Selasa, 26 Januari 2021

Kisah Tiga Titisan Batara Wisnu

 Matur salam para pembaca, kisah kali ini mengisahkan Batara Wisnu yang membuat heboh dunia karenatiga bentuk penitisannya yang tidak biasa yakni Batara Waraha, Batara Narasinga dan Jaka Wamana. Ketiganya mengalahkan para raksasa pendiri kerajaan Alengkadiraja. Kisah ini mengambil sumber dari blog albumkisahwayang.blogspot.com, Serat Pustakaraja Purwa karya Raden Ngabehi Ranggawarsita, dan beberapa kisah legenda Hindu dari India dengan pengubahan dan diselaraskan dengan pewayangan jawa.

Ontran-ontran Hiranyaksa dan Hiranyakasipu

Kedamaian antara para dewa dan para raksasa yang sempat terbangun saat pengadukan Laut Selatan kembali goyah. Pada suatu hari, istri kedua Maharesi Kasyapa (Sang Dewa Hening/Nioya) yaitu Dewi Diti melahirkan sepasang anak kembar bernama Ditya Hiranyaksa dan Hiranyakasipu. Anak-anak itu bertubuh besar dan nafsu makannya begitu banyak. Masa muda mereka pun dinilai penuh kekelaman. Mereka sering mengganggu para resi beribadah dengan menjatuhkan darah dan bangkai di rumah para resi. Hal itu terjadi karena karma buruk yang dilakukan Dewi Diti saat menggoda sang suami yang hendak pergi beribadah. Niat ibadah pun berubah menjadi melampiaskan hasrat yang liar sehingga anak-anak yang lahir pun mengikut kelakuan ibu bapaknya. Setelah mereka dewasa, mereka pergi ke pulau Selongkandi dan mendirikan kerajaan di sana. Kerajaan itu bertatahkan emas, perak, dan mutiara yang kemudian mereka beri nama Alengkadiraja. Di sana sebagian bangsa raksasa membangun peradaban. Peradaban yang maju dan mewah. Atas usulan rakyat dan adiknya, Hiranyakasipu dilantik menjadi prabu di Alengka. Namun, kesejahteraan Alengkadiraja tak membuat Hiranyaksa puas. Ditya Hiranyaksa kemudian pergi bertapa brata memuja Batara Brahma. Tapa bratanya sangatlah keras. Dia makan api dan air selama bertahun-tahun. Setelah bertahun-tahun, Batara Brahma datang menghentikan tapa brta Hiranyaksa “sudahlah cukup, Hiranyaksa. Hentikan tapa bratamu. Aku puas karenanya. katakanlah apa yang menjadi keinginanmu.” “pukulun, yang aku inginkan adalah aku ingin bisa hidup selamanya tanpa mengalami kematian.” Batara Brahma berkata “aku tidak bisa mengabulkan yang itu karena setiap yang bernyawa, yang punya atma pasti harus merasakan kematian.” “baiklah, aku ganti permintaan. Aku ingin kesaktian yang luar biasa hingga seluruh bumi ini bisa tenggelam dalam genggamanku.” Batara Brahma merasa ada yang aneh dengan permintaan Hiranyaksa namun dkarena sudah wajib hukumnya dewa mengabulkan permintaan pemujanya, ia meluluskan permintaannya “baiklah, akan aku kabulkan permintaanmu namun ada satu pantangan yang harus kau ingat. Kesaktianmu tidak akan berguna jika kau gunakan untuk melawan dua makhluk ini, angsa dan babi hutan.” 

Setelah memperoleh anugerah, Hiranyaksa semakin berkuasa dan jadi semakin angkuh lagi sombong. Dia bersama Hiranyakasipu menaklukan banyak negara. Alaengkadiraja semakin ditakuti. Namun Hiranyaksa sangatlah serakah dan tamak. Tak puas menaklukan negara kini ia ingin menaklukan kahyangan. Ambisinya untuk menguasai dunia ohh tidak seluruh jagat raya bagaikan dendam tak sudah. Dia berniat untuk menyamai Sanghyang Widhi Maha Agung, Tuhan Semesta Alam. Hal itu justru diamini oleh Hiranyakasipu, sang saudara kembar.

Hiranyaksa hendak Menyamai Sanghyang Widhi

Dikerahkanlah kesaktiannya yang luar biasa. Kahyangan para dewa ia serang seorang diri. Para dewa, termasuk Batara Guru menjadi kewalahan. Mereka pun mengungsi ke Ondar-Andir Buana, tempat tinggal Sang batara Padawenang. Setelah menjadi penguasa kahyangan, rupanya dia melihat manusia adalah makhluk rendahan “huh...manusia? kenapa Sanghyang Maha Widhi mengagungkan manusia. Mereka hanya makhluk yang rendah. Mereka makan dari bumi dan bumi itu kotor. Lebih baik aku musnahkan saja seluruh bumi ini.” Hiranyaksa yang keangkuhannya menyundul langit itu bertiwikrama menjadi raksasa maha besar, lebih besar dari Bumi. Dia gelincirkan Bumi dari garis edarnya lalu ia tendang kesana kemari. Bumi bergegar hebat. Berbagai bencana terjadi dimana-mana. Para manusia, raksasa, hewan, tumbuhan dan para jin di bumi menangis memohon keadilan Sanghyang Maha Widhi, Tuhan yang Maha Kuasa. Begitupun para dewa mereka mohon petunjuk pada-Nya, terutama Batara Brahma dan Batara Wisnu yang merasa paling bertanggung jawab atas tegaknya dharma dan keadilan bertekad untuk mengalahkan Hiranyaksa. Tirakat mereka semakin kuat sampai pada akhirnya Tuhan yang Maha Kuasa memberikan karomah kepada mereka. Kini kekuatan dan kesaktian Batara Brahma dan Batara Wisnu semakin berlipat ganda dan siap untuk menghukum Hiranyaksa yang jemawa.

Kemunculan Waraha dan Hamsa.

Keadaan bumi semakin genting, kini Bumi hendak ditenggelamkan ke dalam lubang hitam. Datanglah pertolongan dari Tuhan yang Maha Kuasa. Bumi yang sudah hampir tenggelam di lubang hitam kembali terangkat dan yang mengangkatnya adalah seekor angsa raksasa dan seekor celeng (babi hutan) raksasa.

Waraha dan Hamsa mengangkat Bumi
Angsa itu bernama Batara Hamsa, jelmaan dari Batara Brahma dan si celeng bernama Batara Waraha, jelmaan dari Batara Wisnu. Mereka mengembalikan bumi kembali ke garis edarnya. Hiranyaksa menjadi kesal dan memaki kedua makhluk jelmaan dewa itu “hei, kalian makhluk rendah. Beraninya kalian menggangu kesenanganku.” Waraha berkata “hai denawa. Ayahmu adalah resi agung keturunan dewa. Ibumu adalah bidadari baik-baik. Tapi kelakuanmu bahkan melampaui para musuh kahyangan yang dahulu. Kami tak akan memaafkanmu .” Ditya Hiranyaksa semakin jemawa“kalian adalah duri dalam dagingku” Batara Waraha berkata “ “menurutmu, kami adalah duri, tapi tidak! Kamu lah yang duri bagi semesta ini dan kami adalah utusan Tuhan yang akan melenyapkan duri sepertimu!”

Pertempuran pun terjadi begitu dahsyat. Di ruang antarbintang pertarungan antara raksasa melawan angsa dan celeng jelmaan dewa berlangsung. Walau demikian, pengaruhnya begitu terasa di bumi maupun kahyangan para dewa. Bumi gonjang-ganjing, langit kolap-kalip. Bintang-bintang ikut berjatuhan. Pertarungan itu berlangsung selama ratusan tahun tanpa henti. Setelah sekian lama bertarung, Batara Brahma dan Batara Wisnu menemukan titik lemah Hiranyaksa yaitu kepala dan perutnya yang besar. Hamsa (Batara Brahma) segera mematuk kepala Hiranyaksa. Hiranyaksa merasa kesakitan karena kepalanya dipatuki dan disosor sampai berdarah. Di saat lengah, Waraha (Batara Wisnu) segera menyundul perut Hiranyaksa dengan gigi taringnya yang mencuat lalu dilemparkanlah ia ke dasar Kerak Neraka dan tewaslah ia. Atma dari rohnya langsung mendapat siksaan pedih. Jeritannya terdengar keras sekali hingga terdengar oleh Prabu Hiranyakasipu.

Dendam Prabu Hiranyakasipu.

Tewasnya Hiranyaksa di tangan Batara Wisnu yang menjelma menjadi Waraha membuat saudara kembarnya, Prabu Hiranyakasipu terpukul dan sangat marah. Ia kemudian kembali melakukan tapa brata yang sangat kuat. Tapa Brata yang dilakoninya memusatkan diri pada Batara Guru. Agak berbeda dari sang kembaran, Prabu Hiranyakasipu melakukan tapa sembari meminum darahnya sendiri. Dia tak makan apapun, kecuali darahnya sendiri. Sepanjang hari, ia sayat seluruh kaki dan tangannya hingga darah mengalir lalu dihisapnya. Sampai tibalah Batara Guru di hadapannya. Setelah menerima tapa bratanya, Batara Guru meminta berkah apa yang diinginkan prabu Hiranyakasipu. Prabu Hiranyakasipu meminta keabadian tak bisa mati namun batara Guru berkata “Hiranyakasipu, kami para dewa sendiri tidak bisa hidup abadi karena kami ini makhluk fana, ciptaan yang Maha Abadi, Sanghyang Widhi, Gusti pencipta alam semesta.” “baiklah, aku ganti permintaan. Aku ingin semua manusia, raksasa, jin, binatang, penyakit, bahkan para dewa sekalipun tidak bisa mengalahkan aku. Tidak ada yang bisa membunuhku di waktu siang ataupun malam, dan tidak ada senjata apapun yang bisa melukai aku.” Batara Guru akhirnya memberikan berkahnya kepada Prabu Hiranyakasipu.

Jemawanya Hiranyakasipu

Sejak menerima berkah, Prabu Hiranyakasipu menjadi semakin jemawa bahkan melebihi kembarannya. Kesombongannya telah membuatnya menjadikan dirinya sebagai Tuhan yanga patut disembah.. Nama Sanghyang Maha Widhi, Tuhan Semesta Alam tidak boleh disebut. Ibadah kepada Yang Maha Agung dilarang bahkan diganti dengan penyembahan kepada Prabu Hiranyakasipu. Setiap pagi, para raksasa dan manusia yang ada di Alengka harus menghadap tanda menyembah padanya. Jika tidak, maka yang bersangkutan akan dihukum mati atau yang lebih ringan akan diperbudak dengan semena-mena. Alengkadiraja menjadi negeri tanpa tuhan. Selain menuhankan dirinya sendiri, Prabu Hiranyakasipu juga kembali melakukan ekspansi dan penjajahan namun kali ini seluruh negeri di bumi telah diekspansi. Tak main-main, upeti dari berbagai negeri dikumpulkan ke Alengkadiraja. Pajak ditarik sangat tinggi. Rakyat dan para raja negeri bawahan tercekik dan nasib mereka bak makan buah simalakama. Memberontak akan ditumpas habis, tetap loyal juga akan membuat mereka semakin miskin dan melarat.

Meskipun sang raja diraja itu sangat lalim, sang permaisuri, Dewi Kayadhu senantiasa mengingatkan sang suami agar bertobat namun tak dihiraukan. Kedua anak sang prabu, Raden Banjaranjali dan Raden Arya Prahlada juga sama sepeti sang ibu, mereka tetap berdoa kepada Yang Maha Kuasa walaupun secara diam-diam. Dewi Kayadhu selalu menanamkan kepada anak-anaknya itu bahwa hanya ada satu yang patut disembah yaitu Sanghyang Maha Widhi, Tuhan yang Maha Tunggal. Awalnya Raden Arya Prahlada mampu untuk beribadah secara sembunyi-sembunyi hingga pada suatu hari, Arya Prahlada secara terang-terangan dia menolak menyembah kepada ayahnya “ayahku, raja Alengkadiraja yang agung. Anakmu ini memintamu berhentilah untuk jemawa dan mengaku sebagai tuhan. Para dewa yang memberi ayahanda berkah hanya menyembah Sanghyang Maha Widhi, Tuhan yang Maha Tunggal lagi Maha Esa. Engkau hidup karena kuasaNya. Engkau diberikan berkah juga karena kuasa dariNya.” Prabu Hiranyakasipu sangat marah mendengar putranya sendiri adalah pemuja Tuhan Yang Maha Esa “anak kemarin sore, jikalau Tuhanmu itu ada, suruh Dia atau utusannya untuk melenyapkan aku. Aku Maharajadiraja Tribuanaloka yang patut disembah semua makhluk di muka bumi ini.” Arya Prahlada mendoakannya agar senantiasa selamat dalam lindungan Tuhan. Prabu Hiranyakasipu semakin panas hati. Sejak saat itu, hubungan ayah dan anak ini retak. Berkali-kali Prabu Hiranyakasipu berusaha menghabisi anaknya itu namun Tuhan Yang Maha Kuasa selalu melindunginya. Akhirnya kemarahan itu semakin lama semakin memuncak.  

Kabar Gembira untuk Para Dewa

Di waktu yang sama, Batara Guru dan Para dewa di kahyangan Ondar-Andir Buana sedang membicarakan tentang nasib Jonggring Saloka yang kini di tangan Hiranyakasipu. Sang batara Padawenang memberikan wejangan kepada para putra dan cucunya “anak-anakku semua. Sanghyang Maha Widhi telah memberikan pencerahan atas masalah kejemawaan Hiranyakasipu. Diantara segelintir manusia dan raksasa, Prahlada dan adiknya kembali ke jalan Yang Maha Widhi. Sudah saatnya para dewa kembali ke Jonggring Saloka.” Batara Guru senang sekali dan segera memerintahkan semua dewa untuk kembali ke Jonggring Saloka. Sebelum mereka kembali, Batara Guru segera memerintahkan Batara Wisnu segera turun ke marcapada untuk menolong Arya Prahlada dan membinasakan Prabu Hiranyakasipu beserta kejemawaannya.

Menitisnya Batara Narasinga.

Kekesalan Prabu Hiranyakasipu semakin memuncak hingga dia melihat sendiri sang putra sedang berdoa menyebut nama Sanghyang Maha Widhi. Bukan itu saja, permaisuri dan anaknya yang lain, Raden Banjaranjali juga percaya pada Tuhan yang Maha Agung. Marahlah ia dan dicabutlah salah satu tiang keratonnya. Dewi Kayadhu dan kedua putranya pasrah dan menyerahkan semuanya kepada Yang Maha Kuasa. Lalu muncul keajaiban, dari tiang yang tercerabut itu, muncullah sesosok makhluk yang aneh dan mengerikan. Dia bertubuh manusia namun berkepala harimau, rambutnya lebat seperti surai singa, memakai mahkota layaknya para dewa dengan kuku yang tajam bagai pedang. Makhluk mengerikan itu mengaku sebagai Batara Narasinga, titisan Batara Wisnu.

Terjadilah perang tanding antara Prabu Hiranyakasipu dengan Batara Narasinga. Pertarungan amatlah epik. Seluruh marcapada bahkan kahyangan menjadi guncang karenanya. Matahari sudah condong jauh ke barat memancarkan lembayung kuning dan merah. Senja haripun hampir tiba, Prabu Hiranyakasipu akhirnya dapat dikalahkan.

Batara Narasinga menghabisi Prabu Hiranyakasipu
Lalu Batara Narasinga membanting-bantingnya lalu dia mencakar habis perut sang raja jemawa itu sampai isi perutnya terburai keluar.  Dalam keadaan sekarat, sambil merintih prabu Hiranyakasipu berkata “kenapa.....berkah dewaku tidak mempan padamu?...” Batara Narasinga yang terus mencakar-cakar menjelaskan “ingatlah, berkahmu hanya berlaku pada manusia, raksasa, jin, penyakit, binatang, dan para dewa. Lihatlah aku, aku bukan manusia atau pun dewa apalagi binatang. Aku penggabungan dari makhluk-makhluk itu. berkahmu hanya berlaku di saat siang atau malam, namun kau lihat itu. Sekarang ini petang hari, peralihan antara siang dan malam. Berkahmu juga hanya berlaku pada senjata namun lihat apa yang aku gunakan? Hanya kuku cakar.” Prabu Hiranyakasipu sekarat. Ajalnya sudah dekat. Namun ia bersumpah kelak akan ada anak cucunya yang memilik kesaktian yang serupa dengannya. Dialah yang akan membuat titisan Wisnu sekalipun kewalahan. Hanya kera putih yang mampu mengalahkannya. Lalu tewaslah Prabu Hiranyakasipu.Arya Prahlada dan Raden banjaranjali berterima kasih sekali berkat kedatangan Narasinga.  Batara Narasinga segera kembali menjadi Batara Wisnu dan kembali ke kahyangan. Rakyat Alengkadiraja kembali bisa melakukan pemujaan pada Yang Maha Kuasa. Karena Raden Arya Prahlada tidak berniat menjadi raja memilih menjadi begawan, maka yang menjadi raja Alengkadiraja adalah Prabu Banjaranjali. Negeri jajahan dimerdekakan. Adik-adik perempuan Prabu Banjaranjali dan Arya Prahlada menjadi menantu Batara Brahma sebagai bentuk perdamaian dengan para dewa

Prabu Bali menjadi Raja Bidadari

Ratusan tahun berlalu, para dewa bisa kembali ke kahyangan. Dalam jarak ratusan tahun itu cucu dari Resi Prahlada, Raden Bali mendirikan kerajaan baru bernama Medang Siwanda bergelar Prabu Bali. Patihnya adalah putra Kala Rahu bernama Putut Jantaka. Kerajaan makmur dan sejahtera. Raja dikenal sebagai raja yang alim dan luhur budi. Suatu ketika, Prabu Bali yang tengah bersemedi kedatangan batara Indra. Dia mengajak sang prabu melilhat-lihat kahyangan dan istana Rinjamaya miliknya. Prabu Bali terpesona dan meminta satu keinginan pada Batara Indra “pukulun Indra, aku punya satu keinginan.” “katakan apa keinginanmu, cucuku.” Prabu Bali berkata “aku ingin menjadi raja bidadari sepertimu.” Terkejutlah batara Indra karena seakan permintaan itu seperti mengangkanginya sebagai raja bidadari tapi mengingat sang raja adalah orang yang alim maka permintaan itu dikabulkan. Mahkota Batara Indra diserahkan pada Prabu Bali dan ia menjadi raja bidadari disana. Batara Indra dan istrinya kemudian pindah ke istana Iswaraloka.

Di Rinjamaya, Prabu Bali membangun berbagai bangunan indah dan megah dikhususkan untuk para bidadara-bidadari disana. Dengan kebijaksanaannya dan terayominya para bidadara-bidadari, beberapa manusia, dan resi dibawah pimpinannya, perlahan pamor Batara Indra mulai merosot. Batara Indra mulai dihinggapi sifat iri.Maka dalam hati Batara Indra bergumam “Bali semakin mahsyur....bidadara dan bidadari bawahanku sudah semakin menyanjungnya. Mungkinkah nanti dia akan menggulingkanku sebagai raja bidadari yang sebenarnya.” Maka ia mengadukannya pada Batara Guru dan Batara Wisnu. “ampun Ayahanda pukulun dan adhi batara, kegundahan hati saya tentang Bali makin memuncak....saya takut kalau kalau dia benar akan menggulingkan saya.” “aku mengerti anakku. Tapi kita bisa apa. Prabu Bali tidak bisa disalahkan. Dia memang alim dan luhur budi...laksana ludira seta.” Batara Indra terdiam,begitupun Batara Guru dan Batara Wisnu. Kemudian datang suara dari langit berkata “hai Manikmaya, ketahuilah sabda-Ku.....memang betul Bali ialah orang yang alim, luhur budi pekerti tapi dia masih dihinggapi sifat bangga berlebihan. Masih suka meremehkan orang lain....sudah saatnya dia harus diuji....lewat seorang brahmana kerdil putra Dewi Aditi, dia akan tercerahkan kembali,” Batara Guru kemudian memerintahkan Batara Wisnu untuk menitis pada putra Dewi Aditi, menjadi adik bagi Batara Baruna dan Mintuna.

Lahirnya Jaka Wamana

Dewi Aditi, istri pertama Maharesi Kasyapa ingin mengandung lagi setelah sekian lama  sejak kelahiran batara Baruna dan Mintuna. Dia terus berdoa kepada Sanghyang Widhi agar bisa kembali berputra. Lalu datang batara Guru memberi kabar “Bunda Aditi, aku mengabarkan padamu kau akan mengandung titisan putraku, Wisnu. Berbahagialah.. anak titisan itu akan menjadi pendeta yang sangat berbudi luhur, banyak ilmunya, luas pandangan dan wawasannya.” Sebulan setelah suara batara Guru, hamillah Dewi Aditi. Setelah sembilan bulan, kemudian lahirlah anak yag sangat tampan. Ia menamainnya Jaka. Namun setelah usia sepuluh tahun, pertumbuhannya berhenti. maka sang ibu menambahkan namanya menjadi Jaka Wamana. Di usia semuda itu, Jaka Wamana telah mengerti kitab-kitab suci dan lontar-lontar. Dia menjadi pendeta cerdas. Penampilannya pun menggemaskan. Setiap kali mewejangkan ilmu, ia selalu membawa cupu air dan payung cantik.

Prabu Bali mengadakan Perjamuan untuk para Resi

Berita tentang pendeta kecil yang hebat sampai ke telinga Prabu Bali. Kebetulan ia akan membuat perjamuan khusus begi para resi dan pendeta. Ia ngin mengundang Jaka Wamana dan beberapa pendeta ke kerajaan Medang Siwanda agar mau mendo’akannya bisa panjang umur dan sejahtera. Namun Putut Jantaka memperingatkan sang raja “Gusti prabu, aku telah mendapat wangsit bahwa pendeta kecil itu penjelmaan sang Wisnu...jangan pernah mengujinya atau meremehkannya...apabila ia meminta sesuatu jangan diturutkan...” namun Prabu Bali menyanggah ucapan sang patih “lalu unuk apa aku mempersiapkan semua ini? sebagai raja yang mulia dan baik, tidak patut aku berbuat begitu. Apapun yang dia minta, akan aku turutkan.” Mendengar hal demikian, patih Putut Jantaka merasa sang raja mulai jemawa. Ia memilih meninggalkan Medang Siwanda dan kembali menjadi petapa.

Wahyu Nandanajati

Perjamuan pun digelar. Banyak para resi dan pendeta datang mendo’akan sang raja Medang Siwanda. Di tengah pesta itu, datanglah Jaka Wamana. Semua resi dan pendeta senior menghormatinya. Dia lalu duduk bersimpuh di hadapan Prabu Bali. Prabu Bali bertanya “pendeta yang agung, mintalah sesuatu padaku, apapun itu maka akan aku tunaikan..” “wahai Prabu Bali yang agung....keluhuran dan sifat alimmu sama seperti moyang paduka, Dewi Kayadhu dan kehalusan budimu seperti Resi Prahlada, kakek paduka. Ayah paduka, Begawan Wirocana pasti sedang bergembira di alam baka. Aku hanya meminta darimu tanah seluas tiga langkah kakiku.” Berpikir itu hanya permintaan anak-anak, Prabu Bali berkata seakan meremehkan sang pendeta kecil itu “itu sajakah, tuanku? Itu terlalu sederhana. Apa gunanya tanah tiga langkah, padahal tuanku bisa meminta berpetak-petak tanah lengkap dengan istana megah, pelayan yang cantik, makanan yang enak dan sedap,  emas permata segunung, dan mainan yang banyak.” Namun Jaka Wamana menjawab “orang yang bergelimang harta dan kekayaan duniawi belum tentu bahagia dunia akhirat. Harta hanya ujian bagi kita dan indria kita. Kepuasan dan kebahagian yang hakiki akan terjadi bila kita bersyukur dan puas dengan apa yang Sanghyang Widhi, Tuhan yang Maha Memberi berikan pada kita.” Prabu Bali terkesan dengan kata-kata sang pendeta. Maka ia bersedia mengabulkan seluruh permintaan Jaka Wamana.

Mahabali yang Tercerahkan

Ketika Prabu Bali hendak mengukur tanah tiga langkah itu, tiba-tiba ia dikejutkan dengan perubahan wujud Jaka Wamana. Jaka Wamana tiba-tiba berubah kembali menjadi Batara Wisnu dan atas izin Sanghyang Widhi, ia bertriwikrama menjadi raksasa besar. Tingginya nyaris mencapai langit. Keraton Medang Siwanda hancur. Satu langkah kakinya menutupi seluruh bumi. Langkah kedua ia merengkuh kahyangan dan langkah ketiganya ia tak menemukan tempat berpijak, maka Prabu Bali dengan sukarela menyerahkan kepalanya untuk djadikan tempat sang Batara Wisnu berpijak. Maka diinjaklah kepala sang prabu dan pecahlah kepalanya.

Prabu Bali menyerahkan dirinya kepada Jaka Wamana
Sang prabu tewas namun karena pengabdian dan kerendahan hatinya maka oleh batara Wisnu, tubuh Prabu Bali diperciki Tirta Perwitasari. Maka Prabu Bali hidup kembali. Prabu Bali merasa seperti tidur panjang namun setelah terbangun ia telah sadar akan kesombongannya di hadapan yang lainnya. Lalu sang prabu bertobat. Di hadapan semua yang hadir, ia memutuskan menjadi ajar (begawan/resi). Ia berjanji akan sentiasa berbuat atau mengajarkan ilmu tanpa mengharap pamrih apapun bentuknya, tidak akan mengharap kan apa yang didapat, dan tidak akan meremehkan siapapun juga. Oleh batara Wisnu, ia diberi gelar “sang Mahabali” berasal dari kata Mahatma Bali karena jiwa besarnya sang prabu Bali. Maka ia kembali ke dunia menjadi seorang ajar, mengasingkan diri demi lebih mendekatkan diri lagi pada Sanghyang Widhi, Tuhan yang Maha Kuasa dan menyebarkan segala ilmu yang ia punya. Maka ia berganti nama menjadi Mahatmaresi Mahabali. Sementara Kerajaan Medang Siwanda diserahkan pada putranya, Raden Banasura.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar