Matur salam para pembaca, kisah kali ini mengisahkan Batara Wisnu yang membuat heboh dunia karenatiga bentuk penitisannya yang tidak biasa yakni Batara Waraha, Batara Narasinga dan Jaka Wamana. Ketiganya mengalahkan para raksasa pendiri kerajaan Alengkadiraja. Kisah ini mengambil sumber dari blog albumkisahwayang.blogspot.com, Serat Pustakaraja Purwa karya Raden Ngabehi Ranggawarsita, dan beberapa kisah legenda Hindu dari India dengan pengubahan dan diselaraskan dengan pewayangan jawa.
Ontran-ontran
Hiranyaksa dan Hiranyakasipu
Kedamaian
antara para dewa dan para raksasa yang sempat terbangun saat pengadukan Laut
Selatan kembali goyah. Pada suatu hari, istri kedua Maharesi Kasyapa (Sang Dewa
Hening/Nioya) yaitu Dewi Diti melahirkan sepasang anak kembar bernama Ditya
Hiranyaksa dan Hiranyakasipu. Anak-anak itu bertubuh besar dan nafsu makannya
begitu banyak. Masa muda mereka pun dinilai penuh kekelaman. Mereka sering
mengganggu para resi beribadah dengan menjatuhkan darah dan bangkai di rumah
para resi. Hal itu terjadi karena karma buruk yang dilakukan Dewi Diti saat
menggoda sang suami yang hendak pergi beribadah. Niat ibadah pun berubah
menjadi melampiaskan hasrat yang liar sehingga anak-anak yang lahir pun mengikut
kelakuan ibu bapaknya. Setelah mereka dewasa, mereka pergi ke pulau Selongkandi
dan mendirikan kerajaan di sana. Kerajaan itu bertatahkan emas, perak, dan
mutiara yang kemudian mereka beri nama Alengkadiraja. Di sana sebagian bangsa
raksasa membangun peradaban. Peradaban yang maju dan mewah. Atas usulan rakyat
dan adiknya, Hiranyakasipu dilantik menjadi prabu di Alengka. Namun,
kesejahteraan Alengkadiraja tak membuat Hiranyaksa puas. Ditya Hiranyaksa
kemudian pergi bertapa brata memuja Batara Brahma. Tapa bratanya sangatlah
keras. Dia makan api dan air selama bertahun-tahun. Setelah bertahun-tahun,
Batara Brahma datang menghentikan tapa brta Hiranyaksa “sudahlah cukup,
Hiranyaksa. Hentikan tapa bratamu. Aku puas karenanya. katakanlah apa yang
menjadi keinginanmu.” “pukulun, yang aku inginkan adalah aku ingin bisa hidup
selamanya tanpa mengalami kematian.” Batara Brahma berkata “aku tidak bisa
mengabulkan yang itu karena setiap yang bernyawa, yang punya atma pasti harus
merasakan kematian.” “baiklah, aku ganti permintaan. Aku ingin kesaktian yang
luar biasa hingga seluruh bumi ini bisa tenggelam dalam genggamanku.” Batara Brahma
merasa ada yang aneh dengan permintaan Hiranyaksa namun dkarena sudah wajib
hukumnya dewa mengabulkan permintaan pemujanya, ia meluluskan permintaannya
“baiklah, akan aku kabulkan permintaanmu namun ada satu pantangan yang harus
kau ingat. Kesaktianmu tidak akan berguna jika kau gunakan untuk melawan dua
makhluk ini, angsa dan babi hutan.”
Setelah
memperoleh anugerah, Hiranyaksa semakin berkuasa dan jadi semakin angkuh lagi
sombong. Dia bersama Hiranyakasipu menaklukan banyak negara. Alaengkadiraja
semakin ditakuti. Namun Hiranyaksa sangatlah serakah dan tamak. Tak puas
menaklukan negara kini ia ingin menaklukan kahyangan. Ambisinya untuk menguasai
dunia ohh tidak seluruh jagat raya bagaikan dendam tak sudah. Dia berniat untuk
menyamai Sanghyang Widhi Maha Agung, Tuhan Semesta Alam. Hal itu justru diamini
oleh Hiranyakasipu, sang saudara kembar.
Hiranyaksa
hendak Menyamai Sanghyang Widhi
Dikerahkanlah
kesaktiannya yang luar biasa. Kahyangan para dewa ia serang seorang diri. Para
dewa, termasuk Batara Guru menjadi kewalahan. Mereka pun mengungsi ke
Ondar-Andir Buana, tempat tinggal Sang batara Padawenang. Setelah menjadi
penguasa kahyangan, rupanya dia melihat manusia adalah makhluk rendahan
“huh...manusia? kenapa Sanghyang Maha Widhi mengagungkan manusia. Mereka hanya
makhluk yang rendah. Mereka makan dari bumi dan bumi itu kotor. Lebih baik aku
musnahkan saja seluruh bumi ini.” Hiranyaksa yang keangkuhannya menyundul
langit itu bertiwikrama menjadi raksasa maha besar, lebih besar dari Bumi. Dia
gelincirkan Bumi dari garis edarnya lalu ia tendang kesana kemari. Bumi
bergegar hebat. Berbagai bencana terjadi dimana-mana. Para manusia, raksasa,
hewan, tumbuhan dan para jin di bumi menangis memohon keadilan Sanghyang Maha
Widhi, Tuhan yang Maha Kuasa. Begitupun para dewa mereka mohon petunjuk
pada-Nya, terutama Batara Brahma dan Batara Wisnu yang merasa paling bertanggung
jawab atas tegaknya dharma dan keadilan bertekad untuk mengalahkan Hiranyaksa.
Tirakat mereka semakin kuat sampai pada akhirnya Tuhan yang Maha Kuasa
memberikan karomah kepada mereka. Kini kekuatan dan kesaktian Batara Brahma dan
Batara Wisnu semakin berlipat ganda dan siap untuk menghukum Hiranyaksa yang jemawa.
Kemunculan
Waraha dan Hamsa.
Keadaan bumi semakin genting, kini Bumi hendak ditenggelamkan ke dalam lubang hitam. Datanglah pertolongan dari Tuhan yang Maha Kuasa. Bumi yang sudah hampir tenggelam di lubang hitam kembali terangkat dan yang mengangkatnya adalah seekor angsa raksasa dan seekor celeng (babi hutan) raksasa.
Waraha dan Hamsa mengangkat Bumi |
Pertempuran
pun terjadi begitu dahsyat. Di ruang antarbintang pertarungan antara raksasa
melawan angsa dan celeng jelmaan dewa berlangsung. Walau demikian, pengaruhnya
begitu terasa di bumi maupun kahyangan para dewa. Bumi gonjang-ganjing, langit
kolap-kalip. Bintang-bintang ikut berjatuhan. Pertarungan itu berlangsung
selama ratusan tahun tanpa henti. Setelah sekian lama bertarung, Batara Brahma
dan Batara Wisnu menemukan titik lemah Hiranyaksa yaitu kepala dan perutnya
yang besar. Hamsa (Batara Brahma) segera mematuk kepala Hiranyaksa. Hiranyaksa
merasa kesakitan karena kepalanya dipatuki dan disosor sampai berdarah. Di saat
lengah, Waraha (Batara Wisnu) segera menyundul perut Hiranyaksa dengan gigi
taringnya yang mencuat lalu dilemparkanlah ia ke dasar Kerak Neraka dan
tewaslah ia. Atma dari rohnya langsung mendapat siksaan pedih. Jeritannya
terdengar keras sekali hingga terdengar oleh Prabu Hiranyakasipu.
Dendam
Prabu Hiranyakasipu.
Tewasnya
Hiranyaksa di tangan Batara Wisnu yang menjelma menjadi Waraha membuat saudara
kembarnya, Prabu Hiranyakasipu terpukul dan sangat marah. Ia kemudian kembali
melakukan tapa brata yang sangat kuat. Tapa Brata yang dilakoninya memusatkan
diri pada Batara Guru. Agak berbeda dari sang kembaran, Prabu Hiranyakasipu
melakukan tapa sembari meminum darahnya sendiri. Dia tak makan apapun, kecuali
darahnya sendiri. Sepanjang hari, ia sayat seluruh kaki dan tangannya hingga darah
mengalir lalu dihisapnya. Sampai tibalah Batara Guru di hadapannya. Setelah
menerima tapa bratanya, Batara Guru meminta berkah apa yang diinginkan prabu
Hiranyakasipu. Prabu Hiranyakasipu meminta keabadian tak bisa mati namun batara
Guru berkata “Hiranyakasipu, kami para dewa sendiri tidak bisa hidup abadi
karena kami ini makhluk fana, ciptaan yang Maha Abadi, Sanghyang Widhi, Gusti
pencipta alam semesta.” “baiklah, aku ganti permintaan. Aku ingin semua
manusia, raksasa, jin, binatang, penyakit, bahkan para dewa sekalipun tidak
bisa mengalahkan aku. Tidak ada yang bisa membunuhku di waktu siang ataupun
malam, dan tidak ada senjata apapun yang bisa melukai aku.” Batara Guru
akhirnya memberikan berkahnya kepada Prabu Hiranyakasipu.
Jemawanya
Hiranyakasipu
Sejak
menerima berkah, Prabu Hiranyakasipu menjadi semakin jemawa bahkan melebihi
kembarannya. Kesombongannya telah membuatnya menjadikan dirinya sebagai Tuhan
yanga patut disembah.. Nama Sanghyang Maha Widhi, Tuhan Semesta Alam tidak
boleh disebut. Ibadah kepada Yang Maha Agung dilarang bahkan diganti dengan
penyembahan kepada Prabu Hiranyakasipu. Setiap pagi, para raksasa dan manusia yang
ada di Alengka harus menghadap tanda menyembah padanya. Jika tidak, maka yang
bersangkutan akan dihukum mati atau yang lebih ringan akan diperbudak dengan
semena-mena. Alengkadiraja menjadi negeri tanpa tuhan. Selain menuhankan
dirinya sendiri, Prabu Hiranyakasipu juga kembali melakukan ekspansi dan
penjajahan namun kali ini seluruh negeri di bumi telah diekspansi. Tak
main-main, upeti dari berbagai negeri dikumpulkan ke Alengkadiraja. Pajak
ditarik sangat tinggi. Rakyat dan para raja negeri bawahan tercekik dan nasib
mereka bak makan buah simalakama. Memberontak akan ditumpas habis, tetap loyal
juga akan membuat mereka semakin miskin dan melarat.
Meskipun
sang raja diraja itu sangat lalim, sang permaisuri, Dewi Kayadhu senantiasa
mengingatkan sang suami agar bertobat namun tak dihiraukan. Kedua anak sang
prabu, Raden Banjaranjali dan Raden Arya Prahlada juga sama sepeti sang ibu,
mereka tetap berdoa kepada Yang Maha Kuasa walaupun secara diam-diam. Dewi Kayadhu
selalu menanamkan kepada anak-anaknya itu bahwa hanya ada satu yang patut
disembah yaitu Sanghyang Maha Widhi, Tuhan yang Maha Tunggal. Awalnya Raden
Arya Prahlada mampu untuk beribadah secara sembunyi-sembunyi hingga pada suatu
hari, Arya Prahlada secara terang-terangan dia menolak menyembah kepada ayahnya
“ayahku, raja Alengkadiraja yang agung. Anakmu ini memintamu berhentilah untuk jemawa
dan mengaku sebagai tuhan. Para dewa yang memberi ayahanda berkah hanya
menyembah Sanghyang Maha Widhi, Tuhan yang Maha Tunggal lagi Maha Esa. Engkau
hidup karena kuasaNya. Engkau diberikan berkah juga karena kuasa dariNya.”
Prabu Hiranyakasipu sangat marah mendengar putranya sendiri adalah pemuja Tuhan
Yang Maha Esa “anak kemarin sore, jikalau Tuhanmu itu ada, suruh Dia atau
utusannya untuk melenyapkan aku. Aku Maharajadiraja Tribuanaloka yang patut
disembah semua makhluk di muka bumi ini.” Arya Prahlada mendoakannya agar
senantiasa selamat dalam lindungan Tuhan. Prabu Hiranyakasipu semakin panas
hati. Sejak saat itu, hubungan ayah dan anak ini retak. Berkali-kali Prabu
Hiranyakasipu berusaha menghabisi anaknya itu namun Tuhan Yang Maha Kuasa
selalu melindunginya. Akhirnya kemarahan itu semakin lama semakin memuncak.
Kabar
Gembira untuk Para Dewa
Di
waktu yang sama, Batara Guru dan Para dewa di kahyangan Ondar-Andir Buana
sedang membicarakan tentang nasib Jonggring Saloka yang kini di tangan
Hiranyakasipu. Sang batara Padawenang memberikan wejangan kepada para putra dan
cucunya “anak-anakku semua. Sanghyang Maha Widhi telah memberikan pencerahan
atas masalah kejemawaan Hiranyakasipu. Diantara segelintir manusia dan raksasa,
Prahlada dan adiknya kembali ke jalan Yang Maha Widhi. Sudah saatnya para dewa
kembali ke Jonggring Saloka.” Batara Guru senang sekali dan segera
memerintahkan semua dewa untuk kembali ke Jonggring Saloka. Sebelum mereka
kembali, Batara Guru segera memerintahkan Batara Wisnu segera turun ke
marcapada untuk menolong Arya Prahlada dan membinasakan Prabu Hiranyakasipu
beserta kejemawaannya.
Menitisnya
Batara Narasinga.
Kekesalan
Prabu Hiranyakasipu semakin memuncak hingga dia melihat sendiri sang putra
sedang berdoa menyebut nama Sanghyang Maha Widhi. Bukan itu saja, permaisuri
dan anaknya yang lain, Raden Banjaranjali juga percaya pada Tuhan yang Maha
Agung. Marahlah ia dan dicabutlah salah satu tiang keratonnya. Dewi Kayadhu dan
kedua putranya pasrah dan menyerahkan semuanya kepada Yang Maha Kuasa. Lalu
muncul keajaiban, dari tiang yang tercerabut itu, muncullah sesosok makhluk yang
aneh dan mengerikan. Dia bertubuh manusia namun berkepala harimau, rambutnya lebat
seperti surai singa, memakai mahkota layaknya para dewa dengan kuku yang tajam
bagai pedang. Makhluk mengerikan itu mengaku sebagai Batara Narasinga, titisan
Batara Wisnu.
Terjadilah perang tanding antara Prabu Hiranyakasipu dengan Batara Narasinga. Pertarungan amatlah epik. Seluruh marcapada bahkan kahyangan menjadi guncang karenanya. Matahari sudah condong jauh ke barat memancarkan lembayung kuning dan merah. Senja haripun hampir tiba, Prabu Hiranyakasipu akhirnya dapat dikalahkan.
Batara Narasinga menghabisi Prabu Hiranyakasipu |
Prabu
Bali menjadi Raja Bidadari
Ratusan
tahun berlalu, para dewa bisa kembali ke kahyangan. Dalam jarak ratusan tahun
itu cucu dari Resi Prahlada, Raden Bali mendirikan kerajaan baru bernama Medang
Siwanda bergelar Prabu Bali. Patihnya adalah putra Kala Rahu bernama Putut
Jantaka. Kerajaan makmur dan sejahtera. Raja dikenal sebagai raja yang alim dan
luhur budi. Suatu ketika, Prabu Bali yang tengah bersemedi kedatangan batara
Indra. Dia mengajak sang prabu melilhat-lihat kahyangan dan istana Rinjamaya
miliknya. Prabu Bali terpesona dan meminta satu keinginan pada Batara Indra
“pukulun Indra, aku punya satu keinginan.” “katakan apa keinginanmu, cucuku.”
Prabu Bali berkata “aku ingin menjadi raja bidadari sepertimu.” Terkejutlah
batara Indra karena seakan permintaan itu seperti mengangkanginya sebagai raja
bidadari tapi mengingat sang raja adalah orang yang alim maka permintaan itu
dikabulkan. Mahkota Batara Indra diserahkan pada Prabu Bali dan ia menjadi raja
bidadari disana. Batara Indra dan istrinya kemudian pindah ke istana
Iswaraloka.
Di
Rinjamaya, Prabu Bali membangun berbagai bangunan indah dan megah dikhususkan
untuk para bidadara-bidadari disana. Dengan kebijaksanaannya dan terayominya
para bidadara-bidadari, beberapa manusia, dan resi dibawah pimpinannya,
perlahan pamor Batara Indra mulai merosot. Batara Indra mulai dihinggapi sifat
iri.Maka dalam hati Batara Indra bergumam “Bali semakin mahsyur....bidadara dan
bidadari bawahanku sudah semakin menyanjungnya. Mungkinkah nanti dia akan
menggulingkanku sebagai raja bidadari yang sebenarnya.” Maka ia mengadukannya
pada Batara Guru dan Batara Wisnu. “ampun Ayahanda pukulun dan adhi batara,
kegundahan hati saya tentang Bali makin memuncak....saya takut kalau kalau dia
benar akan menggulingkan saya.” “aku mengerti anakku. Tapi kita bisa apa. Prabu
Bali tidak bisa disalahkan. Dia memang alim dan luhur budi...laksana ludira
seta.” Batara Indra terdiam,begitupun Batara Guru dan Batara Wisnu. Kemudian
datang suara dari langit berkata “hai Manikmaya, ketahuilah sabda-Ku.....memang
betul Bali ialah orang yang alim, luhur budi pekerti tapi dia masih dihinggapi
sifat bangga berlebihan. Masih suka meremehkan orang lain....sudah saatnya dia
harus diuji....lewat seorang brahmana kerdil putra Dewi Aditi, dia akan
tercerahkan kembali,” Batara Guru kemudian memerintahkan Batara Wisnu untuk
menitis pada putra Dewi Aditi, menjadi adik bagi Batara Baruna dan Mintuna.
Lahirnya
Jaka Wamana
Dewi
Aditi, istri pertama Maharesi Kasyapa ingin mengandung lagi setelah sekian
lama sejak kelahiran batara Baruna dan
Mintuna. Dia terus berdoa kepada Sanghyang Widhi agar bisa kembali berputra.
Lalu datang batara Guru memberi kabar “Bunda Aditi, aku mengabarkan padamu kau
akan mengandung titisan putraku, Wisnu. Berbahagialah.. anak titisan itu akan
menjadi pendeta yang sangat berbudi luhur, banyak ilmunya, luas pandangan dan
wawasannya.” Sebulan setelah suara batara Guru, hamillah Dewi Aditi. Setelah
sembilan bulan, kemudian lahirlah anak yag sangat tampan. Ia menamainnya Jaka.
Namun setelah usia sepuluh tahun, pertumbuhannya berhenti. maka sang ibu
menambahkan namanya menjadi Jaka Wamana. Di usia semuda itu, Jaka Wamana telah
mengerti kitab-kitab suci dan lontar-lontar. Dia menjadi pendeta cerdas.
Penampilannya pun menggemaskan. Setiap kali mewejangkan ilmu, ia selalu membawa
cupu air dan payung cantik.
Prabu
Bali mengadakan Perjamuan untuk para Resi
Berita
tentang pendeta kecil yang hebat sampai ke telinga Prabu Bali. Kebetulan ia
akan membuat perjamuan khusus begi para resi dan pendeta. Ia ngin mengundang
Jaka Wamana dan beberapa pendeta ke kerajaan Medang Siwanda agar mau
mendo’akannya bisa panjang umur dan sejahtera. Namun Putut Jantaka
memperingatkan sang raja “Gusti prabu, aku telah mendapat wangsit bahwa pendeta
kecil itu penjelmaan sang Wisnu...jangan pernah mengujinya atau
meremehkannya...apabila ia meminta sesuatu jangan diturutkan...” namun Prabu Bali
menyanggah ucapan sang patih “lalu unuk apa aku mempersiapkan semua ini?
sebagai raja yang mulia dan baik, tidak patut aku berbuat begitu. Apapun yang
dia minta, akan aku turutkan.” Mendengar hal demikian, patih Putut Jantaka
merasa sang raja mulai jemawa. Ia memilih meninggalkan Medang Siwanda dan
kembali menjadi petapa.
Wahyu
Nandanajati
Perjamuan
pun digelar. Banyak para resi dan pendeta datang mendo’akan sang raja Medang
Siwanda. Di tengah pesta itu, datanglah Jaka Wamana. Semua resi dan pendeta
senior menghormatinya. Dia lalu duduk bersimpuh di hadapan Prabu Bali. Prabu Bali
bertanya “pendeta yang agung, mintalah sesuatu padaku, apapun itu maka akan aku
tunaikan..” “wahai Prabu Bali yang agung....keluhuran dan sifat alimmu sama
seperti moyang paduka, Dewi Kayadhu dan kehalusan budimu seperti Resi Prahlada,
kakek paduka. Ayah paduka, Begawan Wirocana pasti sedang bergembira di alam
baka. Aku hanya meminta darimu tanah seluas tiga langkah kakiku.” Berpikir itu
hanya permintaan anak-anak, Prabu Bali berkata seakan meremehkan sang pendeta
kecil itu “itu sajakah, tuanku? Itu terlalu sederhana. Apa gunanya tanah tiga
langkah, padahal tuanku bisa meminta berpetak-petak tanah lengkap dengan istana
megah, pelayan yang cantik, makanan yang enak dan sedap, emas permata segunung, dan mainan yang
banyak.” Namun Jaka Wamana menjawab “orang yang bergelimang harta dan kekayaan
duniawi belum tentu bahagia dunia akhirat. Harta hanya ujian bagi kita dan
indria kita. Kepuasan dan kebahagian yang hakiki akan terjadi bila kita
bersyukur dan puas dengan apa yang Sanghyang Widhi, Tuhan yang Maha Memberi
berikan pada kita.” Prabu Bali terkesan dengan kata-kata sang pendeta. Maka ia
bersedia mengabulkan seluruh permintaan Jaka Wamana.
Mahabali
yang Tercerahkan
Ketika Prabu Bali hendak mengukur tanah tiga langkah itu, tiba-tiba ia dikejutkan dengan perubahan wujud Jaka Wamana. Jaka Wamana tiba-tiba berubah kembali menjadi Batara Wisnu dan atas izin Sanghyang Widhi, ia bertriwikrama menjadi raksasa besar. Tingginya nyaris mencapai langit. Keraton Medang Siwanda hancur. Satu langkah kakinya menutupi seluruh bumi. Langkah kedua ia merengkuh kahyangan dan langkah ketiganya ia tak menemukan tempat berpijak, maka Prabu Bali dengan sukarela menyerahkan kepalanya untuk djadikan tempat sang Batara Wisnu berpijak. Maka diinjaklah kepala sang prabu dan pecahlah kepalanya.
Prabu Bali menyerahkan dirinya kepada Jaka Wamana |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar