Matur Salam, para pembaca. kisah kali ini mengisahkan kelahiran lima dewa keturunan Batara Guru dan batari Durga. Dilanjutkan dengan kisah pengabdian Maharesi Kanekaputra alias Batara Narada dan kisah diakhiri dengan munculnya dua dewa ular naga dari dalam perut bumi yakni batara Anantaboga dan Batara Basuki. Sumber kisah berasal dari serat Paramayoga, dipadukan dengan Serat Purwacerita, blog albumkisahwayang.blogspot.com, dan blog caritawayang.blogspot.co.id dengan pengembangan perubahan seperlunya
Kelahiran
Empat Dewa Utama
Suara
jangkrik menghias malam. Kunang-kunang menari bersama remang. Kahyangan
Jonggring Saloka aduhai syahdu terasa pada malam itu. Batara Guru dan Batari
Durga telah menyatukan dua benih masing-masing di dalam haribaan gua garba lewat percengkramaan.
Karena mereka adalah dewa maka selang empat bulan setelah bercengkrama itu,
nutfah itu keluar lagi dan terbang sebagai cahaya lalu masuk ke dalam empat
buah Guci. Benih-benih bercahaya itu membelah menjadi empat buah. Sembilan
bulan pertama, terciumlah aroma harum di seluruh kahyangan disertai mendung dan awan berarak sangatlah banyak. Bunga-bunga di
taman kahyangan mendadak mekar bersamaan. Guci yang mengeluarkan aroma harum
seketika pecah dan muncul cahaya terang membentuk seorang laki-laki remaja dengan wajah teduh.
Batara Guru dan Batari Durga segera mengucurkan Tirta Maolkayat ke tubuh "anak" mereka. "Putra pertama" mereka diberi nama Batara Sambu yang memiliki sifat jujur
dengan perbawa awan. Dia menjadi dewa musim dan dewa kebijaksanaan. Seiring berjalannya waktu, Guci kedua
bergetar hebat dan bersamaan dengan itu, Marcapada dilanda banyak kebakaran dan
gunung meletus dahsyat. Kawah Candradimuka ikut bergolak arenanya hingga
memuntahkan lahar panas. Guci itu pecah dan muncul cahaya membentuk seorang
laki-laki dengan sorot mata merah menyala. Batara Guru dan batari Durga segera
menyiramkan Tirta Maolkayat ke tubuh "anak" kedua mereka. "Putra" mereka yang kedua
ini diberi nama Batara Brahma. Batara Brahma memiliki semangat yang membara dan
membawa perbawa api yang menyala-nyala. Batara Brahma menjadi dewa pelindung
api dan kombatan pelatih para padukan Dorandara. Selang beberapa bulan, Guci ketiga tiba-tiba bergetar dan bersamaan dengan
itu, banjir terjadi dimana-mana dengan langit bergemuruh disertai kilat halilintar menyambar-nyambar disertai musim hujan
tak berkesudahan dan badai salju mengguyur seluruh puncak Himalaya. Bukan hanya
itu, gempa bumi dan lindu panon banyak terjadi hingga ikut menggetarkan kahyangan. Lalu
keluarlah dari Guci itu cahaya yang mewujud menjadi sesosok laki-laki dengan
kulit bersih dan berkilat-kilat layaknya halilintar. Seperti biasa, Batara Guru
dan Batari Durga mengucurkan Tirta Maolkayat padanya. Batara Guru menamakan "putranya" yang ketiga itu Batara Indra. Batara Indra memiliki jiwa kemimpinan
dan membawa perbawa kilat/halilintar. Batara Indra ditunjuk sebagai dewa
langit, dewa cuaca, dan secara khusus menjadi raja para bidadari. Beberapa hari
setelah kelahiran Batara Indra, muncul angin topan di seluruh dunia. Angin itu
sangatlah kencang hingga membuat puting beliung besar dan sengkayan yang menerbangkan apa saja, mulai dari bebatuan, pohon besar, air sungai dan lautan, bahkan bukit pun hancur karenanya. Guci terakhir milik
Batara Guru dibawa terbang oleh angin dan pecah. Lalu dari dalamnya muncul
cahaya yang kemudian mewujud menjadi laki-laki berbadan gagah membawa gada dan
berkuku jempol panjang dengan kekuatan melebihi seratus juta gajah. Seperti ketiga kakaknya, ia juga disiramkan Tirta
Maolkayat oleh Batara Guru dan batari Durga. Batara Guru memberi nama "putra" keempatya itu Batara Bayu. Batara Bayu dianugerahi kekuatan yang besar dan
membawa perbawa angin. Batara Bayu menjadi dewa angin dan bersama Batara Indra dan Sambu,
ia bertugas untuk mengatur cuaca, musim, dan pergerakan angin.
Kelahiran
Batara Wisnu
Kelahiran "para putra" batara Guru berturut-turut ini membuat batara Guru ditegur oleh Batara Padawenang“anakku ngger Siwa Manikmaya. Ketahuilah anakku.....melahirkan keturunan memang ibadahmu demi mempersiapkan penghuni Jonggring Saloka dan keturunan manusia-manusia linuwih namun untuk menghasilkan keturunan yang linuwih tidak cukup dengan bercengkarama disertai doa biasa.” “lalu apa yang harus saya lakukan untuk menghasilkan yang linuwih itu, ayahanda?” Sang batara Padawenang berkata “untuk itu, anakku. Lakumu dalam berolah asmara dengan Durga tidak bisa dengan cara biasa, harus dengan mencapai keheningan. Untuk mencapai keheningan itu, gunakanlah aji asmaracipta, asmaragama, asmaraturida dan amalkanlah laku asmaratantra dan asmaranala.” Batara Guru dan Batari Durga menerima nasihat dari Sang Batara Padawenang. Pertapaan dilakukan di tengah sendang di Sarilaya di atas kembang seroja raksasa. Dengan keharuman kembang setaman dan bau-bauan dati kayu cendana, gaharu, serai, akar wangi, daun pandan, dan kemenyan, dirapallah japa mantra kamasutra itu, dimulai asmaracipta, asmaratantra, asmaraturida, asmaranala, dan asmaragama.
Lahirnya Batara Wisnu |
Para
Dewa Meramaikan Kahyangan
Para
putra Batara Guru dan Batara Semar dirasa sudah cukup matang dan sudah masanya
untuk menikah. Batara Sambu menikah dengan Dewi Hastuti, putri bungsu Semar.
Batara Brahma menikah dengan Dewi Saraswati, anak Maharesi Pancaweda, keturunan
Sang Batara Pancaresi. Kakak Maharesi Pancaweda, Maharesi Guruweda memiliki
seorang putri bernama Dewi Saci yang kemudian dinikahi Batara Indra. Keturunan Sang
Batara Pancaresi yang lain, yaitu Maharesi Wiksmaka memiliki tiga orang anak
yaitu Dewi Sri Laksmi atau Dewi Sri Widowati, Dewi Laksmita atau Dewi Pujayanti
dan Batara Srita. Batara Srita diangkat menjadi kerani/juru tulis kahyangan
oleh Batara Guru bergelar Batara Penyarikan sementara kedua kakak perempuannya
menjadi istri Batara Wisnu. Maharesi Soma, cucu bungsu Sang Batara Pancaresi
juga memiliki tiga anak yaitu Dewi Sumi, Dewi Ratih dan Batara Wiswakarma. Dewi
Sumi kemudian menikah dengan Batara Bayu dan Dewi Ratih menjadi istri Batara
Kamajaya. Pasangan Kamajaya dan Ratih ini menjadi pasangan paling cantik dan
paling tampan juga paling harmonis di dunia para dewa. Sementara itu, Batara Empu
Wiswakarma diangkat menjadi undagi/arsitek para dewa bersama Batara Empu
Ramayadi, cucu Sang Dewa Hening/Maharesi Kasyapa. Batara Empu Ramayadi memiliki
putra yakni Batara Empu Angganjali yang juga sama-sama menjadi undagi bagi para
dewa. Ketiganya membangun banyak bangunan indah dan gemar coba-coba membuat
sesuatu yang berguna untuk para dewa. Batara Wiswakarma memiliki putri benama
Dewi Sangya atau Saranya atau Ngruna. Dewi Sangya kemudian menikah dengan
Batara Surya, putra Batara Semar yang menjadi dewa matahari. Batara Candra,
sang dewa bulan, saudara kembar Batara Surya kemudian menikahi Dewi Rohini,
putri Daksha. Di tempat lain, Maharesi Kasyapa dan Dewi Aditi telah dianugerahi
banyak anak. Selain Batara Empu Ramayadi, salah satu putra mereka yaitu Batara
Baruna dan Batara Mintuna. Keduanya menjadi dewa air. Jika Batara Baruna
menjadi dewa laut, maka Batara Mintuna ditunjuk menjadi dewa air tawar. Demikianlah
para dewa telah meramaikan kahyangan dan akan melahirkan para manusia yang luar
biasa.
Maharesi
Kanekaputra
Pada suatu hari kahyangan Jonggring Saloka geger. Kahyangan bergoncang, Kawah Candradimuka bergolak memuntahkan lahar dan awan panas. batara Guru melihat dari arah lautan ada sebuah teja (pelangi). Batara Guru menyangka ada orang sakti sedang bertapa. Maka didatangilah sumber cahaya teja itu dan disana ia melihat ada seorang pemuda tampan berpakaian resi sedang gentur bertapa di atas sebuah karang.
Maharesi Kanekaputra |
Nasib
sang Mahapatih
Batara Resi Kanekaputra diangkat menjadi mahapatih Kahyangan Jonggring Saloka dan menjadi yang dituakan oleh para dewa bahkan oleh Batara Guru sendiri. Batara Resi Kanekaputra memang mahapatih yang bijak dan suka sekali bercanda namun kadang-kadang agak kelewatan kalau sudah bercanda. Hingga pada suatu hari, sang mahapatih melawak tentang Batara Guru yang punya saudara yang berwajah ala kadarnya dan sederhana yakni Batara Togog dan Batara Semar. Lawakannya itu diucapkan sewaktu penghadapan para dewa. Batara Guru merasa merasa sangat tersinggung dan berkata padanya “kakang kalau bercanda tak ada bedanya dengan pelawak gendut.”
Karma karena candaan |
Cupu
Linggamanik, Anantaboga, dan Basuki
Pada
suatu ketika, salah satu pusaka kahyangan tiba-tiba bergerak sendiri dan
terbang. Para dewa coba mengejarnya namun tidak dapat terkejar dan menghilang.
Batara Guru memeriksa apa pusaka yang hilang dan yang hilang adalah Cupu
Linggamanik milik Batara Resi Narada. Batara Guru segera menerawang apa yang
membuat pusaka itu pergi sendiri dan hilang. Setelah ditelusuri, pusaka itu pergi
karena menemukan anak-anak keturunan dewa yang hilang dan arahnya menghilang
menunjuk ke arah sebuah gua. Batara Guru segera memberitahukan Batara Sambu dan
saudara-saudaranya untuk menulusuri gua yang dimaksud.
Sementara
itu, di gua yang ternyata adalah pintu masuk ke Kahayangan Saptapertala,
hiduplah dua manusia dewa. Perawakan mereka bersisik seperti ular dan kali ini
mereka sedang bertapa brata.. Mereka bernama Naga Anantaboga dan Naga Basuki,
cucu dari Dewi Suyati yang artinya masih saudara sepupu Batara Guru. Mereka
bertapa brata dengan duduk membisu dalam wujud ular naga sambil membuka mulut.
Secara bersamaan, datanglah sebuah benda
masuk ke dalam mulut Anantaboga. Anantaboga terbangun dari tapa dan
merasa tersedak. Naga Basuki segera menepuk punggung kakaknya itu dan keluarlah
dari mulut Anantaboga sebuah benda mirip sebuah cupu (kendi air). Cupu itu bercahaya.
Mereka berdua membawa cupu itu keluar dari gua. Di luar gua mereka melihat para
dewa berdiri menghalangi jalan mereka. Para dewa menuduh Naga Anantaboga
berniat mencuri cupu Linggamanik dengan mengirimkan jin “hai kamu naga . kamu
pasti yang berhasil mencuri Cupu milik tetua kami. Kembalikan atau kami paksa”
“tidak tuanku semua. Aku tidak mengambilnya. Cupu ini datang sendiri.” “kau
pasti bohong. Pasti kau suruh makhluk jejadian tak kasat mata untuk
mengambilnya.” Naga Basuki berkilah “Demi nama Sanghyang Maha Agung, Tuhan yang
Maha Melihat kami tidak mencurinya.” Namun para dewa tetap tidak percaya dan
terus menuduhn mereka membabi buta. Naga Anantaboga tak terima dan terjadilah
pertempuran. Sang adik, Naga Basuki membantunya. Naga Anantaboga dan Naga
Basuki bertarung dengan mengibaskan ekornya dan terus menyemburkan bisa panas
dari mulut mereka. Para dewa menjadi kewalahan dan segera mundur ke kahyangan
Jonggring Saloka.
Batara Guru dan Batara Resi Narada melihat para dewa yang pontang-panting. Batara Guru dan Batara Resi Narada harus turun tangan sendiri. Mereka kemudian datang ke gua tempat Anantaboga dan Basuki bertapa brata untuk bertanya baik-baik.
Anantaboga dan Basuki menghadap Batara Guru dan Narada |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar