Sabtu, 13 Februari 2021

Keluarga Prabu Makukuhan

 

Matur salam bagi pembaca semua, penulis kali ini mengisahkan tentang keluarga Prabu Makukuhan. Prabu Makukuhan ini terkenal sebagai raja Purwacerita yang baik namun juga kejam karena ketitisan dua dewa sekaligus dan saling bertolak belakang. Kisah ini juga mengisahkan keluarga dan keturunan sang prabu yang kelakuannya melenceng dan agak bejat. Dikisahkan pula bagaimana terbentuknya penanggalan Pranata Mangsa, legenda terbelahnya Jawadwipa dan Suwarnadwipa, dan terbentuknya upacara Metri Desa (Ruwah Desa atau Bersih Desa). kisah ini bersumber dari blog albumkisahwayang.blogspot.com dan Serat Pustakaraja Purwa karya Raden Ngabehi Ranggawarsita  yang telah diubah dan dipadukan dengan imajinasi penulis 

Raja Titisan Dua Dewa (Pembagian pasaran dan musim)

Kedamaian antara para dewa dengan para raksasa tercipta kembali setelah tewasnya Ditya Hiranyaksa dan Prabu Hiranyakasipu. Daratan Jawadwipa teratur kembali sejenak, namun para manusia kehilangan sosok panutan karena Daratan Jawadwipa tidak ada raja atau pun pemimpin yang benar. Para penduduk Jawadwipa generasi muda kembali hidup tanpa tuntunan, hidup mereka laiknya hewan. Ajaran dharma seakan terlupakan. Tibalah saatnya Batara Wisnu turun kembali ke bumi, menitis sebagai manusia. Batara Wisnu menitis pada seorang raja bernama Prabu Makukuhan, keturunan Maharesi Kasyapa. Adiknya, Raden Jakapuring menjadi patihnya. Batara Rudra Rancasan di kahyangan Tunjungkresna yang sangat angkara tak tinggal diam. Dia ikut bersemayam dalam diri Prabu Makukuhan. Sehingga ada dua dewa yang saling bertolak belakang menitis dalam satu orang manusia. Singkat cerita, prabu Makukuhan dan adiknya mendirikan negeri bernama Purwacerita. Dengan kekuasaannya dan kapabilitsnya sebagai titisan Wisnu, ajaran dharma kembali ke daratan Jawadwipa. Lalu datanglah seorang resi sakti bernama Maharesi Radi. Oleh sang raja, ia dijadikan ahli ilmu falak. Berkat bantuan Maharesi Radi, pembagian hari lima terbentuk lagi. Awalnya pembagian sepekan lima hari itu dinamai Sri, Brahma, Kala, Wisnu, dan Guru/Siwa. Karena masyarakat Jawadwipa menganggap nama-nama ini adalah tabu karena ini adalah nama para dewa, jadi mereka menyebutnya pasaran Putih, Merah, Kuning, Hitam, dan Mancawarna. Oleh Maharesi Radi, istilah itu diperkenalkan kembali dengan nama baru yakni Legi/Umanis, Pahing/Pait, Pon/Jene, Wage/Cemengan, dan Kliwon/Kasih,

Pada waktu itu, masyarakat Hindustan dan Jawadwipa masih belum bisa bertani atau berladang karena tidak tahu tentang musim-musim dalam setahun. Maharesi Radi berpikir keras bagaimana cara membagi musim. Dengan melihat pergerakan matahari dan tanda-tanda alam yang menyertainya, setelah setahun, Prabu Makukuhan dan Maharesi Radi mengumpulkan para resi dan kaum cerdik pandai.

Pembagian musim (Pranata Mangsa)
Lalu menjelaskan tentang pembagian musim. “ ketahuilah, anak prabu dan hadirin semua. Di saat bulan Kartika(Kasa) dan Pusa(Karo), berlakulah musim kemarau. Udara di siang hari terasa kering dan terik namun di malam hari terasa dingin. Daun-daun berguguran dan tanah mengering pecah-pecah. Itulah saat untuk menanam sekoi, ubi kayu, jagung, dan tanaman tarum. Di saat bulan Manggasari(Katiga) dan Caitra(Kapat), itu puncaknya kemarau/paceklik. Udara terasa sumuk. Pohon mangga mulai mengelurkan bakal buah, Arah angin mulai berubah, mata air dan sumur surut airnya. Saat itu adalah masa panen palawija dan mulai menanam padi ladang. Lalu ketika bulan Manggakala (Kalima) dan Naya(Kanem), musim semi (mangsa labuh). Tanda-tandanya, angin berubah arah menimbulkan banyak puting beliung dan kilat petir, laron-laron beterbangan, hujan turun tidak teratur, sebentar panas sebentar hujan. Pohon-pohon angsana, ketapang, dan trengguli mulai bersemi dan berbunga. Itu saat pas untuk mempersiapkan tempat padi sawah. Pada bulan Palguna (Kapitu) dan Wisaka(Kawolu), berlaku rendheng/musim hujan. Langit sering mendung, Hujan turun hampir setiap hari, cuaca berkabut tebal di pegunungan tinggi, banyak badai, banyak sungai banjir, daratan kering berubah menjadi rawa, dan bibit penyakit bertebaran. Saat itu adalah saat yang pas untuk menyemai benih padi ke sawah dan selalu berwaspada. Pada bulan Jista (Kasanga) dan Srawana (Kasepuluh), musim hujan berganti musim pancaroba (mareng). Tanda-tandanya yakni hujan mulai berkurang, cuaca mulai terasa menyenangkan, bunga gelagah mulai muncul dan berguguran, suara uir-uir mulai terdengar di kebun, embun mulai banyak turun, tanaman padi mulai berbunga dan keluar gabah muda dan di bulan Padrawana (Desta) dan Asuji (Sada), musim pancaroba berganti ke musim bediding (dingin). Udara mulai terasa kering, hujan masih kadang-kadang turun, cuaca di siang hari cerah dan udara di malam hari terasa dingin menggigit. Itu adalah masa panen padi sawah dan mempersiapkan menanam palawija.” Begitulah, Maharesi Radi menamai pembagian musim itu dengan sebutan Pranatamangsa dan menyebarkannya sehingga kerajaan Purwacerita mengenal pertanian dan perladangan. Negeri menjadi makmur.

Makukuhan yang Pahit Lidah

Pada suatu hari, Prabu Makukuhan mendapati kedua istrinya, Dewi Nastiti dan Dewi Wagemi yang sedang mandi di puncak gunung Kampud (kini namanya Kelud) saling berpelukan dalam keadaan telanjang dan saling bercumbu rayu. Mereka saling mengecup bibir dengan penuh nafsu laiknya pasangan lelaki dan perempuan dewasa yang jatuh cinta. Mendapati kedua istrinya menyimpang dari kodrat, murkalah ia “Terkutuk perbuatan menyimpang kamu berdua. Kalian berdua tak lebih dari sepasang buaya!” tiba-tiba halilintar menyambar mereka dan mereka pun tewas. Jasad mereka berubah menjadi sepasang buaya putih. Setelah kehilangan istri-istrinya, Prabu Makukuhan menikah lagi dengan Dewi Subur, putri dari Maharesi Radi. Dari pernikahannya kali ini,lahirlah putri yang cantik yaitu Dewi Srigarnati.

Sengkan-Turunan

Pada suatu hari, anak cucu Putut Jantaka yang berwujud hewan datang ke Purwacerita. Mereka adalah Kutila Pas yang berwujud monyet, Tikus Jinada, Mahesa Kalamurti, Lembu Kalasrenggi, Celeng Demalung, Bulus Pas, dan Kidang Unjung. Mereka menghadap karena di hutan sedang kurang makanan. Prabu Makukuhan mengijinkan mereka makan tapi jangan sampai mengganggu sawah dan ladang milik para penduduk. Namun Kutila Pas bertindak jahil. Dia memakan buah-buahan yang ada di ladang. Saudara-saudaranya pun jadi tergoda. Tikus Jinada dan kelompoknya memakan habis padi. Pasukan monyet Kutila Pas mencuri  buah-buahan. Celeng Demalung, Kidang Unjung, Mahesa Kalamurti dan Lembu Kalasenggi beserta pasukan mereka menyeruduk dan merobohkan padi dan pepohonan. Prabu Makukuhan dan pasukannya kelimpungan menghadapi pasukan hewan-hewan hama itu. lalu datanglah seorang resi bernama Begawan Handa beserta para putranya, Bambang Sengkan dan Bambang Turunan. Begawan Handa, Bambang Sengkan dan Bambang Turunan menawarkan bantuan untuk mengusir hama-hama yang dibawa anak cucu Putut Jantaka. “ampun, anak prabu Makukuhan. Hamba Begawan Handa, resi dari Andongdadapan. Menurut pengamatan hamba, hama-hama ini bukan hama biasa. Hanya bisa diusir dengan kentongan sakti milik anak hamba, Sengkan dan Turunan. Biarkanlah anak-anak hamba yang mengusir mereka.” “baik bapa begawan. Aku ijinkan putra-putramu mengusir mereka.”

Bambang Sengkan dan Bambang Turunan segera memukul kentongan sakti mereka. Seketika datang angin besar mengusir gerombolan monyet, tikus, dan celeng. Kidang Unjung dan Bulus Pas segera membantu saudara mereka dengan menyebarkan hawa penyakit. Bambang Sengkan dan Bambang Turunan kembali memukulkan kentongan lalu muncullah hujan Toyanirmala. Hancurlah hawa penyakit semua. Prabu Makukuhan berniat menghabisi seluruh ketururnan Putut Jantaka namun datanglah Putut Jantaka yang kini telah dilantik menjadi dewa, “Ampun, pukulun Wisnu. Jangan sakiti dan habisi ketururunan hamba. Aku meminta maaf atas kesalahan mereka.” Prabu Makukuhan menerima permintaan maaf itu namun anak cucunya harus tetap dihukum “baiklah, aku akan memaafkan mereka namun sebagai hukumannya anak cucumu hanya boleh tinggal di tempat yang sempit, di lumbung, selokan, hutan, dan tempat-tempat gelap tidak boleh mengganggu tanaman para petani lagi dan hanya makan makanan sisa manusia.” Namun Prabu Makukuhan tertarik pada Mahesa Kalamurti dan Lembu Kalasrenggi. Sebagai hadiah akan ketulusan Putut Jantaka, dua anak keturunannya yang berwujud lembu dan kerbau, Kalamurti dan Kalasrenggi beserta pasukannya tetap boleh tinggal dan membantu petani dengan imbalan rumput segar dan alang-alang sebagai makanannya. Putut jantaka menerima kepututsan Prabu Makukuhan dan ia pun kembali ke alam dewata. Sementara pasukan anak-anaknya kecuali Kalamurti dan Kalasrenggi memutuskan tinggal di hutan.

Minggatnya Batara Wisnu

Berkat bantuan dari Begawan Handa dan anak-anaknya, Prabu Makukuhan menikahkan Dewi Srigarnati pada Bambang Sengkan. Namun, malapetaka terjadi, Bambang Sengkan mendadak tewas karena ditenung dan Dewi Srigarnati diculik oleh Prabu Karungkala, raja dari Pidanapura di kaki gunung Dompo. Di tengah jalan, saudara Bambang Sengkan yaitu bambang Turunan mencegat Prabu Karungkala “lepaskan Srigarnati, raja rendahan. Berani bermain belakang dengan menenung saudaraku dan melarikan mempelai. Tidak akan aku maafkan.” “welehh...budak kemarin sore mau mengalahkan aku? Siapa takut.” Pertarungan cukup sengit. Akhirnya bambang Turunan berhasil membawa pulang Dewi Srigarnati dan Prabu Karungkala yang kalah melarikan diri. Dilangsungkanlah pernikahan antara Bambang Turunan dengan Dewi Srigarnati. Beberapa hari kemudian setelah pernikahan mereka, Prabu Makukuhan berniat melakukan aksi balas dendam dengan menggempur Pidanapura. Prabu Karungkala tewas mengenaskan dan seluruh penduduk Pidanapura yang tidak tahu apa-apa ikut dibantai. Prabu Makukuhan semakin beringas seperti orang gila yang kesetanan. Dalam perjalanan pulang, ia bantai setiap orang yang ada. Batara Wisnu yang bersemayam dalam tubuh Prabu Makukuhan tidak kuat dengan hawa panas penuh nafsu yang tak terkendali dan keluar dari raga sang prabu. Malah yang kini bersemayam adalah Batara Rudra Rancasan yang sangat angkara. Sampailah ia di gunung Batuwara. Disana ada sesosok petapa. Patih Jakapuring menasihati sang kakak “kakanda jangan mengganggu petapa. Sebuah dosa besar bila kita mengganggu petapa yang sedang tapabrata.” Namun ia tak peduli akan nasihat sang adik. Tanpa belas kasih ia bunuh petapa itu, ia cincang dan minum darahnya.

Para dewa menerima kedatangan batara Wisnu yang baru keluar dari diri Prabu Makukuhan. Batara Wisnu segera memberithukan keadaan Prabu Makukuhan kepada Batara Guru “ampun,pukulun ayahanda Guru. Hamba memilih meninggalkan Makukuhan karena ada uwa Rudra di dalam sana. Awalnya kami berbagi ruang bersama namun semakin lama uwa Rudra semakin berkuasa. Makukuhan harus kita sadarkan. Semakin lama dbiarkan semakin banyak korban berjatuhan.” “begitu ternyata. Kita hanya bisa berdoa kepada Yang Maha Kuasa. Dia lah sang pembolak-balik hati. Semoga murkaNya tidak segera turun.” Sejenak muncul suara dari langit. Suara itu menyerukan bahwa murka Tuhan harus segera diberikan pada Makukuhan melalui para dewa karena telah ia membunuh seorang petapa dan sudah banyak menghabisi orang yang tak bersalah. Para dewa tak bisa menyangkal keputusan dari Tuhan. Para dewa kemudian mengirimkan bencana kepada Prabu Makukuhan.

Terbelahnya Daratan Jawadwipa

Setelah membunuh sang petapa datanglah malapetaka. Gunung Batuwara meletus dahsyat disertai gempa bumi besar yang membuat daratan Jawadwipa ambles sangat dalam. Langit menjadi gelap dsertai kilatan petir. Batu-batu panas dari dlam bumi menyembur keluar. Mendadak ada hujan badai disertai gelombang pasang dari dari Laut Utara dan Selatan. Gelombang pasang itu membawa air laut yang menggelora. Air pasang itu menenggelamkan prabu Makukuhan dan pasukannya hingga tewas. Tinggallah Patih Jakapuring yang selamat dengan tubuh tersangkut cabang

Terbelahnya Jawadwipa dan Suwarnadwipa
pohon. Ia segera menebang pohon dan membuat perahu penyelamat. Setelah lama terkatung-katung di tengah air pasang, akhirnya ia sampai di daratan Jawadwipa sebelah timur. Akibat dari itu semua, kini Daratan Jawadwipa terbelah dua dipisahkan oleh laut. Pecahan sebalah barat diberi nama Suwarnadwipa (kelak pulau itu bernama Sumatera) dan pecahan timur tetap bernama Jawadwipa. Gunung Batuwara hampir lenyap menyisakan pulau kecil dan diberi nama Rakata.

Konfrontasi Berujung Tragedi (Palidriya Lahir)

Patih Jakapuring mendapati Purwacerita sudah diperintah raja baru yaitu prabu Turunan bergelar Kandihawa, menantu Prabu Makukuhan. Patih Jakapuring curiga kenapa bisa-bisanya dia menduduki takhta Purwacerita tanpa persetujuannya, “bisa-bisanya ananda Turunan menjadi raja sementara mertua ananda baru saja tewas.” “kalau tidak ada raja, bagaimana rakyat Purwacerita nantinya. Aku mendapat kabar matinya ayahanda mertua dari para dewa. Maka seteluh usulan para sesepuh yang ada memutuskan harus dinda Sriganarti yang memegang tampuk kekuasaan. Aku menjadi raja hanya sebagai wakilnya saja.” Namun patih Jakapuring tak percaya dan membuat keretakan hubungan mereka. Karena semakin panas, Patih Jakapuring bersama istrinya yang bernama Dewi Widehiya dan para pengikutnya memutuskan untuk pergi dan membuat negeri baru bernama Gilingaya dan menjadi raja di sana bergelar Heryanarudra.

Tahun-tahun pun berlalu, kedamaian antara kerajaan Purwacerita dan Gilingaya belum tercapai. Waktu itu Prabu Turunan Kandihawa berperang dengan Prabu Heryanarudra. Namun Prabu Tururnan Kandihawa gugur. Kerajaan Purwacerita menjadi kota mati karena semua penduduknya dibantai. Namun Dewi Srigarnati yang kala itu sedang hamil tua mampu menyelamatkan diri bersama beberapa pengikutnya. Ketika sampai di desa Pantireja, Dewi Sriganarti dan para pengikutnya sakit. Kepala adat Pantireja, yaitu Resi Sucandra atau kadang dipanggil Anggiras, cucu Maharesi Bregu yang masih keturunan Batara Brahma menolong mereka. Tiba-tiba Dewi Sriganarti sakit perutnya hendak melahirkan. Akhirnya lahirlah seorang bayi laki-laki yang tampan. Sang ibu memberinya nama Raden Respati karena ia lahir saat planet Wrespati terlihat di langit malam. Sang dewi merawat anaknya dengan penuh kasih namun selang setahun kemudian, Dewi Sriganarti kembali jatuh sakit karena merindukan sang suami yang telah gugur. Kali ini sakitnya tak tertolong. Ia pun meninggal dengan penuh kepedihan. Sebelum meninggal, sang ibu menitipkan sang putra pada Resi Sucandra dan memintanya untuk diasuh dengan baik. Resi Sucandra menjadikan raden Respati sebagai muridnya. Diantara para muridnya, hanya Raden Respati yang paling jago dalam kitab suci dan ahli peperangan. Raden Respati tak puas berguru pada satu orang. Ia kemudian berguru pada Maharesi Radi di desa Andong Dadapan. Setelah dewasa, Raden Respati menjadi resi dan menikahi Dewi Soma, putri Resi Sucandra. Mereka dikaruniai tiga orang putra yang kelahirannya bersamaan dengan munculnya tiga planet, yakni Raden Anggara, Raden Buda, dan Raden Sukra. Diantara mereka Raden Sukra yang paling luhur sehingga ia dapat menjadi dewa dan menjadi sahabat baik Batara Resi Wrehaspati.

Sintawaka, Dewi Basundari dalam Tubuh Wandu

Prabu Heryanarudra memerintah Gilingaya dengan sangat baik. Pada suatu hari Prabu Heryanarudra sedang pergi ke hutan untuk memikat burung. Dilihatnya ada pohon aren/enau yang dihinggapi banyak burung . Para prajurit yang mengawalnya diperintahkan untuk menebang dahan pohon aren dan mengucurlah air nira dari dalamnya. Prabu Heryanarudra sangat senang mencicipi air nira itu karena terasa sangat manis. Ia segera memerintahkan para prajurit untuk mengumpulkan air nira sebanyak-banyaknya untuk dijadikan gula. Sejak saat itu masyarakat Jawadwipa mengenal gula aren.

Bertahun-tahun lamanya, akhirnya anak-anak Prabu Heryanarudra yaitu Dewi Basundari dan Basuwati kini beranjak besar. Karena tidak memiliki anak lelaki, sejak lahir Dewi Basundari dididik oleh ayahnya sebagai seorang pria. Dalam berpenampilan juga sangat pria dan sering memakai baju perang. Karena itu ia punya nama lain yaitu Raden Sintawaka. Berbeda dengan Dewi Basuwati yang sejak kecil sangat feminin dan lembut. Ia sangatlah menarik hati para lelaki. Pada suatu hari, Dewi Basundari pergi berburu dan mendapati seekor angsa dan kambing hutan. Namun ia tersesat dan lupa jalan pulang. Akhirnya ia pun bermalam di hutan itu.

Pada saat yang sama, Resi Respati sedang melakukan tapa di gua Aswata di tengah hutan memohon kepada dewa agar mendapatkan kesaktian. Berkat hasil tapanya, ia mendapat panah Herawana dan busur Bajranga. Di tengah perjalanan menuju Pantireja, ia mencium masakan kambing dan angsa dan mendatanginya. Di sana ia melihat seorang pria yang sedang menikmati hasil buruannya. Resi Respati mendekati pria itu dan bertemulah ia dengannya. Lalu mereka berkenalan “maaf mengejutkanmu, aku Respati, seorang pendeta di desa dekat hutan ini. Siapa andika?”  pria itu menjawab  “aku Sintawaka. Aku dari Gilingaya. Aku sedang berburu namun tersesat.” Resi Respati kasihan dan mengajaknya ke gua Aswata tempatnya bertapa brata. Setelah sekian lama tinggal di gua Aswata dengan Sintawaka, ia tak pernah terlihat mandi di sumur dekat gua. Dia selalu pergi jauh bila ingin mandi dan selalu beralasan ingin berburu. Dalam hati, Resi Respati sering onani membayangkan Sintawaka sebagai seorang wanita cantik menawan. Wajahnya yang tampan bersemu cantik membuat Resi Respati terus terbayang-bayang.

Kutukan Dewi Soma, Jeritan Hati Seorang Istri.

Hingga pada suatu hari, ia membuntuti Sintawaka mandi. Lalu sampailah ia di sebuah telaga. Di sana ia mendapati Sintawaka begitu membuka baju terlihatlah tubuh seorang perempuan cantik yang sintal. Rambut panjangnya terurai begitu udengnya dibuka. Terkuaklah bahwa sebenarnya Sintawaka adalah perempuan wandu. Resi Respati seketika terlena, jatuh cinta pada Sintawaka. Setelah Sintawaka mandi dan berganti baju, Resi Respati mendatanginya dan meminta Sintawaka terus terang siapa dia sebenarnya “Respati, ketahuilah. Aku adalah Basundari, putri Prabu Heryanarudra. Aku menjadi pria karena obsesi ayah yang menginginkan anak lelaki.” “Sintawaka ehhh maksudku Basundari, kamu kalau dalam rupa begini cantik lo. Mirip dewi ratih.” Dewi Basundari merayu manja” ah masak sih.?” “betul dindaku. Kau sangat ...” seketika mereka berdua terlena satu sama lain. Tak kuasa menahan nafsu, merekapun berzinah di tepi telaga .

Dewi Soma mencari-cari kemana perginya sang suami. Dia lama sekali bertapa tapi tak pulang-pulang. Lalu sampailah ia di gua Aswata tapi tidak ditemukan suaminya. Lalu ia melihat jejak kuda. Begitu diikuti ia melihat sebuah telaga dan disana ia melihat sang suami tidur di bawah pohon bersama seorang wanita cantik namun juga tampan. Keduanya saling berpelukan. Dewi Soma sangatlah marah melihatnya dan dilabrak mereka. Dewi Basundari serba salah. Ia tidak tahu kalau sang resi ini punya istri. Dewi Soma terus mencaci mereka “kakang, beginikah caramu bertapa? Dengan berzina dengan wanita jalang ini? Aku tidak terima, suamiku. Kelak kau akan ditimpa penyakit menjijikkan karena perbuatanmu! Dan kau wanita perebut lelaki hina! Kelak kau akan dimadu saudarimu sendiri bahkan mengalami sungsang buwana yang menghinakan! Camkan!” setelah berkata begitu, Dewi Soma kembali ke Pantireja dengan perasaan sedih tak terperi. Resi Respati seolah tak lagi acuh dengan Dewi Soma ingin segera menikah dengan Dewi Basundari secara resmi. Maka ia dan sang pujaan hati harus kembali ke Gilingaya untuk meminta restu.

Pernikahan Transgender

Pada suatu hari, Prabu Heryanarudra terkena wabah penyakit dan kini akan sekarat menjelang ajal. Lalu datanglah Dewi Basundari dalam wujud Sintawaka bersama seorang lelaki tampan. Dewi Basuwati menyambut kedatangan sang kakak dan menjelaskan keadaan sang ayahanda kini semakin parah dan kini sekarat. Dewi Basundari segera mendatangi ayahanya dan meminta maaf  karena terlambat pulang, “ayahanda, maafkan keterlamabatan ananda. Ayahanda pasti akan sembuh. Ayahanda lihatlah, aku telah membawa jodohku kemari. Ayah harus sembuh dan melihat kami menikah.” “aku senang kau kembali, anakku. Namun waktuku sudah tidak lama lagi. Aku hanya bisa merestui hubungan kalian. Berbahagialah.” Sejenak kemudian, Prabu Heryanarudra menghembuskan nafas terakhir. Wafatlah ia dengan tenang. Setelah acara berkabung, diselenggarakanlah pesta pernikahan antara Dewi Basundari dengan Resi Respati. Namun Dewi Basundari tetap berpakaian sebagai pria jadi nampak seperti dua orang lelaki yang menikah sesama jenis.

Setelah masa bulan madu, Dewi Basundari hamil namun kehamilannya tak terlihat. Di saat hamil itu. Resi Respati mendapat wangsit untuk mendirikan kotaraja baru di Tanah Bagelen karena wabah penyakit semakin menyebar di Gilingaya. Merekapun berangkat meninggalkan Gilingaya dan begitu sampai di Bagelen, mereka segera membabat hutan dan mengubahnya menjadi perkampungan. Karena Resi Respati adlah keturunan bangsawan, maka dalam waktu yang tidak terlalu lama. perkampungan berubah menjadi semakin ramai laiknya kota besar. Resi Respati memberi nama kota baru itu Medang Gele. Resi Respati menjadi raja negeri itu bergelar Prabu Palindriya. Permaisurinya Dewi Basundari. Setelah peresmian kota Medang Gele, diadakanlah selamatan pembersihan memohon kepada Yang Maha Kuasa agar dijauhkan dari segala malapetaka dan wabah dipimpin Maharesi Radi yang kini tinggal di Andongdadapan. Maharesi Radi memberi nama selamatan itu Sesaji Gramaweda. Karena orang Jawadwipa kesulitan menyebutnya, maka muncul istilah upacara Bersih Desa atau Metri Desa.

Dimadu Saudara Sendiri (Lahirnya Jaka Wudug)

Prabu Palindriya memang sangat menawan. Wajar bila siapapun akan terpikat. Tak terkecuali adik iparnya, yaitu Dewi Basuwati. Prabu Palindriya juga mulai bosan dengan Dewi basundari dan terpikat kecantikan Dewi Basuwati. Diantara mereka terjalin kisah cinta. Prabu Palindriya jatuh cinta pada iparnya sendiri. Dengan berat hati, Dewi Basundari yang sedang hamil tua mempersilakan sang suami menikah lagi dengan adiknya. Agar lebih mudah diingat, Prabu Palindriya mengganti nama dua permaisurinya. Dewi Basundari diberi nama Dewi Sintakasih dan Dewi Basuwati diberi nama Dewi Landep. Namun Prabu Palindriya sangat gila wanita dan suka melampiaskan nafsu syahwat. Tak cukup dua permaisuri yang cantik, ia mengambil dua puluh enam gadis cantik sebagai selir. Api cemburu Dewi Sintakasih semakin berkobar. Ia tak tahan lagi dengan tingkah laku sang suami, akhirnya ia kabur meninggalkan Medang Gele. Ia ingin pergi menenangkan pikirannya. Ia memilih tinggal di hutan Cangkring. Di hutan itulah tiba-tiba perutnya kesakitan tanda ia akan melahirkan. Dewi Sintakasih segera merebahkan diri di atas sebuah batu besar. Lalu lahirlah anak lelaki yang tampan. Ia memberi nama sang anak itu Jaka Wudug alias Jaka Sela karena ia lahir di atas batu besar. Karena kecemburuannya pada sang suami, ia kembali memakai nama pemberian orang tuanya, yaitu Dewi Basundari. Dewi Basundari mendoakan agar kelak Jaka Wudug menjadi manusia hebat yang mampu menggetarkan dunia dan tidak bisa dikalahkan siapapun. Lalu datanglah Batara Guru mengabarkan suatu kabar “anakku, Basundari. Kelak anakmu akan menggetarkan dunia namun takdirnya dia akan tewas di tangan seorang dewa berkulit gelap yang selalu menitis ke bumi demi melindungi dharma.” “ohh pukulun dewa. Apapun takdir putraku, aku akan ikhlas menerimanya.”

Kembara sang Jaka Wudug

Jaka Wudug tumbuh sebagai seorang anak yang kuat namun gemar makan. Pada suatu hari ia merengek-rengek minta makan. Saat itu, ibunya sedang sibuk masak nasi.

Jaka Wudug dipukul ibunya 
Karena kesal, Dewi Basundari marah dan memukul kepala Jaka Wudug dengan irus (centong nasi) sampai berdarah. Jaka Wudug menjadi ketakutan dan lari meninggalkan rumah. Ketika selasai memasak nasi, Dewi basundari mencari-cari sang anak namun tak dijumpai dimana-mana. Dewi Basundari menyesal kenapa ia tidak sabaran. Dewi basundari berdoa “ohh Hyang Widhi, ampunilah dosaku yang telah membuat anakku kabur dari rumah. Aku mohon padaMu bantulah aku untuk menemukannya lagi.” Lalu datngalah Batara Narada “ohh, Basundari. Sanghyang Maha Widhi telah mengabulkan doamu. Lewat tanganku, Sanghyang Maha Widhi menganugerahi kamu dengan wajah yang senantiasa muda selamanya dan kesaktian malih rupa. Dengan ini kau bisa mencari putramu penuh rasa aman.”setelah dirasa cukup, Batara Narada kembali ke kahyangan. Sementara itu, Jaka Wudug mengembara hingga ke Andongdadapan. Jaka Wudug duduk disana dan ditemukan Maharesi Radi, “anak manis, siapa kamu? Kenapa bisa sampai di tempat ini” “aku jaka Wudug. Aku mengembara dari rumah karena kau diusir ibuku. Aku tidak punya siapa-siapa.” Singkat cerita, Maharesi kemudian menjadikannya murid dan namanya diganti menjadi Jaka Radite karena wajahnya yang bersinar-sinar dan tampan layaknya dewa matahari. Selama diasuh oleh Maharesi Radi, Jaka Radite menyerap berbagai ilmu dan kesaktian.

Lahirnya putra-putri Medang Gele

Sementara itu di Medang Gele, prabu Palindriya sedang menunggu kabar persalinan permaisurinya, Dewi Landep dan keduapuluh enam selirnya. Ajaibmya mereka melahirkan hampir bersamaan diawali dengan Dewi Landep. Anak Dewi Landep ada dua, mereka kembar buncing. Bayi laki-laki di beri nama Raden Wukir dan yang perempuan diberi nama Dewi Sriyuwati. Dewi Sriyuwati ini titisan dari Dewi Sri Laksmi, istri Batara Wisnu. Smentara itu setiap tujuh hari, seorang selir akan melahirkan seorang putra, disusul selir yang lain di tujuh hari kemudian. Hingga genaplah selir yang terakhir melahirkan selang dua puluh enam pekan setelah Dewi Landep melahirkan. Kedua puluh enam putra Prabu Palindriya dari para selir itu diberi nama. Yang tertua diberi nama Arya Kurantil, lalu yang kedua Arya Tolu, lalu Arya Gumbreg, Arya Warigalit, Arya Warigagung, Arya Julungwangi, Arya Julungsungsang, Arya Galungan, Arya Kuningan, Arya Langkir, Arya Medangsiya, Arya Julungpujut, Arya Pahang, Arya Kuruwelut, Arya Merakih, Arya Tambir, Arya Medangkungan, Arya Maktal, Arya Wuye atau Wuje, Arya Manahil, Arya Prangbakat, Arya Bala, Arya Wugu, Arya Wayang, Arya Kelawu, dan yang terakhir diberi nama Arya Dukut. Sebagai bentuk sukacita, Prabu Palindriya menyelenggarakan acara syukuran dan ruwatan massal di Medang Gele.

Perjalanan Dewi Basundari mencari Jaka Wudug sampai ke kotalama Gilingaya. Teringatlah ia kenangan saat menjadi anak raja dahulu. Anak dari Prabu Heryanarudra yang tampan dan gagah. Ia kembali membangun Gilingaya. Dengan kekuasaannya, ia berubah menjadi laki-laki lagi dan menjadi raja disana kembali bergelar prabu Sintawandu. Di sana berbagai kebijakan diatur engan baik. Kemakmuran kembali hadir di Gilingaya.

Karma Sungsang Bawana Dewi Soma.

Lima belas tahun berlalu, Jaka Radite telah menamatkan segala pelajaran dan kini saatnya ia mengabdi pada raja jawadwipa . Sebelum pergi, Maharesi menyuruh Jaka Radite untuk mengambil pusaka di gua Aswata. Di sana ia mengambil sebuah busur dan panah sakti. Setelah mengambilnya, ia mengembara entah kemana mencari raja Jawadwipa tmpat mengabdi. Tapi ia justru kesasar ke desa Pantireja. Di desa itu ia bertemu Dewi Soma, istri pertama Prabu Palindriya beserta anak-anaknya, Raden Anggara, raden Buda dan Maharesi Sukra “permisi ni sanak dan andika bertiga. Namaku Jaka Radite. Aku tersesat. Bolehkah aku menginap barang sehari dua hari?” Dewi Soma yang sedang rindu pada Resi Respati menjadi kepincut dengan Jaka Radite yang tampan dan mempersilakan Jaka radite menginap, “silakan, ki sanak. Rumah kami terbuka untuk siapapun.” Jaka Radite benar-benar dilayani dengan apik dan oleh ketiga anak Dewi Soma dianggapnya Jaka Radite seperti adik sendiri. Pada suatu malam setelah ketiga anaknya pergi bertapa brata, Dewi Soma merayu Jaka Radite, “Radite, mari ikut aku ke kamar. Aku akan melayanimu sepuasnya.” Awalnya Jaka radite menolak karena ia tamu, sangat tidak pantas untuk melakukan kekurangajaran di rumah tuan rumah. Namun Dewi Soma meyakinkan bahwa itu tidak salah karena ini adalah permintaan tuan rumah. Akhirnya ia luluh dan bersedia melayani Dewi Soma. Terjadilah hubungan sumbang itu antara ibu tiri dan anak tiri tanpa mereka sadari. Setelah beberapa hari, Jaka Radite berpamitan untuk melanjutkan perjalanan.

Sintawandu melawan Palindriya

Prabu Palindriya di Medang Gele mendapat kabar bahwa kota Gilingaya ada raja yang memimpin. Prabu Palindriya menjadi kesal kok bisa-bisanya ada raja lain di daerah kekuasaannya. Lalu ia dan pasukan Medang Gele menyerbu Gilingaya. Di depan keraton Gilingaya, ia mendatangi raja negeri itu, “heii kau orang yang seenaknya mencaplok tanah orang lain. Tunduklah padaku, raja Medang Gele. Tanpa seizinku, tidak ada yang boleh menjadi pemimpin disini.” Lalu datanglah Prabu Sintawandu. Seketika Prabu Sintawandu yang sebenarnya Dewi Basundari itu teringat akan masa lalunya dengan Prabu palindriya yang suka main wanita. Lalu ia berkata “aku adalah wakil dari Basundari, istri paduka yang telah kau campakkan demi wanita lain. Kedatanganku mencaplok negeri ini untuk membalaskan sakit hatinya.” Marahlah Prabu Palindriya mengetahui aibnya dibocorkan. Lalu ia mengerahkan seluruh pasukannya menyerang pasukan Gilingaya dibawah Prabu Sintawandu.

Pasukan Gilingaya yang berjumlah sedikit mampu menggempur pasukan Medang Gele yang berjumlah dua kali lipatnya. Prabu Palindriya menjadi kesal hati dan merasa terdesak. Ia berpikir bukan tidak mungkin Prabu Sintawandu akan merebut seluruh Medang Gele. Di tengah suasana yang kacau itu datanglah seorang anak muda membawa busur emas dan panah perak di tengah peperangan. Seketika ia ingat bahwa pusaka yang dibawah anak muda itu adalah pusakanya dahulu. Lalu ia mmemerintahkan para putranya yang dipimpin Arya Wukir utuk membawa anak muda itu ke hadapannya.

Jaka Radite yang melihat peperangan itu melesatkan panahnya dan seketika Medang Gele dan Gilingaya berhenti berperang. Para prajurit kaku seperti patung dan waktu serasa berhenti. Arya Wukir dan adik-adiknya yang datang menjemput terkaget-kaget peperangan berhenti begitu saja. Arya Wukir segera menghadangnya “hei kau ki sanak. Apa kau mata-mata musuh? Jika iya, kau harus ikut kami menghadap raja” “ampun pangeran. Saya hanya pengembara yang kebetulan lewat. Jikalau raja yang dimaksud adalah raja Jawadwipa maka aku akan datang.” Arya Wukir menganggap kata-kata Jaka Radite itu menyinggung raja sehingga ia berkelahi dengannya. Arya Wukir terdesak dengan kesaktian Jaka Radite lalu memerintahkan Arya Kurantil, Arya Tolu dan saudara-Saudara mereka melawan namun mereka samua ikut terdesak. Lalu datanglah Prabu Palindriya menghentikan pertarungan “cukup, hentikan pertarungan bodoh ini. Anak muda, maafkan kesemua putraku. Mereka agak gegabah.” “ahh tidak perlu begitu. Hamba yang seharusnya minta maaf karena lancang memasuki peperangan..” setelah mengatakan demikian, Jaka Radite kembali melesatkan panahnya dan seketika peperangan kembali terjadi. Para prajurit yang diam memetung kembali bergerak.

Prabu Palindriya kemudian bertanya asal-usul Jaka Radite “anak muda. Siapa namamu? Darimana kau berasal?” “ampun, paduka raja. Nama hamba Radite. Hamba murid Maharesi Radi.” Seketika teringatlah ia dengan sang guru. Melihat Jaka Radite yang tampan dan sakti, terpikirkanlah dia untuk menjodohkan Jaka Radite dengan Dewi Sriyuwati. Lalu Pabu palindria mengumumkan perjodohan itu. Namun tiba-tiba datanglah Batara Narada “aduhh...ngger. anakku Palindriya. Aku tahu apa yang kamu pikirkan. Kamu ingin menjodohkan Jaka Radite dangan putrimu. Jangan lakukan itu. Jaka Radite yang ada dihadapanmu ini anakmu dengan Sintakasih. Masakkah seorang raja mengawinkan sesama anaknya. Anakku, Ngger bagus Radite, yang dihadapanmu adalah ayahandamu dan kedua puluh tujuh pria tampan ini adalah adik-adikmu” Batara Narada segera kembali ke kahyangan setelah menjelaskan itu semua. Prabu Palindriya terkejut mendengarnya dan segera memeluk Jaka radite dan berkata “putraku, Radite. Aku sebenarnya adalah ayahmu. Ibumu meninggalkan ayahandamu ini ketika mengandungmu. Aku telah mencarinya namun tak jumpa dimana-mana.” Jaka Radite segera berlutut memanggil ayahanda kepadanya.”sembah bektiku, Paduka ayahanda. Rupanya takdir mempertemukan kita. ibu sudah lama meninggalkan kita. aku mengembara tanpa arah hingga aku ditemukan kakek maharesi. Demi negeri ini, aku akan membela Medang Gele ini.”

Perang berlanjut. Kini Jaka Radite berhadapan dengan Prabu Sintawandu. Panah-panah saling beradu, berdesing di angkasa. Tibalah Jaka Radite melesatkan Panah Bajrangga ke arah Prabu Sintawandu. Prabu Sintawandu terkena panah dan terpental hingga masuk ke hutan. Melihat rajanya kalah, para prajurit Gilingaya menyerah dan tunduk pada jaka Radite. Atas keberhasilannya,  oleh sang ayah, Jaka Radite diangkat menjadi raja di Gilingaya bergelar Prabu Watugunung. Nama Gilingaya diganti nama menjadi Gilingwesi. Sementara itu, Prabu Sintawandu kembali berubah menjadi Dewi Basundari. Karena terlalu lama dalam wujud lelaki, Dewi Basundari menjadi lupa nama aslinya sendiri. Yang dia ingat hanya dia adalah Sintakasih yang telah pergi dalam keadaan hamil karena dimadu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar