Senin, 29 Juli 2019

Jati Diri Karna Suryaputra (Alap-alapan Srutikanti)


Salam readers, penulis kali ini akan menceritakan pernikahan Suryaputra (Adipati Karna) dengan putri kedua Prabu Salya, Dewi Srutikanti. Di sini juga akan diceritakan bagaimana Suryaputra mengetahui jati dirinya sebagai kakak tertua para Pandawa. Di Mahabharata versi India, Karna mengetahui jati dirinya dari Krishna Basudeva saat tiga hari menjelang Baratayudha, namun penulis  akan mengadaptasi versi Jawa dimana Karna dan Arjuna yang sedang bertarung memperebutkan Srutikanti dilerai dan dibabar jati diri mereka oleh Batara Narada. Penulis menggunakan sumber dari Kitab Mahabharata karya Mpu Vyasa, kitab Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita, blog albumkisahwayang.blogspot.com, Serial kolosal Indonesia Karmapala, dan serial kolosal India Mahabharat Starplus yang kemudian sedikit diubah dan dikembangkan dengan imajinasi penulis.
Desa Awangga awalnya hanya sebuah desa kecil di pinggiran Hastinapura. rata-rata penduduk disana bekerja sebagai kusir dan pengrajin kereta kencana. Bahkan kereta Bandhang Angin dari Hastinapura adalah dibuat dari kayu terbaik dari Awangga dan dibuat oleh pengrajin-pengrajin dari Awangga. Kepala desa itu, Ki Adiratha dulunya kusir pribadi Prabu Dretarastra. Putra sulung dan bungsunya, Aradeya dan Adimanggala tak tertarik untuk menjadi kusir kereta. Mereka ingin belajar menjadi ahli perang sehingga bergurulah pada Batara Ramabargawa (Parasurama) di hutan Jatiraga. Sekembalinya dari berguru, Aradeya bertandang ke pendadaran di Tegal Kurusetra. Disana Aradeya menantang Permadi yang digadang-gadang sebagai satria tanpa tanding. Karena masalah kasta, Suyudana, putra sulung dari Prabu Dretarastra membelanya dan membantunya untuk mengangkat derajat orang tua Aradeya menjadi Adipati dan menaikkan status Desa Awangga menjadi Kadipaten. Atas rasa terima kasih, Aradeya bersedia melindungi Prabu Anom Suyudana dan menjadi sahabatnya. Sejak peristiwa itu, Aradeya menggunakan nama kelahirannya yaitu Suryaputra.
Begitulah kisah yang melatarbelakangi berdirinya Kadipaten Awangga. Malam itu, Raden Suryaputra bermimpi didatangi seorang dewa. Dewa itu berkata bahwa dia adalah putra angkat Adipati Adiratha dan Nyai Rada. Dia sebenarnya seorang Wasu (manusia setengah dewa). Setelah itu dia terbangun dengan keringat bercucuran lalu mendatangi ibunya, Dewi Rada “ibu, aku tadi bermimpi didatangi seorang dewa. Dewa itu berkata bahwa ayah dan ibu bukan orang tua kandungku dan berkata bahwa aku adalah seorang wasu yang dibuang. Benarkah itu, ibu?” “tidak, anakku. Kau adalah putraku. Apapun yang terjadi kau tetap putraku. Bahkan dewa pun merestuimu sebagai putra kami saat kau kami temukan hanyut di bengawan Gangga waktu kau masih bayi.” Perkataan Dewi Rada itu membuat Raden Suryaputra terkejut dan meyakinkan diri bahwa dia memang bukan putra kandung Adiratha dan Rada tapi dia masih ada keraguan. Keesokan hainya, Dewi Rada terkejut mendapati Suryaputra dan Adimanggala telah kabur dari kadipaten.
Dewi Rada segera menghadap suami dan kedua putranya, Arya Druwa dan Raden Jaya. Belum selesai Dewi Rada menghadap, datang seorang prajurit membawa berita gawat “Ketiwasan, Adipati. Telah datang seorang pemberontak bernama Kalakarna dan Karnamandra dari hutan Nastiti. Mereka akan menyerang kadipaten ini dan mendudukinya. Kini mereka sudah sampai di gerbang kota” Adipati Adiratha segera memerintahkan prajurit dan putranya, Raden Jaya untuk ke gerbang kota. Sementara dia meminta istrinya dan Arya Druwa mencari suaka ke Hastinapura.”istriku, kau dengan Druwa segeralah ke Hastinapura. kabarkanlah hal ini pada Prabu Dretarastra.” Tanpa ba-bi-bu lagi, mereka segera melarikan diri ke Hastinapura.
Pertempuran di gerbang Awangga berlangsung sengit. Raden Jaya dan Adipati Adiratha berusaha menghalau para pemberontak itu. Namun dua pemberontak itu terlampau sakti sehingga mereka mampu mengalahkan Adirata dan Raden Jaya. Sang adipati dan putranya dimasukan ke penjara. Disana mereka tidak sendiri. Ada Dewi Rada dan Arya Druwa yang kepergok hendak kabur mencari suaka. Kalakarna tertawa kegirangan dan mengangkat dirinya sebagai raja baru Awangga “hahahaha..... mulai hari ini, aku adalah raja Awangga dan panggil aku Prabu Kalakarna. Adikku, Karnamandra akan menjadi patihku. Camkan itu.” Awangga berubah menjadi negeri penuh teror sejak Kalakarna merebutnya dari Adiratha. Para raksasa yang durjana bebas untuk memburu manusia-manusia tak berdosa dan mengacaukan perekonomian di negeri itu. Korupsi dan penyuapan merajalela. Pada suatu hari, Prabu Kalakarana bercerita “adikku, Karnamandra. Tadi aku bermimpi menikahi seorang putri cantik dari Mandaraka. namanya Srutikanti. Kini kita sudah memiliki kekuasaan dan segalanya. Aku ingin kau culik putri itu.’ “baik kakang prabu. Permintaanmu adalah perintah bagiku. ” Singkat cerita, Patih Karnamandra segera bertolak menuju Mandaraka untuk menculik sang putri pujaan kakaknya.

Raden Suryaputra dan Arya Adimanggala yang dicari-cari ternyata minggat dari kadipaten untuk menyepi di hutan Cahyapranawa. Raden Suryaputra sengaja minggat ingin mendapatkan pencerahan soal mimpinya. Hari demi hari berlalu, pekan demi pekan berganti namun mereka tetap bertapa brata. Sementara itu di kahyangan, udara terasa begitu gerah. Kawah Candradimuka bergejolak memuntahkan lahar panasnya. Para bidadari dan bidadara pontang-panting kepanasan, beramai-ramai turun ke bumi. Di bumi juga terjadi huru-hara disekitar tempat Raden Suryaputra dan Adimanggala bertapa. Bumi gonjang-ganjing, langit kolap-kalip. Awan menjadi gelap dan badai turun dengan hebat. Angin bertiup begitu kencangnya sehingga menerbangkan pepohonan, rumput dan kerikil karena tekunnya mereka bertapa. Lalu dari balik awan tebal di langit, turunlah cahaya seterang matahari ke bumi. Lalu cahaya itu memunculkan sosok seorang dewa tampan dan bercahaya.
Batara Surya membeberkan jati diri Suryaputra.
Dialah Batara Surya, sang dewa matahari.“hai Suryaputra, apa keperluanmu datang ke hutan ini dan bertapa disini?” “ampun, pukulan Ida Batara Surya. Hamba hanya ingin mendapat kejelasan atas mimpi hamba. Hamba bermimpi bahwa saya bukan putra kandung Adiratha dan Rada. Mimpi itu juga berkata bahwa saya adalah wasu.” Batara Surya terdiam sejenak lalu berkata “Suryaputra, kau memang bukan putra kandung Adiratha dan Rada. Mereka berdua mandul tak bisa berketurunan. Dulu mereka menemukanmu hanyut di bangawan Gangga saat kau masih bayi. Karena kau ditemukan saat pagi hari,mereka memberimu nama Suryaputra namun karena agar tak membuat curiga tetangga mereka memanggilmu Aradeya.” Raden Suryaputra tertegun menyadari hal itu lalu dia bertanya lagi “ lalu siapakah kedua orang tua kandung hamba, pukulun?” Batara Surya terdiam sejenak karena aib yang Ia tutup rapat harus dibuka lalu melanjutkan ceritanya “anakku, aku adalah ayah kandungmu dan ibumu bernama Prita.” Raden Suryaputra terkejut menyadari bahwa dewa yang diajaknya bicara adalah ayahnya sendiri. Maka dia segera berlutu dan memanggil Romo kepadanya. “ampun, Romo Batara, terimalah sembah sujud dari putramu. Lalu bagaimana Romo bisa bertemu kanjeng ibu?” dengan malu-malu, Batara Surya bercerita “anakku, dahulu ibumu, Prita adalah putri negara Mandura. Dia berguru pada Resi Durwasa yang hebat. Karena ketekunannya belajar, Resi Durwasa memberikannya ajian pemanggil dewa, Aji Punta Wekasing Rahsa Tunggal. Pada suatu pagi, ibumu merapal ajian itu sambil membayangkan rupaku. Akupun datang dalam alam mimpi dan bertanya apa keperluannya namun dia menjawab ingin coba-coba saja. Aku pun marah merasa dipermainkan namun kemarahanku menjadi bumerang buat kami. Tanpa sadar, nafsu mengendalikan kami. Ibumu terpana menatapku, begitupun aku. Pertahanan kami jebol, lalu aku membelainya dalam sinar suciku. Sekembalinya ku ke kahyangan, ibumu hamil. Beberapa hari kemudian, kau lahir dengan selamat atas kemurahan Sanghyang Widhi. Kau lahir dengan memakai anting Suryakundala dan baju tamsir Suryakawaca warisan dariku. Oleh ibumu, kau diberi nama Karna Basusena. Kakekmu, Prabu Kuntiboja merasa malu mendapati cucunya yang lahir didapat dari hasil zina lalu datanglah Resi Durwasa. Resi Durwasa mendapat firasat bahwa kau akan jadi orang besar bila dilarung ke bengawan Gangga. Akhirnya atas perintah kakekmu, ibumu melarungmu ke bengawan Gangga. Ibumu sangat sedih sehingga pingsan. Hingga pada suatu pagi, kau pun ditemukan Adiratha dan Rada yang saat itu sedang membersihkan kereta kuda.”
Suryaputra sangat terharu mendengar cerita itu. selama ini, Adipati Adiratha dan Dewi Rada telah membesarkannya dengan penuh kasih dan sayang. Namun dia bertanya lagi karena kata Batara Surya, kedua orang tua asuhnya itu mandul tapi bagaimana mereka punya putra bernama Druwa dan Jaya. Batara Surya menjelaskan bahwa mereka juga bukan anak kandung mereka. Mereka tercipta dari tembuni dan tali pusar Suryaputra yang hendak dikubur lalu berubah akibat doa Resi Radi, kakek angkatnya. Kemudian Adimanggala bertanya pada Batara Surya “Ampun pukulun Batara, saya mahu bertanya. Dahulu ketika hamba masih di Widarakandang terdengar desas-desus bahwa saya dan Pragota hanya anak tiri ayah Nanda. Apakah itu benar?” Batara Surya menjelaskan pada Adimanggala bahwa dia memang bukan putra kandung Nanda Antagopa “Adimanggala putraku, ketahuilah bahwa itu benar. Kau bukan anak kandung dari Nanda Antagopa. Dahulu ketika setahun kelahiran kakakmu, Larasati. Arya Ugrasena, adik Dewi Prita datang menjenguk Kakarasana, Narayana, dan Rara Ireng. Mereka pun langsung jatuh cinta dan terlibat cinta satu malam. Beberapa bulan kemudian, ibumu Yasoda hamil lalu melahirkan dirimu dan Pragota.” Arya Adimanggala kini mengerti kenapa dia punya banyak saudara dan Suryaputra yang selama ini bersamanya adalah sepupu sendiri. Raden Suryaputra menjadi semakin penasaran “Romo batara, dimanakah ibuku berada sekarang?”  Batara Surya tak ingin mengatakannya karena akan membuatnya syok. Namun Raden Suryaputra terus mendesak. Akhirnya Batara Surya buka suara “baiklah, putraku. Prita adalah nama masa kecil dari Dewi Kunthi, ibu para Pandawa. Ibumu sekarang ada di Amarta.”
Bagai disambar petir, Raden Suryaputra sangat syok dan terkejut bukan kepalang. Teringatlah dia saat dengan pongahnya menantang Permadi di saat pendadaran di Tegal Kurusetra. Dia syok karena telah menantang adiknya sendiri waktu itu. Raden Suryaputra kemudian bersandar di batang pohon dan terisak menahan tangis karena merasa takdirnya telah dipermainkan Sanghyang Widhi. Batara Surya menenangkan hati putranya itu dan berkata bahwa takdir adalah ketetapan bahkan para dewa pun tak luput dari takdir yang telah digaris Sanghyang Widhi. Tak perlulah disesali begitu dalam karena setiap peristiwa pasti ada hikmah dibaliknya. Batara Surya menyarankan putranya itu untuk menikahi jodohnya. Batara Surya menjelaskan bahwa jodoh putranya itu adalah putri kedua Prabu Salya di Mandaraka yaitu Dewi Srutikanti. Tapi raden Suryaputra berkata "tapi ayahanda batara, aku sudah punya isteri benama Wrusali. Apa yang harus aku katakan padanya nanti kalau aku menikah lagi" Batara Surya berkata kalau ia dan Srutikanthi adalah pasangan sejiwa juga karena ia titisan Surya, maka isteri-isteri sang ayah juga ikut menitis kepadanya. Wrusali merupakan titisan Dewi Chayya (Ngruni) sedangkan Srutikanti adalah titisan Dewi Sangya (Ngruna). Meski ia akan berisri dua, cinta Suryaputra kepada tidak akan berat sebelah. Raden Suryaputra bersyukur mendengarnya. ia bejanji akan tetap mencintai Wrusali dan juga menyayangi Srutikanti. Sebelum pergi, Batara Surya memberikan hadiah berupa sebuh kereta kencana bernama Jatisura dan sebuah keris bernama Kaladete. Setelah memberikan kereta itu, Batara Surya naik kembali ke kahyangan para dewa. Raden Suryaputra kemudian Arya Adimanggala segera naik ke kereta. Begitu dilecut, kereta itu bergerak begitu cepat. Kuda-kudanya nampak begitu sehat dan cergas dalam berlari.
Di tempat lain, Raden Permadi bersama muridnya, Arya Setyaki hendak bertandang ke Mandaraka. Mereka mendengar kabar bahwa Prabu Anom Suyudana akan ditunangkan dengan Dewi Srutikanti. Sesampainya disana, telah datang pula kakaknya, Prabu Yudhistira dan adiknya Nakula-Sadewa. Sejak kedatangannya, Permadi dibuat terheran kenapa sejak tadi Suyudana, para Kurawa dan keluarga Mandaraka memandanginya. “itu dia. Dia penculik kakang mbok” teriak Rukmarata dan Burisrawa. Raden Permadi terkejut, baru saja datang sudah dikira penculik “Apa maksud semua ini? Saya baru datang tapi dikira penculik. Ada apa dengan kalian” “tak usah bersembunyi dalam kepolosan, Permadi. Aku mendengar dari Rukmarata dan Burisrawa bahwa kau menculik Srutikanti, calon tunanganku. Mereka melihat bahawa ada seorang pemanah tampan datang kemari membawa lari Srutikanti dan semua orang tau bila kau adalah pemanah yang berwajah tampan. Beritau aku, kemana kau sembunyikan dia!?” Suyudana naik pitam lalu menyerang Permadi. Sedangkan Burisrawa yang kesal karena kakaknya diculik melampiaskan kekesalannya dengan menyerang Setyaki.
Pertarungan mereka sangat sengit. Pukulan gada Kyai Inten milik Suyudana yang mengenai Busur Gandiwa berhasil ditangkis Permadi. Begitupun pukulan gada Wesi Kuning milik Setyaki berhasil melukai Arya Burisrawa dan membuatnya menyerah. Melihat Burisrawa menyerah, Suyudana semakin mendidih darahnya lalu dia merapal ajian Sahashra Maushal lalu dipukulkan gadanya ke bumi dengan keras.
Prabu Kresna dan Ki Lurah Semar melerai pertengkaran Suyudana dan Permadi
Meskipun getaran akibat pukulan gada Suyudana amat kuat, Permadi mencoba bertahan. Keraton Mandaraka ikut bergoncang hebat karenanya. Sebelum hal yang tak diinginkan terjadi, Prabu Salya dan Prabu Yudhistira berusaha melerai namun hal ini tak digubris Suyudana maupun Permadi. Keadaan mereka semakin gawat, baik Permadi maupun Suyudana sama-sama terluka karena perkelahian yang tak perlu. Tiba-tiba Permadi merapal ajian Sahashra Himavarsha dan setelah menembakkan panahnya, beberapa panah berbentuk halilintar es mengurung Suyudana namun rupanya Permadi lupa memperhitungkan dampak yang akan terjadi selanjutnya. Keraton Mandaraka akan ikut terkena dampaknya. Panah-panah halilintar es itu akan menghancurkan seluruh Mandaraka dan menyebarkan udara dingin ke seluruh pulau Jawa selama puluhan pekan. Untunglah di saat itu, Ki lurah Semar dan Prabu Kresna datang. Sebagai titisan Batara Wisnu dan Batara Ismaya yang turun ke bumi, mereka segera menghentikan pertarungan yang tak perlu itu. Setelah memohon diri pada Prabu Salya dan Prabu Yudhistira untuk melerai mereka, Prabu Kresna segera mengeluarkan Cakra Widaksana miliknya dan seketika panah-panah berbahaya itu terserap oleh putaran Cakra Widaksana. Meskipun demikian hujan panah es itu tak henti-hentinya berjatuhan dari langit. Ki lurah Semar lalu meminta Permadi menghentikan panah-panahnya“Permadi, kendalikan dirimu. Jiwa muda boleh bergejolak tapi jangan sampai terbawa emosi yang tidak perlu. Cepat hentikan ajianmu dan tarik panah-panah itu.” Permadi yang terkejut akan kedatangan sang pamong segera menghentikan ajian itu dan seketika panah-panah itu menghilang. Prabu Anom Suyudana pun terbebas dari kurungan panah es.
Walaupun semua masih terkendali, rupanya Suyudana masih menganggap Permadi penculik Srutikanti. Akhirnya Permadi tak mampu menahan marahnya “kakang Prabu Anom, akan ku buktikan kalau bukan akau penculik rayi dewi Srutikanti.” Permadi disertai Setyaki segera meninggalkan Mandaraka untuk mencari siapa yang mencemarkan namanya. Karena dirasa kondisi masih kurang kondusif, Prabu Puntadewa dan si kembar memohon izin untuk kembali ke Amarta. Singkat cerita, mereka telah memasuki hutan Cahyapranawa. Di sana mereka melihat sebuah kereta kencana yang indah cemerlangan melintas. Kereta itu dikusiri Arya Adimanggala dan di kursi penumpang kereta itu duduklah Raden Suryaputra dan Dewi Srutikanti. Baik Dewi Srutikanti maupun Raden Suryaputra, mereka nampak saling mencintai. Mereka duduk bersanding di kursi penumpang sambil saling berpelukan. Mereka segera mengejar kereta itu.
Setelah mencari keberadaan kereta itu, mereka menemukannya dan mencegat mereka. Raden Permadi segera meminta Suryaputra untuk menyerahkan Srutikanti “Suryaputra, kau mencilik rayi Srutikanti. Berikan dia padaku untuk keserahkan ke orangtuanya!” “tidak akan, rayi Permadi! Dia jodohku. Bila kau ingin membawanya kembali, langkahi mayatku!” Permadi marah dengan penolakan itu lantas menyerang Suryaputra. Begitupun Arya Setyaki, dia melawan Arya Adimanggala. Dewi Srutikanti berusaha melerai mereka namun tak bisa. Pertarungan kedua ksatria tampan itu tak dapat dilihat oleh mata biasa karena lajunya. Pertandingan panah, tanding tangan kosong, semuanya sama. Tak ada yang kalah maupun yang menang. Sementara itu di kahyangan para dewa, Batara Guru melihat dari trinetra-nya. Pertarungan kedua saudara se-ibu nampaknya hanya akan berakhir imbang.”kakang Narada lihatlah mereka berkelahi lagi. Lerai dan ingatkan mereka bahwa mereka masih saudara.” “baik, adhi Guru.” Batara Narada segera turun ke bumi melerai mereka. Di tengah jalan, Batara Narada bertemu dengan Ki Lurah Semar yang mencari bendaranya.”Salam kakang Ismaya. Sepertinya kau sedang mencari Permadi. Mari ikut aku. Aku tau dimana dia berada” “ayo, adhi Narada.”
Pertarungan itu terus berlanjut. Kini mereka beradu keris. Permadi menggunakan Keris Pulanggeni dan Suryaputra menggunakan Keris Kaladete. Serangan mereka sangat kilat bahkan tak terlihat mata hingga pada suatu serangan, keris Pulanggeni berhasil melukai pelipis kiri Suryaputra sehingga bagian itu menjadi pitak. Di saat bersamaan itu terdengar suara dari langit “Hentikan!” lalu dari langit turunlah Batara Narada dan Ki Lurah Semar.”Ndoro berdua, jangan berkelahi lagi. Kalian kakak adik haruslah rukun.” “Ki Lurah, Permadi tak mengerti. Bagaimana mungkin Suryaputra adslah kakakku?” Batara Narada kemudian menceritakan pada Permadi “Permadi, ketahuilah. Suryaputra adalah putra tertua ibumu dengan Batara Surya akibat Ajian Punta Wekasing Rahsa milik ibumu. Oleh perintah kakekmu, Kuntiboja dan Resi Durwasa, ibumu melarung kakakmu ke Bengawan Gangga sehingga diambil putra oleh Adiratha dan Rada.” Raden Permadi seketika tercekat mendengarnya. Selama ini orang yang dianggapnya lawan yang harus dibasmi itu kakaknya sendiri. Dengan perlahan-lahan dan sedikit wajah menahan tangis, Permadi sungkem di hadapan Suryaputra “Terimalah sembah sungkemku, kakang. Maafkan kebodohan adikmu ini yang tidak menyadari ini semua.” “ahh sudahlah, adhi Permadi. Mari kita bermaafan agar dendam yang dulu segera luntur.” Mereka kemudian berpelukan dengan erat. Ki Lurah Semar juga melerai Adimanggala dan Setyaki.”Setyaki, ketahuilah yang kau serang itu kakakmu sendiri. Dua puluh tahun yang lalu, ayahmu saat masih sebagai pangeran Mandura bernama Ugrasena mendatangi Niken Yasoda di Widarakandang. Terjadilah hubungan gelap diantara mereka. Sembilan bulan kemudian, kakakmu lahir. Dari hubungan ibu Yasoda, Kau mempunyai dua kakak, Adimanggala yang sedang dihadapanmu dan Pragota yang kini menjadi patih di Mandura. Karena perintah dewa, kakakmu Adimanggala mengabdi pada Adiratha dan menjadi adik angkat Suryaputra.” Baik Setyaki maupun Adimanggala terkejut bahwa mereka masih bersaudara. Merekapun saling meminta maaf sesama sendiri. Batara Narada menjelaskan pada Permadi bahwa Srutikanti adalah jodoh kakaknya. Maka dari itu, Permadi tak perlu untuk menghalangi mereka.
Anugerah untuk Suryaputra
Oleh Batara Narada, Suryaputra dianugerahi busana raja, mahkota indah bernama Bukasri dan jamang emas bernama Kinantipa untuk menutupi bekas pitak di pelipisnya. Setelah tugasnya selesai, Batara Narada segera kembali ke kahyangan Jonggring Saloka.
Setelah Batara Narada menghilang, Prabu Anom Suyudana bersama Patih Arya Sengkuni dan Arya Dursasana datang menemukan mereka. Raden Suryaputra segera berlutut di hadapan Suyudana “ampun, sahabatku. Maafkanlah saya karena sudah menculik calon tunanganmu. Penggallah kepalaku bila kau tidak berkenan memaafkanku.” Arya Dursasana dan Patih Arya Sengkuni memanas-manasi Suyudana”lihat itu kakang. Rupanya sahabatmu sendiri yang menculik calon pengantinmu.” “benar, keponakanku. Kau lihat dia. Dulu kau beri dia hati, dia sekarang merebut jantungmu. Sungguh tak tahu malu. Kau angkat derajatnya, kini dia membalasmu dengan perbuatan rendahan ini.” Mendengar ucapan Patih Sengkuni, Raden Suryaputra menawarkan lehernya untuk dipenggal Prabu Anom Hastinapura itu. Hati Suyudana menjadi bimbang karenanya. Lalu dia duduk dan bersemedi, merenungi apa yang akan menjadi keputusannya.  Jika dia merelakan Srutikanti, maka hubungan sekutu Hastinapura-Mandaraka akan renggang. Tapi bila dia merelakan Suryaputra dipenggal, maka dia akan kehilangan sahabat yang dikasihi dan Hastianpura akan kehilangan sosok pemanah handal yang mengimbangi Permadi. Sungguh pilihannya yang berat baginya. Di akhir semedinya, Suyudana memberikan keputusannya “setelah menimbang, aku memaafkanmu dan aku rela bila Srutikanti diperistri olehmu, sahabatku. Bagiku, persahabatan itu lebih dari segalanya dan sejak awal, pertunangan ini adalah rancangan paman Patih untuk merekatkan persukutuan politik. Pertunangan ataupun pernikahan yang didasari oleh hal semacam itu tak akan berujung bahagia.” Raden Permadi dan Patih Sengkuni terharu pada keputusan yang diambil Suyudana. Raden Suryaputra bahkan meneteskan air mata dan memeluk sahabatnya itu seraya bersumpah “Terima kasih, sahabatku. Mulai detik ini, aku akan tidak mengkhianatimu lagi untuk selamanya. Aku berjanji akan selalu bersedia berkorban jiwa raga demi kemuliaan Hastinapura dan rajanya.” Sumpah itu didengar dewata dengan jatuhnya bunga-bunga.
Tiba-tiba di suasana haru tersebut, terdengarlah teriankan “Tolong, kakang Suryaputra!” Semuanya menoleh ke kereta Jatisura. Mereka meilihat Dewi Srutikanti dibawa terbang oleh seorang raksasa dan mengarah ke arah Awangga. Tanpa banyak bicara lagi, mereka semua segera naik ke kereta Jatisura. Begitu Raden Suryaputra melecutkan kuda-kudanya, kereta itu seketika terbang di angkasa mengejar kemana raksasa itu pergi membawa sang calon istri. Setelah lama mengejar raksasa itu, mereka sampai di Awangga. Suryaputra dan semuanya yang ada disitu terkejut melihat Awangga telah dikuasai oleh pemberontak bernama Kalakarna dan Karnamandra. Suyudana marah pada dirinya sendiri menyadari kelengahannya dalam mengawasi negara. Dilihatnya Adipati Adirata, Dewi Rada, Raden Jaya dan Arya Druwa dikurung dalam kerangkeng dan hendak di eksekusi mati oleh Prabu Kalakarna di hadapan khalayak. Bukan hanya itu,Dewi Srutikanti hendak dilecehkan oleh Prabu Kalakarna. Lalu Raden Suryaputra segera turun dari keretanya dan menantang Prabu Kalakarna “hei, pemberontak. Kalau kau ingin mengeksekusi ayahku, langkahi dulu mayatku. Aku menantangmu tanding satu lawan satu.” “welehh, ada kroco dari adipati tua itu. Mari sini kau, kroco.” Pertarungan satu lawan satu itu berlangsung sengit. Tak mau kalah dari kakaknya, Raden Permadi dan Arya Adimanggala ikut melawan patih Karnamandra. Sementara Suyudana dan yang lainnya melawan para prajurit pilihan Kalakarna. Baru sepuluh menit, Suyudana, Dursasana, dan Setyaki mampu mengalahkan prajurit-prajurit itu. Kekuatan gabungan Permadi dan Adimanggala juga tak bisa dianggap enteng. Serangan keris dan tombak mereka membuat patih Karnamandra terdesak dan akhirnya dia tewas dengan tubuh tertusuk tombak dan keris. Melihat patihnya tewas, Prabu Kalakarna semakin marah besar dan serangannya semakin membabi buta. namun karena dibakar amarah yang ledak-ledak, pertahanannya menjadi terbuka. Raden Suryaputra segera membentangkan Busur Wijaya miliknya dan segera merapal aji Naracabala. Begitu panah ditembakkan, panah itu berbah menjadi puluhan panah. Prabu Kalakarna yang lengah akhirnya terpenggal kepanya dan tubuhnya diranjapi panah. Sisa-sisa prajurit yang membela Prabu Kalakarna segera melarikan diri. Setelah cukup aman, mereka segera membebaskan Adipati Adiratha dan semua orang yang masih setia kepadanya. Prabu Anom Suyudana dan para Kurawa mohon pamit untuk mengantar pulang Srutikanti dan menjelaskan pada Prabu Salya bahawa pertunangan Suyudana dibatalkan.
Setelah para Kurawa pamit, Adipati Adiratha mendatangi kedua putranya. Dia sangat bersyukur kedua putranya telah menyelamatkannya. Karena keadaan sudah kembali aman, Adipati Adiratha merasa usianya telah tua dan segera mengangkat Suryaputra sebagai pemmpin Awangga yang baru. Keesokan harinya, Suryaputra dilantik sebagai adipati yang baru. Disaksikan oleh para Kurawa, Permadi, dan Setyaki, Suryaputra dilantik menjadi sebagai adipati. Suryaputra pun memakai nama yang diberikan ibunya sejak lahir, yaitu Adipati Karna Basusena dan atas pertimbangannya, Adipati Karna menunjuk adik bungsunya, Adimanggala sebagai patih dalam, Arya Druwa sebagai patih luar, dan Raden Jaya sebagai kepala Bhayangkara kadipaten. Sorak sorai rakyat Awangga dan Hastinapura menambut sang adipati baru.
Beberapa hari kemudian, Adipati Karna, Suyudana, dan Permadi datang ke Amarta untuk menemui para Pandawa. Saat itu Prabu Yudhistira dan adik-adiknya sedan brsama Dewi Kunthi. Datangnya Adipati Karna ke Amarta untuk meminta restu Dewi Kunthi “kanjeng ibu, aku putramu Karna meminta restu darimu untuk menikahi putri paman Prabu Salya.” Dewi Kunthi menangis sesegukan terharu dengan kedatangan putra tertuanya itu “putraku. Akhirnya kau telah kembali. Restuku akan selalu menyertaimu.” Prabu Yudhistira, Arya Bratasena dan si kembar keheranan lalu Dewi Kunthi bercerita asal-usul kelahiran dan pembuangan Karna dahulu. Setelah mendengarkan cerita itu dengan saksama, mereka terharu dan segera memberi sungkem pada kakak tertua mereka. Singkat cerita para Pandawa, Dewi Kunthi, dan rombongan Adipati karna segera bertolak ke Mandaraka.
Prabu Salya dihadap oleh putrinya Dewi Srutikanti dan Dewi Banowati. Saat itu datanglah Suyudana, Adipati Karna, para Pandawa dan Dewi Kunthi. “Salam, paman Prabu. Kedatangan hamba untuk menjelaskan alasan saya membatalkan pertunangan. Saya membatalkan karana sahabat saya, Adipati Karna dan rayi Dewi Srutikanti saling mencintai. Karena itu aku ingin paman Prabu menikahkan mereka.” Mendengar hal itu, prabu Salya menghormati alasan itu dan dengan tangan terbuka segera menikahkan Adipati Karna dengan putrinya. Beberapa hari kemudian diselenggarakan upacara pernikahan antara Adipati Karna dengan Dewi Srutikanti. Hari itu, Adipati Karna duduk di pelaminan yang sangat indah gemerlapan, bersanding bersama dua isterinya, Wrusali dan Srutikanti. Mereka bagaikan Batara Surya yang diapit Dewi Sangya dan Dewi Chayya. Prabu Yudhistira, Prabu Baladewa, dan Prabu Kresna turut menjadi saksi atas pernikahan itu. Pesta berlangsung sangat meriah selama beberapa malam di Mandaraka.
*Sahashra Maushal, ajian pukulan seribu gada
*Sahashra Himavarsha, ajian seribu panah hujan es, mampu membuat hujan panah berlapis es dan salju yang mengurung lawan hingga beku dan membuat lawan menyerah karena kedinginan.
*Busur Wijaya, busur sakti milik Adipati Karna. Rentangan dan kesaktian busur ini menandingi Busur Gandiwa milik Arjuna. Busur ini didapat dari gurunya, Batara Ramabargawa (Parasurama).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar