Matursalam, para pembaca. Kisah kali ini adalah kelanjutan dari kisah sebelumnya. Jika sebelumnya berkisah tentang asal-usul kebejatan keluarga Makukuhan, kali ini berkisah tentang dosa-dosa dan karma yang dituai oleh keturunan Prabu Makukuhan, termasuk dosa-dosa Prabu Watugunung yang menikahi ibu kandungnya sendiri, memperkosa ibu tiri dan anaknya sendiri. Nama-nama mereka diabadikan menjadi nama hari dan pekan pada penanggalan Jawa dan Bali. Kisah ini bersumber dari blogwayang albumkisahwayang.blogspot.com, serat Pustakaraja Purwa karya Raden Ngabehi Ranggawarsita, blog-blog cerita rakyat Bali dengan sedikit pengubahan seperlunya.
Dewi
Soma Hamil di Luar Nikah
Kerajaan
Medang Gele sedang cerah gembira pasca dilantiknya Prabu Watugunung, putra
Prabu Palindriya dengan Dewi Sintakasih menjadi raja di Gilingwesi. Namun
semenjak itu kesehatan Prabu Palindriya mulai menurun. Saat itu pula datanglah
tiga orang brahmana muda. Mereka dalah para putra Prabu Palindriya dengan Dewi
Soma, yakni Resi Anggara, Resi Buda, dan Maharesi Sukra. Prabu palindriya
menyambut mereka dan memperkenalkan ketiga putranya dengan para putranya yang
lain. Maharesi Sukra menyerahkan sepucuk surat pada ayahnya “ayahanda prabu,
ini ada surat dari kanjeng ibu untuk ayahanda.” Isi surat itu adalah surat
rujuk dari sang istri dan permohonan maaf sekaligus ingin mengundang sang suami
untuk mengunjungi desa Pantireja. Prabu Palindriya merasa ada yang janggal.
Lalu ia segera mengheningkan cipta. Begitu ia membuka matanya ia paham bahwa
Dewi Soma telah dihamili seseorang dan sekarang kandungannya besar. Ironisnya,
Dewi Soma tidak ingat siapa laki-laki yang menghamilinya dan tujuan undangan
itu agar Dewi Soma bisa disetubuhi oleh sang suami agar anak yang dikandungnya
bisa disamarkan sebagai anak sang prabu.
Prabu
Palindriya berterus terang kepada tiga putanya “anak-anakku. Kalian pasti sudah
mengerti apa yang aku lakukan. Aku akan berterus terang saja. Ibu kalian telah
dihamili seseorang dan meminta aku kembali untuk mengakui anaknya itu. Demi
menebus kesalahanku, aku bersedia jika itu anaknya lahir laki-laki tapi jika
anaknya perempuan, aku tak sudi mengakuinya dan ibu kalian melakukan hal sama
dengan apa yang dulu aku lakukan. Aku harap kailian mengerti.” “kami mengerti,
ayahanda prabu. Kami akan smpaikan pada kanjeng ibu.” Resi Anggara, Resi Buda,
dan Maharesi Sukra mohon pamit kembali ke desa Pantireja setelah mendapat pesan
itu.
Kelamin
Palsu Bayi Dewi Soma
Sekembalinya
tiga putra Dewi Soma ke desa Pantireja dan mendapat laporan dari ketiga
putranya itu, Dewi Soma menjadi khawatir bila anaknya yang lahir nanti
perempuan. Beberapa bulan kemudian, di malam yang tenang saat planet Saniscara
terlihat jelas diantara bintang-bintang, Dewi Soma melahirkan anaknya itu dan
yang lahir ternyata bayi perempuan cantik. Dewi Soma menjadi panik dan takut
karena apa yang dikawatirkannya telah berlaku. Lalu ia melihat ke kolam, ada
pancuran batu padas kecil mirip kelamin laki-laki. Dewi Soma segera mengambil
pancuran itu dan menempelkannya ke pada bayi perempuannya itu dan ajaibnya,
atas kemurahan dewata, batu padas itu menyatu sempurna dengan kelamin perempuan
sang bayi dan berubah seperti kelamin laki-laki asli.
Prabu Palindriya mendengar kabar bahwa Dewi
Soma melahirkan bayi laki-laki dan segera ia pergi ke desa Pantireja.
Sesampainya disana, ia disambut ramah oleh Dewi Soma dan diajaknya untuk rujuk
kembali, membina rumah tangga seperti dahulu lagi. Prabu palindriya menerima
bayi itu seperti anaknya sendiri dan dinamainya Raden Saniscara karena ia lahir
saat planet Saniscara melintas di langit malam. “Dinda Soma, anak-anakku yang
kukasihi dan para dewa yang menyaksikan di kahyangan, Hong Sanghyang Widhi Yang
Maha Agung, aku memohon pada-Mu, semoga anak ini bisa terhindar dari segala
petaka, aib, kehinaaan, dosa ayah dan ibunya, tipu daya, dan kepalsuan yang
kelak akan membuat wibawanya jatuh di kemudian hari....” akibat doa yang dipanjatkan
Prabu Palindriya itu, kelamin palsu pada bayi Saniscara tiba-tiba terlepas dan
kembali menjadi pancuran batu padas.
Pembunuhan
Keluarga Palindriya
Prabu
Palindriya sangat marah dan murka kepada Dewi Soma karena menipunya dengan
memalsukan kelamin sang bayi. Ia segera memungut pancuran batu padas itu dan
melemparkannya kepada Dewi Soma namun rupanya justru mengenai dahi Resi Anggara
hingga tewas. Tak puas sampai di situ, bayi perempuan yang ia gendong hendak ia
banting namun diselamatkan oleh Resi Buda. Resi Buda kemudian menyuruh
saudaranya, Maharesi Sukra yang telah berderajat guru agung para yaksa dan
raksasa agar membawa bayi itu ke sejauh mungkin. Prabu Palindriya semakin kalap
dan menyerang Dewi Soma namun dihalangi Resi Buda. Akibatnya Resi Buda ikut
tewas terkena pukulan bertubi-tubi dari sang ayah. Dewi Soma menjadi ketakutan
dan dia segera lari ke hutan dan bunuh diri dengan terjun ke jurang. Prabu Palindirya
yang mengejar mendapati tubuh sang istri sudah tak bernyawa. Lalu terdengarlah
suara Dewi Soma dari langit “kakang prabu, rupanya kau bisa sakit hati karena
dikhianati, itu lah hal yang juga aku alami di hari itu. Saat aku dibelai oleh
lelaki jalang kenapa kau marah. Hal itu juga sama dengan yang aku rasakan saat
aku mendapatimu bersama Basundari. Ketahuilah, anak perempuan yang aku lahirkan
sesungguhnya hasil hubungaku dengan seseorang bernama Jaka Radite....kakang
prabu, pengkhianatan besar atas sebuah negara itu karena pengkhianatan dari
rakyatnya namun pengkhianatan pada negara yang paling keji adalah pengkhiantan
dari raja yang memimpinnya....” suara itu hilang ditelan angin. Sesaat
kemudian, Prabu Palindriya yang tadinya sangat marah menjadi sangat menyesali
kematian sang istri. Rupanya anaknya sendiri yang sudah menyetubuhi Dewi Soma.
Palindriya
Menuai Karma
Maharesi
Sukra yang berhasil melarikan diri lalu kembali ke desa Pantireeja. Dia
menangisi kematian sang ibu dan kedua saudaranya. Selepas upacara pemakaman.
Maharesi Sukra memilih merawat sang adik perempuannya yang baru lahir itu ke
kahyangan dan menjadikannya bidadari.”adikku cah manis, kakang akan merawatmu.
Namamu sekarang Dewi Tumpak sebagai pengingat bahwa kelaminmu pernah ditumpangi
kelamin palsu dari batu padas. Kakang akan merawatmu bersama para dewa.”
Seketika maharesi Sukra terbang dan menghilang di sebalik awan.
Sekembalinya
ia ke keraton Medang Gele, kesehatan Prabu Palindriya semakin turun dan
akhirnya jatuh sakit. Ia terserang penyakit kelamin yang menjijikkan,
menggerogoti setiap organ tubuhnya dari dalam dan luar. Badannya mulai membusuk
bernanah dan mengeluarkan bau bacin. Darahnya makin mengental membuat sekujur
tubuhnya merasakan rasa sakit tak terperi. Ngunduh wohing pakarti, pepatah ini
sesuai dengan karma yang harus diterima Prabu Palindriya yang gemar berperilaku
menyimpang dengan mengumbar nafsu syahwat sesuka hati. Azab dari kutukan Dewi
Soma mulai berlaku. Setelah dirawat beberapa hari, penyakitnya semakin parah.
Akhirnya lima hari setelah peristiwa itu, Prabu Palindriya meninggal dunia
dengan tragis. Darahnya berhenti mengalir dan tubuhnya terus mengeluarkan bau
tak sedap ke penjuru keraton. Arya Wukir segera mengabari kakaknya, Prabu
Watugunung. Prabu Watugunung sangat berduka dan prihatin dengan kematian sang
ayah yang sangat hina. Ia segera menuju ke Medang Gele dan memimpin upacara
pemakaman sang ayah.
Terbentuknya
Sepekan Tujuh Hari
Sementara itu, Maharesi Radi di desa Andong Dadapan berniat menciptakan nama-nama hari yang baru setelah mendengar kematian Prabu Palindriya, sang murid terdahulu.
Terciptanya nama tujuh hari dalam sepekan. |
1.
Radite, diambil dari nama masa muda
Prabu Watugunung, putra Prabu Palindriya dengan Dewi Sintakasih yaitu Jaka
Radite.
2.
Soma, diambil dari Dewi Soma, istri
pertama Prabu Palindriya.
3.
Anggara, diambil dari nama Resi Anggara,
putra sulung Prabu Palindriya dengan Dewi Soma
4.
Buda, diambil dari nama Resi Buda, putra
kedua Prabu Palindriya dengan Dewi Soma
5.
Respati, diambil dari nama masa muda
Pabu Palindriya yaitu Resi Respati
6.
Sukra, diambil dari nama Maharesi Sukra,
putra ketiga Prabu Palindriya dengan Dewi Soma yang kini menjadi guru bagi para
raksasa dan dewa, dan yang terakhir
7.
Tumpak atau Saniscara, diambil dari nama
pemberian Prabu Palindriya dan Maharesi Sukra pada anak perempuan hasil
hubungan gelap Dewi Soma dengan Prabu Watugunung semasa muda.
Maharesi
Radi lalu datang ke Medang Gele untuk mempersembahkan nama tujuh hari itu
kepada Prabu Watugunung yang baru selesai upacara berkabung serta
memberitahukan cara pakainya. Misalnya jika hari ini Radite Legi/Umanis maka
besoknya Soma Pahing, lalu lusanya Anggara Pon dan bila sudah tiga puluh lima
hari berlalu akan kembali ke hari Radite Legi. Umur tiga puluh lima hari ini
juga disebut hari selapanan. Maka demikianlah penggunaan tujuh hari sepekan dan
lima hari pasaran meluas ke seluruh Jawadwipa.
Prihatinnya
Para Dewa
Sementara
itu, di kahyangan Jonggring Saloka, Batara Guru dan para dewa menerima
kedatangan Maharesi Sukra dan adiknya, Dewi Tumpak Saniscara. Mereka sangat
prihatin dengan nasib buruk yang mereka alami. Batara Guru menjanjikan mereka
akan mendapat kelayakan hidup di kahyangan dan umur yang panjang. Mereka berdua
segera dimandikan dengan Tirta Maolkayat dan Tirta Perwitasari. Setelah itu,
berembuglah para Dewa “kakang Narada, kakang Semar dan semua para dewa.
Mendengar kisah dari Maharesi Sukra barusan, aku mrasa prihatin sekali dengan
kondisi akhlak di Jawadwipa saat ini. Rakyat jelata memnag tetap berakhlak baik
dan hidup tentram tapi akhlak para pemimpinnya sangatlah rendah sekali. Para
keturunan Makukuhan banyak yang berkelakuan menyimpang dan sedeng. Rudra
Rancasan telah membuat tatanan hidup kembali kacau balau. Sudah waktunya Wisnu
turun lagi ke bumi. Anakku Wisnu, turunlah ke bumi lagi, menjelmalah menjadi
manusia. Istrimu telah menitis duluan sebagai Sriyuwati. Jemputlah ia segera
sebelum tercemar perbuatan amoral kakak dan adiknya.” “ perintah dari Ayahanda
Girinata hamba junjung tinggi. Akan segera ananda laksanakan.”
Praburesi
Satmata Meminta Takhta
Sebulan
setelah hari berkabung di Medang Gele, datanglah seorang rajaresi bernama
Satmata meminta takhta Medang Gele yang kosong. Jelas saja, Arya Wukir dan
saudara-saundaranya menolak memberikan takhta kepada orang yang tidak jelas.
Mereka bersatu melawan rajaresi tu namun kalah. Melihat kesaktian sang
rajaresi, Arya Wukir dan saudara-saudaranya mengalah dan bahkan menghadiahkan
sang resi adik perempuan mereka, Dewi Sriyuwati. Akhirnya Arya Wukir dan para
saudarnya memilih hijrah ke Gilingwesi, mengabdi pada kakak mereka, Prabu
Watugunung. Di sana mreka diterima dengan suka hati bahkan Arya Wukir
dijadihkan perdana menteri sang prabu bergelar Patih Suwelacala dan para arya
dijadikan punggawa di sana.
Hubungan
Sumbang yang Tak Disadari
Hari
yang cerah ceria. Burung-burung berkicau bersahutan. Angin menggoyang dahan dan
rumput dengan perlahan. Hari itu, Prabu Watugunung dan salah satu adiknya, Arya
Prangbakat sedang berburu di hutan Nastuti. Setelah berburu lama sekali, mereka
tidak mendapat hewan buruan. Mereka masuk jauh ke dalam huta. Di sana mereka
bertemu dengan perempuan yang sangat cantik tinggal di dalam gubuk tua. Wajahnya
bercahaya secerah sinar rembulan purnama. Rambut hitam tergerai panjang dan
mengembang. Tubuh langsing namun sintal dan subur. Prabu Watugunung jadi jatuh
cinta padanya dan berniat melamarnya.
“nimas yang cantik. Siapakah nimas dan kenapa nimas ada di hutan ini?”
“ampun Tuanku, hamba Sintakasih. Hamba tinggal di sini untuk menyepi. Tuanku
sendiri siapa?” Prabu Watugunung memperkenalkan dirinya Perkenalkan nama saya
Watugunung, raja di Gilingwesi yang kesohor di Jawadwipa. Sejak datang ke hutan
ini, saya jatuh hati pada nimas. Maukah nimas menerima saya sebagai suami nimas?”
Dewi Sintakasih tertarik namun demi mengangkat derajatnya ia mengajukan
beberapa syarat “Tuanku paduka raja, hamba hanya seorang perempuan kampung tapi
jikalau ingin menikahi hamba sudilah menerima syarat dariku. Syarat pertama, kau
harus bisa melewati hutan yang banjir ini..” seketika setelah berucap demikian,
hutan Nastuti yang tadinya permai dilanda banjir dahsyat entah darimana
asalnya. Air bergulung-gulung melenyapkan pepohonan di sekitarnya kecuali gubuk
tempat tinggal Dewi Sintakasih. Prabu Watugunung merasa sedikit kewalahan
menghadapi banjir rob yang deras itu namun ia berhasil melewati banjir rob itu
dengan mudah. Sebagai bentuk peringatan, nama hutan Nastuti diganti menjadi
Hutan Roban. Lalu syarat kedua adalah membuatkan taman indah di Gilingwesi
untuk tempatnya bersiar-siar. Tanpa pikir panjang lagi, Prabu Watugunung dan
Arya Prangbakat segera pulang dan ia ditemani para arya membuat sebuah taman
indah dipenuhi bunga-bunga yang cantik dan pohon-pohon buah yang ranum dalam
satu malam dengan kesaktian mereka. Keesokan harinya, Dewi Sintakasih diboyong
dan diperlihatkanlah taman indah itu “nimas, ini lah taman bunga indah yang
telah aku persembahkan buatmu.” Dewi Sintakasih senang sekali dan hari itu juga
menerima lamaran Prabu Watugunung. Demikianlah Prabu Watugunung dan Dewi
Sintakasih akhirnya menikah. Tanpa disadari keduanya, terjadilah pernikahan
antara anak dengan ibu kandungnya sendiri.
Pengasingan
Praburesi Satmata
Bertahun-tahun
telah berlalu, Praburesi Satmata dan Dewi Sriyuwati berumah tangga cukup lama
namun belum juga dikaruniai putra. karena itu, Praburesi Satmata dan Dewi
Sriyuwati beserta mertua mereka, Dewi Landep memutuskan untuk mengasingkan diri
dari Medang Gele dan hidup di hutan saja sembari menanti keputusan dewata. Praburesi
Satmata sesungguhnya adalah perwujudan dari Batara Wisnu dan Dewi Sriyuwati
adalah perwujudan dari Dewi Srilaksmi memohon kepada dewata agar dapat
berputra. Lalu datanglah wangsit dari Batara Guru “anakku, Wisnu sang Satmata.
Ketahuilah cobaan ini adalah teguran dariku karena merebut paksa Medang Gele
dari tangan para putra Palindriya. Sebagai dewa pemelihara dharma harusnya
ananda memintanya dengan cara baik-baik. Agar kau bisa berputra, lakuanlah tapa
ngrame dengan menjadi tabib pengobatan. Jika Yang Maha Kuasa berkehendak,
anak-anakmu akan segera dapat terlahir.” Praburesi Satmata mengerti “baiklah,
ayahanda Girinata. Daulatmu akan aku lakukan.” Praburesi Satmata menjadi tabib
pengobatan dan istri juga mertuanya menjadi tangan kanannya. Mereka mengembara meninggalkan
Medang Gele. Berkelana mereka dari satu tempat ke tempat lain menyembuhkan
berbgai penyakit. Karena kemampuannya, murid-muridnya jadi semakin banyak dan
ketika berada di pantai selatan Jawadwipa di Parangkesuma, ia menerima murid
yang luar biasa bernama Empu Gopa. Empu Gopa terkenal selain kemampuan
mengobati, juga bisa menafsirkan mimpi. Anak Empu Gopa yaitu Empu Pastima
pernah ditolong oleh Praburesi Satmata karena terkena balak aneh. Sejak saat
itu, Empu Pastima selalu belajar dan ikut kemanapun ayah dan gurunya pergi.
Prahara
Gilingwesi
Pada
suatu hari, saat Dewi Sintakasih sedang hamil sembilan bulan, Prabu Watugunung
mendapat mimpi aneh namun ia tidak ingat mimpi apa itu. Berbagai pendita,
tukang ramal, dukun didatangkan untuk mencari tahu arti mimpi itu namun tak
berhasil sehingga akhirnya Prabu Watugunung bertemu dengan Empu Gopa. Setelah
mengutarakan maksudnya, Empu Gopa diajaknya ke keraton Gilingwesi. Begitu
sampai di sana, ia segera menafsirkan mimpi Prabu Watugunung melalui ilmu
terawangnya. Lalu ia berkata “tuanku Paduka Watugunung, isi mimpi paduka kurang
baik. Hamba melihat anak harimau yang dimangsa ular hingga ke tulang-tulangnya.
Lalu dari mulut ular itu, keluarlah darinya empat jenis makhluk, yakni ulat,
tikus, nyamuk, dan kuman. Menurut hamba ini pertanda bahwa para dewa akan
mengurangi kasih sayangnya dengan menimpakan empat macam malapetaka ke
Gilingwesi, yaitu ulat, tikus, nyamuk, dan kuman.” Mendengar uraian dari Empu
Gopa, Prabu Watugunung menjadi marah dan kalap, tiba-tiba ia menghunuskan keris
ke dada Empu Gopa hingga tewas. Patih Suwelacala (Arya Wukir) terkejut dan
ngeri lalu menasehati kakaknya itu “kakang prabu gegabah sekali. Kalau Empu
Gopa mati, siapa nanti yang akan bisa dimintai bantuan mengatasi malapetaka itu
nanti?” Amarah Prabu Watugunung berangsur reda dan berubah menjadi penyesalan.
Sepekan
setelah pembunuhan Empu Gopa, Kerajaan Gilingwesi ditimpa berbagai bencana alam
beruntun, mulai dari gunung meletus, gempa bumi dahsyat, hujan deras disetai
badai topan, dan banjir bandang. Banyak bangunan dan rumah rusak dan hancur
karenanya. Selepas banjir reda, datanglah ulat-ulat dan belalang memakan
tanaman pertanian. Lalu datang tikus-tikus yang memakan bahan makanan penduduk.
Baru reda hama tikus dan ulat, datanglah jutaan nyamuk menggigit dan menghisap darah
hewan-hewan dan para penduduk. Belum reda wabah nyamuk, datanglah kuman-kuman
menyebarkan wabah penyakit kulit. Banyak penduduk yang terserang barah dan
kudis yang menjijikkan.
Prabu Watugunung menjadi sangat sedih menyaksikan kesengsaraan penduduknya. Berangsur-angsur wibawa negerinya menjadi merosot sehingga banyak negeri bawahan melepaskan diri.
Prabu Watugunung menjadi pemuja Batara Kala |
Beberapa
hari setelah malapetaka habis, datanglah Dewi Landep, ibu kandung Patih
Suwelacala (Arya Wukir) dan Dewi Sriyuwati dari Padepokan Parangkesuma. Dia
datang untuk mengunjungi para putranya di Gilingwesi. Prabu Watugunung
menyambut ibu tirinya itu dengan suka hati dan mempersilakan untuk melepas
rindu kepada Patih Suwelacala. Karena hari sudah malam, Patih Suwelacala
menyarankan sang ibu untuk menginap saja dahulu barang sehari-dua hari di
kaputren untuk beristirahat.
Di
keputren bertemulah Dewi Landep dengan Dewi Sintakasih. Begitu melihat wajah
Dewi Landep, ingatan masa lalu Dewi Sintakasih mulai terang. Mereka terkejut
dan saling melepas rindu setelah berpisah selam puluhan tahun. “Yunda Dewi, aku
kangen pada yunda. Sudah lama kita tidak saling ertemu. Apa kabarmu?” “aku
baik, dinda dewi. “ Dewi Landep meminta maaf karena sudah merebut Prabu
palindriya darinya. Dewi Sintakasih sudah ikhlas “sudahlah, dinda. Aku sudah
rela. Masa lalu biar berlalu. Toh kanda Prabu sudah mendapatkan karma yang
setimpal dengan perbuatannya.” Ketika Dewi Landep menanyakan kemana anak Dewi
Sintakasih, Dewi Sintakasih menangis karena dia tak kunjung menemukan
keberadaannya. Dewi Landep lalu bercerita bagaimana Prabu Palindriya menerima
seorang pemuda bernama Jaka Radite yang ingin mengabdi pada kerajaan Medang
Gele. Prabu Palindriya juga berpikir untuk menjodohkannya dengan putrinya namu
dilarang oleh Batara Narada karena mereka bersaudara dan saat ini Jaka Radite
sudah menjadi raja bergelar Prabu Watugunung. Bergetarlah hati Dewi Sintakasih
mendengar kisah itu.....perlahan ingatannya semakin terang. Antara percaya
dengan tidak, Dewi Sintakasih merasa malapetaka yang terjadi di Gilingwesi
karena Prabu Watugunung telah menikahi ibu kandungnya sendiri. Tinggal satu
cara untuk membuktikannya.
Sungsang Buwana (Terbaliknya Dunia)
Malam
hari saat di peraduan, Prabu Watugunung merebahkan diri di pangkuan Dewi
Sintakasih. Saat Dewi Sintakasih mengelus kepala sang prabu, tersayatlah hati
sang dewi menemukan luka pithak bekas dipukul benda tumpul di kepala sang
Prabu.....ingatan sang dewi menerawang jauh, mengenang saat ia memukul Jaka
Wudug dengan centhong nasi.Dewi Sintakasih bertanya dengan nada setengah
bersedih “Tuanku Prabu, jujurlah pada saya. Bagaimana tuanku mendapatkan luka
di kepala tuanku?” Prabu Watugunung menjawab
“ohh.. luka ini ada karena ibuku memukulkan centhong nasi....ketika aku
masih kanak-kanak, aku sangat rewel dan jago makan, ibuku seorang putri raja
bernama Dewi Basundari...syang hatinya tak secantik wajahnya dan gelar yang
disandangnya.....hanya karena aku minta makan...dia tega memukul kepalaku
sampai berdarah dengan centhong nasi yang masih panas.... hatiku terasa sakit
teriris...ibu yang kukasihi malah tega menyiksaku dengan centhong nasi...aku
lari minggat dari rumah dan aku tak pernah bertemu mukanya lagi.” Dewi
Sintakasih menangis tersedu “Tu-Tuanku tidakkah kau rindu pada ibu tuanku?”
“rindu kata dinda? Ohh tidak...jangankan rindu, melihat wajahnya mungkin aku
muak. Ibu penyiksa seperti itu lebih baik aku lenyapkan saja dari muka bumi.”
Dewi
Sintakasih semakin larut dalam kesedihannya. Ia meminta Prabu Watugunung untuk
tidur duluan. Dia lalu lari ke taman mas kawin dari Prabu Watugunung
menumpahkan segala kesedihan dan nasib buruk yang dialaminya “Duh Jagat Dewa
Batara...Sanghyang Jagat Pramudita, Mengenaskan sekali hidup hamba. Dunia hamba
telah terjungkir balik. Aku malah menikahi putra kandungku.” Dewi Sintaksih
merenung dan merasa sudah waktunya dia dan putra-putranya harus tumpas perlaya.
Dia merasa inilah saatnya menghentikan lingkaran setan kebejatan keluarga
Makukuhan. Dia tak ingin dunia ini terus terkotori oleh aib keluarga Makukuhan
terus menerus. Maka sejak saat itu Dewi Sintakasih menolak disentuh oleh Prabu
Watugunung. Setiap kali minta tidur bersama, ia tak mau dan beralasan sedang
melakukan laku tapa brata. Maka sang raja Gilingwesi itu mencari orang lain
sebagai pelampiasan. Dewi Landep, sang ibu tiri yang sebelumnya ia kelabui
dengan daun kecubung disetubuhinya juga. Lalu juga putranya, raden Radeya yang
masih kecil juga digerayangi dan dicabulinya. Dewi Sintakasih yang memergoki
merasa semakin berdosa. Putranya telah menjadi budak nafsu syahwat. Ia pun
bersemedi di tengah hutan memohon petunjuk. Tiba-tiba datanglah bantuan dari
putra tirinya yang lain, Maharesi Sukra dan Dewi Tumpak Saniscara dari
kahyangan “ibunda Sintakasih....kami putramu dari bunda Dewi Soma, Maharesi
Sukra dan Dewi Tumpak. Aku dan adikku datang diutus para dewa untuk membantumu.
Buatlah rekayasa dengan mengikutkan para dewa. Menurut ramalan rayi Watugunung
hanya bisa dikalahkan oleh gusti Batara Wisnu.” “ibunda Sintakasih... nanda
Tumpak tidak keberatan jika aku ikut rekayasa yang ibu berikan.” Dewi
Sintakasih merasa berterima kasih pada kedua putra-putri tirinya itu.
Watugunung Menyerang Kahyangan
Maka
pada suatu hari, Dewi Sintakasih mau memberikan tubuhnya lagi dengan sebuah
syarat “tuanku Watugunung, alasan saya menolak disentuh karena ingin
mengheningkan cipta dengan tekun. Tapi jika tuanku ingin saya disentuh lagi
olehmu, aku mau dimadu tujuh bidadari dan satu bidadari kecil bernama Tumpak
Saniscara.” Prabu Watugunung yang telah diperbudak nafsu syahwat mengiyakan
permintaan tak masuk akal itu. saat itu juga Prabu Watugunung, Patih Suwelacala
beserta kedua puluh enam saudara mereka segera menyerbu kahyangan Jonggring
Saloka.
Syahdan
di Kahyangan Jonggring Saloka, Batara Indra dan segenap pasukan Dorandara
dengan panglimanya Batara Kartikeya diserang pasukan Gilingwesi demi merebut
ketujuh bidadari dan Dewi Tumpak Saniscara. Walaupun awalnya para dewa
terdesak, namun dengan sedikit perjuangan, para dewa sanggup membuat para pasukan
Gilingwesi mundur. Bahkan Batara Indra dan Batara Kartikeya menewaskan dua
puluh enam adik Prabu Watugunung dan Patih Suwelacala (Arya Wukir). Hal ini
membuat Prabu Watugunung kalap dan gelap mata. Maka ia berubah menjadi raksasa
besar dan memporak porandakan Istana Karang Kaendran. Para dewa terdesak dan
segera masuk ke dalam Istana Iswaraloka. Para dewa khawatir kalau kahyangan
benar-benar hancur. Batara Guru kemudian mengutus Batara Narada “kakang Narada,
segera panggil Wisnu dan para putranya di Padepokan Parangkesuma. Katakan
padanya silapnya sudah diampuni dan saat ini kahyangan sedang diserang
Watugunung.” “baik, Adhi Guru. Segera saya kesana.”
Batara Wisnu menjadi Jago Kahyangan
Di
Padepokan Parangkesuma, Praburesi Satmata sedang bersama Dewi Sriyuwati dan
putra-putri mereka, yaitu Raden Srigati, Raden Srinada, dan Dewi Srinadi juga
muridnya, Empu Pastima. Mereka berencana
untuk segera mengembara lagi. Namun tiba-tiba datanglah Batara Narada memberi
kabar “Welah dalah...Wisnu ohh Wisnu...kahyangan ketiwasan.” “ampun uwa patih
Narada....apa yang terjadi di kahyangan?” Batara Narada menceritakan bahwa saat
ini kahyangan Jonggring Saloka diserang oleh Prabu Watugunung yang berniat
memperistri tujuh bidadari dan Dewi Tumpak, yang tak lain anaknya sendiri
“tidak bisa dibiarkan, uwa patih!.....Bumi Jawadwipa sudah cukup dikotori Prabu
Palindriya, jangan dengan anaknya kali ini...aku akan ikut uwa patih ke kahyangan.
Dinda! anak-anakku!, sudah saatnya kita kembali ke kahyangan sekali
lagi.....Pastima, teruskanlah usahamu. Kita harus berpisah sampai di sini” Empu
Pastima sedih karena harus berpisah dengan sang guru yang juga ayah angkatnya
itu. “baiklah, guru....aku akan tetap di sini, membantu orang-orang.” Setelah
berpamitan, Praburesi Satmata, Dewi Sriyuwati dan para putranya pun kembali ke
wujud dewata mereka dan segera terbang ke kahyangan.
Kematian Patih Suwelacala
Sesampainya
di kahyangan, Batara Wisnu dan salah satu putranya, Batara Srigati langsung ke medan
perang. Batara Srigati segera berperang tanding dengan Patih Suwelacala yang
masih paman. Pertempuran itu berlangsung sengit. Awalnya tangan kosong lalu adu
panah. Keduanya seimbang dan diakhiri dengan keris beradu keris. Dalam adu
keris itu, Batara Srigati berhasil mengalahkan Patih Suwelacala dan robeklah
perut sang patih. Patih Suwelacala merasa ajalnya sudah dekat dan keheranan
pada anak muda itu “anak muda.....siapa kau sebenarnya?” dengan hati teriris,
Batara Srigati mengakui “Aku...Srigati. Putra Satmata dan Sriyuwati.” Patih
Suwelacala merasa terkejut namun gembira, dia dikalahkan oleh keponakan
sendiri. Patih Suwelacala tidak marah malah gembira,paling tidak kematiannya
bukan karena hal hina. Dia memberikan selamat pada keponakannya itu dan tak
lama, ia pun menghembuskan nafasnya yang penghabisan.
Watugunung Gugur dan Terbentuknya
Pawukon
Di tempat lain, Batara Wisnu berusaha bernegosiasi dengan Prabu Watugunung. Lalu diputuskan untuk saling menebak teka-teki. Batara Wisnu harus menebak teka-teki dari Prabu Watugunung. Kalau mampu dijawab dengan benar maka Batara Wisnu boleh untuk menghukumnya namun jika salah atau tidak mampu dijawab, maka Prabu Watugunung harus diijinkan memiliki kahyangan beserta isinya termasuk tujuh bidadari dan Dewi Tumpak.”baik, Batara Wisnu aku mulai teka-tekinya. ‘ada ayah gemuk beranak gempal, mereka bertemu dengan seorang ayah gemuk beranak kecil dan seorang ayah kurus beranak gemuk.” Batara Wisnu dapat menebaknya “ayah gemuk beranak gempal adalah pohon kelapa. Bermakna keturunan Prabu harus dimuliakan, tidak boleh disakiti. Mereka bertemu seorang ayah berbadan gemuk beranak kecil. Yang dimaksud itu pohon beringin. Bermakna agar istri Prabu tak boleh diganggu. Lalu makna ayah kecil beranak gemuk adalah tanaman semangka. Maknanya agar saudara-saudara Prabu yang sudah gugur dan keturunannya dimuliakan.”
Prabu Satmata (Batara Wisnu) melawan Prabu Watugunung |
Prabu Watugunung tercekat dan berubah kembali menjadi raksasa sebesar gunung Mahameru ingin menyelesaikan pertarungan yang tadi dengan Batara Wisnu. Namun Batara Wisnu segera bertiwikrama menjadi Maha Brahalasewu yang sepuluh kali lebih besar. Pertarungan mereka terjadi saat hari Radite Kliwon. Pada hari Soma Legi, Batara Wisnu menyayat kulit Prabu Watugunung dengan kuku tajamnya yang mirip cakar, lalu menikam Cakra Widaksana ke kepala sang prabu dan jrass.... terputuslah kepala Prabu Watugunung, menggelundung jatuh dari kahyangan diikuti tubuhnya. Jatuhnya jasad sang prabu terjadi saat hari Anggara Pahing.
Dewi Sintakasih melihat dari langit tubuh dan kepala sang prabu jatuh dan hancur tak berbentuk. Dewi Sintakasih dan Dewi Landep menangis sejadi-jadinya. Kahyangan bergetar hebat. Tangisannya terdengar sampai hari Buda Pon. Lalu datanglah Batara Narada menenangkan sang dewi berdua “Sintakasih! Landep! Bertenanglah kalian berdua. Jikalau kematian Watugunung memang kamu sesali maka kami akan coba menghidukannya lagi.” “terima kasih pukulun. Hamba mohon pada paduka ulun agar mengampuni dosa hamba, saudara hamba, Landep dan anak-anak dinda Landep.” “ baiklah, anakku Sintakasih. Permintaan kamu akan dikabulkan.” Batara Narada kembali ke kahyangan meminta Batara Guru menghidupkan kembali Prabu Watugunung. Terjadilah keajiban, begitu setetes Tirta Perwitasari dikucurkan, Prabu Watugunung hidup kembali namun sebagai badan halus. Batara Guru berkata walau sang prabu telah dihidupkan kembali namun ia harus menjalani perhitungan dan penyucian diri. Prabu Watugunung menurut saja. Maka, pada hari Respati Wage, Prabu Watugunung ingin tidur di istana Karang Kaendran sembari menanti perhitungan dan penyucian dirinya pada hari Sukra Kliwon. Pada saat ia beristirahat ia bermimpi dikejar empat jenis petaka yang dulu melanda negerinya. Keempat petaka itu rupanya merupakan perwujudan segala amal buruk sang prabu. Sang prabu ketakutan dan akhirnya ia terbangun dalam keadaan menangis. Di hari Sukra Kliwon saat perhitungan amal, Prabu Watugunung menangis meminta agar dia dibakar saja di neraka hari itu. Maka selama sehari penuh, Prabu Watugunung tinggal di neraka. Walau berbadan halus, tubuh Prabu kesakitan dan ia mengerang tertimpa sejuta rasa sakit, penderitaan dan kejamnya siksa neraka. Badan halus Prabu Watugunung yang kini telah disucikan api neraka. Segala siksaan dan azab pedih di neraka merontokkan segara kekotoran dan dosanya.
Prabu Watugunung dientas dari neraka |
Setelah hari Sukra berlalu, tibalah hari Tumpak Legi/Saniscara Legi. Di hari itu, atas seizin Batara Guru, Batara Brahma dan Dewi Saraswati mengangkatnya dari neraka dan diberikan segala ilmu pengetahuan, ilmu akidah dan budi pekerti. Setelah di angkat dari neraka, Prabu Watugunung melihat seluruh keluarganya, yaitu Dewi Sintaksih sang ibu kandung dan Dewi Landep, sang ibu tiri dan keduapuluh tujuh saudaranya telah berada di kahyangan. Sudah saatnya Prabu Watugunung dan keluarganya naik ke Swarga Maniloka. Di awali oleh Dewi Sintakasih pada hari Radite Pahing, satu pekan kemudian beganti Dewi Landep, lalu para saudara sang prabu, diawali oleh Arya Wukir (Patih Suwelacala), lalu tujuh hari kemudian Arya Kurantil, disususl roh/atma para arya lainnya setiap hari Radite dan yang terakhir adalah Prabu Watugunung yang naik ke Swarga Maniloka. Kini lengkap sudah keluarga Prabu Watugunung di Swarga Maniloka. Untuk mengenang peristiwa itu, Maharesi Radi membuat penanda waktu baru yaitu Pawukon atau kumpulan wuku. Wuku itu ada tiga puluh dan setiap wuku ada tujuh hari, dimula pada hari Radite sampai hari Tumpak Saniscara. Ketiga puluh wuku itu dimulai dari :
1.
Wuku Sinta
2.
Wuku Landep
3.
Wuku Wukir
4.
Wuku Kurantil
5.
Wuku Tolu
6.
Wuku Gumbreg
7.
Wuku Warigalit
8.
Wuku Warigagung
9.
Wuku Julungwangi
10.
Wuku Julungsungsang atau Sungsang
11.
Wuku Galungan atau Dungulan
12.
Wuku Kuningan
13.
Wuku Langkir
14.
Wuku Medangsiya atau Mandasiya
15.
Wuku Julungpujut
16.
Wuku Pahang
17.
Wuku Kuruwelut atau Krulut
18.
Wuku Merakih atau Marakih
19.
Wuku Tambir
20.
Wuku Medangkungan
21.
Wuku Maktal
22.
Wuku Wuye atau Wuje
23.
Wuku Manahil
24.
Wuku Prangbakat
25.
Wuku Bala
26.
Wuku Wugu atu Ugu
27.
Wuku Wayang
28.
Wuku Kelawu atau Kulawu
29.
Wuku Dukut dan yang terakhir
30.
Wuku Watugunung
Anak Para Dewa menjadi Para Raja
Jawadwipa
Karena
sekarang takhta Gilingwesi dan Medang Gele kosong, maka Batara Guru mengutus
para putra Batara Wisnu dan Batara Brahma untuk memerintah di Jawadwipa. Batara
Srigati membangun kembali kerajaan Purwacerita yang sudah lama mati lalu
menggabungkannya dengan Medang Gele dan mengganti namanya menjadi Prabu
Srimahapunggung. Sementara Batara Bremana menjadi raja Gilingwesi bergelar
Prabu Bremana. Prabu Bremana lalu dijadikan menantu batara Wisnu dengan
menikahi Dewi Srihunon. Begitupun Batara Brahma mengambil menantu dengan
menikahkan Prabu Srimahapunggung dengan putrinya yaitu Dewi Brahmaniyati. Putra
Batara Wisnu yang lain, yaitu Batara Srinada juga mendirikan negara baru
bernama Wirata bergelar Prabu Basurata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar