Matur salam, semua. Kisah kali ini mengisahkan pencarian air kehidupan yang baru untuk para dewa. Kisah diawali dengan kelahiran dua burung garuda dan para naga keturunan Maharesi Kasyapa. Kisah dilanjutkan dengan pengadukan lautan danlegenda terciptanya gerhana. Kisah ini kemudian diakhiri dengan perbudakan Dewi Winata dan pembebasannya oleh sang Garudeya Brihawan. Kisah ini bersumber dari bagian Adiparwa Kitab Mahabharata karya Mpu Vyasa, Serat Pustakaraja Purwa karya Raden Ngabehi Ranggawarsita, dan blog albumkisahwayang.blogspot.com
Persaingan Kadru dan Winata
Di
suatu masa dahulu, Maharesi Kasyapa (Sang Dewa Hening) sedang menantikan
kelahiran anaknya yang dikandung oleh Dewi Kadru dan Dewi Winata, istri ketiga
dan keempat sang Maharesi. Selam bertahun-tahun mereka hamil dan kali ini
melahirkan. Namun kelahirannya amat pelik. Dewi Kadru melahirkan dua ratus
telur sedangkan Dewi Winata melahirkan dua butir telur namun berukuran lebih
besar. Maharesi Kasyapa merasa takjub sekaligus heran melihatnya. Lalu ia
berdoa kepada Sanghyang Widhi “Hyang Widhi.......lelakon apa yang harus hamba
jalani kali ini.dua istri hamba melahirkan bukan bayi melainkan telur . ku
mohon petunjukmu.” Lalu datang suara dari langit “kasyapa...,,perintahkan kedua
istrimu itu mengerami telur-tekur mereka namun jangan sampai melanggar
pantangan dengan membuka paksa telur-telur itu.” singkat cerita, maharesi
Kasyapa menyuruh kedua istrinya itu mengerami telur-telur itu selama
bertahun-tahun sampai telur-telur itu menetas.
Garuda
Haruna, Burung Cacat Sais sang Wiwaswan
Tahun-tahun pun berlalu, akhirnya telur-telur yang dierami Dewi Kadru cepat menetas. Lahirlah dari telur-telur itu berbagai macam ular naga dan mereka pun dinamai, salah satunya yaitu naga Taksaka, naga Ekawarna, dan naga Kaliya. Dewi Kadru pun lalu mendatangi madunya, Dewi Winata sembari berkata “lihatlah dinda.....anak-anakku telah lahir. Maka aku pun memenangkan persaingan ini. kakanda Kasyapa akan gembira sangat.” Dewi Winata tersinggung maka ia semakin keras mengerami kedua telurnya itu namun mereka tak kunjung menetas. Lama-lama Dewi Winata menjadi frustrasi “telur sialan! Mengapa kau terus mengujiku....keluarlah segera.” Maka di tengah kekesalannya, Dewi Winata coba memecahkan salah satu telur dengan membukanya paksa. Lahirlah dari telur itu seekor burung garuda namun cacat, tubuh bagian atasnya dari kepala, sayap dan pinggang ada namun tubuh bagian bawahnya tidak ada alias tanpa kaki. Bukan cuma itu, bulunya yang tumbuh sentiasa kusut. Maharesi Kasyapa kecewa dengan Dewi Winata yang terlalu menuruti iri dan dengki maka ia harus mengerami telur satunya lagi selama bertahun-tahun. Burung cacat itu akhirnya diberi nama sang Garuda Haruna.
Garudah Haruna menjadi sais kereta Batara Surya |
Bertahun-tahun
setelah kelahiran Garuda Haruna, telur terakhir milik Dewi Winata menetas
sempurna. Lahirlah dari telur itu burung garuda yang jauh lebih perkasa dari
sang kakak. Rona mukanya putih kemerahan terang bagai purnama, sayapnya besar
berwarna merah bagaikan buah delima merekah dan tubuhnya besar gagah dengan
bulu berwarna emas. Maharesi Kasyapa memberi nama putra kedua Winata itu Sang
Garuda Haruni. Garuda Haruni lahir saat Dewi Winata mengalami cemoohan dan
penindasan dari Dewi Kadru yang merasa menang atas kelahiran anak-anaknya yang
berwujud ular naga. Maka demi memastikan ia dapat hidup terhormat, maka Garuda
Haruni menawarkan diri kepada Batara Wisnu untuk menjadi kendaraannya. Oleh
sang Dewa Pemelihara dharma itu, nama Garuda Haruni diganti menjadi Garudeya
Brihawan.
Penemuan
Air Suci yang Baru
Prabu
Tarakasura dan Prabu Nilarudrakala telah dikalahkan dan tewas di tangan Batara
Kartikeya dan Batara Ganesha. Namun ancaman kahyangan masih sangat banyak.
Terlebih lagi Batara Indra, para bidadara-bidadari, dan para dewa yang dibawah
komandonya telah mendapat kutukan berupa kekuatan dan kemakmuran kahyangan akan
lenyap oleh seorang pertapa sakti karena Batara Indra tak mampu mengendalikan
kemarahan gajah Erawata yang menolak kalung bunga dari sang pertapa. Batara
Indra juga tidak mungkin terus meminta Tirta Maolkayat dari Batara Guru, sang
ayah. Di saat hati Batara Indra sedang gundah itu, datanglah Batara Guru dan
Batara Wisnu ke istana Rinjamaya “Indra, putraku. Aku tau sedang gundah karena
kutukan pertapa sakti itu. para dewa dan bidadari dibawah naungamu juga
khawatir. Tapi bertenanglah, Indra. Wisnu telah menemukan solusi atas
masalahmu.” “begini kakang Batara Indra, aku mendapat sebuah petunjuk tentang
air kehidupan yang punya khasiat yang sama dengan Tirta Maolkayat. Namanya air
Tirta Perwitasari. Air itu ada di dasar
Laut Selatan/Samudera Hindia. Untuk mendapatkannya, Laut Selatan harus diaduk
dengan gunung dengan bantuan para dewa, para naga, dan raksasa.” Setelah
mendapatkan petunjuk itu, Batara Indra mengutus Batara Wrehaspati untuk mengumpulkan
semua dewa di Jonggring Saloka. Batara Indra juga mengajak damai para raksasa
untuk mengaduk Laut Selatan dengan perjanjian akan mendapatkan hadiah yang
setimpal.
Kurma
Awatara, Penyu Raksasa Titisan Wisnu
Para
dewa pun berdatangan, diantaranya Batara Brahma, Batara Bayu, Batara Sambu,
Batara Kala, Batara Kartikeya, Batara Ganesha, Batara Kamajaya, Batara
Yamadipati, Batara Shani, Batara Rewanta, Batara Aswan dan Aswin, Batara Surya,
Batara Candra, dan Batara Srita (Penyarikan). Sementara kaum naga diwakili
Batara Anantaboga dan Batara Basuki. Di pihak kaum raksasa, banyak juga para
raksasa yang ikut. Diantaranya ada juga para pemimpin mereka yaitu Kala Rahu,
dan putranya, Putut Jantaka. Para raksasa juga diwakili Prabu Widyunmalika,
putra Prabu Tarakasura. Para dewa dan para raksasa memutuskan memilih Gunung
Mandaragiri sebagai gunung yang cocok untuk mengaduk laut. Namun para dewa,
naga, dan raksasa kewalahan untuk mengangkat Gunung Mandaragiri. Lalu datanglah
Garudeya Brihawan, burung garuda kendaraan Batara Wisnu membantu mengangkat
Gunung Mandaragiri. Gunung itu diangkatnya dan setelah menemukan titik yang
pas, Gunung Mandaragiri dijatuhkannya ke laut. Namun yang namanya laut pasti
punya kedalaman. Masalahnya, titik tempat jatuhnya Gunng Mandaragiri kedalamannya
sangat jauh. Gunung Mandaragiri nyaris karam. Batara Wisnu segera membantu. Ia menjelma
menjadi Kurma Awatara, yang berwujud penyu bedawang (penyu raksasa) bernama
Akupa. Tempurungnya menjadi alas gunung agar Gunung Mandaragiri tidak terus
kandas. Tungkai sirip Akupa menjadi kipas pengaduk sementara yang tangkai dan gagangnya
adalah Gunung Mandaragiri yang dililit Batara Anantaboga dan Batara Basuki dalam
wujud ular naga. Batara Basuki melilitkan ekornya ke gunung Mandaragiri
sementara batara Anantaboga menggigit pucuk gunungnya dan menjadikan ekornya
sebagai gagang. Para raksasa berada disisi batara Basuki sementara para dewa di
sisi Batara Anantaboga. Agar gunung tidak terlempar saat diaduk maka Naga Taksaka dan Batara Indra duduk di lereng
bawah Gunung Mandaragiri sebagai penahan.
Pengadukan
Samudera berbuah Racun Mematikan
Pemutaran Gunung Mandaragiri dimulai. Para dewa dan raksasa memutar-mutar Gunung Mandaragiri. Jika para dewa mendorong kearah kiri, maka para raksasa bergerak kearah kanan begitu juga sebaliknya, mirip seperti mengaduk adonan roti. Laut Selatan teraduk-aduk dan semakin mengental. Batara Baruna dan Batara Mintuna juga ikut membantu mengaduk dengan menggerakkan ombak dan arus memutar. Para raksasa yang mendapatkan kepala Batara Basuki kewalahan karena Batara Basuki merasa tercekik dan terus memuntahkan racun.
Samuderamantana |
Harta
Karun dari Pengadukan Samudera
Laut
Selatan terus teraduk-aduk selama berhari-hari. Kahyangan dan marcapada menjadi
geger. Bumi gonjang-ganjing langit kolap-kalip. Angin topan juga itu andil
dalam pengadukan Laut Selatan. Setelah sekian lama teraduk, laut di sekitar
Gunung Mandaragiri tersingkap dan muncullah berbagai harta karun dari dalam
laut. Diantaranya adalah lembu Surabi, kuda Oncesrawa, permata safir
Kastubamulya, praba Ardhacandra, pohon Kalpawreksa, Dewi Sura sang dewi pembuat
arak dan tuak, kembang Srigading (parijataka), bunga ratna (bunga kancing
ungu), Dewi Permoni (Pramoni) sang dewi kemalangan, Sangkya (terompet kerang ;
sangkakala) Pancajanya bertatahkan berlian dan mutiara, busur Harandanu yang
sangat kuat, dan yang terakhir adalah Batara Dhanwantari, sang tabib dewata yang
membawa cupu (kendi ajaib) berisi semua Tirta Perwitasari. Setelah
mengembalikan gunung Mandaragiri ke tempat asalnya, seluruh harta karun dibagi
rata. Permata safir Kastubamulya dijadikan hiasan mahkota batara Wisnu. Lembu
Surabi di berikan kepada Batara Guru lalu diserahkan kepada para Maharesi, Dewi
Sura memilih para raksasa agar bisa membuat mereka merasakan enaknya arak
buatannya. Pohon kalpawreksa, bunga srigading, dan bunga ratna dibawa para dewa
ke kahyangan, kuda Oncesrawa dijadikan milik para naga, Sangkya diberikan pada
Batara Wisnu, busur sakti Harandanu dijadikan milik para raksasa, Dewi Permoni
memilih Batara Kala sebagai suaminya dan bersama-sama tinggal di istana Nusa
Kambana. Praba (baju kebesaran) Ardhacandra diberikan kepada para raksasa namun
para raksasa mempersembahkannya kepada Batara Guru secara sukarela. Kini
tibalah Batara Dhanwantari untuk memilih untuk siapa Tirta Perwitasari itu.
namun para dewa dan para raksasa tidak sabar. Terjadilah keributan. Cupu berisi
Tirta Perwitasari terlepas dari tangan Batara Dhanwantari dan berhasil direbut
oleh para raksasa. Para raksasa kegirangan dan segera pergi dari Laut Selatan.
Para
Dewa Merebut Kembali Tirta Perwitasari
Para
dewa menjadi panik karena jika Tirta Perwitasri jatuh ke tangan orang yang
tidak tepat maka akan terjadi bencana. Batara Kala sebagai wakil bangsa raksasa
berusaha menenangkan keadaan “tenang, para dewa semua. aku wakil bangsa raksasa
mohon pengertian. Saat pembagian, bangsa raksasa hanya dapat sedikit hadiah.
Kami merasa berhak dapat sedikit Tirta Perwitasari. Aku berjanji mereka tak
akan menyalahgunakannya.” Batara Brahma menyela dengan nada penuh emosi“tapi siapa
yang bisa menjamin itu semua? kalau Tirta perwitasari disalahgunakan bagaimana?
Kau mau bertanggungjawab, Kala?” Batara Kala tersulut “aku sudah berusaha
bicara baik-baik tapi kakang malah menjawab dengan emosi? Mau ngajak rame?”
para dewa segera melerai mereka. Lalu datanglah batara Wisnu dan Batara Indra.
Batara Indra menenangkan kedua saudaranya itu“Kala! Brahma! Bertenang sejenak. Walau
itu menjadi hak milik para raksasa, Tirta Perwitasari harus berada di tangan
para dewa. Bangsa raksasa berhak minum Tirta Perwitasari dan tinggal ke
kahyangan sebagai dewa apabila mereka ada yang berbudi luhur dan mampu mencapai
pencerahan hidup. Aku yang akan menjamin itu semua.” Batara Kala yang tadinya
marah akhirnya reda dan menerima jaminan itu. kini Batara Brahma betanya “lalu
kalau memang takdir Tirta Perwitasari harus di tangan para dewa, bagaimana
caranya mendapatkannya kembali?” keheningan sejenak dua jenak. Lalu Batara
Wisnu mendapatkan ide dan mengusulkan agar dirinya saja yang mengambil Tirta
Perwitasari“aku yang akan ke sana merebutnya”
Dewi
Malini dan Jumawanya Kala Rahu
Para
raksasa yang dipimpin Kala Rahu, dan Putut Jantaka bergembira setelah
mendapatkan Tirta Perwitasari. Mereka saling berpesta, minum arak dan tuak, dan
menari-nari dengan riangnya.. lalu ketika Tirta Perwitasari hendak
dibagi-bagikan, muncullah seorang bidadari cantik bernama Dewi Malini.
Kecantikannya yang terpancar menjadikan para raksasa terlena dan mabuk kecubung
dibuatnya. Mereka yang masih dalam pengaruh minuman keras saling bertengkar dan
memperebutkan Dewi Malini. Dewi Malini merasa ini kesempatan bagus. Pada saat
itu juga, dia segera mengambil Tirta Perwitasari dan dan membawanya kembali ke
kahyangan. Begitu Tirta Perwitasari lenyap, barulah para raksasa sadar dengan
kesalahan mereka. Kala Rahu berniat mengejar Dewi Malini namun dilarang oleh
Prabu Widyunmalika “tunggu, Kala Rahu. Jangan gegabah. Itu bukan rezeki kita.
aku mendapat penerawangan dari pukulun Batara Kala kalau Batara Indra telah
menjamin akan memberikan kita Tirta Perwitasari jika kita mau berbuat baik dan
memelihara dharma.” “persetan dengan jaminan Indra, aku ingin mendapatkan Tirta
Perwitasari sekarang juga. Aku sudah luhur bahkan lebih luhur dari para dewa.”
Kata-kata Prabu Widyunmalika tak diindahkan oleh Kala Rahu. Kini giliran sang
putra, Putut Jantaka membujuk sang ayah “ayah, berpikirlah sekali lagi. Jangan
karena nafsu, hati ayah menjadi buta, menjadi tuli, tidak mampu mendengar kebaikan
bahkan kata-kata baik gusti Prabu. Ku mohon pada ayah jangan melampaui batas“
namun Kala Rahu keras kepala. Kata-kata sang putra juga tak diindahkan malah ia
menendang putranya sendiri. Ia akhirnya menyelinap diam-diam ke dalam
kahyangan.
Legenda
Gerhana Matahari dan Bulan
Di
kahyangan Jonggring Saloka, tepatnya di alun-alun Suralaya, Batara Indra
berniat membagikan Tirta Perwitasari kepada para dewa baru yang belum pernah
meneguk Tirta Maolkayat. Para dewa baru itu berbaris mengantri Tirta Perwitasari.
Memanfaatkan acara itu, Kala Rahu menyamar dengan berubah wujud menjadi dewa
dan menyelinap ke dalam barisan. Batara Surya dan Batara Candra yang sedang
mengawasi merasa ada dewa yang aneh. Lalu mereka melapor ada Batara Wisnu yang
masih berwujud Dewi Malini “ampun,
kakang Wisnu. Kami melihat ada sesosok dewa yang mencurigakan.” Batara Wisnu
segera melihat ke arah antrian. Dilihatnya dengan mata batin dan ternyata dewa
yang mencurigakan itu Kala Rahu yang menyamar. Kini tiba giliran dewa jelmaan
Kala Rahu meneguk Tirta Perwitasari. Batara Wisnu segera melemparkan Cakra
Widaksana ke leher dewa gadungan itu dan jrass...terpenggalah kepala Kala Rahu
dari badannya.
Namun keajaiban terjadi. Kepala Kala Rahu tetap hidup karena ia sudah mereguk Tirta Perwitasari. Kepala itu terus melayang-layang di udara dan mengincar Batara Surya dan Batara Candra. Kala Rahu membuka mulutnya lebar-lebar dan menelan tubuh Batara Surya dan Batara Candra hidup-hidup. Mendadak langit menjadi gelap gulita.
Kala Rahu menciptakan gerhana |
Matahari dan rembulan kehilangan cahaya. Batara Wisnu segera mengubah tubuh Kala Rahu yang tanpa kepala menjadi lesung lalu memerintahkan para bidadari mengambil alu penumbuk padi dan menabuh lesung itu. Begitu lesung ditabuh, Kala Rahu merasa perutnya tergelitik dan mual lalu ia memuntahkan Batara Surya dan Batara Candra. Batara Surya merasa ini adalah kutukan yang dulu pernah dilontarkan para dewa padanya. Ia sedih karena yang menanggung kutukan itu bukan hanya dia sendiri bahkan Candra yang tak tahu apa-apa harus menaggungnya juga. Kala Rahu mengancam Batara Surya dan Batara Candra “huahahahaha....kelak aku akan kembali menelan kalian lagi dan ku ciptakan gerhana.” Setelah keluar dari mulut Kala Rahu, langit kembali terang. Cahaya matahari dan rembulan telah kembali.
Batara
Guru yang kebetulan datang melihat peristawa itu memberikan saran “Indra,
sebarkanlah ini pada penduduk di negeri Hindustan, Jawadwipa, dan Nuswantara.”
Batara Indra segera mengabarkan jika terjadi gerhana, mereka harus
memukul-mukul lesung dan membuat keributan. Dengan cara itu, kepala Kala Rahu
bisa merasa mual dan bising lalu mengembalikan sinar matahari ataupun rembulan
yang ia curi.
Jengahnya
Dewi Winata
Dewi
Winata sebenarnya orang yang sabar namun
ia sudah merasa jengah dengan olok dan ejekan Dewi Kadru yang merasa
menang atas dirinya. Dia mendengar tentang munculnya kuda ajaib bernama
Oncesrawa dari dasar samudera lalu ia mengajak bertaruh Dewi Kadru ”Kanda Mbok
Kadru, sudah cukup atas semua olok-olokmu. Mari kita bertaruh tebakan, apa
warna kuda Oncesrawa? Yang tebakannya salah, maka yang kalah akan menjadi hamba
yang menang” Dewi Kadru menjawab “tentu saja warna si kuda itu putih dengan
belang hitam di ekor.” “kamu salah, warnanya putih belaka” Kilah Dewi Winata.
Keduanya saling cekcok dan kemudian berusaha membuktikannya besok harinya.
Malam
harinya, Dewi Kadru kedatangan salah satu anaknya yaitu naga Taksaka.
“Ibunda,aku mengabarkan bahwa bangsa ular naga telah mendapatkan hadiah kuda
bernama Oncesrawa dari pengadukan samudera tempo hari.”. Lalu Dewi Kadru
bertanya “apa warna kuda itu, anakku?” “warnanya putih bersih bagaikan susu
sapi murni. Putih belaka dari ujung kepala hingga ekornya.” Dewi Kadru
terkesiap dan cemas lalu meminta Taksaka dan adik-adiknya membantu sang ibu
membuat ekor kuda itu mejadi belang hitam supaya ia tidak menjadi hamba Dewi
Winata. Namun Taksaka menolak “ibu, itu perbuatan curang, menipu. Tidak baik.”
“aku tidak peduli, anakku. Kalau kalian tidak membantu ibu, maka kelak kamu dan
anak keturunan kalian akan habis karena upacara kurban ular!” tidak ada pilihan
lain, maka naga Taksaka, Kaliya, Ekawarna dan adik-adik mereka terpaksa
menuruti keinginan ibu mereka. Mereka sembur semua racun dan bisa ke ekor kuda
itu hingga menjadi belang-belang hitam
Dewi
Winata menjadi Hamba
Esoknya,
Dewi Winata datang dan Dewi Kadru memperlihatkan kuda Oncesrawa dan terkejutlah
Dewi Winanta melihat kuda itu ekornya belang hitam di ujungnya. Maka sesuai
kesepakatan, Dewi Winata menjadi hamba bagi Dewi Kadru. Selam bertahun-tahun
penderitaan Dewi Winata semakan bertambah. Sudah dicemooh, dihina pula bahkan
beberapa kali mendapat kekerasan fisik. Selain harus melayani keinginan Dewi
Kadru yang aneh-aneh, ia juga harus merawat beberapa adik-adik Naga Taksaka
yang masih kecil. Sesekali Garudeya Brihawan datang berkunjung untuk menengok
sang ibu. “ibunda, tidakkah ibu capek dan lelah melayani keinginan bunda Kadru
dengan keinginannya yang aneh-aneh?” “ ya sebenarnya ibu capek, anakku. Tapi
mau bagaimana lagi, ibu ikhlas. Ibu dulu yang memulai bertaruh dengan Kadru dan
ibu kalah, aku juga yang harus menanggungnya, toh ini menjadi kesepakatan
bersama di awal. Mungkin inilah suratan yang harus ibu jalani saat ini. semoga
Sanghyang Widhi memberi ibu kekuatan untuk melewatinya.” Kata Dewi Winata
dengan tabah.
Garudeya
Brihawan Hendak Mengambil Tirta Perwitasari
Garudeya
Brihawan merasa kasihan terhadap nasib sang ibu. Maka ia berusaha merangsek
paksa hendak membebaskan Dewi Winata namun para naga menghalangi maka
terjadilah perang antara para ular naga dan sang Garudeya, manusia setengan
burung elang itu. Selama berhari-hari mereka saling cakar, saling sembur racun,
saling gigit dan mematuk. Lalu mereka bersepakat “Garudeya, kami bisa
membantumu melepaskan ibumu asal dengan syarat.” Garudeya Brihawan bertanya
“katakan apa syaratnya?” “jika kamu bisa membawakan Tirta Perwitasari kepada
kami, maka ibumu akan bisa dibebaskan.” Garudeya menyanggupi permohonan itu.”
singkat cerita, Garudeya Brihawan harus menghadapi berbagai halangan dan
rintangan untuk mencapai Tirta Perwitasari yang disimpan di bale-bale Sarilaya.
Mulai melawan hujan badai, salju dan es yang amat dingin, sambaran petir, api
dan lahar panas bergejolak, dan yang terakhir menghadapi Batara Indra.
Garudeya
sang Gaganeswara
Batara Indra berkata “hai, Wainatanaya, apa yang kamu inginkan sudah sejauh ini sudah melewati akal sehat. Pergilah engkau. Aku hanya bisa memberikan tirta ini kepada mereka yang telah cerah hati, jiwa dan raganya.” “maafkan aku pukulun Indra. Hanya ini satu-satunya cara agar ibuku bisa merdeka.” Terjadilah perkelahian antara batara Indra melawan Garudeya Brihawan. Dengan perbawanya, Batara Indra mengerahkan segala hujan, sambaran kilat, salju dan es juga semburan api untuk membuat Garudeya menyerah namun dengan lincahnya, ia menghindari semua bencana alam yang diarahkan padanya.
Garudeya Brihawan meminjam Tirta Perwitasari |
Garudeya
memerdekakan Ibunya
Singkat
cerita, Garudeya Brihawan datang kepada para naga. Para naga girang bukan
kepalang karena akan menjadi makhluk berumur panjang.. tapi Garudeya berkata
“adik-adikku para naga. Kalian bisa minum tirta Perwitasari setelah kalian
mandi dahulu.” Maka para naga segera berendam di Bengawan Yamuna. Para naga
sudah selesai mandi, namun Garudeya mengatakan bahwa tirta itu sudah dibawa
batara Indra kembali ke kahyangan. Para naga kecewa namun sang Garudeya
menghibur bahwa sisa-sisa tirta Perwitasari masih ada di alang-alang yang dibawanya.
Maka merekapun saling berebut dan saling menjilati tirta itu. akibatnya ujung
lidah mereka tersayat dan terbelah dua. Meskipun demikian, para naga berhasil
menjadi makhluk yang panjang umur dan sudah merasa beruntung bisa menjilati
Tirta Perwitasari walau hanya beberapa tetes. Sesuai perjanjian, Dewi Winata dibebaskan,
merdeka dari perbudakan Dewi Kadru dan Garudeya Brihawan membawanya ke
kahyangan berkumpul dengan Maharesi Kasyapa, sang suami yang merupakan salah
satu leluhur para dewa juga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar