Matur Salam, Para pembaca sekalian. Kisah kali ini mengisahkan tentang para dewi kahyangan. Para dewi kahyangan dipimpin Batari Durga mengalahkan sejumlah raksasa. Dikisahkan pula kisah Batari Durga yang berhasil mengalahkan para musuh kahyangan dengan dua wujud menakutkan, Durga Katyayani dan Mahakali. Kisah ini bersumber dari serial kolosal India Mahakaali dan Mahadewa yang telah disesuaikan dan diselaraskan dengan pewayangan jawa.
Prabu
Mahesha mendapat kesaktian
Kekuatan
para dewa sememangnya telah bertambah kuat namun ada saja masalah. Para raksasa
dan yaksa keturunan dan titisan Rudra Rancasan selalu membuat keonaran dan
selalu merongrong kekuasaan batara Guru sesuai sumpahnya dahulu. Setelah
diangkatnya Prabu Watugunung sekeluarga ke surga dan naiknya Sri-Sadana menjadi
pasangan dewa-dewi, para raksasa tak henti-hentinya membuat masalah. Alasan
mereka untuk menguasai kahyangan dan tiga dunia. Tersebutlah Prabu Mahesha,
raja para yaksa di negeri Parwakamudra, keturunan Maharesi Kasyapa dan Dewi
Dhanu. Dia bertekat ingin mencapai kehidupan yang baik. Maka ia pun bertapa
brata di kaki gunung Kampud dengan makan serangga beracun dan ular berbisa
sepanjang hidupnya. Hingga pada akhirnya ketika tubuh dan kesaktiannya sudah
tak mampu menawarkan lagi racun, muncullah lagi Batara Rudra Rancasan yang
sangat membenci para dewa itu “Mahesha, Sanghyang Widhi telah menerima do’a mu.
Aku datang sebagai utusan-Nya akan membantumu mencapai keinginanmu. Katakan,
apa keinginanmu?” “hamba ingin menjadi makhluk abadi selamanya.” Batara Rudra
Rancasan berkata “Aku tidak bisa mengabulkan yang itu.” Prabu Mahesha mengganti
permintaanya “baiklah, aku ingin menjadi makhluk terkuat di jagat raya.” Batara
Rudra Rancasan mengabulkannya lalu ia memberikan pesan “keinginanmu akan
terwujud namun kau harus ingat, berhati-hatilah pada makhluk terkuat di alam
ini selain kamu saat ini. dia adalah kebalikan dari sebuah lingga yaitu yoni.”
Prabu
Mahesha ingin Menaklukan Kahyangan
Setelah
pulang bertapa brata, Prabu Mahesha menjadi sangat kuat, tak mampu dikalahkan
makhluk manapun. Maka ia menjadi sombong dan jumawa. Ia lancarkan serangan demi
serangan ke negara-negara di sekitar Jawadwipa bahkan ke Alengkadireja lalu ia
menmbiuskan ajaran-ajaran kepada para raksasa untuk menyerang para dewa di
kahyangan sana. Maka setelah kekuatannya cukup, ia gempur kahyangan dengan
seribu kekuatan raksasa dan manusia-manusia durjana.
Kahyangan
sedang kalang-kabut menghadapi kekuatan pasukan Prabu Mahesha. Mereka
benar-benar kuat. Pasukan Dorandara tujuh lapis yang dipimpin Batara Indra dan
Batara Kartikeya masih belum mampu membuat pasukan itu mundur barang selangkah.
Akhirnya kekuatan mereka ditambah dengan tujuh lapis lagi dengan Batara Ganesha
dan Batara Shani menjadi panglima apit. Pasukan Parwakamudra bisa mundur namun
kini para dewa tinggal berhadapan dengan Prabu Mahesha. Batara Brahma meniupkan
nafas berapi daari langit namun sang prabu bergeming saja, tak rasa panas.
Batara Bayu membawa topan prahara yang kencang namun seujung kuku sang prabu
tak bergeser. Batara Baruna dan Mintuna membuat ombak pasang tak juga mampu
membuat sang prabu tenggelam. Batara Indra menurunkan halilintar dan es salju
yang membekukan juga tak membuat sang prabu tersetrum ataupun kesejukan, malah
terasa bagaikan tergelitik kaki. Lalu sang Prabu Mahesha jumawa dan mengerahkan
kekuatannya dan berbaliklah semua serangan para dewa. Keadaan semakin gawat.
Batara Guru dan batara Wisnu turun gelanggang. Ia mengendarai Andini, lembunya
yang sakti dan berusaha melemparkan senjata dewa ke tubuh Mahesha namun itu
semua berbalik kepada sang Batara Guru. Begitupun Batara Wisnu, cakra Widaksana
miliknya tak mapu mengiris ataupun memenggal kepala sang raja durjana. Lalu Batara
Guru segera merapal Aji Pangabaran dan Kemayan namun tak berkesan juga. Maka
Batara Guru segera memerintahkan para dewa segera masuk ke kahyangan. Lawang
Kori Selomatangkep segera ditutup.
Batari
Durga, Sang Senopati Para Dewi
Melihat
kekalahan para dewa, Batari Durga dipimpin para dewi lainnya segera menghadap
“suamiku, biarkan kami para dewi yang mengalahkan keangkuhan Mahesha.” “tidak,
istriku. Kami para dewa saja dibuat tak berdaya.” Batari Durga meyakinkan
suaminya “suamiku, aku mendapat wangsit dari Sanghyang Widhi bahwa kelemahan
Mahesha adalah perempuan. Hanya ini lah jalan satu-satunya.” Karena tak ada
jalan lain, maka Batari Durga menaiki harimau kesayangannya, Manastala diiringi
Dewi Sri Laksmi, Dewi Saraswati, Dewi Permoni, Dewi Sri, Dewi Ratih, dan para
bidadari sekethi kurang siji segera keluar dari kahyangan dengan pakaian perang
lengkap. Pertempuran terjadi, perang antara kaum pria melawan para wanita.
Butuh waktu untuk membut para raksasa sisa pasukan yang belum lari namun berkat
kegigihan Durga dan para dewi, para raksasa berhasil dikalahkan. Kini tinggal
Prabu Mahesha sendiri beradu satu lawan satu dengan Batari Durga. Prabu Mahesha
segera berubah menjadi raksasa betangan empat. Dengan segala senjata, Batari
Durga berusaha melukai Prabu Mahesha namun kulitnya sama sekali tak tergores.
Kulitnya keras dan liat bagaikan kulit badak. Batari Durga kemudian terdesak
namun para dewi dan bidadari segera menolong Batari Durga. Mengalirlah aliran
energi yang sangat kuat para dewi menuju Batari Durga. Terjadilah keajaiban, Batari
Durga bertriwikrama menjadi Dewi Katyayani, dewi cantik tinggi besar bertangan
sepuluh. Setiap tangan memegang banyak senjata.Prabu Mahesha jumawa dan berkata
“gusti dewi yang cantik. Kau sudah terdesak dengan kekuatanku. Kini engkau
berubah sekalipun tidak akan bisa melawan kehebatan Mahesha. Pulanglah ke
suamimu dan rawat harimau milikmu agar jadi kucing penurut.” Batari Durga hanya
tertawa dan menjawab “hahaha.....Mahesha! kau kira wanita cantik sepertiku
hanya menjadi teman tidur suamiku? Ohh tidak. Wanita sepertiku lebih sekadar
itu. Aku lebih berhak bersama pria yang telah mengalahkanku di medan tempur
ini!” meledaklah kemarahan Prabu Mahesha, terhina harga dirinya. Rasa
kejantanan Prabu Mahesha tertantang untuk segera menundukkan Batari Durga dan
menidurinya. Mereka akhirnya saling berperang tanding. Terjadi gara-gara di
kahyangan maupun di marcapada.
Durga
Mahesasuramardini
Dalam adu kesaktian kali ini, Prabu Mahesha berhasil terdesak. Maka Prabu Mahesha berusaha mengakali dengan bertukar wujud menjadi berbagai bentuk, mulai dari gajah, burung elang raksasa, leak, badak, babi hutan, burung gagak, manusia, raksasa bajang, hantu, jin tapi semua bisa dikenali sang Batari Durga. Terakhi kali, ia bertukar menjadi kerbau yang ganas lagi sakti mandraguna, sesuai dengan namanya, Mahesha berarti kerbau.
Durga Mahisasuramardini |
Ambisi
Raktabija
Kekejaman
dan ambisi Prabu Mahesha membuat para bawahannya yang masih setia bertekat
untuk kembali menaklukan para dewa. Kali ini hal itu kembali dilakukan oleh
Patih Raktabija, patih kesayangan sang prabu. Kerajaan Parwakamudra dipimpinnya
sepeninggal sang raja. Sang raja yang meninggalkan sepasang anak kembar, Arya Sumbha
dan Nisumbha masih cukup muda. Pada hari yang tepat, raja baru dilantik, Prabu
Arya Sumbha dan Prabu Arya Nisumbha. Pada suatu hari, keduanya dihasut Patih
Raktabija agar memusuhi para dewa, sang patih mengatakan kepada dua anak
asuhnya itu “Gusti Prabu Arya berdua, ketahilah bahwa ayah kalian dahulu telah
dibantai oleh para dewa. Sebelum ia tewas, ia menitipkan kalian padaku”
Murkalah kedua putra mendiang Prabu Mahesha itu. Maka Prabu Arya Sumbha dan
Arya Nisumbha memerintahkan Patih Raktabija “Paman patih, segera panggil paman
Tumenggung Candha dan Mundha, kita akan ke gunung. Kita minta pada Dewa Rudra
Rancasan kekuatan maha hebat!” singkat cerita, Prabu Arya Sumbha dan Arya
Nisumbha mendapat kekuatan sepuluh roda gerigi ajaib yang mampu meringkus
seluruh senjata dewa, Patih Raktabija mendapatkan aji Sahasrakta yang membuat
penggunanya bila terluka dan bercucuran darah maka muncullah pasukan raksasa
dari tiap darah yang menetes dan Tumengung Candha dan Mundha mendapat ajian
Sirep yang mampu menidurkan bahkan para dewa sekalipun. Setelah mendapatkan
kekuatan yang hebat, mereka segera berangkat menggempur kahyangan.
Serangan
Sumbha dan Nisumbha
Hari
itu cerah ceria di Kahyangan Jonggring Saloka. Batara Guru dihadap Batara
Semar, Batara Togog, Batara Narada, dan para dewa lainnya. Mereka sedang
membicarakan tentang keadaan para manusia di Jawadwipa setelah serangan Prabu
Mahesha. Batara Ganesha mengabarkan sang ayah bahwa para manusia sekarang
semakin makmur dan cerdas. Ilmu pengetahuan berkembang pesat dan kehidupan
semakin beradab. Batara Guru merasa senang. Namun tiba-tiba cuaca cerah
berganti mendung lebat. Gelap dimana-mana. Puncak Mahameru, Tengguru Kaliasa
mendadak bergejolak, Kawah Candradimuka membuncahkan lahar panas dan awan
wedhus gembelnya. Melihat tanda-tanda itu, Batara Guru tahu bakal ada musuh
dewa. Tak lama kemudian, Batara Kala datang mengabarkan bahwa datang sepasukan
raksasa dari Parwakamudra. Maka diturunkanlah pasukan Dorandara. Namun pasukan
para dewa justru kalah dengan aneh. Mereka pingsan seperti terkena sirep. Maka
para dewa lainnya mengerahkan kekuatan mereka. Hujan api, badai petir, badai
hujan, salju longsor, gelombang pasang, topan prahara, wabah penyakit
diturunkan namun pasukan raja kembar itu tak terkalahkan. Patih Raktabija
segara menyayat tangannya dan tiap darah yang menetes berubah menjadi
kembarannya. Mereka tumbuh banyak sekali hingga memenuhi seluruh Repat Kepanasan.
Kembaran-kembaran Raktabija itu memakan segala wabah penyakit dan melukai banyak
dewa. Batara Guru akhirnya turun tangan namn dicegah oleh para dewi. Lalu
keluarlah dari barisan para dewi itu Dewi Saci atau Dewi Indrani, istri Batara
Indra “Gusti ayahanda batara, aku mendapat penglihatan bahwa sekarang Gusti ibunda
Durga sedang dalam masalah. Gusti batara segeralah menolongnya. Biar kami
mengulur waktu.” Singkat cerita, para dewi kembali bertarung melawan para
raksasa Parwakmudra. Dewi Saci berubah menjadi Dewi Aindri segera melemparkan
Bajra dan keris namun jumlah kembaran Raktabija semakin bertambah. Dewi Sri Laksmi
segera bertiwikrama menjadi Dewi Waisnawi lalu melemparkan Cakra Widaksana
malah muncul Raktabija baru dari tetesan darahnya, Dewi Saraswati bertiwikrama
menjadi Brahmani dan melemparkan Gada namun ikut menambah jumlah kembaran Raktabija
baru, Dewi Permoni berubah menjadi Niruti dan melemparkan tameng raksasa
berhasil menindih bebrapa kembaran Raktabija itu namun tidak efektif. Dewi Sri bertiwikrama
menjadi Larasati melemparkan ani-ani dan celurit tapi terlempar oleh daya
kesaktian Arya Sumbha.
Prabu
Arya Sumbha murka tidak dapat mendekati Batara Guru maka ia suruh Tumenggung Candha
dan Mundha untuk menculik Batari Durga agar Batara Guru mau bertekuk lutut
dihadapannya.
Batari
Durga, sang Dewi Candika
Suasana
istana Setra Gandamayu mencekam. Bau wangi bunga kemboja, bunga kantil, dan
melati bercampur bau bangkai menyeruak semakin kuat. Angin berhembus kencang
turut membawa kewingitan istana berbau kuburan itu. Batari Durga sedang bertapa
brata, mengheningkan diri dan membersihkan segala kekotoran. Lalu datanglah bau
lain yang aneh seakan-akan membawa aroma mimpi indah. Bau itu ditebarkan oleh
Tumenggung Candha dan Mundha. Mereka tergur dengan keelokan tubuh Batari Durga.
Tubuh sintal tinggi besar dan wajah yang meneduhkan membuat mereka kepincut
namun segera datanglah Batara Guru. Ia segera mematrapkan aji pangabaran dan
Aji Kemayan. Namun seluruh ajian itu tawar dengan Ajian Sirep milik dua
tumenggung Parwakamudra itu. Batara Guru segera melemparkan trisulanya namun
dua raksasa itu berhasil menghindar. Keadaan berbalik semakin gawat. Batara
Guru terdesak. Maka naga Andana melepaskan sepotong sisiknya dijadikan perisai
dan segera bersemedi mengembalikan kekuatan. Mendengar suara ribut di taman
istana, Batari Durga terganggu dan mendapati suaminya sedang duduk bersila
namun dengan raut wajah yang lelah dan dilindungi perisai dari sisik yang
nyaris hancur. Murkalah sang dewi dan bertukarlah ia menjadi dewi cantik namun
dengan raut wajah yang ganas. Tanpa ampun lagi, ia segera memenggal kepala Candha
dan Mundha. Maka Batari Durga dijuluki Dewi Candika atau Chamundha. Batari
Durga sadar jika sang suami duduk bersila seperti itu maka terjadi sesuatu yang
gawat di kahyangan. Maka ia segera berangkat ke Repat Kepanasan.
Dewi
Mahakali yang Menyeramkan
Di Repat Kepanasan, para dewa dan dewi terdesak. Para dewa memang tak bisa mati setelah minum Tirta Amerta Perwitasari dan Tirta Amerta Maolkayat namun mereka tetap bisa terluka dan kesakitan. Pasukan klon Raktabija semakin mendekati Lawang Kori Selomatangkep namun datanglahlah Batari Durga dari dalam kahyangan. Dengan raut wajah penuh kemurkaan, dia pun meraung keras. Raungan itu membuat para prajurit Parwakamudra tewas semua. Di saat itu juga, Batari Durga bertriwikrama menjadi Dewi Mahakali, dewi tinggi besar berkulit gelap dengan mata merah menyala, rambut panjang gimbal acak-acakan, berwajah sangat mengerikan bak raksasa dengan taring panjang mencuat, berkalungkan tengkorak,dan di tiap tangan memegang banyak senjata. Patih Raktabija kemudian bertarung dengan Dewi Mahakali. Dewi Mahakali berhasil membuat Patih Raktabija terdesak namun karena luka-lukanya mengucur darah maka terbentuklah Raktabija-Raktabija baru. Dewi Mahakali segera menelan semua Raktabija kembaran dan menghisap seluruh darahnya sekaligus. Maka tinggallah Patih Raktabija yang asli lalu sang dewi berhasil menghabisinya. Sang patih Parwakamudra itu pun tewas dengan badan pucat kehabisan darah. Prabu Arya Sumbha dan Nisumbha marah sekali melihat patih Raktabija tewas maka mereka segera membentuk krodha menjadi raksasa berlengan empat yang membawa gerigi. Dilemparkanlah seribu gerigi tajam itu ke angkasa menuju tempat Dewi Mahakali. Dewi Mahakali segera menangkisnya dengan pedang lalu ditebaslah semuanya selagi di angkasa. Dewi Mahakali segera memukul Arya Nisumbha hingga jatuh tak sadarkan diri. Prabu Arya Sumbha murka saudaranya tak sadarkan diri maka ia serang harimau kendaraan Dewi Mahakali.
Mahakali |
Mahakali
Mangerti
Para
musuh kahyangan berhasil ditumpas namun Dewi Mahakali justru semakin menggila.
Mahakali semakin haus darah dan tak segan menghancurkan dan membunuh apa saja.
Dia bahkan menari-nari seperti orang gila diantara lautan darah dan jasad-jasad
para raksasa. Bau anyir darah dan jasad bagaikan bau wangi surga di dalam
pandangan sang Dewi. Akibat tariannya itu, Bumi gonjang-ganjing langit
kolap-kalip. Topan prahara begitu kencangnya hingga menerbangkan gunung-gunung.
Mahameru dan gunung-gunung berapi lainnya bergemuruh dan meletus hebat. Badai
petir dan halilintar menyambar-nyambar. Hujan air dan api menghujam tanah. Banjir
dimana-mana menenggelamkan seluruh daratan termasuk di Jawadwipa. Para manusia,
para raksasa, hewan, tumbuhan, dan para jin ketakutan mengira marcapada kiamat.
Para dewa dan dewi berusaha menghentikannya namun tak berhasil. Batara Wisnu
pun tak bisa menghentikan kegilaan sang dewi. Para dewa ketakutan karena bukan
hanya marcapada yang akan kiamat tapi seluruh kahyangan juga akan hancur lebur.
Di saat yang tepat, Batara Guru terbangun dari semedinya dan segera berbaring
di Repat Kepanasan membiarkan setiap hentakan kaki istrinya itu menghujam
dirinya. Setelah beberapa lama, akhirnya Mahakali tersedar bahwasanya ‘lantai
dansa’ tempatnya menari adalah suaminya sendiri. Dengan rasa malu dan sedih ,
Dewi Mahakali menjulurkan lidahnya. Segera ia hentikan tariannya, melemparkan
seluruh senjatanya, dan kembali menjadi sosok Batari Durga, sang Umadewi Parwati
sang ratu kahyangan yang lembut penuh kasih. Batari Durga merasa malu dan
meminta maaf karena sudah bertindak terlalu jauh. Batara Guru memaafkan sang
istri karena khilaf itu. Para dewa dibebaskan dan disembuhkan dari pengaruh
sirep. Tirta-tirta suci dikucurkan dan seketika luka-luka mereka sembuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar