Senin, 08 Juli 2019

Wasi Jaladara


Hai para pembaca budiman, postingan kali ini mengisahkan Prabu Anom Balarama menjadi pendeta muda bernama Wasi Jaladara di gunung Raiwataka dan pertemuannya dengan jodonhnya, Dewi Erawati. Dikisahkan pula bagaimana Arya Bratasena dan Prabu Anom Suyudana berguru adu gada pada Wasi Jaladara. Lakon ini sebenaranya gabungan dua lakon yaitu Kartapiyoga Maling dan Jaladara Rabi. sumber kisah ini berasal dari beberapa blog pewayangan, Kitab Mahabharata karya Mpu Vyasa, dan Kitab Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita.
Di Kerajaan Mandaraka, Bambang Narasoma telah lama menjadi raja bergelar Prabu Salya menggantikan ayahnya, Prabu Mandrapati yang telah mangkat. Pernikahannya dengan Endang Ratna Setyawati telah dikaruniai lima orang anak. Mereka adalah Dewi Erawati, Dewi Srutikanti, Dewi Banowati, Arya Burisrawa, dan Bambang Rukmarata. Semua putri dan putra bungsunya berwajah ayu dan tampan kecuali Arya Burisrawa. Arya Burisrawa jarang tampil di dalam puri dan lebih senang berada di luar keraton karena malu pada wajahnya yang buruk rupa mirip sang kakek, Resi Bagaspati. Kini sang Prabu sedang dirundung masalah karena Dewi Erawati hilang diculik orang.
Sementara itu, di gunung Raiwataka, Wasi Jaladara.yang telah menerima kedatangan adiknya beberapa waktu lalu melanjutkan tapa bratanya. Pada suatu hari, Wasi Jaladara mendapat wangsit dari Batara Brahma “anakku, pergilah ke Mandaraka. Jodohmu ada disana. Dia adalah Dewi Erawati, putri sulung sang Prabu Salya. Sekarang dia menghilang diculik orang.  tolonglah dia” Lalu berangkatlah Wasi Jaladara dan Endang Kendengpamali ke Mandaraka. Di tengah jalan mereka berdua bertemu Arya Bratasena. Arya Bratasena datang karena mendapat wangsit dari Batara Bayu untuk berguru perang gada pada Wasi Jaladara. Wasi Jaladara kemudian menerima Arya Bratasena sebagai muridnya. Lalu Arya Bratasena diperintahkan untuk menunggu di gunung Raiwataka.
Setelah lama berkuda, mereka akhirnya sampai di Keraton Mandaraka. Kebetulan sekali Prabu Salya sedang di keraton dihadap putranya, Bambang Rukmarata. Setelah dipersilahkan oleh para prajurit, mereka masuk dan menyerahkan segala hasil bumi dan segera menyampaikan maksudnya “Mohon ampun, Gusti Prabu. Saya Wasi Jaladara dari gunung Raiwataka dan ini adik saya, Kendengpamali. Hajat hamba datang kemari untuk melamar putri gusti, Dewi Erawati. Sudikah gusti prabu menerima lamaran saya?” disaat yang bersamaan Prabu Anom Suyudana ditemani Patih Arya Sengkuni datang juga untuk melamar Dewi Erawati. Melihat keduanya datang juga untuk melamar Dewi Erawati. Prabu Salya bingung untuk menentukan karena putrinya masih dalam pencarian. Lalu muncul niatan untuk menguji mereka berdua. Prabu Salya memutuskan untuk membuat sayembara lalu menampaikan itu melalui puteranya, Rukmarata“Dengarkan ini saudara Suyudana dan saudara Jaladara. Ayahanda Prabu sudah memutuskan untuk menjadikan ini sebagai sayembara. Barangsiapa yang mampu menemukan kakang mbokku Erawati, mampu menyiapkan sepasang patah manten yang berwajah mirip dan seorang waranggana cantik, dialah yang berhak menikahinya.” Mendengar hal itu, mereka segera melaksanakan sayembara itu.
Beberapa saat kemudian datanglah Raden Permadi ke Keraton Mandaraka.”mohon sembah padamu paman Prabu Salya. Kedatanganku kemari karena mendapat wangsit untuk membantumu sebagai sarana menemukan kakak saya, Bratasena. Sudah beberapa hari ini dia menghilang.” Mendengarnya, Prabu Salya memang angkuh merasa jika Dewi Erawati lebih baik bersanding dengan Permadi daripada dengan Wasi Jaladara. Lalu Prabu Salya berkata “ Anakku Permadi, saat ini sepupumu Erawati hilang diculik orang. Aku minta kau untuk mencarinya?” Raden Permadi mengiyakan perintah paman adik kembarnya itu lalu segera pamit dan mencari Dewi Erawati. Belum sampai keluar keraton, ditengah jalan, dia berjumpa dengan dua adik Dewi Erawati, Srutikanti dan Banowati. Mereka dengan genitnya merayu Raden Permadi. Rayuan Dewi Srutikanti tak dihiraukan Raden Permadi tapi begitu Dewi Banowati mendekatinya sambil merayunya, Raden Permadi justru terlena dan mereka pun saling berasyik masyuk di halaman keputren. Sebelum pergi, Dewi Banowati memberikan sesuatu “ kakang Permadi,sebelum kau pergi terimalah kain selendang ini. Aku sendiri yang membatiknya. Pakailah ini kakang.” “baik, sayang. Selendang ini akan selalu kukenakan di leherku.” Dewi Srutikanti yang melihat pemandangan semacam itu cemburu karena dikecawakan. Karena kecemburuannya itu, dia melabrak mereka berdua lalu bersumpah serapah “Permadi, kau sudah mengabaikan aku. Aku mencintaimu tapi kau lebih memilih adikku yang masih bau kencur. Maka dengarlah sumpahku. Aku bersumpah selama kau masih mencari kakakmu, kau akan selalu kelaparan hari ini.” Karena sumpah tersebut, Raden Permadi disertai Ki Lurah Semar dan anak-anaknya segera pergi.
Sementara itu, sembari mencari keberadaan Dewi Erawati, Wasi Jaladara juga mengajari dan melatih Arya Bratasena perang gada di Gunung Raiwataka. Wasi Jaladara tak sadar bahwa mereka sudah dikuntit dan dimata-matai oleh Prabu Anom Suyudana dan adik-adiknya. Mereka berniat menghilangkan saingan. Disaat yang tepat, mereka menyerang gunung Raiwataka. Para Kurawa secara membabibuta menyerang apa saja dan untungnya berhasil dihadang Bratasena. Sementara itu Suyudana beradu gada Wasi Jaladara. Pertarungan gada itu sangat sengit. Pukulan dan gesekan antara gada Kyai Inten milik Suyudana dan Gada Alugora milik Wasi Jaladara menimbulkan percikan api dan membakar sebagian hutan di sekitarnya. Namun demikian, ilmu bermain gada Suyudana belum sempurna lagi sehingga gadanya terpelanting dan dirinya terkena gada Wasi Jaladara. Akhirnya dihadapan Wasi Jaladara dan Arya Bratasena, Suyudana berlutut mengaku kalah “Ampun Wasi agung, aku mengaku kalah. Tolong ampuni aku. Aku janji tak akan mengusik pencarian Erawati dan bersedia menjadi muridmu.”
Suyudana menjadi murid Wasi Jaladara.
Wasi Jaladara menyuruhnya kembali berdiri dan mengangkatnya sebagai murid bersama Arya Bratasena. Prabu Anom Suyudana kemudian menyuruh adik-adiknya untuk kembali ke Hastinapura. Dasar watak Arya Bratasena yang hati-hati, dia berbisik pada gurunya “Guru, kau yakin mau menerimanya? Dia kan bala Kurawa. Aku takut klo dia punya maksud jahat.” “tidak baik berburuk sangka, Bratasena. Kalau dia punya maksud lain, pasti ku tolak.” Akhirnya Arya Bratasena menerima sepupunya itu sebagai saudara seperguruan sekali lagi.
Sementara itu, Dewi Erawati yang dicari-cari itu ternyata diculik oleh pangeran Kartapiyoga. Pangeran itu tinggal di kerajaan Tirtakadasar dibawah muara Bengawan Jaladatta. Kartapiyoga sangat terpesona oleh Dewi Erawati sehingga meminta ayahnya, Prabu Kurandageni untuk mengirimkan ilmu sihir agar Dewi Erawati bisa dibawa olehnya tanpa kecurigaan. Disana Dewi Erawati terus dirayu olehnya, tapi Dewi Erawati tetap menolak. Karena terus terdesak, akhirnya Dewi Erawati berkata “kakang Kartapiyoga, aku hargai usahamu tapi hatiku tak akan tergoyah. Aku akan bersedia menikahimu kalau kau membawa adik-adikku kemari.” “baik... sayangku. Akan kupenuhi syarat darimu” ucap Kartapiyoga yang sudah termakan cinta butanya. Segeralah Kartapiyoga berangkat ke Mandaraka lagi untuk menculik Srutikanti dan Banowati.
Saat itu musim kering, udara disiang hari begitu terik tapi di malam hari terlalu dingin. Beberapa pepohonan di hutan meranggas menggugurkan daunnya tak menghasilkan buah. Raden Permadi dan para Punakawan sejak meninggalkan Mandaraka sudah kelaparan. Nampaknya sumpah Srutikanti menjadi nyata. Sudah berhari-hari mereka berjalan namun baik di perkampungan maupun di hutan tak ada makanan yang dapat dimakan. Sehingga sampailah mereka di lereng gunung Raiwataka. Demi membantu Permadi, Ki Lurah Semar kemudian meminta izin untuk ke padepokan di puncak gunung itu “ ndoro Permadi, kalau diizinkan, aku dan anak-anakku akan ke padepokan di puncak itu. Siapa tahu disana ada orang yang bisa dimintai bantuan” “baik, Ki lurah. Aku izinkan.” Ki Semar,Gareng Petruk, dan Bagong memutuskan untuk menyamar jadi pengamen. Sesampainya disana, mereka mbarang jantur. Ki Semar menjadi pemain sulap, Gareng menjadi penyanyi, Petruk dan Bagong menjadi pemain gendang dan kecapi. Endang Kendengpamali, pemilik tempat itu datang dan tertarik melihatnya. Melihat para pengamen itu bermain sulap, menyanyi dan menari membuatnya sangat terhibur. “terima kasih kalian sudah menghiburku. Apa makanan  empat bungkus ini cukup...?” Bagong kemudian memotong “ aduhh cah ayu. lihat senyummu sudah cukup kok” “Ngawur kamu, gong. Dari tadi situ lihat senyum terus. Lihat snyum juga butuh makan.” seloroh Petruk sambil mengacak-acak rambut Bagong. Gareng kemudian berkata “ini sudah lebih dari cukup.” Baru saja mereka mau pergi. Raden Permadi menyusul ke puncak. Begitu memandang Endang Kendengpamali, jantungnya seketika berdebar. Tingkahnya menjadi salah. Setelah makan dan menenangkan hatinya, malu-malu Permadi berbincang dengannya “ni sanak. Cantik sekali dirimu. Perkenalkan, aku Permadi. Jika diperkenankan, boleh aku tahu siapa nama ni sanak?” Endang Kendengpamali sedikit kaget bahwa yang datang itu sepupunya lalu dia pura-pura tak tahu“ akuu.... aku Kendengpamali. Aku disini tinggal dengan kakakku. Kebetulan kakak sedang mengajar murid-muridnya jadi padepokan ini sepi.” Terpikat oleh cinta dan ayunya rupa Kendengpamali, Raden Permadi kemudian mengajak Endang Kendengpamali jalan-jalan berkeliling gunung. Lalu sampailah mereka di sebuah padang bunga.
Permadi dan Endang Kendengpamali di padang bunga
Mereka berlari kesana-kemari diantara bunga-bunga hutan layaknya sepasang kumbang. Karena kurang waspada, Endang Kendengpamali jatuh terperosok ke lubang. Untunglah Raden Permadi menolongnya. Kainnya sobek dan betisnya terluka, Raden Permadi mencoba mengobatinya. Karena kesakitan, Endang Kendengpamali merintih dan suara rintihannya terdengar sampai ke tempat Wasi Jaladara. Dengan aji Balabadra, dirinya segera berlari diikuti Suyudana dan Bratasena.
Tak butuh waktu lama, Wasi Jaladara menemukan adiknya bersama seorang pria tak dikenal. Karena sifatnya yang mudah marah, dia labrak pria itu lalu dihajarnya. Sang pria itu terjatuh namun bangkit lagi lalu membela diri dari serangan Wasi Jaladara. Pria itu berusaha menjelaskan bahwa dia bukan musuh, namun tak dihiraukan oleh sang pendeta itu. Karena memang tak berniat melawan dari awal, pria itu terkena pukulan dan jatuh dihadapan Arya Bratasena. Ketika dilihat, Arya Bratasena menyadari bahwa yang dihajar gurunya itu Permadi, adiknya. Lalu datang Ki lurah Semar melerai Wasi Jaladara. “helah dalah..bertenang dulu Jaladara. Tenangkan dirimu. Katanya kau pendeta, tapi kok masih brangasan dan mudah marah? Malu dengan gelar Wasi milikmu. Lagipula yang kau hajar itu Permadi, adik sepupumu sendiri” Wasi Jaladara merasa bersalah lalu minta maaf pada raden Permadi. Lalu datanglah Batara Brahma dengan angsanya. Batara Brahma datang untuk menyampaikan pesan dari Batara Guru “heei anakku, Wasi Jaladara. Segala laku prihatin yang kau lakukan telah diterima oleh Sanghyang Widhi Maha Agung. Aku kesini menyampaikan bahwa Erawati berada di tangan Kurandageni, raja di Tirtakadasar dan kini putranya, Kartapiyoga akan menculik adik-adiknya malam ini. Segeralah kembali ke Mandaraka.” setelah Batara Brahma kembali ke kahyangan, Wasi Jaladara, Prabu Anom Suyudana, dan Arya Bratasena segera bertolak ke Mandaraka sebelum malam tiba, sementara Permadi dan para Punakawan pergi ke arah lain masuk jauh ke dalam hutan untuk menyepi.
Malampun turun. Udara malam itu sangat dingin membuat siapapun bakal terlena dalam selimut. Burung-burung malam dan kelelawar juga terdiam meringkuk kedinginan. Hanya bulan yang terang menemani malam bersama bintang. Namun tidak dengan Kartapiyoga, karena cinta buta dia rela melaksanakan niatnya menculik adik-adik Dewi Erawati dan nampaknya niat Kartapiyoga tidak direstui Yang maha Agung. Disana sudah berjaga Wasi Jaladara, Prabu Anom Suyudana, dan Arya Bratasena. Kartapiyoga yang ketakutan lalu melarikan diri. Tanpa pikir lagi, Wasi Jaladara dan murid-muridnya itu mengejar maling tersebut hingga ke pinggir sungai Jaladatta. Berbekal Aji Balabadra, Wasi Jaladara dan Suyudana mampu bertahan nafas dan berjalan di dalam air sementara Bratasena yang sudah meminum Tirta Manik Rasakundha juga menjadi biasa untuk berjalan didalam air. Disana mereka melihat istana megah di dasar sungai. Begitu memasuki istana itu, suasana istana berubah. Suasananya sama seperti di atas daratan. Mereka segera mencari Dewi Erawati tapi mereka dihadang Kartapiyoga dan para prajurit Tirtakadasar. Pertempuran pun terjadi. Ditengah pertempuran, Dewi Erawati berhasil diselamatkan oleh Dewi Sugandika, permaisuri Prabu Kurandageni. Akhirnya, Raden Kartapiyoga berhasil ditewaskan oleh Wasi Jaladara. Prabu Kurandageni lalu pergi melarikan diri menuju istana saudara seperguruannya, Prabu Sarpaprasanta di Bumirinengga.  Wasi Jaladara segera mencari keberadaan Dewi Erawati. Rupanya Dewi Erawati berada di kamar keputren bersama Dewi Sugandika ”Erawati, ternyata kau ada disini.” Dewi Erawati bertanya “siapakah ki sanak ini? Apa kau hendak menculikku lagi” “tidak, aku dan murid-muridku datang untuk menyelamatkanmu. Aku Jaladara, pendeta dari Raiwataka.” Tanpa memperpanjang waktu lagi, mereka segera ke daratan dan kembali ke Mandaraka. Begitupun Dewi Sugandika. Rupanaya Dewi Sugandika adalah sahabat Ratna Setyawati yang dulu hilang ketika masih muda. Dia berniat menemani sahabatnya itu hingga hari tua.
Sementara itu di hutan tempat Permadi menyepi datanglah Batari Durga, isteri Batara Guru dari Kahyangan Setra Gandamayu untuk menjawab semedi dari Permadi “cucuku, Permadi. Aku tahu isi hatimu. Kau sedang bimbang karena kau mencintai dua orang dalam waktu singkat. Kau jatuh cinta pada Banowati dan Kendengpamali. Kau rindu pada dua-duanya. Namun aku meramalkan kelak jodohmu adalah Kendengpamali. Jadi berusahalah lepaskan Banowati.” Kemudian Permadi berserah diri pada Yang Maha Agung semoga pilihan itu adalah yang terbaik. Batari Durga kemudian berkata “Permadi, untuk mengetahui isi hati Kendengpamali, kau harus berbaur dengannya. Dalam arti ini, kau harus menyamar menjadi perempuan. Kedatanganku kemari untuk meriasmu menjadi perempuan sekaligus menyampaikan pesan dari Kanda Batara Guru. Kelak kalian akan bertemu di sebuah acara besar di Mandaraka. datanglah dan jadilah waranggana di acara itu.” “ Baik Pukulun Ida Batari. Hamba akan laksanakan segala perintahmu.” Setelah terbangun dari semedi, wujud Permadi berubah menjadi perempuan cantik. Begitu juga para punakawan, wajah dan tubuh mereka menjadi tubuh perempuan. Setelah itu mereka berlima segera bertandang ke Mandaraka.
Dalam perjalanan pulang ke Raiwataka, Wasi Jaladara sedang termangu karena belum menyiapkan syarat sayembara yaitu patah manten berwajah mirip dan waranggana cantik. Lalu datanglah Batara Narada dari kahyangan “helah dalah, cucuku Jaladara. Kenapa termangu begitu? Dimana ada kesulitan pasti ada kemudahan. Tak usah kau pikir berat permintaan Prabu Salya itu. Orang berhati mulia pasti mendapatkan jalan. Hari ini aku datang karena Batara Indra meminta pertolonganmu untuk menumpas musuh kahyangan, Prabu Sarpaprasanta. Beberapa hari lalu, Prabu Sarprasanta menyerang kahyangan dengan menjadi naga untuk merebut Dewi Gagarmayang. Pasukan Dorandara bahkan Batara Indra sendiri kewalahan. Maukah kau membantu para dewa?” “baiklah, aku mau. Aku bersedia membantu kahyangan” Karena sudah setuju, Batara Narada, Wasi Jaladara, Suyudana, dan Bratasena segera terbang ke kahyangan.
Wasi Jaladara, Prabu Anom Suyudana, dan Arya Bratsena akhirnya tiba di Kahyangan. Dari cermin dewa, para jago dewa ini melihat Prabu Sarpaprasanta dan juga Prabu Kurandageni yang ikut melawan kahyangan bersama saudara seperguruannya itu. Setelah keluar dari Lawang Selamtangkep, mereka langsung menggempur musuh di Repat Kepanasan. Wasi Jaladara melawan Prabu Sarpaprasanta dan Prabu Kurandageni sedangkan Suyudana dan Bratasena melawan pasuka Bumirinengga. Perang berlangsung sangat sengit. Darah para prajurit bertumpahan di Repat Kepanasan. Banyak para Prajurit yang mampu dikalahkan oleh Bratasena dan Suyudana. Sisanya kucar-kacir melarikan diri keluar dari kahyangan.
Wasi Jaladara menjadi jago dewata
Sementara itu Wasi Jaladara yang sudah mulai kewalahan melawan dua raja angkara itu mengeluarkan tombak Nanggala dan begitu Nanggala di pukulkan, kedua raja itu tewas dengan tubuh terbakar. Suasana hening sebentar. Batara Indra kemudian datang mengucapkan terima kasih pada Wasi Jaladara dan murid-muridnya “terima kasih Wsi Jaladara dan para murid atas bantuan kalian. Sebagai bentuk ucapan terima kasih, aku akan menyerahkan Gajah Kyai Puspadentha kepada pendeta agung Jaladara. Gajah ini anak dari Gajah Erawata, kendaraanku. Selain itu pakailah pakaian ini.” Wasi Jaladara kemudian bertukar pakaian dengan busana pemberian batara Indra. Kini Wasi Jaladara nampak berwibawa dan gagah perkasa. Sebagai tanda kenang-kenangan, Batara Narada memberikan nama baru yaitu Raden Baladewa yang bermakna Dewa yang kuat karena jasanya menumpas musuh para dewa. Setelah dirasa cukup, Wasi Jaladara, Prabu Anom Suyudana, dan Arya Bratasena segera kembali ke Gunung Raiwataka. Diam-diam, Batara Indra memerintahkan empat puluh bidadari pilihannya untuk mengiringi Wasi Jaladara karena Batara Indra mengerti bahwa Wasi Jaladara akan segera menikah sehingga biarlah kedatangan bidadari-bidadari itu menjadi hadiah bonus baginya.
Di gunung Raiwataka, Endang Kendengpamali menyambut kepulangan kakaknya. Tanpa diduga-duga datanglah Prabu Kresna dan istrinya Dewi Radha dan Dewi Jembawati ke gunung Raiwataka. Mereka saling berpelukan dan bertanya kabar “adikku, Kanha. Sudah lama kita tak jumpa. Ada angin apa kau mau datang kemari?” “kakang Balarama, aku mendapat perintah dari suara gaib untuk membantumu dan mengajak istriku ke gunung Raiwataka.” Wasi Jaladara terkagum melihat wajah sahabat masa kecil mereka kini menjadi adik iparnya. Ketika diamati lagi, wajah Radha dan Jembawati mirip sekali dengan Endang Kendengpamali. Wasi Jaladara berterima kasih pada adiknya itu karena syarat Prabu Salya menyiapkan patah manten berwajah mirip telah terpenuhi. “tidak perlu sungkan, kakang. Istriku dan adik kita berwajah mirip karena mereka titisan dewi. Menurut dewata, adik kita Bratajaya, lalu Radha dan Jembawati titisan Dewi Sri Laksmi, istri Sri Batara Wisnu." Begitu penjelasan Prabu Kresna. Singkat cerita, mereka segera berangkat ke Mandaraka. Di tengah perjalanan, mereka bertemu seorang pengamen perempuan yang berwajah cantik dan punakawannya yang berwajah ayu. “hei cah ayu, merdu sekali nyanyianmu. Boleh aku tahu namamu?” “saya Werdiningsih dan mereka adalah kelompok saya. Kami pengamen keliling. Kami hendak bertandang ke Mandaraka” Wasi Jaladara lalu mengajak Werdiningsih dan kelompok musiknya untuk menjadi pengiring pernikahannya di Mandaraka. Werdiningsih menyanggupinya dan bersedia ikut.
Di keraton Mandaraka, Prabu Salya dihadap putranya Bambang Rukmarata dan kali ini Arya Burisrawa juga berada di keraton. Disana juga ada Ratna Setyawati dan Dewi Erawati yang sudah di antar pulang oleh Wasi Jaladara beberapa hari lalu. Dewi Erawati datang ke hadapannya karena tadi malam dia mendapat wangsit berupa mimpi “ mohon maaf ayahanda Prabu bila mengganggu.” “tidak apa putriku. Ada hal apa sehingga kau menemui ayahanda. “ Dewi Erawati kemudian bercerita bahawa tadi malam dia bermimpi menikahi pria gagah berwibawa menaiki seekor gajah diiringi empat puluh bidadari. Setelah menyelesaikan ceritanya, tiba-tiba datang seorang prajurit mengirimkan kabar “ampun, Gusti prabu. Saya datang memberi kabar. Telah datang rombongan pengantin memasuki pintu ibukota Mandaraka. Mempelai pria menaiki seekor gajah diiringi patah manten berwajah mirip malah patah mantennya ada tiga orang, lalu dibelakangnya berjalan seorang waranggana yang sangat cantik yang benyanyi sangat merdu, dan dikelilingi empat puluh bidadari. Di antara rombongan itu ada Prabu Kresna, Prabu Anom Suyudana dan Raden Arya Bratasena. Nama mempelai pria itu Wasi Jaladara.” Prabu Salya sangat terkejut, sama sekali tak menyangka kalau Wasi Jaladara yang diremehkannya mampu menyanggupi semua syarat sayembara. Retna Setyawati kemudian meminta suaminya untuk segera menikahkan putri sulung mereka. Akhirnya Prabu Salya datang menjemput mereka. Prabu Salya kemudian bertanya pada Prabu Anom Suyudana “Anakmas Suyudana, bukannya kamu bersaing memperebutkan putriku tapi kenapa kamu malah menjadi pengiring Jaladara?” “Sekarang ini saya menjadi murid guru Jaladara dan perlu gusti prabu ketahui, guru Jaladara adalah Prabu Anom Balarama, kakak dari Prabu Kresna, putra mahkota negeri Mandura.” Prabu Salya terkejut dan sangat malu mendengarnya. Lalu dia menyambut calon menantunya itu dan meminta agar tidak perlu menyamar lagi menjadi pendeta miskin. Keesokan harinya, diselenggarakan akad nikah dan malamnya pesta besar-besaran dilangsungkan selama tujuh hari tujuh malam. Tamu dari para kawula negeri Mandaraka mbanyu mili, berdatangan tak henti-henti. Pada malam hari terakhir, semua tamu undangan telah pulang. Pesta pun selesai.
Malam hari itu, Werdiningsih menyusup ke kamar Dewi Bratajaya. Mula-mula mereka hanya bercakap-cakap. Dewi Bratajaya bercerita “Werdiningsih,sebenarnya sejak bertemu Raden Permadi, sepupuku dari Amarta tempo hari, aku telah jatuh cinta padanya tapi umur kami belum cukup. Apakah dia akan menungguku sampai cukup umur?” “aku yakin dia pasti mau menunggu” Werdiningsih mengatakan itu sambil memegang tangan Bratajaya dan menatapnya dengan tatapan cinta. Dewi Bratajaya menjadi risih dan menghindar. Lalu Werdiningsih berusaha memeluk Dewi Bratajaya. Karena mengira Werdiningsih tidak normal, Dewi Bratajaya mendorongnya  sehinnga tubuh Werdiningsih membentur pintu. Lalu wujud Werdiningsih badar kembali menjadi Raden Permadi. Dewi Bratajaya menjadi ketakutan melihat sepupunya ada di kamarnya. Lalu dia berteriak minta tolong. Prabu Anom Balarama, Prabu Kresna dan Prabu Salya segera datang dan menciduk Permadi. Balarama meminta maaf karena dia tidak tahu kalau sang waranggana bukanlah wanita asli tapi Permadi yang menyamar. Prabu Salya dan Prabu Kresna tertawa kecil lalu Prabu Salya berkata “ Balarama anakku, sebenarnya aku sudah tahu kalau Werdiningsih ini bukan wanita asli. Adikmu, Prabu Kresna yang pertama kali memberitahuku. Lagipula persyaratan dariku juga sangat ambigu. Aku hanya meminta waranggana cantik jadi bila hal ini terjadi itu bukan bagian dari sayembara. Apa boleh buat.” Prabu Salya memaklumkan kesalahan menentunya itu. Raden Permadi juga minta maaf sudah membuat keadaan menjadi kacau.
Keesokan paginya, datanglah adik patih Udawa, Arya Pragota untuk menjemput kakaknya, Balarama untuk kembali ke Mandura. “mohon maaf kakang Balarama, Gusti Prabu Basudewa, ayahandamu telah mendengar kabar tentangmu memintaku untuk menjemput pulang ke Mandura.” Prabu Salya kemudian bertanya “ Balarama, ketika hari pernikahanmu, aku tidak melihat ayah dan ibumu. Kenapa kau tidak mengabari mereka?” “ampun ayahanda mertua, sewaktu saya menjadi pendeta juga tidak mengabari mereka. Saya sendiri minggat untuk mencari bekal ilmu sebagai raja. Jadi untuk apa saya mengabari mereka. Ayahanda mertua juga dulu pasti juga merasakannya.” Prabu Salya tersenyum mendengar penuturan menantunya yang lugas itu karena teringat masa mudanya dulu, sering diusir ayahnya dan pergi mengembara mencari ilmu. Prabu Salya dan Ratna Setyawati memutuskan ikut bersama putri dan menantunya itu ke Mandura.
Pelantikan Balarama menjadi raja Mandura
Singkat cerita, Prabu Anom Balarama bersama Dewi Erawati telah tiba di keraton Mandura. Begitu juga Prabu Salya, Ratna Setyawati, Prabu Kresna, dan rombongan lainnya. Prabu Basudewa dihadap permaisuri Dewi Rohini, Dewi Dewaki, dan Dewi Badrahini sangat bahagia mendengar kedua putranya telah menikah. “Putraku Balarama, aku sangat bangga atas keberhasilanmu menjadi jago dewata lalu mendapat jodohmu dan putraku Kresna, aku sangat bahagia. Kau telah mewujudkan doa leluhur kita, Dewi Sinta. Di hari bahagia ini, aku, Basudewa putra Kuntiboja, akan menyerahkan takhta ini kepada putraku, Balarama.”  Di hari berikutnya, pesta penobatan diselenggarakan. Prabu Anom Balarama di lantik sebagai raja kerajaan Mandura yang baru dengan nama gelarnya Prabu Baladewa dengan patihnya Arya Pragota, anak ketiga Niken Sagopi sebagai patih dalam dan Arya Prabawa, putra Empu Saragupita sebagai patih luar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar