Rabu, 10 Maret 2021

Kesaktian Para Dewi

Matur Salam, Para pembaca sekalian. Kisah kali ini mengisahkan tentang para dewi kahyangan. Para dewi kahyangan dipimpin Batari Durga mengalahkan sejumlah raksasa. Dikisahkan pula kisah Batari Durga yang berhasil mengalahkan para musuh kahyangan dengan dua wujud menakutkan, Durga Katyayani dan Mahakali. Kisah ini bersumber dari serial kolosal India Mahakaali dan Mahadewa yang telah disesuaikan dan diselaraskan dengan pewayangan jawa.

Prabu Mahesha mendapat kesaktian

Kekuatan para dewa sememangnya telah bertambah kuat namun ada saja masalah. Para raksasa dan yaksa keturunan dan titisan Rudra Rancasan selalu membuat keonaran dan selalu merongrong kekuasaan batara Guru sesuai sumpahnya dahulu. Setelah diangkatnya Prabu Watugunung sekeluarga ke surga dan naiknya Sri-Sadana menjadi pasangan dewa-dewi, para raksasa tak henti-hentinya membuat masalah. Alasan mereka untuk menguasai kahyangan dan tiga dunia. Tersebutlah Prabu Mahesha, raja para yaksa di negeri Parwakamudra, keturunan Maharesi Kasyapa dan Dewi Dhanu. Dia bertekat ingin mencapai kehidupan yang baik. Maka ia pun bertapa brata di kaki gunung Kampud dengan makan serangga beracun dan ular berbisa sepanjang hidupnya. Hingga pada akhirnya ketika tubuh dan kesaktiannya sudah tak mampu menawarkan lagi racun, muncullah lagi Batara Rudra Rancasan yang sangat membenci para dewa itu “Mahesha, Sanghyang Widhi telah menerima do’a mu. Aku datang sebagai utusan-Nya akan membantumu mencapai keinginanmu. Katakan, apa keinginanmu?” “hamba ingin menjadi makhluk abadi selamanya.” Batara Rudra Rancasan berkata “Aku tidak bisa mengabulkan yang itu.” Prabu Mahesha mengganti permintaanya “baiklah, aku ingin menjadi makhluk terkuat di jagat raya.” Batara Rudra Rancasan mengabulkannya lalu ia memberikan pesan “keinginanmu akan terwujud namun kau harus ingat, berhati-hatilah pada makhluk terkuat di alam ini selain kamu saat ini. dia adalah kebalikan dari sebuah lingga yaitu yoni.”

Prabu Mahesha ingin Menaklukan Kahyangan

Setelah pulang bertapa brata, Prabu Mahesha menjadi sangat kuat, tak mampu dikalahkan makhluk manapun. Maka ia menjadi sombong dan jumawa. Ia lancarkan serangan demi serangan ke negara-negara di sekitar Jawadwipa bahkan ke Alengkadireja lalu ia menmbiuskan ajaran-ajaran kepada para raksasa untuk menyerang para dewa di kahyangan sana. Maka setelah kekuatannya cukup, ia gempur kahyangan dengan seribu kekuatan raksasa dan manusia-manusia durjana.

Kahyangan sedang kalang-kabut menghadapi kekuatan pasukan Prabu Mahesha. Mereka benar-benar kuat. Pasukan Dorandara tujuh lapis yang dipimpin Batara Indra dan Batara Kartikeya masih belum mampu membuat pasukan itu mundur barang selangkah. Akhirnya kekuatan mereka ditambah dengan tujuh lapis lagi dengan Batara Ganesha dan Batara Shani menjadi panglima apit. Pasukan Parwakamudra bisa mundur namun kini para dewa tinggal berhadapan dengan Prabu Mahesha. Batara Brahma meniupkan nafas berapi daari langit namun sang prabu bergeming saja, tak rasa panas. Batara Bayu membawa topan prahara yang kencang namun seujung kuku sang prabu tak bergeser. Batara Baruna dan Mintuna membuat ombak pasang tak juga mampu membuat sang prabu tenggelam. Batara Indra menurunkan halilintar dan es salju yang membekukan juga tak membuat sang prabu tersetrum ataupun kesejukan, malah terasa bagaikan tergelitik kaki. Lalu sang Prabu Mahesha jumawa dan mengerahkan kekuatannya dan berbaliklah semua serangan para dewa. Keadaan semakin gawat. Batara Guru dan batara Wisnu turun gelanggang. Ia mengendarai Andini, lembunya yang sakti dan berusaha melemparkan senjata dewa ke tubuh Mahesha namun itu semua berbalik kepada sang Batara Guru. Begitupun Batara Wisnu, cakra Widaksana miliknya tak mapu mengiris ataupun memenggal kepala sang raja durjana. Lalu Batara Guru segera merapal Aji Pangabaran dan Kemayan namun tak berkesan juga. Maka Batara Guru segera memerintahkan para dewa segera masuk ke kahyangan. Lawang Kori Selomatangkep segera ditutup.

Batari Durga, Sang Senopati Para Dewi

Melihat kekalahan para dewa, Batari Durga dipimpin para dewi lainnya segera menghadap “suamiku, biarkan kami para dewi yang mengalahkan keangkuhan Mahesha.” “tidak, istriku. Kami para dewa saja dibuat tak berdaya.” Batari Durga meyakinkan suaminya “suamiku, aku mendapat wangsit dari Sanghyang Widhi bahwa kelemahan Mahesha adalah perempuan. Hanya ini lah jalan satu-satunya.” Karena tak ada jalan lain, maka Batari Durga menaiki harimau kesayangannya, Manastala diiringi Dewi Sri Laksmi, Dewi Saraswati, Dewi Permoni, Dewi Sri, Dewi Ratih, dan para bidadari sekethi kurang siji segera keluar dari kahyangan dengan pakaian perang lengkap. Pertempuran terjadi, perang antara kaum pria melawan para wanita. Butuh waktu untuk membut para raksasa sisa pasukan yang belum lari namun berkat kegigihan Durga dan para dewi, para raksasa berhasil dikalahkan. Kini tinggal Prabu Mahesha sendiri beradu satu lawan satu dengan Batari Durga. Prabu Mahesha segera berubah menjadi raksasa betangan empat. Dengan segala senjata, Batari Durga berusaha melukai Prabu Mahesha namun kulitnya sama sekali tak tergores. Kulitnya keras dan liat bagaikan kulit badak. Batari Durga kemudian terdesak namun para dewi dan bidadari segera menolong Batari Durga. Mengalirlah aliran energi yang sangat kuat para dewi menuju Batari Durga. Terjadilah keajaiban, Batari Durga bertriwikrama menjadi Dewi Katyayani, dewi cantik tinggi besar bertangan sepuluh. Setiap tangan memegang banyak senjata.Prabu Mahesha jumawa dan berkata “gusti dewi yang cantik. Kau sudah terdesak dengan kekuatanku. Kini engkau berubah sekalipun tidak akan bisa melawan kehebatan Mahesha. Pulanglah ke suamimu dan rawat harimau milikmu agar jadi kucing penurut.” Batari Durga hanya tertawa dan menjawab “hahaha.....Mahesha! kau kira wanita cantik sepertiku hanya menjadi teman tidur suamiku? Ohh tidak. Wanita sepertiku lebih sekadar itu. Aku lebih berhak bersama pria yang telah mengalahkanku di medan tempur ini!” meledaklah kemarahan Prabu Mahesha, terhina harga dirinya. Rasa kejantanan Prabu Mahesha tertantang untuk segera menundukkan Batari Durga dan menidurinya. Mereka akhirnya saling berperang tanding. Terjadi gara-gara di kahyangan maupun di marcapada.

Durga Mahesasuramardini

Dalam adu kesaktian  kali ini, Prabu Mahesha berhasil terdesak. Maka Prabu Mahesha berusaha mengakali dengan bertukar wujud menjadi berbagai bentuk, mulai dari gajah, burung elang raksasa, leak, badak, babi hutan, burung gagak, manusia, raksasa bajang, hantu, jin tapi semua bisa dikenali sang Batari Durga. Terakhi kali, ia bertukar menjadi kerbau yang ganas lagi sakti mandraguna, sesuai dengan namanya, Mahesha berarti kerbau.

Durga Mahisasuramardini
Singkat cerita, Batari Durga mampu mengalahkan kerbau jelmaan Prabu Mahesha dengan memenggal kepalanya dengan pedang dan keris. Lalu harimau kendaraannya segera menjilati darah yang mengucur dan segera memakan badan kerbau itu. dengan tewasnya Prabu Mahesha, maka para dewa dan dewi menyambut kemenangan sang istri batara Guru itu maka Batari Durga mendapat julukan baru yaitu Mahesasuramardini yang berarti “sang penakluk raja Mahesha”

Ambisi Raktabija

Kekejaman dan ambisi Prabu Mahesha membuat para bawahannya yang masih setia bertekat untuk kembali menaklukan para dewa. Kali ini hal itu kembali dilakukan oleh Patih Raktabija, patih kesayangan sang prabu. Kerajaan Parwakamudra dipimpinnya sepeninggal sang raja. Sang raja yang meninggalkan sepasang anak kembar, Arya Sumbha dan Nisumbha masih cukup muda. Pada hari yang tepat, raja baru dilantik, Prabu Arya Sumbha dan Prabu Arya Nisumbha. Pada suatu hari, keduanya dihasut Patih Raktabija agar memusuhi para dewa, sang patih mengatakan kepada dua anak asuhnya itu “Gusti Prabu Arya berdua, ketahilah bahwa ayah kalian dahulu telah dibantai oleh para dewa. Sebelum ia tewas, ia menitipkan kalian padaku” Murkalah kedua putra mendiang Prabu Mahesha itu. Maka Prabu Arya Sumbha dan Arya Nisumbha memerintahkan Patih Raktabija “Paman patih, segera panggil paman Tumenggung Candha dan Mundha, kita akan ke gunung. Kita minta pada Dewa Rudra Rancasan kekuatan maha hebat!” singkat cerita, Prabu Arya Sumbha dan Arya Nisumbha mendapat kekuatan sepuluh roda gerigi ajaib yang mampu meringkus seluruh senjata dewa, Patih Raktabija mendapatkan aji Sahasrakta yang membuat penggunanya bila terluka dan bercucuran darah maka muncullah pasukan raksasa dari tiap darah yang menetes dan Tumengung Candha dan Mundha mendapat ajian Sirep yang mampu menidurkan bahkan para dewa sekalipun. Setelah mendapatkan kekuatan yang hebat, mereka segera berangkat menggempur kahyangan.

Serangan Sumbha dan Nisumbha

Hari itu cerah ceria di Kahyangan Jonggring Saloka. Batara Guru dihadap Batara Semar, Batara Togog, Batara Narada, dan para dewa lainnya. Mereka sedang membicarakan tentang keadaan para manusia di Jawadwipa setelah serangan Prabu Mahesha. Batara Ganesha mengabarkan sang ayah bahwa para manusia sekarang semakin makmur dan cerdas. Ilmu pengetahuan berkembang pesat dan kehidupan semakin beradab. Batara Guru merasa senang. Namun tiba-tiba cuaca cerah berganti mendung lebat. Gelap dimana-mana. Puncak Mahameru, Tengguru Kaliasa mendadak bergejolak, Kawah Candradimuka membuncahkan lahar panas dan awan wedhus gembelnya. Melihat tanda-tanda itu, Batara Guru tahu bakal ada musuh dewa. Tak lama kemudian, Batara Kala datang mengabarkan bahwa datang sepasukan raksasa dari Parwakamudra. Maka diturunkanlah pasukan Dorandara. Namun pasukan para dewa justru kalah dengan aneh. Mereka pingsan seperti terkena sirep. Maka para dewa lainnya mengerahkan kekuatan mereka. Hujan api, badai petir, badai hujan, salju longsor, gelombang pasang, topan prahara, wabah penyakit diturunkan namun pasukan raja kembar itu tak terkalahkan. Patih Raktabija segara menyayat tangannya dan tiap darah yang menetes berubah menjadi kembarannya. Mereka tumbuh banyak sekali hingga memenuhi seluruh Repat Kepanasan. Kembaran-kembaran Raktabija itu memakan segala wabah penyakit dan melukai banyak dewa. Batara Guru akhirnya turun tangan namn dicegah oleh para dewi. Lalu keluarlah dari barisan para dewi itu Dewi Saci atau Dewi Indrani, istri Batara Indra “Gusti ayahanda batara, aku mendapat penglihatan bahwa sekarang Gusti ibunda Durga sedang dalam masalah. Gusti batara segeralah menolongnya. Biar kami mengulur waktu.” Singkat cerita, para dewi kembali bertarung melawan para raksasa Parwakmudra. Dewi Saci berubah menjadi Dewi Aindri segera melemparkan Bajra dan keris namun jumlah kembaran Raktabija semakin bertambah. Dewi Sri Laksmi segera bertiwikrama menjadi Dewi Waisnawi lalu melemparkan Cakra Widaksana malah muncul Raktabija baru dari tetesan darahnya, Dewi Saraswati bertiwikrama menjadi Brahmani dan melemparkan Gada namun ikut menambah jumlah kembaran Raktabija baru, Dewi Permoni berubah menjadi Niruti dan melemparkan tameng raksasa berhasil menindih bebrapa kembaran Raktabija itu namun tidak efektif. Dewi Sri bertiwikrama menjadi Larasati melemparkan ani-ani dan celurit tapi terlempar oleh daya kesaktian Arya Sumbha.

Prabu Arya Sumbha murka tidak dapat mendekati Batara Guru maka ia suruh Tumenggung Candha dan Mundha untuk menculik Batari Durga agar Batara Guru mau bertekuk lutut dihadapannya.

Batari Durga, sang Dewi Candika

Suasana istana Setra Gandamayu mencekam. Bau wangi bunga kemboja, bunga kantil, dan melati bercampur bau bangkai menyeruak semakin kuat. Angin berhembus kencang turut membawa kewingitan istana berbau kuburan itu. Batari Durga sedang bertapa brata, mengheningkan diri dan membersihkan segala kekotoran. Lalu datanglah bau lain yang aneh seakan-akan membawa aroma mimpi indah. Bau itu ditebarkan oleh Tumenggung Candha dan Mundha. Mereka tergur dengan keelokan tubuh Batari Durga. Tubuh sintal tinggi besar dan wajah yang meneduhkan membuat mereka kepincut namun segera datanglah Batara Guru. Ia segera mematrapkan aji pangabaran dan Aji Kemayan. Namun seluruh ajian itu tawar dengan Ajian Sirep milik dua tumenggung Parwakamudra itu. Batara Guru segera melemparkan trisulanya namun dua raksasa itu berhasil menghindar. Keadaan berbalik semakin gawat. Batara Guru terdesak. Maka naga Andana melepaskan sepotong sisiknya dijadikan perisai dan segera bersemedi mengembalikan kekuatan. Mendengar suara ribut di taman istana, Batari Durga terganggu dan mendapati suaminya sedang duduk bersila namun dengan raut wajah yang lelah dan dilindungi perisai dari sisik yang nyaris hancur. Murkalah sang dewi dan bertukarlah ia menjadi dewi cantik namun dengan raut wajah yang ganas. Tanpa ampun lagi, ia segera memenggal kepala Candha dan Mundha. Maka Batari Durga dijuluki Dewi Candika atau Chamundha. Batari Durga sadar jika sang suami duduk bersila seperti itu maka terjadi sesuatu yang gawat di kahyangan. Maka ia segera berangkat ke Repat Kepanasan.

Dewi Mahakali yang Menyeramkan

Di Repat Kepanasan, para dewa dan dewi terdesak. Para dewa memang tak bisa mati setelah minum Tirta Amerta Perwitasari dan Tirta Amerta Maolkayat namun mereka tetap bisa terluka dan kesakitan. Pasukan klon Raktabija semakin mendekati Lawang Kori Selomatangkep namun datanglahlah Batari Durga dari dalam kahyangan. Dengan raut wajah penuh kemurkaan, dia pun meraung keras. Raungan itu membuat para prajurit Parwakamudra tewas semua. Di saat itu juga, Batari Durga bertriwikrama menjadi Dewi Mahakali, dewi tinggi besar berkulit gelap dengan mata merah menyala, rambut panjang gimbal acak-acakan, berwajah sangat mengerikan bak raksasa dengan taring panjang mencuat, berkalungkan tengkorak,dan di tiap tangan memegang banyak senjata. Patih Raktabija kemudian bertarung dengan Dewi Mahakali. Dewi Mahakali berhasil membuat Patih Raktabija terdesak namun karena luka-lukanya mengucur darah maka terbentuklah Raktabija-Raktabija baru. Dewi Mahakali segera menelan semua Raktabija kembaran dan menghisap seluruh darahnya sekaligus. Maka tinggallah Patih Raktabija yang asli lalu sang dewi berhasil menghabisinya. Sang patih Parwakamudra itu pun tewas dengan badan pucat kehabisan darah. Prabu Arya Sumbha dan Nisumbha marah sekali melihat patih Raktabija tewas maka mereka segera membentuk krodha menjadi raksasa berlengan empat yang membawa gerigi. Dilemparkanlah seribu gerigi tajam itu ke angkasa menuju tempat Dewi Mahakali. Dewi Mahakali segera menangkisnya dengan pedang lalu ditebaslah semuanya selagi di angkasa. Dewi Mahakali segera memukul Arya Nisumbha hingga jatuh tak sadarkan diri. Prabu Arya Sumbha murka saudaranya tak sadarkan diri maka ia serang harimau kendaraan Dewi Mahakali.

Mahakali 
Tak terima, maka ia segera membenturkan kepalanya lalu pingsanlah Prabu Arya Nisumbha. Tapi bersamaan itu Arya Nisumbha justru terbangun dan menyerangnya lagi maka ia balik menyerang mereka dengan melemparkan ribuan keris, bajra, kapak, tombak, gada, kujang, celurit, parang, pedang, tameng, dan panah dari angkasa. Hujan panah, keris dan semua senjata menghujam kedua anak raja itu dan tewaslah mereka berdua dilumat jutaan senjata dari langit.

Mahakali Mangerti

Para musuh kahyangan berhasil ditumpas namun Dewi Mahakali justru semakin menggila. Mahakali semakin haus darah dan tak segan menghancurkan dan membunuh apa saja. Dia bahkan menari-nari seperti orang gila diantara lautan darah dan jasad-jasad para raksasa. Bau anyir darah dan jasad bagaikan bau wangi surga di dalam pandangan sang Dewi. Akibat tariannya itu, Bumi gonjang-ganjing langit kolap-kalip. Topan prahara begitu kencangnya hingga menerbangkan gunung-gunung. Mahameru dan gunung-gunung berapi lainnya bergemuruh dan meletus hebat. Badai petir dan halilintar menyambar-nyambar. Hujan air dan api menghujam tanah. Banjir dimana-mana menenggelamkan seluruh daratan termasuk di Jawadwipa. Para manusia, para raksasa, hewan, tumbuhan, dan para jin ketakutan mengira marcapada kiamat. Para dewa dan dewi berusaha menghentikannya namun tak berhasil. Batara Wisnu pun tak bisa menghentikan kegilaan sang dewi. Para dewa ketakutan karena bukan hanya marcapada yang akan kiamat tapi seluruh kahyangan juga akan hancur lebur. Di saat yang tepat, Batara Guru terbangun dari semedinya dan segera berbaring di Repat Kepanasan membiarkan setiap hentakan kaki istrinya itu menghujam dirinya. Setelah beberapa lama, akhirnya Mahakali tersedar bahwasanya ‘lantai dansa’ tempatnya menari adalah suaminya sendiri. Dengan rasa malu dan sedih , Dewi Mahakali menjulurkan lidahnya. Segera ia hentikan tariannya, melemparkan seluruh senjatanya, dan kembali menjadi sosok Batari Durga, sang Umadewi Parwati sang ratu kahyangan yang lembut penuh kasih. Batari Durga merasa malu dan meminta maaf karena sudah bertindak terlalu jauh. Batara Guru memaafkan sang istri karena khilaf itu. Para dewa dibebaskan dan disembuhkan dari pengaruh sirep. Tirta-tirta suci dikucurkan dan seketika luka-luka mereka sembuh.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar