjung, Mahesa
Kalamurti dan Lembu Kalasenggi beserta pasukan mereka menyeruduk dan merobohkan
padi dan pepohonan. Prabu Makukuhan dan pasukannya kelimpungan menghadapi
pasukan hewan-hewan hama itu. lalu datanglah seorang resi bernama Begawan Handa
beserta para putranya, Bambang Sengkan dan Bambang Turunan. Begawan Handa,
Bambang Sengkan dan Bambang Turunan menawarkan bantuan untuk mengusir hama-hama
yang dibawa anak cucu Putut Jantaka. “ampun, anak prabu Makukuhan. Hamba
Begawan Handa, resi dari Andongdadapan. Menurut pengamatan hamba, hama-hama ini
bukan hama biasa. Hanya bisa diusir dengan kentongan sakti milik anak hamba,
Sengkan dan Turunan. Biarkanlah anak-anak hamba yang mengusir mereka.” “baik
bapa begawan. Aku ijinkan putra-putramu mengusir mereka.”
Bambang
Sengkan dan Bambang Turunan segera memukul kentongan sakti mereka. Seketika
datang angin besar mengusir gerombolan monyet, tikus, dan celeng. Kidang Unjung
dan Bulus Pas segera membantu saudara mereka dengan menyebarkan hawa penyakit.
Bambang Sengkan dan Bambang Turunan kembali memukulkan kentongan lalu muncullah
hujan Toyanirmala. Hancurlah hawa penyakit semua. Prabu Makukuhan berniat
menghabisi seluruh ketururnan Putut Jantaka namun datanglah Putut Jantaka yang
kini telah dilantik menjadi dewa, “Ampun, pukulun Wisnu. Jangan sakiti dan
habisi ketururunan hamba. Aku meminta maaf atas kesalahan mereka.” Prabu
Makukuhan menerima permintaan maaf itu namun anak cucunya harus tetap dihukum “baiklah,
aku akan memaafkan mereka namun sebagai hukumannya anak cucumu hanya boleh
tinggal di tempat yang sempit, di lumbung, selokan, hutan, dan tempat-tempat
gelap tidak boleh mengganggu tanaman para petani lagi dan hanya makan makanan
sisa manusia.” Namun Prabu Makukuhan tertarik pada Mahesa Kalamurti dan Lembu
Kalasrenggi. Sebagai hadiah akan ketulusan Putut Jantaka, dua anak keturunannya
yang berwujud lembu dan kerbau, Kalamurti dan Kalasrenggi beserta pasukannya
tetap boleh tinggal dan membantu petani dengan imbalan rumput segar dan
alang-alang sebagai makanannya. Putut jantaka menerima kepututsan Prabu
Makukuhan dan ia pun kembali ke alam dewata. Sementara pasukan anak-anaknya
kecuali Kalamurti dan Kalasrenggi memutuskan tinggal di hutan.
Minggatnya
Batara Wisnu
Berkat
bantuan dari Begawan Handa dan anak-anaknya, Prabu Makukuhan menikahkan Dewi
Srigarnati pada Bambang Sengkan. Namun, malapetaka terjadi, Bambang Sengkan
mendadak tewas karena ditenung dan Dewi Srigarnati diculik oleh Prabu
Karungkala, raja dari Pidanapura di kaki gunung Dompo. Di tengah jalan, saudara
Bambang Sengkan yaitu bambang Turunan mencegat Prabu Karungkala “lepaskan
Srigarnati, raja rendahan. Berani bermain belakang dengan menenung saudaraku
dan melarikan mempelai. Tidak akan aku maafkan.” “welehh...budak kemarin sore
mau mengalahkan aku? Siapa takut.” Pertarungan cukup sengit. Akhirnya bambang
Turunan berhasil membawa pulang Dewi Srigarnati dan Prabu Karungkala yang kalah
melarikan diri. Dilangsungkanlah pernikahan antara Bambang Turunan dengan Dewi
Srigarnati. Beberapa hari kemudian setelah pernikahan mereka, Prabu Makukuhan
berniat melakukan aksi balas dendam dengan menggempur Pidanapura. Prabu
Karungkala tewas mengenaskan dan seluruh penduduk Pidanapura yang tidak tahu
apa-apa ikut dibantai. Prabu Makukuhan semakin beringas seperti orang gila yang
kesetanan. Dalam perjalanan pulang, ia bantai setiap orang yang ada. Batara
Wisnu yang bersemayam dalam tubuh Prabu Makukuhan tidak kuat dengan hawa panas
penuh nafsu yang tak terkendali dan keluar dari raga sang prabu. Malah yang
kini bersemayam adalah Batara Rudra Rancasan yang sangat angkara. Sampailah ia
di gunung Batuwara. Disana ada sesosok petapa. Patih Jakapuring menasihati sang
kakak “kakanda jangan mengganggu petapa. Sebuah dosa besar bila kita mengganggu
petapa yang sedang tapabrata.” Namun ia tak peduli akan nasihat sang adik. Tanpa
belas kasih ia bunuh petapa itu, ia cincang dan minum darahnya.
Para
dewa menerima kedatangan batara Wisnu yang baru keluar dari diri Prabu
Makukuhan. Batara Wisnu segera memberithukan keadaan Prabu Makukuhan kepada
Batara Guru “ampun,pukulun ayahanda Guru. Hamba memilih meninggalkan Makukuhan
karena ada uwa Rudra di dalam sana. Awalnya kami berbagi ruang bersama namun
semakin lama uwa Rudra semakin berkuasa. Makukuhan harus kita sadarkan. Semakin
lama dbiarkan semakin banyak korban berjatuhan.” “begitu ternyata. Kita hanya
bisa berdoa kepada Yang Maha Kuasa. Dia lah sang pembolak-balik hati. Semoga
murkaNya tidak segera turun.” Sejenak muncul suara dari langit. Suara itu
menyerukan bahwa murka Tuhan harus segera diberikan pada Makukuhan melalui para
dewa karena telah ia membunuh seorang petapa dan sudah banyak menghabisi orang
yang tak bersalah. Para dewa tak bisa menyangkal keputusan dari Tuhan. Para
dewa kemudian mengirimkan bencana kepada Prabu Makukuhan.
Terbelahnya
Daratan Jawadwipa
Setelah membunuh sang petapa datanglah malapetaka. Gunung Batuwara meletus dahsyat disertai gempa bumi besar yang membuat daratan Jawadwipa ambles sangat dalam. Langit menjadi gelap dsertai kilatan petir. Batu-batu panas dari dlam bumi menyembur keluar. Mendadak ada hujan badai disertai gelombang pasang dari dari Laut Utara dan Selatan. Gelombang pasang itu membawa air laut yang menggelora. Air pasang itu menenggelamkan prabu Makukuhan dan pasukannya hingga tewas. Tinggallah Patih Jakapuring yang selamat dengan tubuh tersangkut cabang
Terbelahnya Jawadwipa dan Suwarnadwipa |
Konfrontasi
Berujung Tragedi (Palidriya Lahir)
Patih
Jakapuring mendapati Purwacerita sudah diperintah raja baru yaitu prabu Turunan
bergelar Kandihawa, menantu Prabu Makukuhan. Patih Jakapuring curiga kenapa
bisa-bisanya dia menduduki takhta Purwacerita tanpa persetujuannya,
“bisa-bisanya ananda Turunan menjadi raja sementara mertua ananda baru saja
tewas.” “kalau tidak ada raja, bagaimana rakyat Purwacerita nantinya. Aku
mendapat kabar matinya ayahanda mertua dari para dewa. Maka seteluh usulan para
sesepuh yang ada memutuskan harus dinda Sriganarti yang memegang tampuk
kekuasaan. Aku menjadi raja hanya sebagai wakilnya saja.” Namun patih
Jakapuring tak percaya dan membuat keretakan hubungan mereka. Karena semakin
panas, Patih Jakapuring bersama istrinya yang bernama Dewi Widehiya dan para
pengikutnya memutuskan untuk pergi dan membuat negeri baru bernama Gilingaya
dan menjadi raja di sana bergelar Heryanarudra.
Tahun-tahun
pun berlalu, kedamaian antara kerajaan Purwacerita dan Gilingaya belum
tercapai. Waktu itu Prabu Turunan Kandihawa berperang dengan Prabu
Heryanarudra. Namun Prabu Tururnan Kandihawa gugur. Kerajaan Purwacerita
menjadi kota mati karena semua penduduknya dibantai. Namun Dewi Srigarnati yang
kala itu sedang hamil tua mampu menyelamatkan diri bersama beberapa
pengikutnya. Ketika sampai di desa Pantireja, Dewi Sriganarti dan para
pengikutnya sakit. Kepala adat Pantireja, yaitu Resi Sucandra atau kadang
dipanggil Anggiras, cucu Maharesi Bregu yang masih keturunan Batara Brahma
menolong mereka. Tiba-tiba Dewi Sriganarti sakit perutnya hendak melahirkan.
Akhirnya lahirlah seorang bayi laki-laki yang tampan. Sang ibu memberinya nama
Raden Respati karena ia lahir saat planet Wrespati terlihat di langit malam.
Sang dewi merawat anaknya dengan penuh kasih namun selang setahun kemudian,
Dewi Sriganarti kembali jatuh sakit karena merindukan sang suami yang telah
gugur. Kali ini sakitnya tak tertolong. Ia pun meninggal dengan penuh
kepedihan. Sebelum meninggal, sang ibu menitipkan sang putra pada Resi Sucandra
dan memintanya untuk diasuh dengan baik. Resi Sucandra menjadikan raden Respati
sebagai muridnya. Diantara para muridnya, hanya Raden Respati yang paling jago dalam
kitab suci dan ahli peperangan. Raden Respati tak puas berguru pada satu orang.
Ia kemudian berguru pada Maharesi Radi di desa Andong Dadapan. Setelah dewasa,
Raden Respati menjadi resi dan menikahi Dewi Soma, putri Resi Sucandra. Mereka
dikaruniai tiga orang putra yang kelahirannya bersamaan dengan munculnya tiga
planet, yakni Raden Anggara, Raden Buda, dan Raden Sukra. Diantara mereka Raden
Sukra yang paling luhur sehingga ia dapat menjadi dewa dan menjadi sahabat baik
Batara Resi Wrehaspati.
Sintawaka,
Dewi Basundari dalam Tubuh Wandu
Prabu
Heryanarudra memerintah Gilingaya dengan sangat baik. Pada suatu hari Prabu
Heryanarudra sedang pergi ke hutan untuk memikat burung. Dilihatnya ada pohon
aren/enau yang dihinggapi banyak burung . Para prajurit yang mengawalnya
diperintahkan untuk menebang dahan pohon aren dan mengucurlah air nira dari
dalamnya. Prabu Heryanarudra sangat senang mencicipi air nira itu karena terasa
sangat manis. Ia segera memerintahkan para prajurit untuk mengumpulkan air nira
sebanyak-banyaknya untuk dijadikan gula. Sejak saat itu masyarakat Jawadwipa
mengenal gula aren.
Bertahun-tahun
lamanya, akhirnya anak-anak Prabu Heryanarudra yaitu Dewi Basundari dan
Basuwati kini beranjak besar. Karena tidak memiliki anak lelaki, sejak lahir
Dewi Basundari dididik oleh ayahnya sebagai seorang pria. Dalam berpenampilan
juga sangat pria dan sering memakai baju perang. Karena itu ia punya nama lain
yaitu Raden Sintawaka. Berbeda dengan Dewi Basuwati yang sejak kecil sangat
feminin dan lembut. Ia sangatlah menarik hati para lelaki. Pada suatu hari,
Dewi Basundari pergi berburu dan mendapati seekor angsa dan kambing hutan. Namun
ia tersesat dan lupa jalan pulang. Akhirnya ia pun bermalam di hutan itu.
Pada
saat yang sama, Resi Respati sedang melakukan tapa di gua Aswata di tengah
hutan memohon kepada dewa agar mendapatkan kesaktian. Berkat hasil tapanya, ia
mendapat panah Herawana dan busur Bajranga. Di tengah perjalanan menuju
Pantireja, ia mencium masakan kambing dan angsa dan mendatanginya. Di sana ia
melihat seorang pria yang sedang menikmati hasil buruannya. Resi Respati
mendekati pria itu dan bertemulah ia dengannya. Lalu mereka berkenalan “maaf
mengejutkanmu, aku Respati, seorang pendeta di desa dekat hutan ini. Siapa
andika?” pria itu menjawab “aku Sintawaka. Aku dari Gilingaya. Aku
sedang berburu namun tersesat.” Resi Respati kasihan dan mengajaknya ke gua
Aswata tempatnya bertapa brata. Setelah sekian lama tinggal di gua Aswata
dengan Sintawaka, ia tak pernah terlihat mandi di sumur dekat gua. Dia selalu
pergi jauh bila ingin mandi dan selalu beralasan ingin berburu. Dalam hati,
Resi Respati sering onani membayangkan Sintawaka sebagai seorang wanita cantik
menawan. Wajahnya yang tampan bersemu cantik membuat Resi Respati terus
terbayang-bayang.
Kutukan
Dewi Soma, Jeritan Hati Seorang Istri.
Hingga
pada suatu hari, ia membuntuti Sintawaka mandi. Lalu sampailah ia di sebuah
telaga. Di sana ia mendapati Sintawaka begitu membuka baju terlihatlah tubuh
seorang perempuan cantik yang sintal. Rambut panjangnya terurai begitu udengnya
dibuka. Terkuaklah bahwa sebenarnya Sintawaka adalah perempuan wandu. Resi
Respati seketika terlena, jatuh cinta pada Sintawaka. Setelah Sintawaka mandi
dan berganti baju, Resi Respati mendatanginya dan meminta Sintawaka terus
terang siapa dia sebenarnya “Respati, ketahuilah. Aku adalah Basundari, putri
Prabu Heryanarudra. Aku menjadi pria karena obsesi ayah yang menginginkan anak
lelaki.” “Sintawaka ehhh maksudku Basundari, kamu kalau dalam rupa begini
cantik lo. Mirip dewi ratih.” Dewi Basundari merayu manja” ah masak sih.?”
“betul dindaku. Kau sangat ...” seketika mereka berdua terlena satu sama lain.
Tak kuasa menahan nafsu, merekapun berzinah di tepi telaga .
Dewi
Soma mencari-cari kemana perginya sang suami. Dia lama sekali bertapa tapi tak
pulang-pulang. Lalu sampailah ia di gua Aswata tapi tidak ditemukan suaminya.
Lalu ia melihat jejak kuda. Begitu diikuti ia melihat sebuah telaga dan disana
ia melihat sang suami tidur di bawah pohon bersama seorang wanita cantik namun
juga tampan. Keduanya saling berpelukan. Dewi Soma sangatlah marah melihatnya
dan dilabrak mereka. Dewi Basundari serba salah. Ia tidak tahu kalau sang resi
ini punya istri. Dewi Soma terus mencaci mereka “kakang, beginikah caramu
bertapa? Dengan berzina dengan wanita jalang ini? Aku tidak terima, suamiku. Kelak
kau akan ditimpa penyakit menjijikkan karena perbuatanmu! Dan kau wanita
perebut lelaki hina! Kelak kau akan dimadu saudarimu sendiri bahkan mengalami
sungsang buwana yang menghinakan! Camkan!” setelah berkata begitu, Dewi Soma
kembali ke Pantireja dengan perasaan sedih tak terperi. Resi Respati seolah tak
lagi acuh dengan Dewi Soma ingin segera menikah dengan Dewi Basundari secara
resmi. Maka ia dan sang pujaan hati harus kembali ke Gilingaya untuk meminta
restu.
Pernikahan
Transgender
Pada
suatu hari, Prabu Heryanarudra terkena wabah penyakit dan kini akan sekarat
menjelang ajal. Lalu datanglah Dewi Basundari dalam wujud Sintawaka bersama
seorang lelaki tampan. Dewi Basuwati menyambut kedatangan sang kakak dan
menjelaskan keadaan sang ayahanda kini semakin parah dan kini sekarat. Dewi
Basundari segera mendatangi ayahanya dan meminta maaf karena terlambat pulang, “ayahanda, maafkan
keterlamabatan ananda. Ayahanda pasti akan sembuh. Ayahanda lihatlah, aku telah
membawa jodohku kemari. Ayah harus sembuh dan melihat kami menikah.” “aku
senang kau kembali, anakku. Namun waktuku sudah tidak lama lagi. Aku hanya bisa
merestui hubungan kalian. Berbahagialah.” Sejenak kemudian, Prabu Heryanarudra
menghembuskan nafas terakhir. Wafatlah ia dengan tenang. Setelah acara
berkabung, diselenggarakanlah pesta pernikahan antara Dewi Basundari dengan
Resi Respati. Namun Dewi Basundari tetap berpakaian sebagai pria jadi nampak
seperti dua orang lelaki yang menikah sesama jenis.
Setelah
masa bulan madu, Dewi Basundari hamil namun kehamilannya tak terlihat. Di saat
hamil itu. Resi Respati mendapat wangsit untuk mendirikan kotaraja baru di
Tanah Bagelen karena wabah penyakit semakin menyebar di Gilingaya. Merekapun
berangkat meninggalkan Gilingaya dan begitu sampai di Bagelen, mereka segera
membabat hutan dan mengubahnya menjadi perkampungan. Karena Resi Respati adlah
keturunan bangsawan, maka dalam waktu yang tidak terlalu lama. perkampungan
berubah menjadi semakin ramai laiknya kota besar. Resi Respati memberi nama
kota baru itu Medang Gele. Resi Respati menjadi raja negeri itu bergelar Prabu
Palindriya. Permaisurinya Dewi Basundari. Setelah peresmian kota Medang Gele,
diadakanlah selamatan pembersihan memohon kepada Yang Maha Kuasa agar dijauhkan
dari segala malapetaka dan wabah dipimpin Maharesi Radi yang kini tinggal di
Andongdadapan. Maharesi Radi memberi nama selamatan itu Sesaji Gramaweda.
Karena orang Jawadwipa kesulitan menyebutnya, maka muncul istilah upacara
Bersih Desa atau Metri Desa.
Dimadu
Saudara Sendiri (Lahirnya Jaka Wudug)
Prabu
Palindriya memang sangat menawan. Wajar bila siapapun akan terpikat. Tak
terkecuali adik iparnya, yaitu Dewi Basuwati. Prabu Palindriya juga mulai bosan
dengan Dewi basundari dan terpikat kecantikan Dewi Basuwati. Diantara mereka
terjalin kisah cinta. Prabu Palindriya jatuh cinta pada iparnya sendiri. Dengan
berat hati, Dewi Basundari yang sedang hamil tua mempersilakan sang suami
menikah lagi dengan adiknya. Agar lebih mudah diingat, Prabu Palindriya
mengganti nama dua permaisurinya. Dewi Basundari diberi nama Dewi Sintakasih
dan Dewi Basuwati diberi nama Dewi Landep. Namun Prabu Palindriya sangat gila
wanita dan suka melampiaskan nafsu syahwat. Tak cukup dua permaisuri yang
cantik, ia mengambil dua puluh enam gadis cantik sebagai selir. Api cemburu
Dewi Sintakasih semakin berkobar. Ia tak tahan lagi dengan tingkah laku sang
suami, akhirnya ia kabur meninggalkan Medang Gele. Ia ingin pergi menenangkan
pikirannya. Ia memilih tinggal di hutan Cangkring. Di hutan itulah tiba-tiba
perutnya kesakitan tanda ia akan melahirkan. Dewi Sintakasih segera merebahkan
diri di atas sebuah batu besar. Lalu lahirlah anak lelaki yang tampan. Ia
memberi nama sang anak itu Jaka Wudug alias Jaka Sela karena ia lahir di atas
batu besar. Karena kecemburuannya pada sang suami, ia kembali memakai nama
pemberian orang tuanya, yaitu Dewi Basundari. Dewi Basundari mendoakan agar
kelak Jaka Wudug menjadi manusia hebat yang mampu menggetarkan dunia dan tidak
bisa dikalahkan siapapun. Lalu datanglah Batara Guru mengabarkan suatu kabar
“anakku, Basundari. Kelak anakmu akan menggetarkan dunia namun takdirnya dia
akan tewas di tangan seorang dewa berkulit gelap yang selalu menitis ke bumi
demi melindungi dharma.” “ohh pukulun dewa. Apapun takdir putraku, aku akan
ikhlas menerimanya.”
Kembara
sang Jaka Wudug
Jaka Wudug tumbuh sebagai seorang anak yang kuat namun gemar makan. Pada suatu hari ia merengek-rengek minta makan. Saat itu, ibunya sedang sibuk masak nasi.
Jaka Wudug dipukul ibunya |
Lahirnya
putra-putri Medang Gele
Sementara
itu di Medang Gele, prabu Palindriya sedang menunggu kabar persalinan
permaisurinya, Dewi Landep dan keduapuluh enam selirnya. Ajaibmya mereka
melahirkan hampir bersamaan diawali dengan Dewi Landep. Anak Dewi Landep ada
dua, mereka kembar buncing. Bayi laki-laki di beri nama Raden Wukir dan yang
perempuan diberi nama Dewi Sriyuwati. Dewi Sriyuwati ini titisan dari Dewi Sri
Laksmi, istri Batara Wisnu. Smentara itu setiap tujuh hari, seorang selir akan
melahirkan seorang putra, disusul selir yang lain di tujuh hari kemudian.
Hingga genaplah selir yang terakhir melahirkan selang dua puluh enam pekan
setelah Dewi Landep melahirkan. Kedua puluh enam putra Prabu Palindriya dari
para selir itu diberi nama. Yang tertua diberi nama Arya Kurantil, lalu yang
kedua Arya Tolu, lalu Arya Gumbreg, Arya Warigalit, Arya Warigagung, Arya
Julungwangi, Arya Julungsungsang, Arya Galungan, Arya Kuningan, Arya Langkir,
Arya Medangsiya, Arya Julungpujut, Arya Pahang, Arya Kuruwelut, Arya Merakih,
Arya Tambir, Arya Medangkungan, Arya Maktal, Arya Wuye atau Wuje, Arya Manahil,
Arya Prangbakat, Arya Bala, Arya Wugu, Arya Wayang, Arya Kelawu, dan yang
terakhir diberi nama Arya Dukut. Sebagai bentuk sukacita, Prabu Palindriya
menyelenggarakan acara syukuran dan ruwatan massal di Medang Gele.
Perjalanan
Dewi Basundari mencari Jaka Wudug sampai ke kotalama Gilingaya. Teringatlah ia
kenangan saat menjadi anak raja dahulu. Anak dari Prabu Heryanarudra yang
tampan dan gagah. Ia kembali membangun Gilingaya. Dengan kekuasaannya, ia
berubah menjadi laki-laki lagi dan menjadi raja disana kembali bergelar prabu
Sintawandu. Di sana berbagai kebijakan diatur engan baik. Kemakmuran kembali
hadir di Gilingaya.
Karma
Sungsang Bawana Dewi Soma.
Lima
belas tahun berlalu, Jaka Radite telah menamatkan segala pelajaran dan kini
saatnya ia mengabdi pada raja jawadwipa . Sebelum pergi, Maharesi menyuruh Jaka
Radite untuk mengambil pusaka di gua Aswata. Di sana ia mengambil sebuah busur
dan panah sakti. Setelah mengambilnya, ia mengembara entah kemana mencari raja
Jawadwipa tmpat mengabdi. Tapi ia justru kesasar ke desa Pantireja. Di desa itu
ia bertemu Dewi Soma, istri pertama Prabu Palindriya beserta anak-anaknya, Raden
Anggara, raden Buda dan Maharesi Sukra “permisi ni sanak dan andika bertiga.
Namaku Jaka Radite. Aku tersesat. Bolehkah aku menginap barang sehari dua hari?”
Dewi Soma yang sedang rindu pada Resi Respati menjadi kepincut dengan Jaka
Radite yang tampan dan mempersilakan Jaka radite menginap, “silakan, ki sanak.
Rumah kami terbuka untuk siapapun.” Jaka Radite benar-benar dilayani dengan
apik dan oleh ketiga anak Dewi Soma dianggapnya Jaka Radite seperti adik
sendiri. Pada suatu malam setelah ketiga anaknya pergi bertapa brata, Dewi Soma
merayu Jaka Radite, “Radite, mari ikut aku ke kamar. Aku akan melayanimu
sepuasnya.” Awalnya Jaka radite menolak karena ia tamu, sangat tidak pantas
untuk melakukan kekurangajaran di rumah tuan rumah. Namun Dewi Soma meyakinkan
bahwa itu tidak salah karena ini adalah permintaan tuan rumah. Akhirnya ia
luluh dan bersedia melayani Dewi Soma. Terjadilah hubungan sumbang itu antara
ibu tiri dan anak tiri tanpa mereka sadari. Setelah beberapa hari, Jaka Radite
berpamitan untuk melanjutkan perjalanan.
Sintawandu
melawan Palindriya
Prabu
Palindriya di Medang Gele mendapat kabar bahwa kota Gilingaya ada raja yang
memimpin. Prabu Palindriya menjadi kesal kok bisa-bisanya ada raja lain di
daerah kekuasaannya. Lalu ia dan pasukan Medang Gele menyerbu Gilingaya. Di
depan keraton Gilingaya, ia mendatangi raja negeri itu, “heii kau orang yang
seenaknya mencaplok tanah orang lain. Tunduklah padaku, raja Medang Gele. Tanpa
seizinku, tidak ada yang boleh menjadi pemimpin disini.” Lalu datanglah Prabu
Sintawandu. Seketika Prabu Sintawandu yang sebenarnya Dewi Basundari itu
teringat akan masa lalunya dengan Prabu palindriya yang suka main wanita. Lalu
ia berkata “aku adalah wakil dari Basundari, istri paduka yang telah kau
campakkan demi wanita lain. Kedatanganku mencaplok negeri ini untuk membalaskan
sakit hatinya.” Marahlah Prabu Palindriya mengetahui aibnya dibocorkan. Lalu ia
mengerahkan seluruh pasukannya menyerang pasukan Gilingaya dibawah Prabu
Sintawandu.
Pasukan
Gilingaya yang berjumlah sedikit mampu menggempur pasukan Medang Gele yang
berjumlah dua kali lipatnya. Prabu Palindriya menjadi kesal hati dan merasa
terdesak. Ia berpikir bukan tidak mungkin Prabu Sintawandu akan merebut seluruh
Medang Gele. Di tengah suasana yang kacau itu datanglah seorang anak muda
membawa busur emas dan panah perak di tengah peperangan. Seketika ia ingat
bahwa pusaka yang dibawah anak muda itu adalah pusakanya dahulu. Lalu ia
mmemerintahkan para putranya yang dipimpin Arya Wukir utuk membawa anak muda
itu ke hadapannya.
Jaka
Radite yang melihat peperangan itu melesatkan panahnya dan seketika Medang Gele
dan Gilingaya berhenti berperang. Para prajurit kaku seperti patung dan waktu
serasa berhenti. Arya Wukir dan adik-adiknya yang datang menjemput
terkaget-kaget peperangan berhenti begitu saja. Arya Wukir segera menghadangnya
“hei kau ki sanak. Apa kau mata-mata musuh? Jika iya, kau harus ikut kami
menghadap raja” “ampun pangeran. Saya hanya pengembara yang kebetulan lewat.
Jikalau raja yang dimaksud adalah raja Jawadwipa maka aku akan datang.” Arya
Wukir menganggap kata-kata Jaka Radite itu menyinggung raja sehingga ia
berkelahi dengannya. Arya Wukir terdesak dengan kesaktian Jaka Radite lalu
memerintahkan Arya Kurantil, Arya Tolu dan saudara-Saudara mereka melawan namun
mereka samua ikut terdesak. Lalu datanglah Prabu Palindriya menghentikan
pertarungan “cukup, hentikan pertarungan bodoh ini. Anak muda, maafkan kesemua
putraku. Mereka agak gegabah.” “ahh tidak perlu begitu. Hamba yang seharusnya
minta maaf karena lancang memasuki peperangan..” setelah mengatakan demikian,
Jaka Radite kembali melesatkan panahnya dan seketika peperangan kembali
terjadi. Para prajurit yang diam memetung kembali bergerak.
Prabu
Palindriya kemudian bertanya asal-usul Jaka Radite “anak muda. Siapa namamu?
Darimana kau berasal?” “ampun, paduka raja. Nama hamba Radite. Hamba murid
Maharesi Radi.” Seketika teringatlah ia dengan sang guru. Melihat Jaka Radite
yang tampan dan sakti, terpikirkanlah dia untuk menjodohkan Jaka Radite dengan
Dewi Sriyuwati. Lalu Pabu palindria mengumumkan perjodohan itu. Namun tiba-tiba
datanglah Batara Narada “aduhh...ngger. anakku Palindriya. Aku tahu apa yang
kamu pikirkan. Kamu ingin menjodohkan Jaka Radite dangan putrimu. Jangan
lakukan itu. Jaka Radite yang ada dihadapanmu ini anakmu dengan Sintakasih.
Masakkah seorang raja mengawinkan sesama anaknya. Anakku, Ngger bagus Radite,
yang dihadapanmu adalah ayahandamu dan kedua puluh tujuh pria tampan ini adalah
adik-adikmu” Batara Narada segera kembali ke kahyangan setelah menjelaskan itu
semua. Prabu Palindriya terkejut mendengarnya dan segera memeluk Jaka radite
dan berkata “putraku, Radite. Aku sebenarnya adalah ayahmu. Ibumu meninggalkan
ayahandamu ini ketika mengandungmu. Aku telah mencarinya namun tak jumpa
dimana-mana.” Jaka Radite segera berlutut memanggil ayahanda kepadanya.”sembah
bektiku, Paduka ayahanda. Rupanya takdir mempertemukan kita. ibu sudah lama
meninggalkan kita. aku mengembara tanpa arah hingga aku ditemukan kakek
maharesi. Demi negeri ini, aku akan membela Medang Gele ini.”
Perang
berlanjut. Kini Jaka Radite berhadapan dengan Prabu Sintawandu. Panah-panah
saling beradu, berdesing di angkasa. Tibalah Jaka Radite melesatkan Panah
Bajrangga ke arah Prabu Sintawandu. Prabu Sintawandu terkena panah dan
terpental hingga masuk ke hutan. Melihat rajanya kalah, para prajurit Gilingaya
menyerah dan tunduk pada jaka Radite. Atas keberhasilannya, oleh sang ayah, Jaka Radite diangkat menjadi
raja di Gilingaya bergelar Prabu Watugunung. Nama Gilingaya diganti nama
menjadi Gilingwesi. Sementara itu, Prabu Sintawandu kembali berubah menjadi
Dewi Basundari. Karena terlalu lama dalam wujud lelaki, Dewi Basundari menjadi
lupa nama aslinya sendiri. Yang dia ingat hanya dia adalah Sintakasih yang
telah pergi dalam keadaan hamil karena dimadu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar