Minggu, 17 Januari 2021

Samuderamanthana

 Matur salam, semua. Kisah kali ini mengisahkan pencarian air kehidupan yang baru untuk para dewa. Kisah diawali dengan kelahiran dua burung garuda dan para naga keturunan Maharesi Kasyapa. Kisah dilanjutkan dengan pengadukan lautan danlegenda terciptanya gerhana. Kisah ini kemudian diakhiri dengan perbudakan Dewi Winata dan pembebasannya oleh sang Garudeya Brihawan. Kisah ini bersumber dari bagian Adiparwa Kitab Mahabharata karya Mpu Vyasa, Serat Pustakaraja Purwa karya Raden Ngabehi Ranggawarsita, dan blog albumkisahwayang.blogspot.com

Persaingan Kadru dan Winata

Di suatu masa dahulu, Maharesi Kasyapa (Sang Dewa Hening) sedang menantikan kelahiran anaknya yang dikandung oleh Dewi Kadru dan Dewi Winata, istri ketiga dan keempat sang Maharesi. Selam bertahun-tahun mereka hamil dan kali ini melahirkan. Namun kelahirannya amat pelik. Dewi Kadru melahirkan dua ratus telur sedangkan Dewi Winata melahirkan dua butir telur namun berukuran lebih besar. Maharesi Kasyapa merasa takjub sekaligus heran melihatnya. Lalu ia berdoa kepada Sanghyang Widhi “Hyang Widhi.......lelakon apa yang harus hamba jalani kali ini.dua istri hamba melahirkan bukan bayi melainkan telur . ku mohon petunjukmu.” Lalu datang suara dari langit “kasyapa...,,perintahkan kedua istrimu itu mengerami telur-tekur mereka namun jangan sampai melanggar pantangan dengan membuka paksa telur-telur itu.” singkat cerita, maharesi Kasyapa menyuruh kedua istrinya itu mengerami telur-telur itu selama bertahun-tahun sampai telur-telur itu menetas.

Garuda Haruna, Burung Cacat Sais sang Wiwaswan

Tahun-tahun pun berlalu, akhirnya telur-telur yang dierami Dewi Kadru cepat menetas. Lahirlah dari telur-telur itu berbagai macam ular naga dan mereka pun dinamai, salah satunya yaitu naga Taksaka, naga Ekawarna, dan naga Kaliya. Dewi Kadru pun lalu mendatangi madunya, Dewi Winata sembari berkata “lihatlah dinda.....anak-anakku telah lahir. Maka aku pun memenangkan persaingan ini. kakanda Kasyapa akan gembira sangat.” Dewi Winata tersinggung maka ia semakin keras mengerami kedua telurnya itu namun mereka tak kunjung menetas. Lama-lama Dewi Winata menjadi frustrasi “telur sialan! Mengapa kau terus mengujiku....keluarlah segera.” Maka di tengah kekesalannya, Dewi Winata coba memecahkan salah satu telur dengan membukanya paksa. Lahirlah dari telur itu seekor burung garuda namun cacat, tubuh bagian atasnya dari kepala, sayap dan pinggang ada namun tubuh bagian bawahnya tidak ada alias tanpa kaki. Bukan cuma itu, bulunya yang tumbuh sentiasa kusut. Maharesi Kasyapa kecewa dengan Dewi Winata yang terlalu menuruti iri dan dengki maka ia harus mengerami telur satunya lagi selama bertahun-tahun. Burung cacat itu akhirnya diberi nama sang Garuda Haruna.

Garudah Haruna menjadi sais kereta Batara Surya
Garuda Haruna berhasil tumbuh dewasa namun dalam kondisi kepayahan dan sakit-sakitan. Oleh sang bapak, Garuda Haruna diperintahkan untuk terbang mengarah menuju terbitnya matahari. Di ujung timur, bertemulah ia dengan Batara Surya. Ia lalu memberi salam pada sang dewa matahari “salam kepadamu, sang Wiwaswan” Wiwaswan merupakan nama kehormatan Batara Surya maka Batara Surya merasa tersanjung dan ia mendo’a kan kebahagian tak terkira pada Sang Haruna “burung yang baik, putra Kasyapa dan Winata. Semoga Hyang Widhi memberikanmu kebahagian hakiki. Tumbuhlah ia dalam rupa indah bak dewa.” Sanghyang Widhi mendengar do’a sang Batara Surya dan terjadilah keajaiban. Tubuh sang Garuda Haruna yang cacat berganti menjadi setengah dewa, berwujud manusia setengah burung dengan kaki sempurna dan sayap besar berwarna merah dan keemasan menyilaukan di punggungnya. Batara Surya menawarkannya untuk menjadi sais pribadinya. Gayung bersambut, sang Garuda Haruna mengiyakannya. Sejak saat itu, ia diangkat menjadi sais kereta sang batara Surya. Kereta itu ditarik oleh tujuh ekor kuda perkasa yang mencerminkan tujuh hari sepekan, tujuh warna pelangi, dan tujuh warna aura (cakra) dalam diri manusia. Garuda Haruna juga mendapat julukan sang Fajar karena perbawanya yang kemerahan mendahului terbitnya sang Surya.

Bertahun-tahun setelah kelahiran Garuda Haruna, telur terakhir milik Dewi Winata menetas sempurna. Lahirlah dari telur itu burung garuda yang jauh lebih perkasa dari sang kakak. Rona mukanya putih kemerahan terang bagai purnama, sayapnya besar berwarna merah bagaikan buah delima merekah dan tubuhnya besar gagah dengan bulu berwarna emas. Maharesi Kasyapa memberi nama putra kedua Winata itu Sang Garuda Haruni. Garuda Haruni lahir saat Dewi Winata mengalami cemoohan dan penindasan dari Dewi Kadru yang merasa menang atas kelahiran anak-anaknya yang berwujud ular naga. Maka demi memastikan ia dapat hidup terhormat, maka Garuda Haruni menawarkan diri kepada Batara Wisnu untuk menjadi kendaraannya. Oleh sang Dewa Pemelihara dharma itu, nama Garuda Haruni diganti menjadi Garudeya Brihawan.

Penemuan Air Suci yang Baru

Prabu Tarakasura dan Prabu Nilarudrakala telah dikalahkan dan tewas di tangan Batara Kartikeya dan Batara Ganesha. Namun ancaman kahyangan masih sangat banyak. Terlebih lagi Batara Indra, para bidadara-bidadari, dan para dewa yang dibawah komandonya telah mendapat kutukan berupa kekuatan dan kemakmuran kahyangan akan lenyap oleh seorang pertapa sakti karena Batara Indra tak mampu mengendalikan kemarahan gajah Erawata yang menolak kalung bunga dari sang pertapa. Batara Indra juga tidak mungkin terus meminta Tirta Maolkayat dari Batara Guru, sang ayah. Di saat hati Batara Indra sedang gundah itu, datanglah Batara Guru dan Batara Wisnu ke istana Rinjamaya “Indra, putraku. Aku tau sedang gundah karena kutukan pertapa sakti itu. para dewa dan bidadari dibawah naungamu juga khawatir. Tapi bertenanglah, Indra. Wisnu telah menemukan solusi atas masalahmu.” “begini kakang Batara Indra, aku mendapat sebuah petunjuk tentang air kehidupan yang punya khasiat yang sama dengan Tirta Maolkayat. Namanya air Tirta Perwitasari.  Air itu ada di dasar Laut Selatan/Samudera Hindia. Untuk mendapatkannya, Laut Selatan harus diaduk dengan gunung dengan bantuan para dewa, para naga, dan raksasa.” Setelah mendapatkan petunjuk itu, Batara Indra mengutus Batara Wrehaspati untuk mengumpulkan semua dewa di Jonggring Saloka. Batara Indra juga mengajak damai para raksasa untuk mengaduk Laut Selatan dengan perjanjian akan mendapatkan hadiah yang setimpal.

Kurma Awatara, Penyu Raksasa Titisan Wisnu

Para dewa pun berdatangan, diantaranya Batara Brahma, Batara Bayu, Batara Sambu, Batara Kala, Batara Kartikeya, Batara Ganesha, Batara Kamajaya, Batara Yamadipati, Batara Shani, Batara Rewanta, Batara Aswan dan Aswin, Batara Surya, Batara Candra, dan Batara Srita (Penyarikan). Sementara kaum naga diwakili Batara Anantaboga dan Batara Basuki. Di pihak kaum raksasa, banyak juga para raksasa yang ikut. Diantaranya ada juga para pemimpin mereka yaitu Kala Rahu, dan putranya, Putut Jantaka. Para raksasa juga diwakili Prabu Widyunmalika, putra Prabu Tarakasura. Para dewa dan para raksasa memutuskan memilih Gunung Mandaragiri sebagai gunung yang cocok untuk mengaduk laut. Namun para dewa, naga, dan raksasa kewalahan untuk mengangkat Gunung Mandaragiri. Lalu datanglah Garudeya Brihawan, burung garuda kendaraan Batara Wisnu membantu mengangkat Gunung Mandaragiri. Gunung itu diangkatnya dan setelah menemukan titik yang pas, Gunung Mandaragiri dijatuhkannya ke laut. Namun yang namanya laut pasti punya kedalaman. Masalahnya, titik tempat jatuhnya Gunng Mandaragiri kedalamannya sangat jauh. Gunung Mandaragiri nyaris karam. Batara Wisnu segera membantu. Ia menjelma menjadi Kurma Awatara, yang berwujud penyu bedawang (penyu raksasa) bernama Akupa. Tempurungnya menjadi alas gunung agar Gunung Mandaragiri tidak terus kandas. Tungkai sirip Akupa menjadi kipas pengaduk sementara yang tangkai dan gagangnya adalah Gunung Mandaragiri yang dililit Batara Anantaboga dan Batara Basuki dalam wujud ular naga. Batara Basuki melilitkan ekornya ke gunung Mandaragiri sementara batara Anantaboga menggigit pucuk gunungnya dan menjadikan ekornya sebagai gagang. Para raksasa berada disisi batara Basuki sementara para dewa di sisi Batara Anantaboga. Agar gunung tidak terlempar saat diaduk maka  Naga Taksaka dan Batara Indra duduk di lereng bawah Gunung Mandaragiri sebagai penahan.

Pengadukan Samudera berbuah Racun Mematikan

Pemutaran Gunung Mandaragiri dimulai. Para dewa dan raksasa memutar-mutar Gunung Mandaragiri. Jika para dewa mendorong kearah kiri, maka para raksasa bergerak kearah kanan begitu juga sebaliknya, mirip seperti mengaduk adonan roti. Laut Selatan teraduk-aduk dan semakin mengental. Batara Baruna dan Batara Mintuna juga ikut membantu mengaduk dengan menggerakkan ombak dan arus memutar. Para raksasa yang mendapatkan kepala Batara Basuki kewalahan karena Batara Basuki merasa tercekik dan terus memuntahkan racun.

Samuderamantana
Racun-racun itu tumpah dan bercampur dengan lemak hewan-hewan dan buih lautan yang teraduk itu. Akibatnya, racun itu bersatu dan membentuk racun baru yang jauh lebih mematikan bernama Wisa Halahala. Racun itu membunuh banyak kehidupan baik di laut Selatan maupun di daratan Hindustan dan Jawadwipa. Banyak dari para dewa dan raksasa seketika pingsan karena racun itu. Wisa Halahala semakin lama menyebar membuat khawatir para dewa dan raksasa. Melihat hal itu, Batara Guru segera menghirup dan menelan semua Wisa Halahala tanpa sisa. Berkat bantuan Batari Durga, racun yang ditelan dan dihirup sang suami tidak sampai menyebar ke seluruh tubuh seutuhnya melainkan tertahan di tenggorokan. Hal ini menyebabkan leher Batara Guru berubah menjadi belang berwarna biru. Kutukan leher belang telah berlaku. Maka Batara Guru mendapat julukan baru yaitu Sang Nilakantha, yang berarti Batara Guru yang berleher biru. Batara Guru segera membangkitkan para raksasa dan dewa yang pingsan dengan Kayulata Mahosadi.

Harta Karun dari Pengadukan Samudera

Laut Selatan terus teraduk-aduk selama berhari-hari. Kahyangan dan marcapada menjadi geger. Bumi gonjang-ganjing langit kolap-kalip. Angin topan juga itu andil dalam pengadukan Laut Selatan. Setelah sekian lama teraduk, laut di sekitar Gunung Mandaragiri tersingkap dan muncullah berbagai harta karun dari dalam laut. Diantaranya adalah lembu Surabi, kuda Oncesrawa, permata safir Kastubamulya, praba Ardhacandra, pohon Kalpawreksa, Dewi Sura sang dewi pembuat arak dan tuak, kembang Srigading (parijataka), bunga ratna (bunga kancing ungu), Dewi Permoni (Pramoni) sang dewi kemalangan, Sangkya (terompet kerang ; sangkakala) Pancajanya bertatahkan berlian dan mutiara, busur Harandanu yang sangat kuat, dan yang terakhir adalah Batara Dhanwantari, sang tabib dewata yang membawa cupu (kendi ajaib) berisi semua Tirta Perwitasari. Setelah mengembalikan gunung Mandaragiri ke tempat asalnya, seluruh harta karun dibagi rata. Permata safir Kastubamulya dijadikan hiasan mahkota batara Wisnu. Lembu Surabi di berikan kepada Batara Guru lalu diserahkan kepada para Maharesi, Dewi Sura memilih para raksasa agar bisa membuat mereka merasakan enaknya arak buatannya. Pohon kalpawreksa, bunga srigading, dan bunga ratna dibawa para dewa ke kahyangan, kuda Oncesrawa dijadikan milik para naga, Sangkya diberikan pada Batara Wisnu, busur sakti Harandanu dijadikan milik para raksasa, Dewi Permoni memilih Batara Kala sebagai suaminya dan bersama-sama tinggal di istana Nusa Kambana. Praba (baju kebesaran) Ardhacandra diberikan kepada para raksasa namun para raksasa mempersembahkannya kepada Batara Guru secara sukarela. Kini tibalah Batara Dhanwantari untuk memilih untuk siapa Tirta Perwitasari itu. namun para dewa dan para raksasa tidak sabar. Terjadilah keributan. Cupu berisi Tirta Perwitasari terlepas dari tangan Batara Dhanwantari dan berhasil direbut oleh para raksasa. Para raksasa kegirangan dan segera pergi dari Laut Selatan.

Para Dewa Merebut Kembali Tirta Perwitasari

Para dewa menjadi panik karena jika Tirta Perwitasri jatuh ke tangan orang yang tidak tepat maka akan terjadi bencana. Batara Kala sebagai wakil bangsa raksasa berusaha menenangkan keadaan “tenang, para dewa semua. aku wakil bangsa raksasa mohon pengertian. Saat pembagian, bangsa raksasa hanya dapat sedikit hadiah. Kami merasa berhak dapat sedikit Tirta Perwitasari. Aku berjanji mereka tak akan menyalahgunakannya.” Batara Brahma menyela dengan nada penuh emosi“tapi siapa yang bisa menjamin itu semua? kalau Tirta perwitasari disalahgunakan bagaimana? Kau mau bertanggungjawab, Kala?” Batara Kala tersulut “aku sudah berusaha bicara baik-baik tapi kakang malah menjawab dengan emosi? Mau ngajak rame?” para dewa segera melerai mereka. Lalu datanglah batara Wisnu dan Batara Indra. Batara Indra menenangkan kedua saudaranya itu“Kala! Brahma! Bertenang sejenak. Walau itu menjadi hak milik para raksasa, Tirta Perwitasari harus berada di tangan para dewa. Bangsa raksasa berhak minum Tirta Perwitasari dan tinggal ke kahyangan sebagai dewa apabila mereka ada yang berbudi luhur dan mampu mencapai pencerahan hidup. Aku yang akan menjamin itu semua.” Batara Kala yang tadinya marah akhirnya reda dan menerima jaminan itu. kini Batara Brahma betanya “lalu kalau memang takdir Tirta Perwitasari harus di tangan para dewa, bagaimana caranya mendapatkannya kembali?” keheningan sejenak dua jenak. Lalu Batara Wisnu mendapatkan ide dan mengusulkan agar dirinya saja yang mengambil Tirta Perwitasari“aku yang akan ke sana merebutnya”

Dewi Malini dan Jumawanya Kala Rahu

Para raksasa yang dipimpin Kala Rahu, dan Putut Jantaka bergembira setelah mendapatkan Tirta Perwitasari. Mereka saling berpesta, minum arak dan tuak, dan menari-nari dengan riangnya.. lalu ketika Tirta Perwitasari hendak dibagi-bagikan, muncullah seorang bidadari cantik bernama Dewi Malini. Kecantikannya yang terpancar menjadikan para raksasa terlena dan mabuk kecubung dibuatnya. Mereka yang masih dalam pengaruh minuman keras saling bertengkar dan memperebutkan Dewi Malini. Dewi Malini merasa ini kesempatan bagus. Pada saat itu juga, dia segera mengambil Tirta Perwitasari dan dan membawanya kembali ke kahyangan. Begitu Tirta Perwitasari lenyap, barulah para raksasa sadar dengan kesalahan mereka. Kala Rahu berniat mengejar Dewi Malini namun dilarang oleh Prabu Widyunmalika “tunggu, Kala Rahu. Jangan gegabah. Itu bukan rezeki kita. aku mendapat penerawangan dari pukulun Batara Kala kalau Batara Indra telah menjamin akan memberikan kita Tirta Perwitasari jika kita mau berbuat baik dan memelihara dharma.” “persetan dengan jaminan Indra, aku ingin mendapatkan Tirta Perwitasari sekarang juga. Aku sudah luhur bahkan lebih luhur dari para dewa.” Kata-kata Prabu Widyunmalika tak diindahkan oleh Kala Rahu. Kini giliran sang putra, Putut Jantaka membujuk sang ayah “ayah, berpikirlah sekali lagi. Jangan karena nafsu, hati ayah menjadi buta, menjadi tuli, tidak mampu mendengar kebaikan bahkan kata-kata baik gusti Prabu. Ku mohon pada ayah jangan melampaui batas“ namun Kala Rahu keras kepala. Kata-kata sang putra juga tak diindahkan malah ia menendang putranya sendiri. Ia akhirnya menyelinap diam-diam ke dalam kahyangan.

Legenda Gerhana Matahari dan Bulan

Di kahyangan Jonggring Saloka, tepatnya di alun-alun Suralaya, Batara Indra berniat membagikan Tirta Perwitasari kepada para dewa baru yang belum pernah meneguk Tirta Maolkayat. Para dewa baru itu berbaris mengantri Tirta Perwitasari. Memanfaatkan acara itu, Kala Rahu menyamar dengan berubah wujud menjadi dewa dan menyelinap ke dalam barisan. Batara Surya dan Batara Candra yang sedang mengawasi merasa ada dewa yang aneh. Lalu mereka melapor ada Batara Wisnu yang masih berwujud  Dewi Malini “ampun, kakang Wisnu. Kami melihat ada sesosok dewa yang mencurigakan.” Batara Wisnu segera melihat ke arah antrian. Dilihatnya dengan mata batin dan ternyata dewa yang mencurigakan itu Kala Rahu yang menyamar. Kini tiba giliran dewa jelmaan Kala Rahu meneguk Tirta Perwitasari. Batara Wisnu segera melemparkan Cakra Widaksana ke leher dewa gadungan itu dan jrass...terpenggalah kepala Kala Rahu dari badannya.

Namun keajaiban terjadi. Kepala Kala Rahu tetap hidup karena ia sudah mereguk Tirta Perwitasari. Kepala itu terus melayang-layang di udara dan mengincar Batara Surya dan Batara Candra. Kala Rahu membuka mulutnya lebar-lebar dan menelan tubuh Batara Surya dan Batara Candra hidup-hidup. Mendadak langit menjadi gelap gulita.

Kala Rahu menciptakan gerhana

Matahari dan rembulan kehilangan cahaya. Batara Wisnu segera mengubah tubuh Kala Rahu yang tanpa kepala menjadi lesung lalu memerintahkan para bidadari mengambil alu penumbuk padi dan menabuh lesung itu. Begitu lesung ditabuh, Kala Rahu merasa perutnya tergelitik dan mual lalu ia memuntahkan Batara Surya dan Batara Candra. Batara Surya merasa ini adalah kutukan yang dulu pernah dilontarkan para dewa padanya. Ia sedih karena yang menanggung kutukan itu bukan hanya dia sendiri bahkan Candra yang tak tahu apa-apa harus menaggungnya juga. Kala Rahu mengancam Batara Surya dan Batara Candra “huahahahaha....kelak aku akan kembali menelan kalian lagi dan ku ciptakan gerhana.” Setelah keluar dari mulut Kala Rahu, langit kembali terang. Cahaya matahari dan rembulan telah kembali.

Batara Guru yang kebetulan datang melihat peristawa itu memberikan saran “Indra, sebarkanlah ini pada penduduk di negeri Hindustan, Jawadwipa, dan Nuswantara.” Batara Indra segera mengabarkan jika terjadi gerhana, mereka harus memukul-mukul lesung dan membuat keributan. Dengan cara itu, kepala Kala Rahu bisa merasa mual dan bising lalu mengembalikan sinar matahari ataupun rembulan yang ia curi.

Jengahnya Dewi Winata

Dewi Winata sebenarnya orang yang sabar namun  ia sudah merasa jengah dengan olok dan ejekan Dewi Kadru yang merasa menang atas dirinya. Dia mendengar tentang munculnya kuda ajaib bernama Oncesrawa dari dasar samudera lalu ia mengajak bertaruh Dewi Kadru ”Kanda Mbok Kadru, sudah cukup atas semua olok-olokmu. Mari kita bertaruh tebakan, apa warna kuda Oncesrawa? Yang tebakannya salah, maka yang kalah akan menjadi hamba yang menang” Dewi Kadru menjawab “tentu saja warna si kuda itu putih dengan belang hitam di ekor.” “kamu salah, warnanya putih belaka” Kilah Dewi Winata. Keduanya saling cekcok dan kemudian berusaha membuktikannya besok harinya.

Malam harinya, Dewi Kadru kedatangan salah satu anaknya yaitu naga Taksaka. “Ibunda,aku mengabarkan bahwa bangsa ular naga telah mendapatkan hadiah kuda bernama Oncesrawa dari pengadukan samudera tempo hari.”. Lalu Dewi Kadru bertanya “apa warna kuda itu, anakku?” “warnanya putih bersih bagaikan susu sapi murni. Putih belaka dari ujung kepala hingga ekornya.” Dewi Kadru terkesiap dan cemas lalu meminta Taksaka dan adik-adiknya membantu sang ibu membuat ekor kuda itu mejadi belang hitam supaya ia tidak menjadi hamba Dewi Winata. Namun Taksaka menolak “ibu, itu perbuatan curang, menipu. Tidak baik.” “aku tidak peduli, anakku. Kalau kalian tidak membantu ibu, maka kelak kamu dan anak keturunan kalian akan habis karena upacara kurban ular!” tidak ada pilihan lain, maka naga Taksaka, Kaliya, Ekawarna dan adik-adik mereka terpaksa menuruti keinginan ibu mereka. Mereka sembur semua racun dan bisa ke ekor kuda itu hingga menjadi belang-belang hitam

Dewi Winata menjadi Hamba

Esoknya, Dewi Winata datang dan Dewi Kadru memperlihatkan kuda Oncesrawa dan terkejutlah Dewi Winanta melihat kuda itu ekornya belang hitam di ujungnya. Maka sesuai kesepakatan, Dewi Winata menjadi hamba bagi Dewi Kadru. Selam bertahun-tahun penderitaan Dewi Winata semakan bertambah. Sudah dicemooh, dihina pula bahkan beberapa kali mendapat kekerasan fisik. Selain harus melayani keinginan Dewi Kadru yang aneh-aneh, ia juga harus merawat beberapa adik-adik Naga Taksaka yang masih kecil. Sesekali Garudeya Brihawan datang berkunjung untuk menengok sang ibu. “ibunda, tidakkah ibu capek dan lelah melayani keinginan bunda Kadru dengan keinginannya yang aneh-aneh?” “ ya sebenarnya ibu capek, anakku. Tapi mau bagaimana lagi, ibu ikhlas. Ibu dulu yang memulai bertaruh dengan Kadru dan ibu kalah, aku juga yang harus menanggungnya, toh ini menjadi kesepakatan bersama di awal. Mungkin inilah suratan yang harus ibu jalani saat ini. semoga Sanghyang Widhi memberi ibu kekuatan untuk melewatinya.” Kata Dewi Winata dengan tabah.

Garudeya Brihawan Hendak Mengambil Tirta Perwitasari

Garudeya Brihawan merasa kasihan terhadap nasib sang ibu. Maka ia berusaha merangsek paksa hendak membebaskan Dewi Winata namun para naga menghalangi maka terjadilah perang antara para ular naga dan sang Garudeya, manusia setengan burung elang itu. Selama berhari-hari mereka saling cakar, saling sembur racun, saling gigit dan mematuk. Lalu mereka bersepakat “Garudeya, kami bisa membantumu melepaskan ibumu asal dengan syarat.” Garudeya Brihawan bertanya “katakan apa syaratnya?” “jika kamu bisa membawakan Tirta Perwitasari kepada kami, maka ibumu akan bisa dibebaskan.” Garudeya menyanggupi permohonan itu.” singkat cerita, Garudeya Brihawan harus menghadapi berbagai halangan dan rintangan untuk mencapai Tirta Perwitasari yang disimpan di bale-bale Sarilaya. Mulai melawan hujan badai, salju dan es yang amat dingin, sambaran petir, api dan lahar panas bergejolak, dan yang terakhir menghadapi Batara Indra.

Garudeya sang Gaganeswara

Batara Indra berkata “hai, Wainatanaya, apa yang kamu inginkan sudah sejauh ini sudah melewati akal sehat. Pergilah engkau. Aku hanya bisa memberikan tirta ini kepada mereka yang telah cerah hati, jiwa dan raganya.” “maafkan aku pukulun Indra. Hanya ini satu-satunya cara agar ibuku bisa merdeka.” Terjadilah perkelahian antara batara Indra melawan Garudeya Brihawan. Dengan perbawanya, Batara Indra mengerahkan segala hujan, sambaran kilat, salju dan es juga semburan api untuk membuat Garudeya menyerah namun dengan lincahnya, ia menghindari semua bencana alam yang diarahkan padanya.

Garudeya Brihawan meminjam Tirta Perwitasari
Dengan kibasan sayap emas kemerahannya, Garudeya mampu membuat Batara Indra nyaris tak dapat berkutik bahkan tombak Bajra milik Indra lepas dan tergores-gores lecet karenanya. lalu datanglah Batara Wisnu melerai “tunggu Garudeya. Jaika kamu ingin meminta Tirta Perwitasari, minta saja padaku.pasti akan aku beri” Tidak, pukulun Wisnu. Tidak patut saya minta pada pukulun karena pukulun jauh lebih kuat dan sakti daripada hamba. Karena tirta Perwitasari membuat pukulun awet muda dan berumur panjang, sedangkan saya tidak. Maka dari itu mintalah pada hamba benda yang lain.” Batara Wisnu akhirnya berkata “kalau begitu, minumlah setetes Tirta Perwitasari itu maka kau akan sama sepertiku. Setelah itu baru kamu bisa memberikannya sedikit pada para naga.” Garudeya Brihawan menyanggupi maka ia ambil setangkai daun alang-alang lalu mencelupkannya sedikit ke cupu Tirta Perwitasari. Setelah minum setetes, Garudeya Brihawan menjadi makhluk berumur panjang. Bukan Cuma itu, Batara Wisnu dan Batara Indra menghadiahkan gelar Gaganeswara yang berarti raja angkasa dan menjadi dewa para burung. Garudeya Brihawan mohon izin untuk meminjam Tirta Perwitasari untuk diberikan sedikit pada para naga. Batara Indra berpesan bahwa ia sendiri akan mengambil Tirta Perwitasari begitu sudah selesai

Garudeya memerdekakan Ibunya

Singkat cerita, Garudeya Brihawan datang kepada para naga. Para naga girang bukan kepalang karena akan menjadi makhluk berumur panjang.. tapi Garudeya berkata “adik-adikku para naga. Kalian bisa minum tirta Perwitasari setelah kalian mandi dahulu.” Maka para naga segera berendam di Bengawan Yamuna. Para naga sudah selesai mandi, namun Garudeya mengatakan bahwa tirta itu sudah dibawa batara Indra kembali ke kahyangan. Para naga kecewa namun sang Garudeya menghibur bahwa sisa-sisa tirta Perwitasari masih ada di alang-alang yang dibawanya. Maka merekapun saling berebut dan saling menjilati tirta itu. akibatnya ujung lidah mereka tersayat dan terbelah dua. Meskipun demikian, para naga berhasil menjadi makhluk yang panjang umur dan sudah merasa beruntung bisa menjilati Tirta Perwitasari walau hanya beberapa tetes. Sesuai perjanjian, Dewi Winata dibebaskan, merdeka dari perbudakan Dewi Kadru dan Garudeya Brihawan membawanya ke kahyangan berkumpul dengan Maharesi Kasyapa, sang suami yang merupakan salah satu leluhur para dewa juga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar