Hai para pembaca budiman, postingan kali ini mengisahkan Prabu Anom Balarama menjadi pendeta muda bernama Wasi Jaladara di gunung Raiwataka dan pertemuannya dengan jodonhnya, Dewi Erawati. Dikisahkan pula bagaimana Arya Bratasena dan Prabu Anom Suyudana berguru adu gada pada Wasi Jaladara. Lakon ini sebenaranya gabungan dua lakon yaitu Kartapiyoga Maling dan Jaladara Rabi. sumber kisah ini berasal dari beberapa blog pewayangan, Kitab Mahabharata karya Mpu Vyasa, dan Kitab Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita.
Di
Kerajaan Mandaraka, Bambang Narasoma telah lama menjadi raja bergelar Prabu
Salya menggantikan ayahnya, Prabu Mandrapati yang telah mangkat. Pernikahannya
dengan Endang Ratna Setyawati telah dikaruniai lima orang anak. Mereka adalah
Dewi Erawati, Dewi Srutikanti, Dewi Banowati, Arya Burisrawa, dan Bambang
Rukmarata. Semua putri dan putra bungsunya berwajah ayu dan tampan kecuali Arya
Burisrawa. Arya Burisrawa jarang tampil di dalam puri dan lebih senang berada
di luar keraton karena malu pada wajahnya yang buruk rupa mirip sang kakek,
Resi Bagaspati. Kini sang Prabu sedang dirundung masalah karena Dewi Erawati
hilang diculik orang.
Sementara
itu, di gunung Raiwataka, Wasi Jaladara.yang telah menerima kedatangan adiknya beberapa
waktu lalu melanjutkan tapa bratanya. Pada suatu hari, Wasi Jaladara mendapat
wangsit dari Batara Brahma “anakku, pergilah ke Mandaraka. Jodohmu ada disana.
Dia adalah Dewi Erawati, putri sulung sang Prabu Salya. Sekarang dia menghilang
diculik orang. tolonglah dia” Lalu
berangkatlah Wasi Jaladara dan Endang Kendengpamali ke Mandaraka. Di tengah
jalan mereka berdua bertemu Arya Bratasena. Arya Bratasena datang karena
mendapat wangsit dari Batara Bayu untuk berguru perang gada pada Wasi Jaladara.
Wasi Jaladara kemudian menerima Arya Bratasena sebagai muridnya. Lalu Arya
Bratasena diperintahkan untuk menunggu di gunung Raiwataka.
Setelah
lama berkuda, mereka akhirnya sampai di Keraton Mandaraka. Kebetulan sekali
Prabu Salya sedang di keraton dihadap putranya, Bambang Rukmarata. Setelah
dipersilahkan oleh para prajurit, mereka masuk dan menyerahkan segala hasil
bumi dan segera menyampaikan maksudnya “Mohon ampun, Gusti Prabu. Saya Wasi
Jaladara dari gunung Raiwataka dan ini adik saya, Kendengpamali. Hajat hamba
datang kemari untuk melamar putri gusti, Dewi Erawati. Sudikah gusti prabu
menerima lamaran saya?” disaat yang bersamaan Prabu Anom Suyudana ditemani
Patih Arya Sengkuni datang juga untuk melamar Dewi Erawati. Melihat keduanya
datang juga untuk melamar Dewi Erawati. Prabu Salya bingung untuk menentukan
karena putrinya masih dalam pencarian. Lalu muncul niatan untuk menguji mereka
berdua. Prabu Salya memutuskan untuk membuat sayembara lalu menampaikan itu
melalui puteranya, Rukmarata“Dengarkan ini saudara Suyudana dan saudara
Jaladara. Ayahanda Prabu sudah memutuskan untuk menjadikan ini sebagai sayembara.
Barangsiapa yang mampu menemukan kakang mbokku Erawati, mampu menyiapkan
sepasang patah manten yang berwajah mirip dan seorang waranggana cantik, dialah
yang berhak menikahinya.” Mendengar hal itu, mereka segera melaksanakan
sayembara itu.
Beberapa
saat kemudian datanglah Raden Permadi ke Keraton Mandaraka.”mohon sembah padamu
paman Prabu Salya. Kedatanganku kemari karena mendapat wangsit untuk membantumu
sebagai sarana menemukan kakak saya, Bratasena. Sudah beberapa hari ini dia
menghilang.” Mendengarnya, Prabu Salya memang angkuh merasa jika Dewi Erawati
lebih baik bersanding dengan Permadi daripada dengan Wasi Jaladara. Lalu Prabu
Salya berkata “ Anakku Permadi, saat ini sepupumu Erawati hilang diculik orang.
Aku minta kau untuk mencarinya?” Raden Permadi mengiyakan perintah paman adik
kembarnya itu lalu segera pamit dan mencari Dewi Erawati. Belum sampai keluar
keraton, ditengah jalan, dia berjumpa dengan dua adik Dewi Erawati, Srutikanti
dan Banowati. Mereka dengan genitnya merayu Raden Permadi. Rayuan Dewi
Srutikanti tak dihiraukan Raden Permadi tapi begitu Dewi Banowati mendekatinya
sambil merayunya, Raden Permadi justru terlena dan mereka pun saling berasyik
masyuk di halaman keputren. Sebelum pergi, Dewi Banowati memberikan sesuatu “
kakang Permadi,sebelum kau pergi terimalah kain selendang ini. Aku sendiri yang
membatiknya. Pakailah ini kakang.” “baik, sayang. Selendang ini akan selalu
kukenakan di leherku.” Dewi Srutikanti yang melihat pemandangan semacam itu
cemburu karena dikecawakan. Karena kecemburuannya itu, dia melabrak mereka
berdua lalu bersumpah serapah “Permadi, kau sudah mengabaikan aku. Aku
mencintaimu tapi kau lebih memilih adikku yang masih bau kencur. Maka dengarlah
sumpahku. Aku bersumpah selama kau masih mencari kakakmu, kau akan selalu
kelaparan hari ini.” Karena sumpah tersebut, Raden Permadi disertai Ki Lurah
Semar dan anak-anaknya segera pergi.
Sementara
itu, sembari mencari keberadaan Dewi Erawati, Wasi Jaladara juga mengajari dan
melatih Arya Bratasena perang gada di Gunung Raiwataka. Wasi Jaladara tak sadar
bahwa mereka sudah dikuntit dan dimata-matai oleh Prabu Anom Suyudana dan
adik-adiknya. Mereka berniat menghilangkan saingan. Disaat yang tepat, mereka
menyerang gunung Raiwataka. Para Kurawa secara membabibuta menyerang apa saja
dan untungnya berhasil dihadang Bratasena. Sementara itu Suyudana beradu gada
Wasi Jaladara. Pertarungan gada itu sangat sengit. Pukulan dan gesekan antara gada
Kyai Inten milik Suyudana dan Gada Alugora milik Wasi Jaladara menimbulkan
percikan api dan membakar sebagian hutan di sekitarnya. Namun demikian, ilmu
bermain gada Suyudana belum sempurna lagi sehingga gadanya terpelanting dan dirinya
terkena gada Wasi Jaladara. Akhirnya dihadapan Wasi Jaladara dan Arya
Bratasena, Suyudana berlutut mengaku kalah “Ampun Wasi agung, aku mengaku
kalah. Tolong ampuni aku. Aku janji tak akan mengusik pencarian Erawati dan
bersedia menjadi muridmu.”
Wasi Jaladara menyuruhnya kembali berdiri dan
mengangkatnya sebagai murid bersama Arya Bratasena. Prabu Anom Suyudana
kemudian menyuruh adik-adiknya untuk kembali ke Hastinapura. Dasar watak Arya
Bratasena yang hati-hati, dia berbisik pada gurunya “Guru, kau yakin mau menerimanya?
Dia kan bala Kurawa. Aku takut klo dia punya maksud jahat.” “tidak baik
berburuk sangka, Bratasena. Kalau dia punya maksud lain, pasti ku tolak.”
Akhirnya Arya Bratasena menerima sepupunya itu sebagai saudara seperguruan sekali lagi.
Suyudana menjadi murid Wasi Jaladara. |
Sementara
itu, Dewi Erawati yang dicari-cari itu ternyata diculik oleh pangeran
Kartapiyoga. Pangeran itu tinggal di kerajaan Tirtakadasar dibawah muara
Bengawan Jaladatta. Kartapiyoga sangat terpesona oleh Dewi Erawati sehingga meminta
ayahnya, Prabu Kurandageni untuk mengirimkan ilmu sihir agar Dewi Erawati bisa
dibawa olehnya tanpa kecurigaan. Disana Dewi Erawati terus dirayu olehnya, tapi
Dewi Erawati tetap menolak. Karena terus terdesak, akhirnya Dewi Erawati
berkata “kakang Kartapiyoga, aku hargai usahamu tapi hatiku tak akan tergoyah.
Aku akan bersedia menikahimu kalau kau membawa adik-adikku kemari.” “baik...
sayangku. Akan kupenuhi syarat darimu” ucap Kartapiyoga yang sudah termakan
cinta butanya. Segeralah Kartapiyoga berangkat ke Mandaraka lagi untuk menculik
Srutikanti dan Banowati.
Saat
itu musim kering, udara disiang hari begitu terik tapi di malam hari terlalu
dingin. Beberapa pepohonan di hutan meranggas menggugurkan daunnya tak
menghasilkan buah. Raden Permadi dan para Punakawan sejak meninggalkan Mandaraka
sudah kelaparan. Nampaknya sumpah Srutikanti menjadi nyata. Sudah berhari-hari
mereka berjalan namun baik di perkampungan maupun di hutan tak ada makanan yang
dapat dimakan. Sehingga sampailah mereka di lereng gunung Raiwataka. Demi
membantu Permadi, Ki Lurah Semar kemudian meminta izin untuk ke padepokan di
puncak gunung itu “ ndoro Permadi, kalau diizinkan, aku dan anak-anakku akan ke
padepokan di puncak itu. Siapa tahu disana ada orang yang bisa dimintai bantuan”
“baik, Ki lurah. Aku izinkan.” Ki Semar,Gareng Petruk, dan Bagong memutuskan untuk
menyamar jadi pengamen. Sesampainya disana, mereka mbarang jantur. Ki Semar
menjadi pemain sulap, Gareng menjadi penyanyi, Petruk dan Bagong menjadi pemain
gendang dan kecapi. Endang Kendengpamali, pemilik tempat itu datang dan
tertarik melihatnya. Melihat para pengamen itu bermain sulap, menyanyi dan
menari membuatnya sangat terhibur. “terima kasih kalian sudah menghiburku. Apa
makanan empat bungkus ini cukup...?” Bagong
kemudian memotong “ aduhh cah ayu. lihat senyummu sudah cukup kok” “Ngawur kamu,
gong. Dari tadi situ lihat senyum terus. Lihat snyum juga butuh makan.” seloroh
Petruk sambil mengacak-acak rambut Bagong. Gareng kemudian berkata “ini sudah
lebih dari cukup.” Baru saja mereka mau pergi. Raden Permadi menyusul ke
puncak. Begitu memandang Endang Kendengpamali, jantungnya seketika berdebar.
Tingkahnya menjadi salah. Setelah makan dan menenangkan hatinya, malu-malu
Permadi berbincang dengannya “ni sanak. Cantik sekali dirimu. Perkenalkan, aku Permadi.
Jika diperkenankan, boleh aku tahu siapa nama ni sanak?” Endang Kendengpamali
sedikit kaget bahwa yang datang itu sepupunya lalu dia pura-pura tak tahu“
akuu.... aku Kendengpamali. Aku disini tinggal dengan kakakku. Kebetulan kakak
sedang mengajar murid-muridnya jadi padepokan ini sepi.” Terpikat oleh cinta
dan ayunya rupa Kendengpamali, Raden Permadi kemudian mengajak Endang
Kendengpamali jalan-jalan berkeliling gunung. Lalu sampailah mereka di sebuah
padang bunga.
Mereka berlari kesana-kemari diantara bunga-bunga hutan layaknya
sepasang kumbang. Karena kurang waspada, Endang Kendengpamali jatuh terperosok
ke lubang. Untunglah Raden Permadi menolongnya. Kainnya sobek dan betisnya
terluka, Raden Permadi mencoba mengobatinya. Karena kesakitan, Endang
Kendengpamali merintih dan suara rintihannya terdengar sampai ke tempat Wasi
Jaladara. Dengan aji Balabadra, dirinya segera berlari diikuti Suyudana dan
Bratasena.
Permadi dan Endang Kendengpamali di padang bunga |
Tak
butuh waktu lama, Wasi Jaladara menemukan adiknya bersama seorang pria tak
dikenal. Karena sifatnya yang mudah marah, dia labrak pria itu lalu dihajarnya.
Sang pria itu terjatuh namun bangkit lagi lalu membela diri dari serangan Wasi
Jaladara. Pria itu berusaha menjelaskan bahwa dia bukan musuh, namun tak
dihiraukan oleh sang pendeta itu. Karena memang tak berniat melawan dari awal,
pria itu terkena pukulan dan jatuh dihadapan Arya Bratasena. Ketika dilihat,
Arya Bratasena menyadari bahwa yang dihajar gurunya itu Permadi, adiknya. Lalu
datang Ki lurah Semar melerai Wasi Jaladara. “helah dalah..bertenang dulu
Jaladara. Tenangkan dirimu. Katanya kau pendeta, tapi kok masih brangasan dan
mudah marah? Malu dengan gelar Wasi milikmu. Lagipula yang kau hajar itu
Permadi, adik sepupumu sendiri” Wasi Jaladara merasa bersalah lalu minta maaf
pada raden Permadi. Lalu datanglah Batara Brahma dengan angsanya. Batara Brahma
datang untuk menyampaikan pesan dari Batara Guru “heei anakku, Wasi Jaladara.
Segala laku prihatin yang kau lakukan telah diterima oleh Sanghyang Widhi Maha
Agung. Aku kesini menyampaikan bahwa Erawati berada di tangan Kurandageni, raja
di Tirtakadasar dan kini putranya, Kartapiyoga akan menculik adik-adiknya malam
ini. Segeralah kembali ke Mandaraka.” setelah Batara Brahma kembali ke
kahyangan, Wasi Jaladara, Prabu Anom Suyudana, dan Arya Bratasena segera
bertolak ke Mandaraka sebelum malam tiba, sementara Permadi dan para Punakawan
pergi ke arah lain masuk jauh ke dalam hutan untuk menyepi.
Malampun
turun. Udara malam itu sangat dingin membuat siapapun bakal terlena dalam
selimut. Burung-burung malam dan kelelawar juga terdiam meringkuk kedinginan.
Hanya bulan yang terang menemani malam bersama bintang. Namun tidak dengan
Kartapiyoga, karena cinta buta dia rela melaksanakan niatnya menculik adik-adik
Dewi Erawati dan nampaknya niat Kartapiyoga tidak direstui Yang maha Agung.
Disana sudah berjaga Wasi Jaladara, Prabu Anom Suyudana, dan Arya Bratasena.
Kartapiyoga yang ketakutan lalu melarikan diri. Tanpa pikir lagi, Wasi Jaladara
dan murid-muridnya itu mengejar maling tersebut hingga ke pinggir sungai
Jaladatta. Berbekal Aji Balabadra, Wasi Jaladara dan Suyudana mampu bertahan
nafas dan berjalan di dalam air sementara Bratasena yang sudah meminum Tirta
Manik Rasakundha juga menjadi biasa untuk berjalan didalam air. Disana mereka
melihat istana megah di dasar sungai. Begitu memasuki istana itu, suasana
istana berubah. Suasananya sama seperti di atas daratan. Mereka segera mencari
Dewi Erawati tapi mereka dihadang Kartapiyoga dan para prajurit Tirtakadasar.
Pertempuran pun terjadi. Ditengah pertempuran, Dewi Erawati berhasil
diselamatkan oleh Dewi Sugandika, permaisuri Prabu Kurandageni. Akhirnya, Raden
Kartapiyoga berhasil ditewaskan oleh Wasi Jaladara. Prabu Kurandageni lalu
pergi melarikan diri menuju istana saudara seperguruannya, Prabu Sarpaprasanta
di Bumirinengga. Wasi Jaladara segera mencari
keberadaan Dewi Erawati. Rupanya Dewi Erawati berada di kamar keputren bersama
Dewi Sugandika ”Erawati, ternyata kau ada disini.” Dewi Erawati bertanya
“siapakah ki sanak ini? Apa kau hendak menculikku lagi” “tidak, aku dan
murid-muridku datang untuk menyelamatkanmu. Aku Jaladara, pendeta dari
Raiwataka.” Tanpa memperpanjang waktu lagi, mereka segera ke daratan dan kembali
ke Mandaraka. Begitupun Dewi Sugandika. Rupanaya Dewi Sugandika adalah sahabat
Ratna Setyawati yang dulu hilang ketika masih muda. Dia berniat menemani
sahabatnya itu hingga hari tua.
Sementara
itu di hutan tempat Permadi menyepi datanglah Batari Durga, isteri Batara Guru
dari Kahyangan Setra Gandamayu untuk menjawab semedi dari Permadi “cucuku,
Permadi. Aku tahu isi hatimu. Kau sedang bimbang karena kau mencintai dua orang
dalam waktu singkat. Kau jatuh cinta pada Banowati dan Kendengpamali. Kau rindu
pada dua-duanya. Namun aku meramalkan kelak jodohmu adalah Kendengpamali. Jadi
berusahalah lepaskan Banowati.” Kemudian Permadi berserah diri pada Yang Maha
Agung semoga pilihan itu adalah yang terbaik. Batari Durga kemudian berkata
“Permadi, untuk mengetahui isi hati Kendengpamali, kau harus berbaur dengannya.
Dalam arti ini, kau harus menyamar menjadi perempuan. Kedatanganku kemari untuk
meriasmu menjadi perempuan sekaligus menyampaikan pesan dari Kanda Batara Guru.
Kelak kalian akan bertemu di sebuah acara besar di Mandaraka. datanglah dan
jadilah waranggana di acara itu.” “ Baik Pukulun Ida Batari. Hamba akan
laksanakan segala perintahmu.” Setelah terbangun dari semedi, wujud Permadi
berubah menjadi perempuan cantik. Begitu juga para punakawan, wajah dan tubuh
mereka menjadi tubuh perempuan. Setelah itu mereka berlima segera bertandang ke
Mandaraka.
Dalam
perjalanan pulang ke Raiwataka, Wasi Jaladara sedang termangu karena belum
menyiapkan syarat sayembara yaitu patah manten berwajah mirip dan waranggana
cantik. Lalu datanglah Batara Narada dari kahyangan “helah dalah, cucuku Jaladara.
Kenapa termangu begitu? Dimana ada kesulitan pasti ada kemudahan. Tak usah kau
pikir berat permintaan Prabu Salya itu. Orang berhati mulia pasti mendapatkan
jalan. Hari ini aku datang karena Batara Indra meminta pertolonganmu untuk
menumpas musuh kahyangan, Prabu Sarpaprasanta. Beberapa hari lalu, Prabu
Sarprasanta menyerang kahyangan dengan menjadi naga untuk merebut Dewi
Gagarmayang. Pasukan Dorandara bahkan Batara Indra sendiri kewalahan. Maukah
kau membantu para dewa?” “baiklah, aku mau. Aku bersedia membantu kahyangan”
Karena sudah setuju, Batara Narada, Wasi Jaladara, Suyudana, dan Bratasena
segera terbang ke kahyangan.
Wasi
Jaladara, Prabu Anom Suyudana, dan Arya Bratsena akhirnya tiba di Kahyangan. Dari
cermin dewa, para jago dewa ini melihat Prabu Sarpaprasanta dan juga Prabu
Kurandageni yang ikut melawan kahyangan bersama saudara seperguruannya itu. Setelah
keluar dari Lawang Selamtangkep, mereka langsung menggempur musuh di Repat
Kepanasan. Wasi Jaladara melawan Prabu Sarpaprasanta dan Prabu Kurandageni
sedangkan Suyudana dan Bratasena melawan pasuka Bumirinengga. Perang
berlangsung sangat sengit. Darah para prajurit bertumpahan di Repat Kepanasan. Banyak
para Prajurit yang mampu dikalahkan oleh Bratasena dan Suyudana. Sisanya
kucar-kacir melarikan diri keluar dari kahyangan.
Sementara itu Wasi Jaladara
yang sudah mulai kewalahan melawan dua raja angkara itu mengeluarkan tombak Nanggala dan
begitu Nanggala di pukulkan, kedua raja itu tewas dengan tubuh terbakar.
Suasana hening sebentar. Batara Indra kemudian datang mengucapkan terima kasih
pada Wasi Jaladara dan murid-muridnya “terima kasih Wsi Jaladara dan para murid
atas bantuan kalian. Sebagai bentuk ucapan terima kasih, aku akan menyerahkan
Gajah Kyai Puspadentha kepada pendeta agung Jaladara. Gajah ini anak dari Gajah
Erawata, kendaraanku. Selain itu pakailah pakaian ini.” Wasi Jaladara kemudian
bertukar pakaian dengan busana pemberian batara Indra. Kini Wasi Jaladara
nampak berwibawa dan gagah perkasa. Sebagai tanda kenang-kenangan, Batara
Narada memberikan nama baru yaitu Raden Baladewa yang bermakna Dewa yang kuat
karena jasanya menumpas musuh para dewa. Setelah dirasa cukup, Wasi Jaladara,
Prabu Anom Suyudana, dan Arya Bratasena segera kembali ke Gunung Raiwataka.
Diam-diam, Batara Indra memerintahkan empat puluh bidadari pilihannya untuk
mengiringi Wasi Jaladara karena Batara Indra mengerti bahwa Wasi Jaladara akan
segera menikah sehingga biarlah kedatangan bidadari-bidadari itu menjadi hadiah
bonus baginya.
Wasi Jaladara menjadi jago dewata |
Di
gunung Raiwataka, Endang Kendengpamali menyambut kepulangan kakaknya. Tanpa
diduga-duga datanglah Prabu Kresna dan istrinya Dewi Radha dan Dewi Jembawati ke gunung
Raiwataka. Mereka saling berpelukan dan bertanya kabar “adikku, Kanha. Sudah
lama kita tak jumpa. Ada angin apa kau mau datang kemari?” “kakang Balarama,
aku mendapat perintah dari suara gaib untuk membantumu dan mengajak istriku ke
gunung Raiwataka.” Wasi Jaladara terkagum melihat wajah sahabat masa kecil mereka kini menjadi adik iparnya. Ketika diamati lagi, wajah Radha dan Jembawati mirip
sekali dengan Endang Kendengpamali. Wasi Jaladara berterima kasih pada adiknya
itu karena syarat Prabu Salya menyiapkan patah manten berwajah mirip telah
terpenuhi. “tidak perlu sungkan, kakang. Istriku dan adik kita berwajah mirip karena
mereka titisan dewi. Menurut dewata, adik kita Bratajaya, lalu Radha dan Jembawati titisan Dewi Sri Laksmi, istri Sri Batara Wisnu." Begitu penjelasan Prabu Kresna. Singkat cerita, mereka
segera berangkat ke Mandaraka. Di tengah perjalanan, mereka bertemu seorang
pengamen perempuan yang berwajah cantik dan punakawannya yang berwajah ayu.
“hei cah ayu, merdu sekali nyanyianmu. Boleh aku tahu namamu?” “saya
Werdiningsih dan mereka adalah kelompok saya. Kami pengamen keliling. Kami
hendak bertandang ke Mandaraka” Wasi Jaladara lalu mengajak Werdiningsih dan
kelompok musiknya untuk menjadi pengiring pernikahannya di Mandaraka.
Werdiningsih menyanggupinya dan bersedia ikut.
Di
keraton Mandaraka, Prabu Salya dihadap putranya Bambang Rukmarata dan kali ini
Arya Burisrawa juga berada di keraton. Disana juga ada Ratna Setyawati dan Dewi
Erawati yang sudah di antar pulang oleh Wasi Jaladara beberapa hari lalu. Dewi
Erawati datang ke hadapannya karena tadi malam dia mendapat wangsit berupa
mimpi “ mohon maaf ayahanda Prabu bila mengganggu.” “tidak apa putriku. Ada hal
apa sehingga kau menemui ayahanda. “ Dewi Erawati kemudian bercerita bahawa
tadi malam dia bermimpi menikahi pria gagah berwibawa menaiki seekor gajah
diiringi empat puluh bidadari. Setelah menyelesaikan ceritanya, tiba-tiba
datang seorang prajurit mengirimkan kabar “ampun, Gusti prabu. Saya datang memberi
kabar. Telah datang rombongan pengantin memasuki pintu ibukota Mandaraka.
Mempelai pria menaiki seekor gajah diiringi patah manten berwajah mirip malah patah mantennya ada tiga orang, lalu dibelakangnya berjalan seorang waranggana yang sangat cantik yang benyanyi sangat merdu, dan
dikelilingi empat puluh bidadari. Di antara rombongan itu ada Prabu Kresna,
Prabu Anom Suyudana dan Raden Arya Bratasena. Nama mempelai pria itu Wasi
Jaladara.” Prabu Salya sangat terkejut, sama sekali tak menyangka kalau Wasi
Jaladara yang diremehkannya mampu menyanggupi semua syarat sayembara. Retna
Setyawati kemudian meminta suaminya untuk segera menikahkan putri sulung
mereka. Akhirnya Prabu Salya datang menjemput mereka. Prabu Salya kemudian
bertanya pada Prabu Anom Suyudana “Anakmas Suyudana, bukannya kamu bersaing
memperebutkan putriku tapi kenapa kamu malah menjadi pengiring Jaladara?”
“Sekarang ini saya menjadi murid guru Jaladara dan perlu gusti prabu ketahui,
guru Jaladara adalah Prabu Anom Balarama, kakak dari Prabu Kresna, putra
mahkota negeri Mandura.” Prabu Salya terkejut dan sangat malu mendengarnya.
Lalu dia menyambut calon menantunya itu dan meminta agar tidak perlu menyamar
lagi menjadi pendeta miskin. Keesokan harinya, diselenggarakan akad nikah dan
malamnya pesta besar-besaran dilangsungkan selama tujuh hari tujuh malam. Tamu dari
para kawula negeri Mandaraka mbanyu mili, berdatangan tak henti-henti. Pada
malam hari terakhir, semua tamu undangan telah pulang. Pesta pun selesai.
Malam
hari itu, Werdiningsih menyusup ke kamar Dewi Bratajaya. Mula-mula mereka hanya
bercakap-cakap. Dewi Bratajaya bercerita “Werdiningsih,sebenarnya sejak bertemu
Raden Permadi, sepupuku dari Amarta tempo hari, aku telah jatuh cinta padanya
tapi umur kami belum cukup. Apakah dia akan menungguku sampai cukup umur?” “aku
yakin dia pasti mau menunggu” Werdiningsih mengatakan itu sambil memegang
tangan Bratajaya dan menatapnya dengan tatapan cinta. Dewi Bratajaya menjadi
risih dan menghindar. Lalu Werdiningsih berusaha memeluk Dewi Bratajaya. Karena
mengira Werdiningsih tidak normal, Dewi Bratajaya mendorongnya sehinnga tubuh Werdiningsih membentur pintu.
Lalu wujud Werdiningsih badar kembali menjadi Raden Permadi. Dewi Bratajaya
menjadi ketakutan melihat sepupunya ada di kamarnya. Lalu dia berteriak minta
tolong. Prabu Anom Balarama, Prabu Kresna dan Prabu Salya segera datang dan
menciduk Permadi. Balarama meminta maaf karena dia tidak tahu kalau sang
waranggana bukanlah wanita asli tapi Permadi yang menyamar. Prabu Salya dan
Prabu Kresna tertawa kecil lalu Prabu Salya berkata “ Balarama anakku,
sebenarnya aku sudah tahu kalau Werdiningsih ini bukan wanita asli. Adikmu,
Prabu Kresna yang pertama kali memberitahuku. Lagipula persyaratan dariku juga
sangat ambigu. Aku hanya meminta waranggana cantik jadi bila hal ini terjadi
itu bukan bagian dari sayembara. Apa boleh buat.” Prabu Salya memaklumkan
kesalahan menentunya itu. Raden Permadi juga minta maaf sudah membuat keadaan
menjadi kacau.
Keesokan
paginya, datanglah adik patih Udawa, Arya Pragota untuk menjemput kakaknya,
Balarama untuk kembali ke Mandura. “mohon maaf kakang Balarama, Gusti Prabu
Basudewa, ayahandamu telah mendengar kabar tentangmu memintaku untuk menjemput
pulang ke Mandura.” Prabu Salya kemudian bertanya “ Balarama, ketika hari
pernikahanmu, aku tidak melihat ayah dan ibumu. Kenapa kau tidak mengabari
mereka?” “ampun ayahanda mertua, sewaktu saya menjadi pendeta juga tidak
mengabari mereka. Saya sendiri minggat untuk mencari bekal ilmu sebagai raja.
Jadi untuk apa saya mengabari mereka. Ayahanda mertua juga dulu pasti juga
merasakannya.” Prabu Salya tersenyum mendengar penuturan menantunya yang lugas itu
karena teringat masa mudanya dulu, sering diusir ayahnya dan pergi mengembara
mencari ilmu. Prabu Salya dan Ratna Setyawati memutuskan ikut bersama putri dan
menantunya itu ke Mandura.
Pelantikan Balarama menjadi raja Mandura |
Singkat
cerita, Prabu Anom Balarama bersama Dewi Erawati telah tiba di keraton Mandura.
Begitu juga Prabu Salya, Ratna Setyawati, Prabu Kresna, dan rombongan lainnya.
Prabu Basudewa dihadap permaisuri Dewi Rohini, Dewi Dewaki, dan Dewi Badrahini sangat
bahagia mendengar kedua putranya telah menikah. “Putraku Balarama, aku sangat
bangga atas keberhasilanmu menjadi jago dewata lalu mendapat jodohmu dan
putraku Kresna, aku sangat bahagia. Kau telah mewujudkan doa leluhur kita, Dewi
Sinta. Di hari bahagia ini, aku, Basudewa putra Kuntiboja, akan menyerahkan
takhta ini kepada putraku, Balarama.” Di
hari berikutnya, pesta penobatan diselenggarakan. Prabu Anom Balarama di lantik
sebagai raja kerajaan Mandura yang baru dengan nama gelarnya Prabu Baladewa
dengan patihnya Arya Pragota, anak ketiga Niken Sagopi sebagai patih dalam dan
Arya Prabawa, putra Empu Saragupita sebagai patih luar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar