Sabtu, 19 Desember 2020

Empat Anak Istimewa

Matur salam, para pembaca. Kisah yang kali ini akan menceritakan kutukan Batari Durga kepada Batara Guru yang ikut berimbas padanya. Dikisahkan pula kelahiran empat putra mereka yang sejak lahir diiringi dengan kejadian besar dan serangan para raja ke Kahyangan Jonggring Saloka. Kisah ini bersumber dari blog albumkisahwayang.blogspot.com, blog caritawayang.blogspot.co.id, Serat Pustakaraja purwa dan Paramayoga karya Raden Ngabehi Ranggawarsita, Serial Kolosal India Mahakaali, lakon Sapuh Leger, dan kakawin Asmaradhana karya Mpu Dharmaja dengn pengubahan, penambahan, dan penyesuaian dengan imajinasi penulis dan diselaraskan dengan pewayangan jawa. 

Salah Kedaden, Wujud Krodha Raja dan Permaisuri kahyangan

Bertambahnya kekuatan para dewa dengan kelahiran Batara Rewanta, Batara Shani, dan si kembar Aswan dan Aswin rupanya belum mampu membuat para raksasa durjana terdesak. Terlebih lagi para raksasa memiliki pemimpin yang sakti dan berbahaya yaitu dua bersaudara Prabu Nilarudrakala dari negeri Glugutinatar dan Prabu Tarakasura dari negeri Kelambuwaja. Keduanya telah mendapat anugerah kesaktian luar biasa dari Batara Guru sendiri. Hal ini membuat kepala Batara Guru pening dan kesal. Karena pening, Batara Guru ingin mengajak Batari Durga untuk berpelesir sejenak sambil menikmati keindahan alam sambil menaiki sang lembu Andini. Hari itu senjakala sudah hampir tiba. Batara Guru menjadi terlena melihat keindahan lekuk tubuh sang istri yang ditimpa sinar lembayung senja. Batara Guru kemudian mengajak Batari Durga untuk bercinta saat itu juga “istriku, aku sudah lama memendam ini. Marilah ikut aku dalam permainan cintaku.” Batari Durga menolak “tentu saja tidak sekarang suamiku. Bersabarlah. Tunggulah kita sampai di Jonggring Saloka dulu.” “tidak sayangku. Sekarang saja. Aku tak kuat menahannya.” Batari Durga terus menahan keinginan suaminya “Suamiku, kau tidak malu dengan Andini? Dia lembu, sapi kahyangan. Dia itu hewan tapi punya tatakrama. Bercinta ada tatakrama, harus ada tempatnya sendiri, di kamar tempatnya.” Namun Batara Guru tidak peduli. Dia memeluk sang istri kuat-kuat dan memancarlah kama benih sang Batara Guru. Batari Durga meronta-ronta menghindar hingga kama benih itu jatuh ke dalam laut selatan. Kama benih itu bergemuruh dan terus bergemuruh.

Batara Guru dan Batari Durga saling mengutuk
Batara Guru menjadi marah dan menjambak rambut Batari Durga. Batari Durga menangis dan menjerit sekeras-sekerasnya, lalu ia berkata “Istriku! Berhenti berteriak! Teriakanmu seperti teriakan hantu di pekuburan.” Seketika wujud Batari Durga berubah menjadi Mahakali, dewi berwajah mengerikan dengan mata merah menyala, gigi taring mencuat, lidah merah terjulur, rambut gimbal acak-acakan, berkalung tengkorak, bertubuh gelap tinggi besar, dan membawa banyak senjata. Batari Durga menjadi sangat marah dan berkata “Suamiku, tatakaramamu sebagai dewa telah hilang. Sopan santunmu lenyap. Kelakuanmu juga tak lebih dari kelakuan denawa!.” Seketika itu pula gigi taring Batara Guru mencuat dan berubah menjadi raksasa bermata tiga dengan empat lengan. Keduanya pun sama-sama menyesal. Mereka segera kembali ke kahyangan dan mandi di sebuah telaga di belakang istana Setra Gandamayu, pesanggrahan sang Batari Durga yang keangkerannya bagaikan setra/kuburan terseram di jagat raya. Setelah mandi, mereka langsung duduk bersila lalu mengheningkan cipta dan terjadilah keajaiban, wujud Mahakali yang mengerikan hilang, berubah menjadi kesaktian yang dapat digunakan ketika Batari Durga sangat murka. Namun bentuk tubuh sang Batari Durga yang kini menjadi tinggi besar tetap saja tak dapat disembunyikan. Begitupun dengan keadaan sang suami. Wujud menakutkan Batara Guru juga berubah menjadi kesaktian namun gigi taringnya tidak ikut hilang. Nampaknya kutukan taring telah berlaku pada Batara Guru. Ketetapan Sanghyang Maha Kuasa menakdirkan raja dan permaisuri kahyangan mengalami hal demikian sebagai pembelajaran bahwa pria maupun wanita adalah sama.

Lahirnya Batara Kala dan Batara Kartikeya

Bersamaan itu pula benih Batara Guru dan Batari Durga bersatu dalam aliran air dan membentuk cahaya terang lalu terbang. Batara Guru segera menyiramkan Tirta Maolkayat dan seketika cahaya itu kemudian berubah menjadi bayi berwajah enam dan ditangkap oleh para bidadari yang duduk di antara bintang-bintang. Batara Guru memutuskan agar anaknya itu diasuh oleh para bidadari itu dan karena diasuh oleh bidadari yang tinggal di antara bintang-bintang (Kartika) maka diberilah nama putranya itu Kartikeya.

Di waktu yang sama, di tengah laut selatan, muncul suatu keanehan. Laut mendadak bersabung tanpa ada angin. Lalu keluar api dari dasar laut. Lalu dari dalam api itu, benih kama Batara Guru yang tumpah tadinya bergemuruh mulai berubah menjadi raksasa dewa. Raksasa setengah dewa itu mengamuk ingin tahu siapa orang tuanya. Turunlah para dewa yang dipimpin Batara Sambu untuk menghentikan amukannya. Mereka mengerahkan segala kekuatan namun semuanya nampak tak berlaku bagi si raksasa dewa. Hembusan topan badai yang dibawa Batara Bayu tak lebih dari kibasan ekor kera bagi si raksasa. Halilintar yang dilemparkan Batara Indra dirasakannya lebih mirip gigitan semut kecil.

Lahirnya si Kama Salah, Batara Kala
Api yang membara kiriman Batara Brahma bahkan hanya mampu membuat rambut kaki si raksasa kama salah itu terbakar. Batara Baruna dan Batara Mintuna mengerahkan ombak pasang mereka namun yang ada bukannya si kama salah yang jatuh malah ombak itu berbalik pada mereka. Bahkan pasukan para dewa dibuatnya kalang kabut. Porak poranda semua terkena serangan si kama salah.  Batara Resi Narada segera memerintahkan mereka untuk mundur karena si raksasa itu kebal dan kuat. Pasukan para dewa segera kembali ke kahyangan dan Batara Cingkarabala-Balaupata segera diperintahkan untuk menutup Lawang Kori Selomatangkep.

Batara Resi Narada melapor pada batara Guru bahwa ada raksasa ganas dari laut yang mengamuk karena ingin mencari ayah dan ibunya. Namun belum habis bercerita, terdengar keributan. Ketika dilihat ternyata raksasa yang tadi menyerang para dewa kini menapakkan kakinya di Jonggring Saloka. Lawang Kori Selomatngkep berhasil dijebolnya. Para bidadari lari kalang kabut dengan kedatangnnya. Batara Guru yang sudah tahu siapa dia sebenarnya menghadapi raksasa kama salah itu. Dihadapan batara Guru, raksasa itu hendak melancarkan serangan. Namun sebelum itu terjadi, Dirapallah Aji Kemayan oleh Batara Guru. Raksasa itu tidak kuat menghadapi aji Kemayan dan akhirnya limbung dan jatuh bersujud. Lunglai segala otot dan persendiannya. Si raksasa terus menggeram dan memohon ampun. Di hadapan para dewa, Batara Guru berniat untuk menghabisi si raksasa namun Batara Resi Narada melarangnya. Lalu ia berkata “Adi Guru, jangan gegabah. Jangan menghabisi lawan yang sudah tidak berdaya.” Batara Semar kemudian ikut menyindir “benar yang dikatakan adhi Narada. Kalau raksasa ini dianggap mengancam para dewa,kenapa tak sekalian saja biangnya juga dihabisi.” Batara Guru merasa tersindir dan malu lalu mengarahkan Tombak Trisula miliknya ke arah dua gigi taring dan lidah si kama salah. Alhasil terpotonglah kedua taringnya dan keluarlah segala racun dari lidahnya lalu berubah menjadi dua buah keris dan satu panah. Keris itu diberi nama Kalanadah dan Kaladite, sedangkan panahnya diberi nama panah Sirsha. Lalu batara Guru memulihkan segla kesaktian dan kekuatan si raksasa  dan diakuinya sebagai putranya. Oleh sang ayah, si raksasa setengah dewa itu diberi nama Batara Kala. Batara Kala segera diperciki Tirta Maolkayat dan seketika menjadi dewasa. Oleh Batara Guru, Batara Kala diangkat menjadi dewa waktu juga penguasa segala bencana dan malapetaka dan diberi tempat tinggal di Istana Nusa Kambana.

Lelakon Murwakala

Batara Kala telah menjadi dewa waktu dan penguasa malapetaka. Namun menjadi dewa membuat nafsu makannya menjadi terbatas. Dia ingin makan-makan enak tanpa terikat aturan kahyangan. Batara Guru memahami hal itu lalu berkata pada sang putra yang berparas raksasa menakutkan itu “anakku, kalau kamu ingin makan enak. Makanlah manusia Sengkala. Yakni orang-orang yang macam ini : orang yang pergi keluar saat tengah hari tanpa tujuan jelas, orang yang suka bertopang dagu, orang yang doyan makan sesuatu yang haram, orang yang suka menebar fitnah dan membuat kegaduhan, orang yang suka mengincar jalan pintas demi kesuksesan duniawi. Kau juga boleh memakan orang Sukerta, orang-orang yang takdir kelahirannya seperti ini : anak tunggal, anak kembar baik yang seiras maupun buncing, kendana-kendini (dua bersaudara lelaki perempuan), orang yang lahir di saat matahari terbit, tengah hari maupun terbenam, tiga bersaudara lelaki perempuan lelaki atau sebaliknya, lima bersaudara baik lelaki semua maupun perempuan semua, anak yang terlahir dini (prematur), anak cacat, anak beda warna kulit.. Namun itu semua juga ada batasnya. Kalau mereka semua sudah diruwat (dibersihkan malanya), kau tidak boleh memakannya.” Batara Guru kemudian memberikannya golok sakti bernama Kyai Bedama sebagai senjata untuk memakan mangsanya. Batara Guru juga menanamkan rajah Kalacakra dan rajah Carakabalik di tubuh batara Kala dan berpesan siapapun yang bisa membaca rajah itu tidak boleh dicelakai dan harus dihormati.

 Kejar-kejaran Kartikeya dengan Kala

Baberapa waktu kemudian, Batara Kartikeya telah tumbuh besar berkat Tirta Maolkayat. Batara Kala tahu kalau adiknya itu lahir saat matahari terbenam, sama sepertinya. Batara Kala ingin memakannya. “pukulun ayahanda, adhi Kartikeya adalah anak yang lahir saat matahari terbenam, sama seperti aku. Aku harus memakannya.” Batara Guru sigap dan berkata “kalau kamu ingin memakan adikmu, tunggulah dia sampai dewasa.” Batara Kala bersedia menunggu dan menahan nafsu membunuhnya.

Lakon Murwakala
Namun rencana dewa berkata lain, Batara Guru memberikan anugerah pada Kartikeya. Laju pertumbuhannya dihentikan sampai usia 9 tahun agar tetap selamanya menjadi anak remaja. Batara Kartikeya akhirnya dijuluki Rare Kumara, yang berarti selalu kanak-kanak. Batara Kala akhirnya menjadi kesal melihat adiknya itu tak besar-besar. Karena tak tahan lagi, Batara Kala mengejar Batara Kartikeya. Di tengah jalan, Batara Kartikeya memberikan teka-teki kepada sang kakak “kanda batara Kala, kalau ingin memakanku, kau harus jawab teka-tekiku dulu. Artikan kalimat ini. Hong, eka egul, sada grana, dwi srogi, tri nabi, sapta netra, asta pada.” Batara Kala butuh waktu untuk menebaknya sehingga Batara Kartikeya dapat melarikan diri lagi. Setelah berpikir cukup lama, Batara Kala menjawabnya “adikku, arti dari kalimat ini : satu ekor, enam lubang hidung, dua tanduk, tiga lubang pusar, tujuh mata, delapan kaki. Itu gambaran dari ayahanda Batara Guru, bunda Batari Durga, dan Lembu Andini.” Batara Kala menoleh dan mendapati adiknya telah lari lagi. Kesal, batara Kala kembali mengejar Batara Kartikeya. Tibalah Batara Kala di suatu kafilah pedagang. Di kafilah itu banyak orang-orang berakhlak buruk. Mereka doyan mengonsumsi makanan dan minuman haram, malas-malasan, doyan menebar fitnah dan membuat gaduh. Namun Batara Kala tidak memakan mereka karena fokus mengejar Kartikeya. Namun ia tetap membuat mereka celaka dengan “memakan” peruntungan dan keberkahan hidup mereka. Artinya mereka kelak akan selalu mengalami kesengsaraan selama hidup.

Pentas Wayang Ki Dalang Kandabuana

Di kafilah yang sama, Batara Kartikeya akhinya, ada sebuah rumah besar yang menggelar pertunjukan wayang. Dalangnya bernama Ki Kandabuana. Selain pertunjukan wayang, juga digelar pesta besar-besaran. Batara Kala kemudian datang dengan perut keroncongan dan memakan semua makana yang ada disana. Para tetamu menjadi ketakutan. Batara Kartikeya lalu sembunyi di dalam kotak wayang. Ki Kandabuana menjai marah “hei raksasa, kenapa kau merusak pagelaranku?’ lihat para penonton jadi ketakutan.” “hei ki dalang, aku kelaparan karena mengejar adikku. Adikku lari kesini.” Ki Kandabuana minta ganti rugi makanan yang dihabiskan Batara Kala tapi dia tidak bisa memeberikan ganti rugi. Ketika melirik, Batara Kala melihat Batara Kartikeya berada dalam kotak wayang. Ki Kandabuana dengan sigap meminta Batara Kala untuk menyerahkan goloknya, Kyai Bedama kepadanya. Batara Kala lalu menyerahkan Kyai Bedama kepada ki dalang. Namun ia melihat kalau Batara Kartikeya telah lari. Dia meminta golok Kyai Bedama dikembalikan. Ki dalang tidak mau. Karena diliputi rasa kesal, Batara Kala hendak memakan ki dalang. Begitu mulutnya terbuka, ki dalang membaca rajah Kalacakra dan Carakabalik yang ada di mulut dan tubuh Batara Kala. Seketika Batara Kala ingat kalau ada orang yang bisa membaca rajah di tubuhnya tidak boleh dicelakai dan harus dihormati. Batara Kala duduk bersimpuh dihadapan ki dalang. Ki dalang berkata kepadanya “Hai Batara kala, aku memiliki tugas untuk meruwat warga di sini. Jika mereka sudah diruwat maka tidak boleh kamu mangsa. Karena adikmu sudah datang kesini maka dia adalah tamuku yang ingin diruwat juga.” “aku mengerti ki dalang. Aku janji tak akan memakannya.” Setelah diruwat, Batara Kala dan Batara Kartikeya kembali ke kahyangan Jonggring Saloka. Ki dalang mengajarkan kepada masyarakat kafilah cara agar terhindar dari kemalangan dan malapetaka yang dibawa Batara Kala yakni dengan rajin berpuasa baik makan ataupun minum, mengurangi berbicara yang tidak perlu, mengurangi senggama maupun masturbasi, menghindari makan makanan dan minuman yang syuhbat (tidak jelas asal-usulnya), bersabar dengan mengurangi marah dan mengeluh, tidak membuat kegaduhan, dan rajin-rajin bertapa brata.. Ki Setelah seluruh prosesi ruwatan massal selesai, Ki Kandabuana kembali ke kahyangan sebagai Batara Wisnu.

Asmaradhana, Kisah Cinta Kamajaya-Ratih

Serangan demi serangan bangsa raksasa durjana yang dipimpin oleh Prabu Tarakasura dan Prabu Nilarudrakala terus merangsek Gunung Mahameru (Tengguru Kailasa). Di tengah kegentingan itu Batara Guru ingin untuk pergi bertapa brata untuk meningkatkan kekuatan kahyangan. Untuk sementara, Batara Sambu menjadi pemegang tampuk kekuasaan di Jonggring Saloka. Pasukan Dorandara yang dipimpin Batara Indra terus menyerang prajurit Prabu Tarakasura dan Prabu Nilarudrakala. Para prajurit memang dapat dikalahkan dengan mudah namun mengalahkan Tarakasura dan Nilarudrakala rasanya seperti semut menggigit kulit gajah, susah sekali bahkan Batara Wisnu dan Batara Kala sekalipun yang melawan ikut terdesak. Keadaan para dewa semakin genting. Kini pasukan raksasa mulai mendaki Gunung Mahameru. Batara Indra segera memerintahkan Batara Cingkarabala dan Balaupata menutup Lawang Kori Selomatangkep. Batara Sambu segera mendatangi Batara Wisnu “adhi Wisnu, segeralah ke Ondar-Andir Buana, bertanya pada eyang Batara Padawenang apa yang harus kita lakukan sekarang.” “baik, kanda Sambu.” Batara Wisnu akhirnya pergi ke Ondar-Andir Buana ditemani sang paman, yakni Batara Semar. Sesampainya di Ondar-Andir Buana, Batara Wisnu segera meminta petunjuk kepada sang kakek leluhur dewa itu “ohh, eyang Batara, apa yang harus kami lakukan agar pasukan raksasa itu dapat dikalahkan. Hamba yang dikatakan paling sakti diantara para dewa tak mampu mengalahkan kedua raja raksasa itu” Sang Batara Padawenang berkata “Wisnu cucuku, ketahuilah. Ajal mereka telah ditetapkan Sanghyang Maha Agung, Tuhan yang Maha Kuasa. Mereka berdua hanya bisa dikalahkan oleh adik-adikmu. Tarakasura akan kalah oleh adikmu yang berwajah enam dan satunya lagi oleh adikmu yang berkepala hewan. Namun saat ini adikmu yang berkepala hewan itu belum bisa terlahir karena ayahmu masih bertapa di puncak Wukir Pawitra. Bujuklah ayahmu agar mau kembali bersatu dengan ibumu.”

Di istana Cakrakembang yang penuh bunga bermekaran, Batara Kamajaya dan Dewi Kamaratih atau sering dipanggil Dewi Ratih sedang menikmati hari-hari romantis mereka. Lalu datanglah batara Wisnu, sang sepupu dan batara Semar, ayah dari Batara Kamajaya. Batara Semar meminta sang putra untuk membangunkan Batara Guru “anakku, Kamajaya ya Kamadewa. Kahyangan kini dalam keadan gawat. Pasukan raksasa yang dipimpin Tarakasura dan Nilarudrakala berniat merebut kahyangan ini. Hanya Batara Guru yang mampu membuat mereka tewas. Kini dia sedang bertapa brata di Wukir Pawitra. Bangunkanlah ia dengan kekuatan cintamu.” “sendika dhawuh Ayahanda”. Ia pun pamitan dengan sang istri “Ratih, istriku, aku akan pergi. Tugas ini kurasa amat berat. Jagalah dirimu.” “iya kanda Kamajaya. Jagalah dirimu dan cinta kita.” Dikecuplah kening sang istri tercinta. Dipeluknya erat-erat sebelum ia pergi. Sepeninggal sang suami, Dewi Ratih merasa hati kecilnya berkata akan terjadi nasib buruk yang akan menimpa sang suami.

Di keheningan puncak Wukir Pawitra, Batara Guru sedang bersemadi. Gentur tapanya, tak dapat diganggu siapapun. Batara Wisnu, Batara Semar, dan Batara Kamajaya datang mengendap-ngendap mendekati sang penghulu para dewa itu yang sedang memejamkan segala indria sambil duduk bersila. Berkali-kali ia melemparkan batu kerikil dan ranting kayu ke arahnya namun tak berhasil. Bahkan Batara Guru bergeming sama sekali. Panah hujan bunga juga tak mampu membuat sang batara terbangun dari tapa bratanya. Sang dewa cinta mengeluarkan panah andalannya, panah aji Pancawisaya. Panca berarti lima, wisaya berarti kerinduan. Jika panah itu dilesatkan, yang terkena akan merindukan lima macam hal : aroma harum mewangi, lantunan suara merdu, rindu rasa enak, rindu kasih sayang, dan rindu akan keindahan.

Lelakon Asmaradhana
Dilesatkanlah panah gaib itu ke arah Batara Guru. Njalbb masuk ke hati. Seketika Batara Guru merasa rindu pada sang permaisuri, Batari Durga. Perlahan ia terbangun dari tapanya. Begitu membuka matanya, bukan Batari Durga yang ada dihadapannya namun Batara Kamajaya. Murkalah ia! Seketika Batara Guru bertiwikrama menjadi Rudrabirawa, rakasasa tinggi besar bermata tiga dan berlengan empat. Masing-masing tangan membawa senjata. Lalu dari mata ketiga di tengah dahi sang Batara, memancarlah sinar biru menyilaukan yang membakar Batara Kamajaya. Api semakin membumbung tinggi. Lalu datanglah Dewi Ratih yang sedari tadi mengikuti sang suami. Sedihlah ia melihat sang suami tewas terbakar api kemurkaan Batara Guru. “kakandaa......kenapa harus begini. Aku kan menyusulmu , kakanda.”  Dewi kasih sayang itu melakukan labuh geni, bela pati ke dalam kobaran api yang membakar sang suami. Batara Wisnu memohon agar Batara Guru meredakan kemarahannya dan ia menceritakan duduk permasalahannya.. “ohh pukulun ayahanda, hidupkanlah kembali kanda Kamajaya dan Yunda Ratih.” Batara Guru sadar lalu kembali ke wujud semula dan berduka. Lalu ia memercikkan Tirta Maolkayat ke abu jenazah pasangan dewa-dewi cinta itu. terjadilah keajaiban, Batara Kamajaya dan Dewi Ratih hidup kembali namun kini dengan tubuh baru yang lebih halus “ohh Wisnu, aku mampu menghidupkan Kamajaya dan Ratih tapi aku tak mampu mengembalikan jasad kasar mereka. Aku akan menaburkannya abu jasad kasar mereka agar setiap orang tetap bisa merasakan cinta dan kasih sayang.” Batara Guru menyebarkan sisa abu itu ke segala penjuru.

Batara Ganesha dan Batara Kartikeya Pergi Berperang.

Singkat cerita, Batara Guru dan Batari Durga kembali bersatu. Benih kama keduanya menyatu dalam gua garba. Pada suatu hari, di saat mereka sedang bercengkerama di taman kahyangan, datanglah Batara Indra yang sedang menaiki gajahnya, Erawata untuk melapor keadaan para pasukan raksasa. Batari Durga menjadi kaget melihat gajah Erawata datang tiba-tiba. Mendadak benih kama yang dikandung Batari Durga berontak dan lahir sebagai cahaya yang terang. Batara Guru menyiramkan Tirta Maolkayat ke cahaya terang itu lalu mewujudlah cahaya itu menjadi seorang manusia dewa berkepala gajah. Batara Guru menamai putranya yang berkepala gajah itu Batara Ganesha.

Di luar gerbang kahyangan, Prabu Tarakasura dan Prabu Nilarudrakala terus menggedor-gedor gerbang meminta agar kahyangan tunduk pada mereka. Lalu keluarlah dari gerbang itu sepasukan Dorandara. Kali ini pemimpin mereka adalah Batara Kartikeya dan Batara Ganesha. Masing-masing menaiki kendaraan berbeda. Batara Kartikeya mengendarai burung merak raksasa sementara Batara Ganesha menaiki seekor tikus kecil yang anehnya kuat menopang tubuhnya. Prabu Tarakasura dan Prabu Nilarudrakala menertawakan mereka “aduhai, jagat tambah edan. Batara Indra saja tak bisa mengalahkan kita. apalagi ini. Ada bocah berwajah enam dan dewa berkepala gajah dijadikan pemimpin pasukan tentara.” “betul kakang Taraka, para dewa sudah hilang akal rupanya.” Tapi tawa mereka terhenti dengan suara Batara Ganesha “hei kalian raja denawa, ingatlah satu hal. Jangan melihat sebuah buku dari sampulnya. Kejumawaan kalian sudah menyundul langit. Bagaimana kita adu tanding saja. Prabu Tarakasura adu tanding dengan kakakku, Kartikeya dan Prabu Nilarudrakala adu tanding denganku.” Kedua raja denawa itu sepakat.

Pertempuran sengit pun terjadi. Kedua belah pihak sama-sama kuat dan sakti. Pertempuran itu menyebabkan berbagai gejala alam. Angin prahara bertiup kencang, bumi gonjang-ganjing langit kolap-kalip. Sepuluh hari berturut-turut pertempuran itu berangsung. Tarakasura menyerang Batara Kartikeya dengan berbagai senjata namun ia tidak bisa terluka. Begitupun dengan batara Ganesha. Sampai pada akhirnya, Batara Kartikeya melemparkan tombak pusakanya, Tombak Kalaminta dan jrasss, Prabu Tarakasura tewas seketika.

Kumara Ganesha Jayanti
Tewasanya sang saudara membuat Prabu Nilarudrakala kalap dan hendak menyerang Kartikeya namun dihalangi oleh Ganesha. Akibatnya gading kiri Ganesha patah. Batara Ganesha segera melemparkan patahan gadingnya itu ke jantung Nilarudrakala. Akhirnya dia ikut tewas. Para dewa bersorak sorai, gembira karena kedua musuh dewa itu telah berhasil dikalahkan. Oleh Batara Guru, Batara Ganesha dilantik menjadi dewa ilmu pengetahuan dan Batara Kartikeya menjadi dewa pelindung anak-anak. Kerajaan Glugutinatar dijadikan istana Batara Ganesha sementara Kerajaan Kelambuwaja menjadi istana Batara Kartikeya.

Kelahiran Dewasrani

Setelah pertarungan Takasura dan Nilarudrakala, Batara Guru tak tertahan lagi nafsu syahwatnya. Setelah bersanggama, Batari Durga kembali mengandung. Batari Durga kembali mengingatkan sang suami agar bisa menahan syahwatnya “suamiku, kendalikan syahwat kakanda. Menurutkan syahwat liar sama saja menurunkan derajat sendiri dihadapan Yang Maha Kuasa. Sebagai pemimpin para dewa, aku punya permintaan padamu, kanda.” “apakah itu, dinda?” Batari Durga merasa tak nyaman apabila sang suami terus tergoda hawa nafsu bila melihatnya. Tubuh ayu molek, sintal dan berisi. Maka ia memutuskan “kakanda, aku ingin kita pisah rumah. Aku melakukan ini bukan untuk bercerai dengan kanda. Tapi jika hal itu tak dilakukan, maka derajat para dewa akan turun dihadapan Tuhan dan seluruh alam. Biarkan anak kita yang belum lahir ini ikut denganku.” Demi mewujudkan keinginan sang istri, Batara Guru dibantu para dewa lainnya memindahkan Istana Setra Gandamayu dari kompleks Iswaraloka. Diletakaannya istana Setra Gandamayu di bawah Iswaraloka, di dasar Gunung Tengguru Kailasa (Mahameru), tempat yang dekat dengan Istana Argadumilah dimana semua penderitaan dan kesengsaraan berlaku. Batari Durga tetap menjadi permaisuri namun dia juga menjadi Dewi Kekuatan, dewi pelindung orang-orang yang tertindas. Istana Nusa Kambana ikut dipindahkan karena Batara Kala tak bisa jauh dari sang ibu. Sejak saat itu Batari Durga dan Batara Kala menjadi Dewa-dewi dunia bawah bersama Batara Yamadipati dan Batara Shani. Tak lama setelah pemindahan Setra Gandamayu, lahirlah anak bungsu dari Batara Guru dan Batari Durga. Oleh sang ayah, anak itu diberi nama Dewasrani dan sang ibu memberinya nama Nilasrani. Kelahiran sang bungsu diiringi dengan hujan darah dan topan prahara dengan petir menyambar-nyambar pertanda anak ini akan membuat susah para ksatria.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar