Selasa, 12 Januari 2021

Kisah Ajisaka menumbal Jawadwipa

 

Matur salam para pembaca. untuk menambut tahun yang baru, kisah kali ini mengisahkan masa lalu Ajisaka, seorang maharesi terkenal yang kelak akan mengisi Jawadwipa. Kisah diawali dengan Pertemuan Batara Angganjali dengan Dewi Saka, berlanjut dengan Maharesi Ajisaka mendapat hadiah Tirta Maolkayat, penciptaan pasaran lima hari, dan diakhiri dengan ditumbalkannya Tanah Jawadwipa agar dapat dihuni manusia. Kisah ini bersumber dari Serat Paramayoga yang telah diubah dan disesuaikan 

Empu Kahyangan dan Maharaja Negeri Najran

Hari itu di negeri Najran di semenanjung Arabia, raja yang duduk disana, Maharaja Sakil dn putrinya, Dewi Saka sedang melakukan pelesir namun badai tiba-tiba datang dan meluluh lantakkan kapal sang raja. Seluruh awak kapal tewas kecuali Maharaja Sakil dan Dewi Saka. Batara Empu Angganjali saat itu tengah duduk di atas ombak laut sedang membuat senjata dan benda pusaka kahyangan melihat dua orang terkatung-katung di tengah laut. Batara Empu Angganjali segera menolong mereka ke daratan negeri Najran. Sebelum pingsan, Dewi Saka sempat melihat sosok pria tampan menolong ayahnya dan seketika jatuh hati padanya.

Singkat cerita Maharaja Sakil dan Dewi Saka sadar dari pingsannya. Mereka berterima kasih pada sang empu kahyangan itu “terima kasih, tuanku. Tuan sudah menyelamatkan nyawa saya dan putri saya. Kalau boleh saya tahu, siapa nama tuanku?” “aku Angganjali. Seorang empu dari Jonggring Saloka di Jawadwipa di sebrang timur samudera ini.” Maharaja Sakil terkejut mendengarnya “berarti anda adalah keturunan para dewa. Matur sembah kami pada paduka batara.” Batara Empu Angganjali tak menampik sembah itu tapi ia menjelaskan bahwa para dewa juga masih keturunan Adam dan Hawa, namun diberi kelebihan dan keistimewaan dari Sanghyang Widhi, Tuhan yang Maha Memiliki. Maharaja Sakil ingin mengajak Batara Empu Angganjali untuk singgah di Najran sebagi ungkapan terima kasih. Tak kuasa menolak, Batara Empu Angganjali segera memapah mereka dan membawa mereka terbang ke negeri Najran.

Angganjali Krama

Sesampainya di keraton Najran, Batara Empu Angganjali takjub melihatnya. Maharaja Sakil menjelaskan bahwa kemegahan negeri Najran ini selain karena jayanya perniagaan tapi juga berkat rahmat Tuhan memberikan tanah yang subur. Namun mata Batara Empu Angganjali seakan fokus ke tempat lain. Ia terus memandangi Dewi Saka, putri sang maharaja. Begitupun Dewi Saka juga kadang tersipu malu melihat wajah tampan sang empu para dewa itu. Pada suatu malam Dewi Saka berterus terang pada ayahnya “ayahanda, aku sudah lama memendam ini. sejak kedatangan kanda Batara, saya selalu terbayang wajahnya.... ia selalu muncul dalam mimpi saya.”  “rupanya gadis kecil ayah sekarang sudah dewasa. Akan aku katakan keinginanmu ini padanya.” Singkat cerita, Maharaja Sakil menceritakan keinginan Dewi Saka. Gayung bersambut, Batara Empu Angganjali juga mengatakan hal yang sama. Maka dengan terbuka, pernikahn antara Batara Empu Angganjali dan Dewi Saka digelar. Namun beberapa tahun kemudian, Batara Empu Angganjali harus meninggalkan Dewi Saka yang sedang mengandung untuk kembali ke mencipta senjata buat para dewa.

Jaka Sengkala Lahir

Kehamilan sang putri Najran itu tidak normal. Sudah nyaris 15 bulan kandungannya namn belum lahir juga si jabang bayi. Tepat di saat 15 bulan kehamilan, Dewi Saka melahirkan. Tak seperti bayi-bayi pada umumnya, bayi yang dilahirkan Dewi Saka begitu tampan. Matanya berwarna biru berkilat-kilat. Kulitnya kuning langsat bersih tanpa setetes darah pun. Anaknya itu diberi nama Jaka Sengkala. Keanehan sejak lahirnya Jaka Sengkala terus berlanjut. Negeri najran menjadi semakin makmur. Bayi Jaya Sengkala tak pernah minum air susu ibunya namun cukup menghisap jempolnya. Ketika usia Jaka Sengkala delapan tahun, ia berhasil semua ilmu dan hikmah dari para ulama seluruh negeri. Di saat yang sama, seorang pendeta bernama Usmanaji dari Yudea/Bani Israil datang untuk menjadi guru baru bagi Jaka Sengkala. Dengan ketekunan dan keuletan, Pendeta Usmanaji berhasil menjadikan Jaka Sengkala seorang ahli kanuragan, kewaskitaan, ahli hikmah. Setelah dewasa, ia memiliki berbagai macam kesaktian seperti mampu terbang di angkasa, menyelam ke dasar samudera, menghilang, dan malih rupa.

Mencari Ayah Kandung

Pada suatu hari, Pendeta Usmanaji mendapat mimpi, ia melihat muridnya mandi air suci dan membawa serombongan orang ke daratan Jawadwipa. Di saat yang sama, Jaka Sengkala datang dan ingin berpamitan dengan sang guru “Guru, aku akan pergi ke Mahameru. Bertemu dengan ayahku. Ibunda telah mengungkapkan bahwa ayahku adalah seorang dewa bernama batara Empu Angganjali. Mohon restumu.” Sang guru merestui kepergian sang murid“Restuku padamu, anka mas Jaka Sengkala. Sebelum kamu pergi, aku akan memberitahukan sesuatu.

Jaka Sengkala bertemu bapaknya
Tadi malam aku bermimpi kamu mandi air suci dan membawa serombongan orang ke Jawadwipa. Aku merasa bahwa kelak kamu akan mejadi orang hebat nanti. Jika umurku panjang, kita akan bertemu lagi di sana.” Berangkatlah Jaka Sengkala dengan sampan mengarungi Samudera Hindia/Laut Selatan. Di sana ia melihat ada seorang dewa yang duduk di atas ombak sedang membuat senjata. Ia lalu terbang dan memperkenalkan dirinya “salam ayahanda batara, aku putramu dengan Dewi Saka. Namaku Jaka Sengkala.” Batara Empu Angganjali merasa gembira bisa bertemu putera tercintanya itu.

Di tengah pertemuan mengharukan itu, Jaka Sengkala kagum dengan cara ayahnya membuat senjata. Cukup dipijit saja, besi menjadi lunak bahkan emas putih yang sangat keras sekalipun bisa lembek. Dia ingin berguru pada sang ayah cara membuat senjata. Batara Empu Angganjali berkata pada putranya “anakku, aku tak lebih hebat dari kakekmu, Batara Empu Ramayadi. Dia bisa membuat emas putih lunak hanya dengan memandangnya saja.” “benarkah demikian, ayahanda? Aku harus berguru padanya. Mohon restumu, ayahanda” Singkat cerita, Jaka Sengkala segera menuju ke ujung timur Jawadwipa ke arah deretan pegunungan puncak Tengguru Kailasa yaitu Mahameru. Di sana ia dihadang oleh Batara Cingkarabala dan Balaupata. Ia menjelaskan bahwa ia cucu dari Batara Empu Ramayadi namun mereka tak peduli. Terjadilah pertarungan cukup sengit. Meskipun masih muda, Jaka Sengkala mampu mempercundangi dua dewa itu. Lalu datanglah Batara Empu Ramayadi bersama Batara Wisnu melerai.

Jaka Sengkala berguru pada Kakeknya

Jaka Sengkala seketika tak mampu melanjutkan pertarungan kerna daya perbawa dua dewa itu. lalu ia bersujud meminta maaf atas kekacauan yang ia buat dan memperkenalkan dirinya “ampuni hamba, kakek Batara dan paman Batara atas kekacauan yang saya dah buat. Perkenalkan saya Jaka Sengkala, putra Empu Angganjali.” Maka seraya, Batara Empu Ramayadi membangunkan cucunya. “bangunlah, cucuku. Permintaan maafmu diterima. Apa hal yang membuatmu kesini?” “kakek Batara, saya ingin berguru cara membuat senjata padamu. Mohon bimbingannya.” Batara Empu Ramayadi menerima cucunya menjadi muridnya. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, ia mampu menciptakan senjata dengan ajaib bahkan melebihi kakeknya. Bukan hanya senjata saja tapi juga bahkan ia berhasil menciptakan kalam (pena) yang bisa menulis tanpa kehabisan tinta. Berbagai aksara berhasil ditulis oleh kalam buatan Jaka Sengkala mulai dari Dewanagari, Brahmi, hingga Pallawa. Setelah berguru pada sang kakkek, batara Wisnu mengajarkan segalah ilmu dan hikmah baru, kesaktian yang baru dan segala sesuatu yang belum pernah diajarkan di negeri Najran.

Batara Guru ingin Mengisi Jawadwipa dengan Manusia.

Kabar kehebatan cucu Batara Empu Ramayadi itu didengar Batara Guru. Ia ingin agar Jaka Sengkala dapat mengajari tulis menulis di tanah Hindustan dan Jawadwipa. Ia juga ingin agar Jaka Sengkala bisa mengisi Jawadwipa dengan manusia-manusia karena sebelumnya daratan Jawadwipa tak bisa dihuni manusia secara menetap dikarenakan banyak makhluk halus yang mengganggu dan mencelakakan siapapun yang tinggal di sana. Maka dipanggillah Jaka Sengkala “cucuku Jaka Sengkala, aku memanggilmu karena ada tugas mulia yang harus kamu tunaikan. Turunlah kembali ke marcapada untuk mengajari para manusia di tanah Hindustan dan Jawadwipa tulis menulis.” Ampun Paduka Batara, bukanka Jawadwipa tempat paduka bertakhta ini tidak ada satupun manusia yang menetap. Kalaupun ada, pasti bakal lari atau di habisi para makhluk halus. Bagaimana saya bisa mengajar disana jika tak ada manusia disana?” batara Guru lalu berkata”cucuku, janganlah risaukan itu. Sanghyang Widhi, Tuhan yang Maha Melindungi akan selalu melindungimu. Sebelum itu kamu harus ke tanah Lulmat di kutub utara. Ada hadiah dari-Nya yang harus kamu ambil dan namamu akan aku ganti. Mulai sekarang dan selamanya namamu akan menjadi Maharesi Ajisaka” “perintah Paduka Batara akan saya junjung tinggi.”

Hadiah Tirta Maolkayat

Singkat cerita, Maharesi Ajisaka terbang menuju Kutub Utara, ke Tanah Lulmat . Sesampainya disana, Ia bertapa dengan tapa lungguh hingga tubuhnya terkubur salju, menahan dinginnya salju dan es yang turun. Sekian lama, turunlah hujan yang melelehkan semua salju yang mengubur Ajisaka. Maharesi Ajisaka menyadari bahwa hujan ini bukan hujan biasa tapi hujan air suci, Tirta Maolkayat. Inilah hadiah dari Sanghyang Widhi yang dijealskan Batara Guru. Maharesi Ajisaka segera meminum Tirta Maolkayat dan sejak saat itu ia menjadi awet muda dan mendapatkan umur panjang. Lalu terdengar suara gaib “Ajisaka ambillah cupu Tirta Nirmala yang ada didekatmu. Niscaya semua tirta Maolkayat akan tertampung semua.” Lalu muncullah sebuah cupu (wadah air kecil) bercahaya. Lalu ia buka tutupnya dan ajaib, semua Tirta Maolkayat tertampung semua. Setelah dirasa sudah cukup, Maharesi Ajisaka segera meninggalkan Kutub Utara yang dingin membekukan itu.

Perjalanan membuka Jawadwipa

Sampailah Maharesi Ajisaka di Tanah Hindustan. Di sana ia mengajarkan baca dan tulis menulis. Muridnya pun kian hari kian banyak. Disana pula ia menikahi wanita dari bangsa Shaka, Ni Dewi Rarasati.  Lalu teringatlah perintah dewa yang dulu harus ke Jawadwipa untuk mengajar disana. Terpaksalah Rarasati ditinggal di Hindustan. Ia kemudian membawa sebagian muridnya dan beberapa penduduk Hindustan dari bangsa Keling, Shaka, Benggala, Siam, Cina-sthana bahkan ada beberapa orang pengembara dari Negeri Rum ikut dalam rombongan Maharesi Ajisaka. Setelah mengarungi laut Selatan, sampailah mereka di Jawadwipa (kala itu tanah genting yang menghubungkan Hindustan dan Jawadwipa sudah nyaris terputus tenggelam oleh air laut) Butuh seratus tiga hari untuk sampai di Jawadwipa. Rombongan memutuskan untuk menetap di Gunung Dihyang. Melewati hutan,bukit dan lembah. Dalam perjalanan itu, beberapa orang jatuh sakit dan ada pula yang meninggal karena diserang makhluk halus dan binatang buas. Benarlah apa yang diisyukan Batara Guru dan orang-orang bahwa Daratan Jawadwipa sangatlh angker. Dengan sisa-sisa orang Keling, Benggala, Siam, Cina-sthana dan Rum yang tinggal seribu orang, Maharesi Ajisaka akhirnya sampai di Gunung Dihyang. Disana ia, rombongan dan murid-muridnya mendirikan kampung bernama Purwapada.

Terbentuknya Pekan Lima Hari

Setelah kampung berdiri, Maharesi Ajisaka segera bertapa. Karena daya perbawa sang Maharesi, tidak ada satupun makhluk halus ataupun binatang buas yang mampu mendekati kampung itu sehingga murid-murid dan rombongan Maharesi Ajisaka tidak celaka. Setelah beberapa hari, datanglah Dewi Srilaksmi alias Dewi Sri Widowati datang dengan cahaya putih bersih “anakku, Ajisaka.aku akan mengajarkan ilmu Asmaragama, Asmaraturida, Asmaranala, dan Asmaratantra. Semoga kamu memahaminya” setelah memahami itu semua, Sang Dewi kembali ke kahyangan. Di hari kedua datang Batara Kala dengan cahaya kuning yang menyala “hei Ajisaka. Aku akan ajarkan segala sihir, sulap, dan gendam. Pergunakanlah baik-baik” Setelah menyerap segala apa yang diajarkannya, Batara Kala segera kembali. Di hari ketiga, datanglah Batara Brahma dengan sinar yang merah merona “anakku, Ajisaka... kemarilah aku akan mengajarimu ilmu ramalan dan penglihatan masa depan padamu.” Setelah memahaminya, Batara Brahma kembali ke kahyangan. Di hari keempat, muncullah cahaya hitam dari angkasa, batara Wisnu datang “Ajisaka, sahabatku...aku datang memberikan wejangan siasat perang, ilmu alam, dan ilmu kesaktian padamu.” Setelah cukup, sang Batara Wisnu kembali ke kahyangan dan di hari kelima datanglah pelangi beraneka warna turun dri langit, Batara Guru telah datang “Cucuku, Ajisaka...aku telah datang. Kedatanganku kemari akan mengajarkanmu berbagai macam hikmah dan ilmu panitisan. Seraplah dengan baik.” Singkat cerita, Maharesi Ajisaka berhasil menyerap semua ilmu dari Batara Guru. Maka setelah pulangnya sang Batara, Maharesi Ajisaka menciptakan suatu penanggalan berdasarkan peristiwa turunnya para dewa padanya. Satu pekannya berjumlah lima hari. Hari-harinya diawali dari Sri, lalu Kala, Brahma, Wisnu, dan terakhir Guru/Siwa. Penanggalan yang diciptakan Maharesi Ajisaka itu ada dua yaitu Candrasengkala yang berdasarkan peredaran bulan terhadap bumi dan Suryasengkala yang berdasarkan peredaran bumi terhadap matahari.

Penumbalan Tanah Jawadwipa

Beberapa tahun kemudian, Pendeta Usmanaji dari Yudea/Bani Israil datang ke Jawadwipa membawa serombongan orang Rum atas perintah Maharaja Oto, Raja negeri Rum untuk mengisi Jawadwipa dengan para manusia. Berkat kesaktiannya, Pendeta Usmanaji mampu mengetahui ada beberapa manusia di tanah angker itu, tepatnya di lereng Gunung Dihyang. Rombongan Pendeta Usmanaji segera mendatangi Gunung Dihyang dan menemukan kampung Purwapada yang dipimpin oleh muridnya dahulu, Maharesi Ajisaka. Sang maharesi terharu bisa kembali bertemu sang guru. Lalu Maharesi Ajisaka berkata “guru, negeri Jawadwipa ini angker sekali. Banyak rombonganku yang jatuh sakit dan meninggal diserang makhluk gaib dan jin jahat.

Maharesi Ajisaka betemu gurunya
Tanah ini harus kita bersihkan agar bisa ditinggali manusia. Apa yang harus kita lakukan sekarang ini?” “menurut hemat saya , anakku. Kita harus memasang kasang dan tumbal balak agar semua makhluk jahat itu pergi dari sini. Setelah tumbal dan kasang dipasang, perintahkan semua murid-muridmu dan keluarga mereka semua agar segera mengungsi dari sini untuk sementara..” singkat cerita, Maharesi Ajisaka dan gurunya segera memasang tumbal kasang di empat penjuru mata angin dan satu di tengah-tengah Jawadwipa. Sesaat setelah tumbal kasang dipasang, rombongan Ajisaka dan Pendeta Usmanaji segera meninggalkan Gunung Dihyang dan Jawadwipa.

Hari berikutnya, terjadi berbagai bencana mengerikan di Jawadwipa. Bumi gonjang-ganjing, langit kolap-kalip. Banjir dahsyat dan ombak tsunami menenggelamkan pesisir, gunung meletus dahsyat memuntahkan lahar panas. Taufan badai dan halilintar bergemuruh. Badai salju turun dahsyat mengguyur dataran rendah. Api dimana-mana membakar hutan tempat tinggal makhluk halus dan jin jahat. Huru-hara terjadi di seluruh penjuru Jawadwipa bahkan kahyangan Jonggring Sloka di puncak Mahameru (Tengguru Kailasa) yang berada di dimensi lain sedikit bergoncang karenanya. Bersamaan dengan ribuan bencana itu, Suara jerit tangis para jin jahat dan makhluk gaib pengganggu terdengar hingga jutaan tombak jaraknya. Mereka semua lari pontang-panting ke Laut Selatan dan namun naas bagi yang menuju ke utara, mereka dihempas ombak dari Laut Utara. Akibatnya, daratan Jawadwipa terpisah dengan daratan Barunadwipa (sekarang pulau Kalimantan) menyisakan Pulau Majeti (pulau Bawean), Pulau Saptaharga (Gunung Muria) dan Pulau Karimun.

Jawadwipa Aman Tentram

Setelah bencana selesai, Maharesi Ajisaka dan Pendeta Usmanaji beserta rombongan mereka kembali menempati Daratan Jawadwipa. Bahkan tanpa diduga, banyak rombongan dari tanah Hindustan dan Rum mengikutinya pindah ke Jawadwipa. Setelah beberapa lama di Jawadwipa, orang-orang yang dibawa Maharesi Ajisaka dan Pendeta Usmanaji beranak pinak dan mulai menyesaki tanah Jawadwipa. Lama-lama banyak pula pendatang pula yang menetap bukan hanya dari Siam, Benggala, Cina-sthana, Rum, ataupun Keling, tapi juga dari Arabia dan Afrika. Jawadwipa telah terisi dan jumlah penduduk Nuswantara mulai bertambah. Setelah seluruh Jawadwipa terisi, Sudah saatnya Maharesi Ajisaka kembali ke tanah Hindustan dan Pendeta Usmanaji kembali ke Yudea. Sebelum kembali, ia menghadap kepada Batara Guru di Jonggring Saloka, di puncak Mahameru buat melapor bahwa Daratan Jawadwipa telah terisi manusia dan semuanya telah menetap. Batara Guru lalu berpesan “cucuku, Ajisaka. Kembalilah kamu ke Hindustan...kelak kamu akan kembali kemari dua kali untuk membinasakan raja zalim yang berkuasa disini sejak dari saat ini. Tapi itu masih lama sekali, ratusan tahun lagi. Sebagai hadiah karena sudah mengisi Jawadwipa ini dengan penduduk, maka pulau Majeti di utara Jawadwipa akan menjadi milikmu.” Maka setelah dirasa cukup, Maharesi Ajisaka kembali ke Hindustan, kembali berkumpul dengan istrinya dan kembali mengajarkan baca dan tulis menulis pada masyarakat yang buta huruf.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar