Matur salam para pembaca. untuk menambut tahun yang baru, kisah kali ini mengisahkan masa lalu Ajisaka, seorang maharesi terkenal yang kelak akan mengisi Jawadwipa. Kisah diawali dengan Pertemuan Batara Angganjali dengan Dewi Saka, berlanjut dengan Maharesi Ajisaka mendapat hadiah Tirta Maolkayat, penciptaan pasaran lima hari, dan diakhiri dengan ditumbalkannya Tanah Jawadwipa agar dapat dihuni manusia. Kisah ini bersumber dari Serat Paramayoga yang telah diubah dan disesuaikan
Empu
Kahyangan dan Maharaja Negeri Najran
Hari
itu di negeri Najran di semenanjung Arabia, raja yang duduk disana, Maharaja
Sakil dn putrinya, Dewi Saka sedang melakukan pelesir namun badai tiba-tiba
datang dan meluluh lantakkan kapal sang raja. Seluruh awak kapal tewas kecuali
Maharaja Sakil dan Dewi Saka. Batara Empu Angganjali saat itu tengah duduk di
atas ombak laut sedang membuat senjata dan benda pusaka kahyangan melihat dua
orang terkatung-katung di tengah laut. Batara Empu Angganjali segera menolong
mereka ke daratan negeri Najran. Sebelum pingsan, Dewi Saka sempat melihat
sosok pria tampan menolong ayahnya dan seketika jatuh hati padanya.
Singkat
cerita Maharaja Sakil dan Dewi Saka sadar dari pingsannya. Mereka berterima
kasih pada sang empu kahyangan itu “terima kasih, tuanku. Tuan sudah menyelamatkan
nyawa saya dan putri saya. Kalau boleh saya tahu, siapa nama tuanku?” “aku Angganjali.
Seorang empu dari Jonggring Saloka di Jawadwipa di sebrang timur samudera ini.”
Maharaja Sakil terkejut mendengarnya “berarti anda adalah keturunan para dewa.
Matur sembah kami pada paduka batara.” Batara Empu Angganjali tak menampik
sembah itu tapi ia menjelaskan bahwa para dewa juga masih keturunan Adam dan
Hawa, namun diberi kelebihan dan keistimewaan dari Sanghyang Widhi, Tuhan yang
Maha Memiliki. Maharaja Sakil ingin mengajak Batara Empu Angganjali untuk
singgah di Najran sebagi ungkapan terima kasih. Tak kuasa menolak, Batara Empu Angganjali
segera memapah mereka dan membawa mereka terbang ke negeri Najran.
Angganjali
Krama
Sesampainya
di keraton Najran, Batara Empu Angganjali takjub melihatnya. Maharaja Sakil
menjelaskan bahwa kemegahan negeri Najran ini selain karena jayanya perniagaan
tapi juga berkat rahmat Tuhan memberikan tanah yang subur. Namun mata Batara
Empu Angganjali seakan fokus ke tempat lain. Ia terus memandangi Dewi Saka,
putri sang maharaja. Begitupun Dewi Saka juga kadang tersipu malu melihat wajah
tampan sang empu para dewa itu. Pada suatu malam Dewi Saka berterus terang pada
ayahnya “ayahanda, aku sudah lama memendam ini. sejak kedatangan kanda Batara,
saya selalu terbayang wajahnya.... ia selalu muncul dalam mimpi saya.” “rupanya gadis kecil ayah sekarang sudah
dewasa. Akan aku katakan keinginanmu ini padanya.” Singkat cerita, Maharaja
Sakil menceritakan keinginan Dewi Saka. Gayung bersambut, Batara Empu Angganjali
juga mengatakan hal yang sama. Maka dengan terbuka, pernikahn antara Batara
Empu Angganjali dan Dewi Saka digelar. Namun beberapa tahun kemudian, Batara
Empu Angganjali harus meninggalkan Dewi Saka yang sedang mengandung untuk
kembali ke mencipta senjata buat para dewa.
Jaka
Sengkala Lahir
Kehamilan
sang putri Najran itu tidak normal. Sudah nyaris 15 bulan kandungannya namn
belum lahir juga si jabang bayi. Tepat di saat 15 bulan kehamilan, Dewi Saka
melahirkan. Tak seperti bayi-bayi pada umumnya, bayi yang dilahirkan Dewi Saka
begitu tampan. Matanya berwarna biru berkilat-kilat. Kulitnya kuning langsat
bersih tanpa setetes darah pun. Anaknya itu diberi nama Jaka Sengkala. Keanehan
sejak lahirnya Jaka Sengkala terus berlanjut. Negeri najran menjadi semakin
makmur. Bayi Jaya Sengkala tak pernah minum air susu ibunya namun cukup
menghisap jempolnya. Ketika usia Jaka Sengkala delapan tahun, ia berhasil semua
ilmu dan hikmah dari para ulama seluruh negeri. Di saat yang sama, seorang
pendeta bernama Usmanaji dari Yudea/Bani Israil datang untuk menjadi guru baru
bagi Jaka Sengkala. Dengan ketekunan dan keuletan, Pendeta Usmanaji berhasil
menjadikan Jaka Sengkala seorang ahli kanuragan, kewaskitaan, ahli hikmah.
Setelah dewasa, ia memiliki berbagai macam kesaktian seperti mampu terbang di
angkasa, menyelam ke dasar samudera, menghilang, dan malih rupa.
Mencari
Ayah Kandung
Pada suatu hari, Pendeta Usmanaji mendapat mimpi, ia melihat muridnya mandi air suci dan membawa serombongan orang ke daratan Jawadwipa. Di saat yang sama, Jaka Sengkala datang dan ingin berpamitan dengan sang guru “Guru, aku akan pergi ke Mahameru. Bertemu dengan ayahku. Ibunda telah mengungkapkan bahwa ayahku adalah seorang dewa bernama batara Empu Angganjali. Mohon restumu.” Sang guru merestui kepergian sang murid“Restuku padamu, anka mas Jaka Sengkala. Sebelum kamu pergi, aku akan memberitahukan sesuatu.
Jaka Sengkala bertemu bapaknya |
Di
tengah pertemuan mengharukan itu, Jaka Sengkala kagum dengan cara ayahnya
membuat senjata. Cukup dipijit saja, besi menjadi lunak bahkan emas putih yang
sangat keras sekalipun bisa lembek. Dia ingin berguru pada sang ayah cara
membuat senjata. Batara Empu Angganjali berkata pada putranya “anakku, aku tak
lebih hebat dari kakekmu, Batara Empu Ramayadi. Dia bisa membuat emas putih
lunak hanya dengan memandangnya saja.” “benarkah demikian, ayahanda? Aku harus
berguru padanya. Mohon restumu, ayahanda” Singkat cerita, Jaka Sengkala segera
menuju ke ujung timur Jawadwipa ke arah deretan pegunungan puncak Tengguru
Kailasa yaitu Mahameru. Di sana ia dihadang oleh Batara Cingkarabala dan
Balaupata. Ia menjelaskan bahwa ia cucu dari Batara Empu Ramayadi namun mereka
tak peduli. Terjadilah pertarungan cukup sengit. Meskipun masih muda, Jaka
Sengkala mampu mempercundangi dua dewa itu. Lalu datanglah Batara Empu Ramayadi
bersama Batara Wisnu melerai.
Jaka
Sengkala berguru pada Kakeknya
Jaka
Sengkala seketika tak mampu melanjutkan pertarungan kerna daya perbawa dua dewa
itu. lalu ia bersujud meminta maaf atas kekacauan yang ia buat dan
memperkenalkan dirinya “ampuni hamba, kakek Batara dan paman Batara atas
kekacauan yang saya dah buat. Perkenalkan saya Jaka Sengkala, putra Empu Angganjali.”
Maka seraya, Batara Empu Ramayadi membangunkan cucunya. “bangunlah, cucuku.
Permintaan maafmu diterima. Apa hal yang membuatmu kesini?” “kakek Batara, saya
ingin berguru cara membuat senjata padamu. Mohon bimbingannya.” Batara Empu
Ramayadi menerima cucunya menjadi muridnya. Dalam waktu yang tidak terlalu
lama, ia mampu menciptakan senjata dengan ajaib bahkan melebihi kakeknya. Bukan
hanya senjata saja tapi juga bahkan ia berhasil menciptakan kalam (pena) yang
bisa menulis tanpa kehabisan tinta. Berbagai aksara berhasil ditulis oleh kalam
buatan Jaka Sengkala mulai dari Dewanagari, Brahmi, hingga Pallawa. Setelah
berguru pada sang kakkek, batara Wisnu mengajarkan segalah ilmu dan hikmah
baru, kesaktian yang baru dan segala sesuatu yang belum pernah diajarkan di
negeri Najran.
Batara
Guru ingin Mengisi Jawadwipa dengan Manusia.
Kabar
kehebatan cucu Batara Empu Ramayadi itu didengar Batara Guru. Ia ingin agar Jaka
Sengkala dapat mengajari tulis menulis di tanah Hindustan dan Jawadwipa. Ia
juga ingin agar Jaka Sengkala bisa mengisi Jawadwipa dengan manusia-manusia
karena sebelumnya daratan Jawadwipa tak bisa dihuni manusia secara menetap
dikarenakan banyak makhluk halus yang mengganggu dan mencelakakan siapapun yang
tinggal di sana. Maka dipanggillah Jaka Sengkala “cucuku Jaka Sengkala, aku
memanggilmu karena ada tugas mulia yang harus kamu tunaikan. Turunlah kembali
ke marcapada untuk mengajari para manusia di tanah Hindustan dan Jawadwipa
tulis menulis.” Ampun Paduka Batara, bukanka Jawadwipa tempat paduka bertakhta
ini tidak ada satupun manusia yang menetap. Kalaupun ada, pasti bakal lari atau
di habisi para makhluk halus. Bagaimana saya bisa mengajar disana jika tak ada
manusia disana?” batara Guru lalu berkata”cucuku, janganlah risaukan itu.
Sanghyang Widhi, Tuhan yang Maha Melindungi akan selalu melindungimu. Sebelum
itu kamu harus ke tanah Lulmat di kutub utara. Ada hadiah dari-Nya yang harus
kamu ambil dan namamu akan aku ganti. Mulai sekarang dan selamanya namamu akan
menjadi Maharesi Ajisaka” “perintah Paduka Batara akan saya junjung tinggi.”
Hadiah
Tirta Maolkayat
Singkat
cerita, Maharesi Ajisaka terbang menuju Kutub Utara, ke Tanah Lulmat .
Sesampainya disana, Ia bertapa dengan tapa lungguh hingga tubuhnya terkubur
salju, menahan dinginnya salju dan es yang turun. Sekian lama, turunlah hujan
yang melelehkan semua salju yang mengubur Ajisaka. Maharesi Ajisaka menyadari
bahwa hujan ini bukan hujan biasa tapi hujan air suci, Tirta Maolkayat. Inilah
hadiah dari Sanghyang Widhi yang dijealskan Batara Guru. Maharesi Ajisaka
segera meminum Tirta Maolkayat dan sejak saat itu ia menjadi awet muda dan
mendapatkan umur panjang. Lalu terdengar suara gaib “Ajisaka ambillah cupu Tirta
Nirmala yang ada didekatmu. Niscaya semua tirta Maolkayat akan tertampung
semua.” Lalu muncullah sebuah cupu (wadah air kecil) bercahaya. Lalu ia buka
tutupnya dan ajaib, semua Tirta Maolkayat tertampung semua. Setelah dirasa
sudah cukup, Maharesi Ajisaka segera meninggalkan Kutub Utara yang dingin
membekukan itu.
Perjalanan
membuka Jawadwipa
Sampailah
Maharesi Ajisaka di Tanah Hindustan. Di sana ia mengajarkan baca dan tulis
menulis. Muridnya pun kian hari kian banyak. Disana pula ia menikahi wanita
dari bangsa Shaka, Ni Dewi Rarasati. Lalu teringatlah perintah dewa yang dulu harus
ke Jawadwipa untuk mengajar disana. Terpaksalah Rarasati ditinggal di
Hindustan. Ia kemudian membawa sebagian muridnya dan beberapa penduduk
Hindustan dari bangsa Keling, Shaka, Benggala, Siam, Cina-sthana bahkan ada
beberapa orang pengembara dari Negeri Rum ikut dalam rombongan Maharesi
Ajisaka. Setelah mengarungi laut Selatan, sampailah mereka di Jawadwipa (kala
itu tanah genting yang menghubungkan Hindustan dan Jawadwipa sudah nyaris
terputus tenggelam oleh air laut) Butuh seratus tiga hari untuk sampai di
Jawadwipa. Rombongan memutuskan untuk menetap di Gunung Dihyang. Melewati
hutan,bukit dan lembah. Dalam perjalanan itu, beberapa orang jatuh sakit dan
ada pula yang meninggal karena diserang makhluk halus dan binatang buas.
Benarlah apa yang diisyukan Batara Guru dan orang-orang bahwa Daratan Jawadwipa
sangatlh angker. Dengan sisa-sisa orang Keling, Benggala, Siam, Cina-sthana dan
Rum yang tinggal seribu orang, Maharesi Ajisaka akhirnya sampai di Gunung
Dihyang. Disana ia, rombongan dan murid-muridnya mendirikan kampung bernama
Purwapada.
Terbentuknya
Pekan Lima Hari
Setelah
kampung berdiri, Maharesi Ajisaka segera bertapa. Karena daya perbawa sang
Maharesi, tidak ada satupun makhluk halus ataupun binatang buas yang mampu
mendekati kampung itu sehingga murid-murid dan rombongan Maharesi Ajisaka tidak
celaka. Setelah beberapa hari, datanglah Dewi Srilaksmi alias Dewi Sri Widowati
datang dengan cahaya putih bersih “anakku, Ajisaka.aku akan mengajarkan ilmu
Asmaragama, Asmaraturida, Asmaranala, dan Asmaratantra. Semoga kamu memahaminya”
setelah memahami itu semua, Sang Dewi kembali ke kahyangan. Di hari kedua
datang Batara Kala dengan cahaya kuning yang menyala “hei Ajisaka. Aku akan
ajarkan segala sihir, sulap, dan gendam. Pergunakanlah baik-baik” Setelah
menyerap segala apa yang diajarkannya, Batara Kala segera kembali. Di hari
ketiga, datanglah Batara Brahma dengan sinar yang merah merona “anakku,
Ajisaka... kemarilah aku akan mengajarimu ilmu ramalan dan penglihatan masa
depan padamu.” Setelah memahaminya, Batara Brahma kembali ke kahyangan. Di hari
keempat, muncullah cahaya hitam dari angkasa, batara Wisnu datang “Ajisaka,
sahabatku...aku datang memberikan wejangan siasat perang, ilmu alam, dan ilmu
kesaktian padamu.” Setelah cukup, sang Batara Wisnu kembali ke kahyangan dan di
hari kelima datanglah pelangi beraneka warna turun dri langit, Batara Guru
telah datang “Cucuku, Ajisaka...aku telah datang. Kedatanganku kemari akan
mengajarkanmu berbagai macam hikmah dan ilmu panitisan. Seraplah dengan baik.”
Singkat cerita, Maharesi Ajisaka berhasil menyerap semua ilmu dari Batara Guru.
Maka setelah pulangnya sang Batara, Maharesi Ajisaka menciptakan suatu
penanggalan berdasarkan peristiwa turunnya para dewa padanya. Satu pekannya
berjumlah lima hari. Hari-harinya diawali dari Sri, lalu Kala, Brahma, Wisnu,
dan terakhir Guru/Siwa. Penanggalan yang diciptakan Maharesi Ajisaka itu ada
dua yaitu Candrasengkala yang berdasarkan peredaran bulan terhadap bumi dan
Suryasengkala yang berdasarkan peredaran bumi terhadap matahari.
Penumbalan
Tanah Jawadwipa
Beberapa tahun kemudian, Pendeta Usmanaji dari Yudea/Bani Israil datang ke Jawadwipa membawa serombongan orang Rum atas perintah Maharaja Oto, Raja negeri Rum untuk mengisi Jawadwipa dengan para manusia. Berkat kesaktiannya, Pendeta Usmanaji mampu mengetahui ada beberapa manusia di tanah angker itu, tepatnya di lereng Gunung Dihyang. Rombongan Pendeta Usmanaji segera mendatangi Gunung Dihyang dan menemukan kampung Purwapada yang dipimpin oleh muridnya dahulu, Maharesi Ajisaka. Sang maharesi terharu bisa kembali bertemu sang guru. Lalu Maharesi Ajisaka berkata “guru, negeri Jawadwipa ini angker sekali. Banyak rombonganku yang jatuh sakit dan meninggal diserang makhluk gaib dan jin jahat.
Maharesi Ajisaka betemu gurunya |
Hari
berikutnya, terjadi berbagai bencana mengerikan di Jawadwipa. Bumi
gonjang-ganjing, langit kolap-kalip. Banjir dahsyat dan ombak tsunami
menenggelamkan pesisir, gunung meletus dahsyat memuntahkan lahar panas. Taufan
badai dan halilintar bergemuruh. Badai salju turun dahsyat mengguyur dataran
rendah. Api dimana-mana membakar hutan tempat tinggal makhluk halus dan jin
jahat. Huru-hara terjadi di seluruh penjuru Jawadwipa bahkan kahyangan
Jonggring Sloka di puncak Mahameru (Tengguru Kailasa) yang berada di dimensi
lain sedikit bergoncang karenanya. Bersamaan dengan ribuan bencana itu, Suara
jerit tangis para jin jahat dan makhluk gaib pengganggu terdengar hingga jutaan
tombak jaraknya. Mereka semua lari pontang-panting ke Laut Selatan dan namun
naas bagi yang menuju ke utara, mereka dihempas ombak dari Laut Utara.
Akibatnya, daratan Jawadwipa terpisah dengan daratan Barunadwipa (sekarang
pulau Kalimantan) menyisakan Pulau Majeti (pulau Bawean), Pulau Saptaharga (Gunung
Muria) dan Pulau Karimun.
Jawadwipa Aman Tentram
Setelah
bencana selesai, Maharesi Ajisaka dan Pendeta Usmanaji beserta rombongan mereka
kembali menempati Daratan Jawadwipa. Bahkan tanpa diduga, banyak rombongan dari
tanah Hindustan dan Rum mengikutinya pindah ke Jawadwipa. Setelah beberapa lama
di Jawadwipa, orang-orang yang dibawa Maharesi Ajisaka dan Pendeta Usmanaji
beranak pinak dan mulai menyesaki tanah Jawadwipa. Lama-lama banyak pula
pendatang pula yang menetap bukan hanya dari Siam, Benggala, Cina-sthana, Rum,
ataupun Keling, tapi juga dari Arabia dan Afrika. Jawadwipa telah terisi dan jumlah
penduduk Nuswantara mulai bertambah. Setelah seluruh Jawadwipa terisi, Sudah
saatnya Maharesi Ajisaka kembali ke tanah Hindustan dan Pendeta Usmanaji
kembali ke Yudea. Sebelum kembali, ia menghadap kepada Batara Guru di Jonggring
Saloka, di puncak Mahameru buat melapor bahwa Daratan Jawadwipa telah terisi
manusia dan semuanya telah menetap. Batara Guru lalu berpesan “cucuku, Ajisaka.
Kembalilah kamu ke Hindustan...kelak kamu akan kembali kemari dua kali untuk
membinasakan raja zalim yang berkuasa disini sejak dari saat ini. Tapi itu
masih lama sekali, ratusan tahun lagi. Sebagai hadiah karena sudah mengisi
Jawadwipa ini dengan penduduk, maka pulau Majeti di utara Jawadwipa akan
menjadi milikmu.” Maka setelah dirasa cukup, Maharesi Ajisaka kembali ke
Hindustan, kembali berkumpul dengan istrinya dan kembali mengajarkan baca dan
tulis menulis pada masyarakat yang buta huruf.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar