Kamis, 25 Juli 2019

Arya Setyaki Lahir


Salam semua, penulis kali ini akan menceritakan kelahiran Arya Setyaki, putra mahkota Lesanpura yang kelak mengabdi pada sepupunya, Prabu Kresna dan akan menjadi ksatria hebat di Perang Baratayudha. Sumber yang penulis pakai berasal dari blog albumkisahwayang.blogspot.com dan beberapa sumber lain yang tersebar di internet. 
Pada zaman dahulu kala, di tengah samudera tersebutlah seekor kepiting raksasa. Kepiting ini raja para kepiting, ajudan Batara Rekathatama yang bernama Prabu Yuyudana. Disamping itu, dia adalah pemuja Wisnu yang sangat taat. Menjelang akhir kehidupannya, Prabu Yuyudana bersemedi dan berharap untuk menjadi tangan kanan Batara Wisnu. Karena ketekunannya bertapa, kahyangan Jonggring Saloka bergoncang. Kawah Candradimuka bergolak memuntahkan laharnya. Para bidadari dan bidadara lari pontang-panting karena ada gara-gara. Bumi gonjang-ganjing, langit kolap-kalip. Ombak di samudera bergelora dahsyat. Angin bertiup sangatlah kencang hingga membuat buih-buih samudera berterbangan.
Prabu Yuyudana bertemu Batara Wisnu dan Batara Resi Narada
Lalu turunlah Batara Narada dan Batara Wisnu ke tempat Prabu Yuyudana. “raja kepiting yang hebat. Hentikan semedimu. Tapa brata mu telah diterima Sanghyang Widhi. Apa yang membuatmu keras sekali bertapa brata, tuan raja kepiting?” “mohon ampun, pukulun Sang Narada. Hamba hanya ingin segera moksa, agar bisa menjadi tangan kanan dewa pujaan hamba, Ida Batara Wisnu.” Batara Wisnu kemudian mendekat dan berkata kepadanya “permintaanmu akan kukabulkan tapi tidak di saat ini. Tunggulah aku menitis pada salah satu keturunan Wangsa Yadawa. Kelak kau akan menjadi tangan kananku dalam penitisanku saat itu. Untuk sementara ini tinggalah di alam penantian.” Demikianlah, Prabu Yuyudana kemudian moksa dan jiwanya menunggu di alam penantian, menanti sang Wisnu menitis pada salah satu keturunan Wangsa Yadawa.
Ratusan tahun kemudian, di kerajaan Lesanpura, Arya Ugrasena yang kini menjadi raja bergelar Prabu Setyajid dihadap para menteri, punggawa, dan permaisurnya, Dewi Wresini juga putri sulungnya, Dewi Setyaboma. Mereka membicarakan tentang pesta siraman tujuh bulan yang akan diselenggarakan tiga hari lagi. Tiba-tiba Dewi Wresini menyampaikan permintaannya “maaf, kanda Prabu. Maaf bila memotong tiba-tiba. Aku punya sebuah permintaan. Aku ingin menunggangi seekor harimau putih yang bisa bicara saat siraman besok.” Prabu Setyajid terkejut mendengar istrinya mengidam permintaan itu. Lalu di saat yang tepat datanglah para keponakan Prabu Setyajid. Mereka adalah Prabu Baladewa, Prabu Kresna, Prabu Yudhistira, dan Raden Permadi. Rupanya, Prabu Setyajid masih belu sadar kalau ia Kresna adalah Gowinda yang dulu mengembalikan kalung Shamantaka waktu itu, tapi Prabu Kresna memilih merahasiakannya dan akan ia ungkap nanti. Setelah beramah tamah, Prabu Setyajid menceritakan tentang idaman sang istri yang ingin naik harimau putih yang bisa berbicara. Prabu Kresna mendamaikan hati pamannya “paman prabu, jangan berkecil hati dengan permintaan bibi prameswari. Aku mendapat firasat bila anak yang dikandung bibi prameswari bakal jadi orang besar. Jadi tak salah bila sekarang idamannya tidak biasa.” Kemudian Raden Permadi mendapatkan ide untuk memasang grogol di hutan Harsawana. Siapa tahu harimau itu ada disana. Prabu Setyajid setuju dan segera memerintahkan para prajurit untuk menemani Raden Permadi memasang grogol di hutan Harsawana.
Di tempat lain, di pinggir kerajaan Lesanpura, Kerajaan Swalabumi berdiri. Rajanya bernama Prabu Satyasa atau lebih sering disebut Prabu Tambakyuda sedang gandrung dengan Dewi Wresini dan ingin memboyongnya ke Swalabumi. Sehubungan dengan idaman Dewi Wresini yang ingin menunggangi harimau putih yang bisa bicara,maka Prabu Tambakyuda mengutus patihnya, Singamulangjaya untuk membawa Dewi Wresini mau atau tidak mau. Singkat cerita Patih Singamulangjaya berangkat ke Lesanpura.
Di hutan Harsawana, Raden Permadi, para punakawan dan para prajurit telah memasang jebakan grogol. Lalu dari arah dalam hutan, muncul seekor harimau putih. Beberapa prajurit dikejarnya lalu ketika mengejar prajurit itu, harimau itu masuk ke jebakan dan meronta-ronta dengan bahasa manusia. “Tolong! Tolong! Lepaskan Aku!. Kalau aku dilepaskan, aku akan menurut.” Raden Permadi kemudian memerintahkan para prajurit untuk melepaskannya. Sesuai janjinya, setelah dilepaskan harimau itu menjadi sangat jinak dan mau di bawa oleh Raden Permadi ke Lesanpura.
Beberapa hari kemudian, pesta siraman tujuh bulan di selenggarakan. Pesta berlangsung meriah. Selain dari Amarta ada Prabu Yudhistira dan Raden Permadi, turut datang pula Arya Bratasena untuk memeriahkan. Setelah melakukan prosesi siraman, sang permaisuri Prabu Setyajid itu duduk diatas harimau putih idamannya. Kucing besar itu nampak begitu anteng dan jinak ketika dinaiki Dewi Wresini. Namun, setelah mereka semua lengah, tiba-tiba harimau putih itu kabur membawa Dewi Wresini yang masih ada dipunggungnya. Prabu Setyajid dan tetamu undangan terkejut melihat sang harimau berhasil kabur dan membawa permaisuri Lesanpura. Tanpa banyak bicara lagi, Raden Permadi dan Prabu Kresna meminta izin pada Prabu Setyajid untuk mengejar harimau itu.
Harimau yang melarikan Dewi Wresini terus berlari jauh ke dalam hutan Harsawana. Dewi Wresini ketakutan karena mengira dia akan di mangsa. Rasa takut itu membuat bayi yang dikandungnya berontak. “tuan harimau, tolong berhenti, bayi ku berontak ingin keluar.” Sang harimau mengerti lalu berhenti di tepi sendang didalam hutan. Sang harimau kemudian berubah menjadi patih Singamulangjaya. Rupanya itu hanya siasat untuk membawa kabur Dewi Wresini ke Swalabumi. Tanpa disadari, Batara Narada datang bersama jiwa Prabu Yuyudana yang telah menanti selama ratusan tahun untuk menjadi tangan kanan Batara Wisnu. Dewi Wresini merasa kesakitan perutnya tanda akan melahirkan. Disaat yang sama, jiwa Prabu Yuyudana menitis ke rahim sang permaisuri itu sehingga bersatulah dengan si jabang bayi. Patih Singamulangjaya mencoba untuk menggugurkan kandungan yang akan dilahirkan Dewi Wresini dengan memukul perutnya. Namun semakin dipukul, Dewi Wresini tidak kesakitan dan sang jabang bayi justru lahir dengan selamat. Bayi berkelamin laki-laki itu nampak sehat. Karena berpikir Prabu Tambakyuda hanya butuh Dewi Wresini tanpa bayinya, Patih Singamulangjaya mencoba membunuh sang jabang bayi. Dewi Wresini memohon sambil menangis agar anaknya jangan dibunuh. Namun permintaannya tak dihiraukan. Patih Singamulangjaya mulai memukuli si bayi namun anehnya si jabang bayi kulitnya sekeras kulit kepiting dan kini dapat merangkak. Lalu si jabang bayi diangkat lalu dibantingnya tapi si bayi tidak terluka sedikitpun malah si jabang bayi berubah menjadi anak berusia tujuh tahun yang dapat berjalan dan berlari. Dewi Wresini memanfaatkan lengahnya Patih Singamulangjaya dan berusaha kabur. Karena kesal, Patih Singamulangjaya membanting dan menghajar si anak hingga terpental ke balik semak-semak. Bukannya mati, justru si anak semakin kuat dan justru tangan si Patih kesakitan. Lalu Patih Singamulangjaya berubah lagi menjadi harimau lalu mencakar dan menendangnya hingga terpental jauh. Tanpa disadari, si anak berubah menjadi pemuda berusia sembilan belas tahun berkumis dan berjanggut tebal. Dewi Wresini yang berhasil kabur menyaksikan peristiwa ajaib itu lalu mendekati putranya yang tumbuh dewasa dalam sekejap. Pemuda itu kemudian bertanya “hei, perempuan. Siapa kamu?” “aku ibumu, anakku. Atas perlindungan Dewata, kau telah tumbuh dewasa dalam sekejap.” Sang pemuda itu tak mengerti.
Arya Yuyudana Setyaki
Di saat yang sama, Batara Narada menampakkan diri di hadapan Dewi Wresini dan putranya lalu memakaikan pakaian pada putra Dewi Wresini.” Cucuku Wresini, putramu adalah orang pilihan yang dipilih oleh Batara Wisnu. Didalam tubuhnya telah menitis jiwa raja kepiting pemuja Batara Wisnu yang taat. Dia akan menjadi orang hebat di masa depan bersama keponakanmu, Kresna dan para Pandawa. Namailah dia Yuyudana.” “baik pukulun, Batara Resi Narada.” Setelah Batara Narada menghilang kembali ke kahyangan, Patih Singamulangjaya menemukan Dewi Wresini yang tadi sempat kabur dan hendak menangkapnya. Arya Yuyudana kembali melawan penculik ibunya itu. Setelah sekian lama bertarung, akibat tamparan Arya Yuyudana, sang patih itu tewas seketika lalu ruhnya bersatu dengan Arya Yuyudana.
Dewi Wresini sangat bangga dengan kehebatan putranya itu. Singkat cerita, mereka harus kembali ke Lesanpura untuk memberitahu kabar gembira ini. Di tengah perjalanan, mereka diserang oleh Raden Permadi. Di kejauhan, Prabu Kresna dan Ki lurah Semar hanya mengawasi. Arya Yuyudana memaki mereka “ hei,apa yang kau lakukan. Kau mau melukai ibuku??” raden Permadi  menyangkalnya “Hei tutup mulutmu. kau pasti penculik bibi prameswari Dewi Wresini. Lepaskan dia! Kakang Madawa, bantu aku.” Prabu Kresna tak mau gegabah, lalu nampak berjalan tenang lalu melerai perkelahian mereka. Di saat yang sama Batara Narada dan Ki Lurah Semar kembali muncul dan menjelaskan bahwa mereka itu bersaudara sepupu. Setelah Batara Narada menghilang, Dewi Wresini menceritakan apa yang dialaminya. Raden Permadi dan Prabu Kresna terkesan dengan pengalaman bibi mereka. Mereka pun memeluk Arya Yuyudana dan kembali melanjutkan ke Lesanpura.
Sesampainya di Lesanpura, Prabu Setyajid menerima kedatangan istri dan para keponakannya. Dia bersyukur istrinya dapat diselamatkan.lalu dia bertanya “istiku, siapa pria muda yang disebelahmu? Dia terlihat mirip denganku waktu muda dulu.” “suamiku, ini anak kita.” Prabu Setyajid terkejut dan menanyakan apa yang terjadi sebenarnya. Dewi Wresini menceritakan bagaimana dia diculik patih Swalabumi yang menyamar jadi harimau, bagaimana dia melahirkan dan bagaimana putra mereka bisa tumbuh dewasa dalam sekejap. Prabu Setyajid ragu akan kebenaran cerita itu. Sebelum dia berbicara, tiba-tiba datang seorang prajurit mengabarkan pasukan Swalabumi mengamuk di dekat kotaraja. Prabu Setyajid geram lalu memerintahkan para Prajurit. Namun Arya Yuyudana mendekati ayahnya “ayahanda, biar aku saja yang memimpin dan menghadapi mereka. Bila aku berhasil mengalahkan mereka, jangan ragukan lagi kesaksian ibunda prameswari.”
Arya Yuyudana berangkat ke medan pertempuran bersama Arya Bratasena. Pertempuran di alun-alun antara Lesanpura dengan Swalabumi berlangsung sengit. Dengan bantuan Arya Bratasena, prajurit Lesanpura berhasil memukul mundur prajurit Swalabumi sehingga mereka kucar-kacir. Sementara itu, Prabu Tambakyuda terus memukul-mukul tubuh Arya Yuyudana dengan gada miliknya. Anehnya, bukan tubuh Arya Yuyudana yang jatuh terpental malah gada milik Prabu Tambakyuda yang terpental. Karena tak bersenjata lagi, Prabu Tambakyuda menantang Arya Yuyudana bertanding tangan kosong. Setelah beberapa lama, Prabu Tambakyuda dibanting lalu kepalanya dibentur-benturkan ke sebuah batu besar hingga tewas. Secara ajaib, ruh Prabu Tambakyuda bersatu dengan kekuatan fisik Arya Yuyudana. Prabu Setyajid yang melihat dari kejauhan memeluk Arya Yuyudana dan mengakuinya sebagai putranya. “putraku, kau berhasil. Dikarenakan keberaniaanmu, kau akan dijuluki sang Wresniwira. Hari ini pula, aku mengangkatmu sebagai putra mahkotaku dan ku namai kau Pangeran Setyaki.” Sorak sorai membahana luar biasa diantara para prajurit dan tentara yang ada disana. Arya Yuyudana akhirnya dikenal sebagai Arya Setyaki. Agar kesaktiannya terarah, Prabu Setyajid meminta Raden Permadi untuk membimbing putra mahkotanya itu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar