Minggu, 06 Desember 2020

Para Dewa Jonggring Saloka

 Matur Salam, para pembaca. kisah kali ini mengisahkan kelahiran lima dewa keturunan Batara Guru dan batari Durga. Dilanjutkan dengan kisah pengabdian Maharesi Kanekaputra alias Batara Narada dan kisah diakhiri dengan munculnya dua dewa ular naga dari dalam perut bumi yakni batara Anantaboga dan Batara Basuki. Sumber kisah berasal dari serat Paramayoga, dipadukan dengan Serat Purwacerita, blog albumkisahwayang.blogspot.com, dan blog caritawayang.blogspot.co.id dengan pengembangan perubahan seperlunya

Kelahiran Empat Dewa Utama

Suara jangkrik menghias malam. Kunang-kunang menari bersama remang. Kahyangan Jonggring Saloka aduhai syahdu terasa pada malam itu. Batara Guru dan Batari Durga telah menyatukan dua benih masing-masing di dalam haribaan gua garba lewat percengkramaan. Karena mereka adalah dewa maka selang empat bulan setelah bercengkrama itu, nutfah itu keluar lagi dan terbang sebagai cahaya lalu masuk ke dalam empat buah Guci. Benih-benih bercahaya itu membelah menjadi empat buah. Sembilan bulan pertama, terciumlah aroma harum di seluruh kahyangan disertai mendung dan awan berarak sangatlah banyak. Bunga-bunga di taman kahyangan mendadak mekar bersamaan. Guci yang mengeluarkan aroma harum seketika pecah dan muncul cahaya terang membentuk seorang laki-laki remaja dengan wajah teduh. Batara Guru dan Batari Durga segera mengucurkan Tirta Maolkayat ke tubuh "anak" mereka. "Putra pertama" mereka diberi nama Batara Sambu yang memiliki sifat jujur dengan perbawa awan. Dia menjadi dewa musim dan dewa kebijaksanaan. Seiring berjalannya waktu, Guci kedua bergetar hebat dan bersamaan dengan itu, Marcapada dilanda banyak kebakaran dan gunung meletus dahsyat. Kawah Candradimuka ikut bergolak arenanya hingga memuntahkan lahar panas. Guci itu pecah dan muncul cahaya membentuk seorang laki-laki dengan sorot mata merah menyala. Batara Guru dan batari Durga segera menyiramkan Tirta Maolkayat ke tubuh "anak" kedua mereka. "Putra" mereka yang kedua ini diberi nama Batara Brahma. Batara Brahma memiliki semangat yang membara dan membawa perbawa api yang menyala-nyala. Batara Brahma menjadi dewa pelindung api dan kombatan pelatih para padukan Dorandara. Selang beberapa bulan, Guci ketiga tiba-tiba bergetar dan bersamaan dengan itu, banjir terjadi dimana-mana dengan langit bergemuruh disertai kilat halilintar menyambar-nyambar disertai musim hujan tak berkesudahan dan badai salju mengguyur seluruh puncak Himalaya. Bukan hanya itu, gempa bumi dan lindu panon banyak terjadi hingga ikut menggetarkan kahyangan. Lalu keluarlah dari Guci itu cahaya yang mewujud menjadi sesosok laki-laki dengan kulit bersih dan berkilat-kilat layaknya halilintar. Seperti biasa, Batara Guru dan Batari Durga mengucurkan Tirta Maolkayat padanya. Batara Guru menamakan "putranya" yang ketiga itu Batara Indra. Batara Indra memiliki jiwa kemimpinan dan membawa perbawa kilat/halilintar. Batara Indra ditunjuk sebagai dewa langit, dewa cuaca, dan secara khusus menjadi raja para bidadari. Beberapa hari setelah kelahiran Batara Indra, muncul angin topan di seluruh dunia. Angin itu sangatlah kencang hingga membuat puting beliung besar dan sengkayan yang menerbangkan apa saja, mulai dari bebatuan, pohon besar, air sungai dan lautan, bahkan bukit pun hancur karenanya. Guci terakhir milik Batara Guru dibawa terbang oleh angin dan pecah. Lalu dari dalamnya muncul cahaya yang kemudian mewujud menjadi laki-laki berbadan gagah membawa gada dan berkuku jempol panjang dengan kekuatan melebihi seratus juta gajah. Seperti ketiga kakaknya, ia juga disiramkan Tirta Maolkayat oleh Batara Guru dan batari Durga. Batara Guru memberi nama "putra" keempatya itu Batara Bayu. Batara Bayu dianugerahi kekuatan yang besar dan membawa perbawa angin. Batara Bayu menjadi dewa angin dan bersama Batara Indra dan Sambu, ia bertugas untuk mengatur cuaca, musim, dan pergerakan angin.

Kelahiran Batara Wisnu

Kelahiran "para putra" batara Guru berturut-turut ini membuat batara Guru ditegur oleh Batara Padawenang“anakku ngger Siwa Manikmaya. Ketahuilah anakku.....melahirkan keturunan memang ibadahmu demi mempersiapkan penghuni Jonggring Saloka dan keturunan manusia-manusia linuwih namun untuk menghasilkan keturunan yang linuwih tidak cukup dengan bercengkarama disertai doa biasa.” “lalu apa yang harus saya lakukan untuk menghasilkan yang linuwih itu, ayahanda?” Sang batara Padawenang berkata “untuk itu, anakku. Lakumu dalam berolah asmara dengan Durga tidak bisa dengan cara biasa, harus dengan mencapai keheningan. Untuk mencapai keheningan itu, gunakanlah aji asmaracipta, asmaragama, asmaraturida dan amalkanlah laku asmaratantra dan asmaranala.” Batara Guru dan Batari Durga menerima nasihat dari Sang Batara Padawenang. Pertapaan dilakukan di tengah sendang di Sarilaya di atas kembang seroja raksasa. Dengan keharuman kembang setaman dan bau-bauan dati kayu cendana, gaharu, serai, akar wangi, daun pandan, dan kemenyan, dirapallah japa mantra kamasutra itu, dimulai asmaracipta, asmaratantra, asmaraturida, asmaranala, dan asmaragama.

Lahirnya Batara Wisnu
Dari lelaku mereka dari kelamin masing-masing keluarlah setitik cahaya penjelmaan benih mereka. Cahaya itu dua warna putih dan hitam berputar-putar di angkasa lalu menyatu berubah menjadi satu titik cahaya, berkilauan dan beraneka warna bagai pelangi. Cahaya itu kemudian masuk ke dalam sebuah guci berwarna hitam. Selang beberapa bulan, muncul kejadian luar biasa. Terjadi berbagai perubahan alam seperti panas, salju longsor ke dataran rendah, musim hujan berkepanjangan disetai petir, gempa bumi dahsyat, dan angin topan prahara yang sangat kencang selama berhari-hari. Peristiwa alam itu mengakibatkan kahyangan ikut bergoncang hebat. Kawah Candradimuka bergejolak, memuntahkan lahar panasnya. Bahkan Batara Guru ikut terlempar dari takhta Madeprawaka. Guci hitam tempat benih anak Batara Guru akhirnya pecah dan keluarlah cahaya mancawarna terang benderang yang kemudian mewujud menjadi seorang pria tampan menawan, berkulit gelap nan manis lagi eksotis. Batara Guru sangat gembira menyambut kelahiran "putra" kelimanya ini. Batara Guru memberinya nama Batara Wisnu. Sama seperti keempat kakaknya, oleh sang ayah, Batara Wisnu segera dimandikan dengan Tirta Maolkayat dan Batara Wisnu menjadi menjadi sakti seketika. Batara Wisnu menjadi Dewa pemelihara dharma.

Para Dewa Meramaikan Kahyangan

Para putra Batara Guru dan Batara Semar dirasa sudah cukup matang dan sudah masanya untuk menikah. Batara Sambu menikah dengan Dewi Hastuti, putri bungsu Semar. Batara Brahma menikah dengan Dewi Saraswati, anak Maharesi Pancaweda, keturunan Sang Batara Pancaresi. Kakak Maharesi Pancaweda, Maharesi Guruweda memiliki seorang putri bernama Dewi Saci yang kemudian dinikahi Batara Indra. Keturunan Sang Batara Pancaresi yang lain, yaitu Maharesi Wiksmaka memiliki tiga orang anak yaitu Dewi Sri Laksmi atau Dewi Sri Widowati, Dewi Laksmita atau Dewi Pujayanti dan Batara Srita. Batara Srita diangkat menjadi kerani/juru tulis kahyangan oleh Batara Guru bergelar Batara Penyarikan sementara kedua kakak perempuannya menjadi istri Batara Wisnu. Maharesi Soma, cucu bungsu Sang Batara Pancaresi juga memiliki tiga anak yaitu Dewi Sumi, Dewi Ratih dan Batara Wiswakarma. Dewi Sumi kemudian menikah dengan Batara Bayu dan Dewi Ratih menjadi istri Batara Kamajaya. Pasangan Kamajaya dan Ratih ini menjadi pasangan paling cantik dan paling tampan juga paling harmonis di dunia para dewa. Sementara itu, Batara Empu Wiswakarma diangkat menjadi undagi/arsitek para dewa bersama Batara Empu Ramayadi, cucu Sang Dewa Hening/Maharesi Kasyapa. Batara Empu Ramayadi memiliki putra yakni Batara Empu Angganjali yang juga sama-sama menjadi undagi bagi para dewa. Ketiganya membangun banyak bangunan indah dan gemar coba-coba membuat sesuatu yang berguna untuk para dewa. Batara Wiswakarma memiliki putri benama Dewi Sangya atau Saranya atau Ngruna. Dewi Sangya kemudian menikah dengan Batara Surya, putra Batara Semar yang menjadi dewa matahari. Batara Candra, sang dewa bulan, saudara kembar Batara Surya kemudian menikahi Dewi Rohini, putri Daksha. Di tempat lain, Maharesi Kasyapa dan Dewi Aditi telah dianugerahi banyak anak. Selain Batara Empu Ramayadi, salah satu putra mereka yaitu Batara Baruna dan Batara Mintuna. Keduanya menjadi dewa air. Jika Batara Baruna menjadi dewa laut, maka Batara Mintuna ditunjuk menjadi dewa air tawar. Demikianlah para dewa telah meramaikan kahyangan dan akan melahirkan para manusia yang luar biasa.

Maharesi Kanekaputra

Pada suatu hari kahyangan Jonggring Saloka geger. Kahyangan bergoncang, Kawah Candradimuka bergolak memuntahkan lahar dan awan panas. batara Guru melihat dari arah lautan ada sebuah teja (pelangi). Batara Guru menyangka ada orang sakti sedang bertapa. Maka didatangilah sumber cahaya teja itu dan disana ia melihat ada seorang pemuda tampan berpakaian resi sedang gentur bertapa di atas sebuah karang.

Maharesi Kanekaputra
Saking kuatnya bertapa, meski ombak di laut sangatlah kuat dan menhempas tubuhnya, sang pertapa tetap bergeming. Batara Guru kemudian membangunkan resi muda itu “bangunlah, tuan resi. Apapun permintaanmu akan ku kabulkan” sang resi tetap tak bergeming. Batara Guru menjadi sedikit kesal dan berniat menggunakan pusakanya. Lalu resi itu membuka membuka matanya dan memperkenalkan diri dengan gaya bercanda“hahahaha..... mohon ampun, raja para dewa. Perkenalkan nama hamba Kanekaputra, putra dari Sang Dewa Caturkaneka. Hamba seorang maharesi yang telah berkelana dan berkeliling ke seluruh jagat raya dan keinginan saya cuma satu. Hamba ingin menandingi kekuatan dan kecerdasan Tuanku.jika hamba kalah, maka aku akan mengabdi pada Tuanku” Batara Guru merasa ini adalah ujian dan ia pun menerima tantangan Maharesi Kanekaputra. Mereka kemudian beradu kecerdasan dan adu kesaktian. Dalam adu kecerdasan, Batara Guru mengakui bahawa Maharesi Kanekaputra lebih luas wawasannya namun beda cerita jika adu kesaktian. Dalam keadaan duduk, Batara Guru dan Maharesi Kanekaputra beradu kesaktian secara batiniah. Aji Kemayan dipatrapkan. Satu sama lain tidak bisa menjatuhkan. Keduanya tetap imbang. Deru ombak semakin menggila. Saking lamanya mereka beradu, gempa terjadi dan gelombang besar timbul. Tapi seperti kata pepatah “kail sejengkal manalah bisa menduga dalam lautan”, Maharesi Kanekaputra masih kalah pengalaman dalam adu kesaktian. Ia merasa kekuatannya seperti ditarik paksa keluar dari tubuhnya. Semakin lama tubuhnya tambah lemas dan akhirnya, Maharesi Kanekaputra jatuh ke laut dan tergulung ombak. Batara Guru menolongnya lalu memulihkan kesaktian Maharesi Kanekaputra “Maharesi telah membuktikan bahwa dirimu pantas maka mulai sejak saat ini, maharesi bergelar Batara dan kuangkat tuan sebagai orang nomor dua setelah aku dan aku sendiri akan menuakan tuan” Batara Resi Kanekaputra menerima kehormatan itu dan menyerahkan Cupu Linggamanik miliknya. Cupu itu berisi Tirta Mayahadi yang menjadi obat segala obat.

Nasib sang Mahapatih

Batara Resi Kanekaputra diangkat menjadi mahapatih Kahyangan Jonggring Saloka dan menjadi yang dituakan oleh para dewa bahkan oleh Batara Guru sendiri. Batara Resi Kanekaputra memang mahapatih yang bijak dan suka sekali bercanda namun kadang-kadang agak kelewatan kalau sudah bercanda. Hingga pada suatu hari, sang mahapatih melawak tentang Batara Guru yang punya saudara yang berwajah ala kadarnya dan sederhana yakni Batara Togog dan Batara Semar. Lawakannya itu diucapkan sewaktu penghadapan para dewa. Batara Guru merasa merasa sangat tersinggung dan berkata padanya “kakang kalau bercanda tak ada bedanya dengan pelawak gendut.”

Karma karena candaan
Karena Batara Guru mengucapknnya sambil mematrapakan Aji Kawrastrawam tanpa sadar, maka dalam sekejap saja Batara Resi Kanekaputra berubah wujudnya menjadi pria bertubuh gendut, pendek, dan berwajah ala kadarnya, seperti pelawak. Batara Resi Kanekaputra menangis meminta maaf kepada Batara Guru. Batara Guru juga minta maaf karena terburu nafsu namun apa yang telah dikrata tak bisa ditarik. Nasi sudah menjadi bubur. Batara Guru tidak bisa mengangkat ucapannya itu karena ini adalah takdir dari Tuhan yang harus dijalani sang mahapatih. Batara Togog dan Batara Semar menasihati agar sang mahapatih tetap semangat dan untuk Batara Guru, ia diingatkan untuk lebih hati-hati kalau berucap “Manikmaya, berhati-hatilah kalau berkata-kata. Ucapan itu bisa menjadi doa, bisa juga menjadi kutuk. Kau harus bisa lebih bersabar dan mengawal emosi” Sejak saat itu, Batara Resi Kanekaputra menikmati wujud barunya itu dan berganti nama menjadi Batara Resi Narada Muni.

Cupu Linggamanik, Anantaboga, dan Basuki

Pada suatu ketika, salah satu pusaka kahyangan tiba-tiba bergerak sendiri dan terbang. Para dewa coba mengejarnya namun tidak dapat terkejar dan menghilang. Batara Guru memeriksa apa pusaka yang hilang dan yang hilang adalah Cupu Linggamanik milik Batara Resi Narada. Batara Guru segera menerawang apa yang membuat pusaka itu pergi sendiri dan hilang. Setelah ditelusuri, pusaka itu pergi karena menemukan anak-anak keturunan dewa yang hilang dan arahnya menghilang menunjuk ke arah sebuah gua. Batara Guru segera memberitahukan Batara Sambu dan saudara-saudaranya untuk menulusuri gua yang dimaksud.

Sementara itu, di gua yang ternyata adalah pintu masuk ke Kahayangan Saptapertala, hiduplah dua manusia dewa. Perawakan mereka bersisik seperti ular dan kali ini mereka sedang bertapa brata.. Mereka bernama Naga Anantaboga dan Naga Basuki, cucu dari Dewi Suyati yang artinya masih saudara sepupu Batara Guru. Mereka bertapa brata dengan duduk membisu dalam wujud ular naga sambil membuka mulut. Secara bersamaan, datanglah sebuah benda  masuk ke dalam mulut Anantaboga. Anantaboga terbangun dari tapa dan merasa tersedak. Naga Basuki segera menepuk punggung kakaknya itu dan keluarlah dari mulut Anantaboga sebuah benda mirip sebuah cupu (kendi air). Cupu itu bercahaya. Mereka berdua membawa cupu itu keluar dari gua. Di luar gua mereka melihat para dewa berdiri menghalangi jalan mereka. Para dewa menuduh Naga Anantaboga berniat mencuri cupu Linggamanik dengan mengirimkan jin “hai kamu naga . kamu pasti yang berhasil mencuri Cupu milik tetua kami. Kembalikan atau kami paksa” “tidak tuanku semua. Aku tidak mengambilnya. Cupu ini datang sendiri.” “kau pasti bohong. Pasti kau suruh makhluk jejadian tak kasat mata untuk mengambilnya.” Naga Basuki berkilah “Demi nama Sanghyang Maha Agung, Tuhan yang Maha Melihat kami tidak mencurinya.” Namun para dewa tetap tidak percaya dan terus menuduhn mereka membabi buta. Naga Anantaboga tak terima dan terjadilah pertempuran. Sang adik, Naga Basuki membantunya. Naga Anantaboga dan Naga Basuki bertarung dengan mengibaskan ekornya dan terus menyemburkan bisa panas dari mulut mereka. Para dewa menjadi kewalahan dan segera mundur ke kahyangan Jonggring Saloka.

Batara Guru dan Batara Resi Narada melihat para dewa yang pontang-panting. Batara Guru dan Batara Resi Narada harus turun tangan sendiri. Mereka kemudian datang ke gua tempat Anantaboga dan Basuki bertapa brata untuk bertanya baik-baik.

Anantaboga dan Basuki menghadap Batara Guru dan Narada
Di sana Batara Guru dan Batara Resi Narada dijamu baik-baik oleh kedua naga itu. Batara Guru bertanya “tuan Anantaboga, mengapa kamu menyerang para dewa? “ ampun Tuanku Batara, mereka menuduh kami pencuri cupu yng berkilauan ini.” “benar tuanku, kami hanya sedang bertapa brata agar kami bisa menjadi dewa.” Naga Anantaboga dan Naga Basuki kemudian menyerahkan Cupu Linggamanik secara baik-baik. Batara Guru menerima Cupu Linggamanik. Sebagai ucapan terima kasih, Batara Guru menganugerahi mereka gelar Batara dan diangkat menjadi dewa para ular. Keduanya saling berbagi tugas. Batara Anantaboga menjadi pemimpin para ular di daratan sementara Batara Basuki menjadi pemimpin ular yang hidup di air.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar