Salam readers, penulis kali ini akan menceritakan pernikahan Suryaputra (Adipati Karna) dengan putri kedua Prabu Salya, Dewi Srutikanti. Di sini juga akan diceritakan bagaimana Suryaputra mengetahui jati dirinya sebagai kakak tertua para Pandawa. Di Mahabharata versi India, Karna mengetahui jati dirinya dari Krishna Basudeva saat tiga hari menjelang Baratayudha, namun penulis akan mengadaptasi versi Jawa dimana Karna dan Arjuna yang sedang bertarung memperebutkan Srutikanti dilerai dan dibabar jati diri mereka oleh Batara Narada. Penulis menggunakan sumber dari Kitab Mahabharata karya Mpu Vyasa, kitab Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita, blog albumkisahwayang.blogspot.com, Serial kolosal Indonesia Karmapala, dan serial kolosal India Mahabharat Starplus yang kemudian sedikit diubah dan dikembangkan dengan imajinasi penulis.
Desa
Awangga awalnya hanya sebuah desa kecil di pinggiran Hastinapura. rata-rata
penduduk disana bekerja sebagai kusir dan pengrajin kereta kencana. Bahkan
kereta Bandhang Angin dari Hastinapura adalah dibuat dari kayu terbaik dari
Awangga dan dibuat oleh pengrajin-pengrajin dari Awangga. Kepala desa itu, Ki
Adiratha dulunya kusir pribadi Prabu Dretarastra. Putra sulung dan bungsunya,
Aradeya dan Adimanggala tak tertarik untuk menjadi kusir kereta. Mereka ingin
belajar menjadi ahli perang sehingga bergurulah pada Batara Ramabargawa
(Parasurama) di hutan Jatiraga. Sekembalinya dari berguru, Aradeya bertandang
ke pendadaran di Tegal Kurusetra. Disana Aradeya menantang Permadi yang
digadang-gadang sebagai satria tanpa tanding. Karena masalah kasta, Suyudana,
putra sulung dari Prabu Dretarastra membelanya dan membantunya untuk mengangkat
derajat orang tua Aradeya menjadi Adipati dan menaikkan status Desa Awangga
menjadi Kadipaten. Atas rasa terima kasih, Aradeya bersedia melindungi Prabu
Anom Suyudana dan menjadi sahabatnya. Sejak peristiwa itu, Aradeya menggunakan
nama kelahirannya yaitu Suryaputra.
Begitulah
kisah yang melatarbelakangi berdirinya Kadipaten Awangga. Malam itu, Raden
Suryaputra bermimpi didatangi seorang dewa. Dewa itu berkata bahwa dia adalah
putra angkat Adipati Adiratha dan Nyai Rada. Dia sebenarnya seorang Wasu
(manusia setengah dewa). Setelah itu dia terbangun dengan keringat bercucuran
lalu mendatangi ibunya, Dewi Rada “ibu, aku tadi bermimpi didatangi seorang
dewa. Dewa itu berkata bahwa ayah dan ibu bukan orang tua kandungku dan berkata
bahwa aku adalah seorang wasu yang dibuang. Benarkah itu, ibu?” “tidak, anakku.
Kau adalah putraku. Apapun yang terjadi kau tetap putraku. Bahkan dewa pun merestuimu
sebagai putra kami saat kau kami temukan hanyut di bengawan Gangga waktu kau
masih bayi.” Perkataan Dewi Rada itu membuat Raden Suryaputra terkejut dan
meyakinkan diri bahwa dia memang bukan putra kandung Adiratha dan Rada tapi dia
masih ada keraguan. Keesokan hainya, Dewi Rada terkejut mendapati Suryaputra dan
Adimanggala telah kabur dari kadipaten.
Dewi
Rada segera menghadap suami dan kedua putranya, Arya Druwa dan Raden Jaya.
Belum selesai Dewi Rada menghadap, datang seorang prajurit membawa berita gawat
“Ketiwasan, Adipati. Telah datang seorang pemberontak bernama Kalakarna dan
Karnamandra dari hutan Nastiti. Mereka akan menyerang kadipaten ini dan
mendudukinya. Kini mereka sudah sampai di gerbang kota” Adipati Adiratha segera
memerintahkan prajurit dan putranya, Raden Jaya untuk ke gerbang kota.
Sementara dia meminta istrinya dan Arya Druwa mencari suaka ke Hastinapura.”istriku,
kau dengan Druwa segeralah ke Hastinapura. kabarkanlah hal ini pada Prabu
Dretarastra.” Tanpa ba-bi-bu lagi, mereka segera melarikan diri ke Hastinapura.
Pertempuran
di gerbang Awangga berlangsung sengit. Raden Jaya dan Adipati Adiratha berusaha
menghalau para pemberontak itu. Namun dua pemberontak itu terlampau sakti
sehingga mereka mampu mengalahkan Adirata dan Raden Jaya. Sang adipati dan
putranya dimasukan ke penjara. Disana mereka tidak sendiri. Ada Dewi Rada dan
Arya Druwa yang kepergok hendak kabur mencari suaka. Kalakarna tertawa
kegirangan dan mengangkat dirinya sebagai raja baru Awangga “hahahaha.....
mulai hari ini, aku adalah raja Awangga dan panggil aku Prabu Kalakarna. Adikku,
Karnamandra akan menjadi patihku. Camkan itu.” Awangga berubah menjadi negeri
penuh teror sejak Kalakarna merebutnya dari Adiratha. Para raksasa yang durjana
bebas untuk memburu manusia-manusia tak berdosa dan mengacaukan perekonomian di
negeri itu. Korupsi dan penyuapan merajalela. Pada suatu hari, Prabu Kalakarana
bercerita “adikku, Karnamandra. Tadi aku bermimpi menikahi seorang putri cantik
dari Mandaraka. namanya Srutikanti. Kini kita sudah memiliki kekuasaan dan segalanya.
Aku ingin kau culik putri itu.’ “baik kakang prabu. Permintaanmu adalah
perintah bagiku. ” Singkat cerita, Patih Karnamandra segera bertolak menuju Mandaraka
untuk menculik sang putri pujaan kakaknya.
Raden
Suryaputra dan Arya Adimanggala yang dicari-cari ternyata minggat dari
kadipaten untuk menyepi di hutan Cahyapranawa. Raden Suryaputra sengaja minggat
ingin mendapatkan pencerahan soal mimpinya. Hari demi hari berlalu, pekan demi
pekan berganti namun mereka tetap bertapa brata. Sementara itu di kahyangan,
udara terasa begitu gerah. Kawah Candradimuka bergejolak memuntahkan lahar
panasnya. Para bidadari dan bidadara pontang-panting kepanasan, beramai-ramai
turun ke bumi. Di bumi juga terjadi huru-hara disekitar tempat Raden Suryaputra
dan Adimanggala bertapa. Bumi gonjang-ganjing, langit kolap-kalip. Awan menjadi
gelap dan badai turun dengan hebat. Angin bertiup begitu kencangnya sehingga
menerbangkan pepohonan, rumput dan kerikil karena tekunnya mereka bertapa. Lalu
dari balik awan tebal di langit, turunlah cahaya seterang matahari ke bumi.
Lalu cahaya itu memunculkan sosok seorang dewa tampan dan bercahaya.
Dialah Batara
Surya, sang dewa matahari.“hai Suryaputra, apa keperluanmu datang ke hutan ini
dan bertapa disini?” “ampun, pukulan Ida Batara Surya. Hamba hanya ingin
mendapat kejelasan atas mimpi hamba. Hamba bermimpi bahwa saya bukan putra
kandung Adiratha dan Rada. Mimpi itu juga berkata bahwa saya adalah wasu.”
Batara Surya terdiam sejenak lalu berkata “Suryaputra, kau memang bukan putra
kandung Adiratha dan Rada. Mereka berdua mandul tak bisa berketurunan. Dulu
mereka menemukanmu hanyut di bangawan Gangga saat kau masih bayi. Karena kau
ditemukan saat pagi hari,mereka memberimu nama Suryaputra namun karena agar tak
membuat curiga tetangga mereka memanggilmu Aradeya.” Raden Suryaputra tertegun
menyadari hal itu lalu dia bertanya lagi “ lalu siapakah kedua orang tua
kandung hamba, pukulun?” Batara Surya terdiam sejenak karena aib yang Ia tutup
rapat harus dibuka lalu melanjutkan ceritanya “anakku, aku adalah ayah
kandungmu dan ibumu bernama Prita.” Raden Suryaputra terkejut menyadari bahwa
dewa yang diajaknya bicara adalah ayahnya sendiri. Maka dia segera berlutu dan
memanggil Romo kepadanya. “ampun, Romo Batara, terimalah sembah sujud dari
putramu. Lalu bagaimana Romo bisa bertemu kanjeng ibu?” dengan malu-malu, Batara
Surya bercerita “anakku, dahulu ibumu, Prita adalah putri negara Mandura. Dia
berguru pada Resi Durwasa yang hebat. Karena ketekunannya belajar, Resi Durwasa
memberikannya ajian pemanggil dewa, Aji Punta Wekasing Rahsa Tunggal. Pada suatu
pagi, ibumu merapal ajian itu sambil membayangkan rupaku. Akupun datang dalam
alam mimpi dan bertanya apa keperluannya namun dia menjawab ingin coba-coba
saja. Aku pun marah merasa dipermainkan namun kemarahanku menjadi bumerang buat
kami. Tanpa sadar, nafsu mengendalikan kami. Ibumu terpana menatapku, begitupun
aku. Pertahanan kami jebol, lalu aku membelainya dalam sinar suciku.
Sekembalinya ku ke kahyangan, ibumu hamil. Beberapa hari kemudian, kau lahir
dengan selamat atas kemurahan Sanghyang Widhi. Kau lahir dengan memakai anting
Suryakundala dan baju tamsir Suryakawaca warisan dariku. Oleh ibumu, kau diberi
nama Karna Basusena. Kakekmu, Prabu Kuntiboja merasa malu mendapati cucunya
yang lahir didapat dari hasil zina lalu datanglah Resi Durwasa. Resi Durwasa mendapat
firasat bahwa kau akan jadi orang besar bila dilarung ke bengawan Gangga.
Akhirnya atas perintah kakekmu, ibumu melarungmu ke bengawan Gangga. Ibumu
sangat sedih sehingga pingsan. Hingga pada suatu pagi, kau pun ditemukan
Adiratha dan Rada yang saat itu sedang membersihkan kereta kuda.”
Batara Surya membeberkan jati diri Suryaputra. |
Suryaputra
sangat terharu mendengar cerita itu. selama ini, Adipati Adiratha dan Dewi Rada
telah membesarkannya dengan penuh kasih dan sayang. Namun dia bertanya lagi
karena kata Batara Surya, kedua orang tua asuhnya itu mandul tapi bagaimana
mereka punya putra bernama Druwa dan Jaya. Batara Surya menjelaskan bahwa mereka
juga bukan anak kandung mereka. Mereka tercipta dari tembuni dan tali pusar
Suryaputra yang hendak dikubur lalu berubah akibat doa Resi Radi, kakek
angkatnya. Kemudian Adimanggala bertanya pada Batara Surya “Ampun pukulun
Batara, saya mahu bertanya. Dahulu ketika hamba masih di Widarakandang terdengar
desas-desus bahwa saya dan Pragota hanya anak tiri ayah Nanda. Apakah itu
benar?” Batara Surya menjelaskan pada Adimanggala bahwa dia memang bukan putra
kandung Nanda Antagopa “Adimanggala putraku, ketahuilah bahwa itu benar. Kau
bukan anak kandung dari Nanda Antagopa. Dahulu ketika setahun kelahiran
kakakmu, Larasati. Arya Ugrasena, adik Dewi Prita datang menjenguk Kakarasana,
Narayana, dan Rara Ireng. Mereka pun langsung jatuh cinta dan terlibat cinta
satu malam. Beberapa bulan kemudian, ibumu Yasoda hamil lalu melahirkan dirimu
dan Pragota.” Arya Adimanggala kini mengerti kenapa dia punya banyak saudara
dan Suryaputra yang selama ini bersamanya adalah sepupu sendiri. Raden
Suryaputra menjadi semakin penasaran “Romo batara, dimanakah ibuku berada sekarang?” Batara Surya tak ingin mengatakannya karena
akan membuatnya syok. Namun Raden Suryaputra terus mendesak. Akhirnya Batara
Surya buka suara “baiklah, putraku. Prita adalah nama masa kecil dari Dewi
Kunthi, ibu para Pandawa. Ibumu sekarang ada di Amarta.”
Bagai
disambar petir, Raden Suryaputra sangat syok dan terkejut bukan kepalang.
Teringatlah dia saat dengan pongahnya menantang Permadi di saat pendadaran di
Tegal Kurusetra. Dia syok karena telah menantang adiknya sendiri waktu itu.
Raden Suryaputra kemudian bersandar di batang pohon dan terisak menahan tangis
karena merasa takdirnya telah dipermainkan Sanghyang Widhi. Batara Surya
menenangkan hati putranya itu dan berkata bahwa takdir adalah ketetapan bahkan
para dewa pun tak luput dari takdir yang telah digaris Sanghyang Widhi. Tak
perlulah disesali begitu dalam karena setiap peristiwa pasti ada hikmah
dibaliknya. Batara Surya menyarankan putranya itu untuk menikahi jodohnya.
Batara Surya menjelaskan bahwa jodoh putranya itu adalah putri kedua Prabu
Salya di Mandaraka yaitu Dewi Srutikanti. Tapi raden Suryaputra berkata "tapi ayahanda batara, aku sudah punya isteri benama Wrusali. Apa yang harus aku katakan padanya nanti kalau aku menikah lagi" Batara Surya berkata kalau ia dan Srutikanthi adalah pasangan sejiwa juga karena ia titisan Surya, maka isteri-isteri sang ayah juga ikut menitis kepadanya. Wrusali merupakan titisan Dewi Chayya (Ngruni) sedangkan Srutikanti adalah titisan Dewi Sangya (Ngruna). Meski ia akan berisri dua, cinta Suryaputra kepada tidak akan berat sebelah. Raden Suryaputra bersyukur mendengarnya. ia bejanji akan tetap mencintai Wrusali dan juga menyayangi Srutikanti. Sebelum pergi, Batara Surya
memberikan hadiah berupa sebuh kereta kencana bernama Jatisura dan sebuah keris
bernama Kaladete. Setelah memberikan kereta itu, Batara Surya naik kembali ke
kahyangan para dewa. Raden Suryaputra kemudian Arya Adimanggala segera naik ke
kereta. Begitu dilecut, kereta itu bergerak begitu cepat. Kuda-kudanya nampak
begitu sehat dan cergas dalam berlari.
Di
tempat lain, Raden Permadi bersama muridnya, Arya Setyaki hendak bertandang ke
Mandaraka. Mereka mendengar kabar bahwa Prabu Anom Suyudana akan ditunangkan
dengan Dewi Srutikanti. Sesampainya disana, telah datang pula kakaknya, Prabu
Yudhistira dan adiknya Nakula-Sadewa. Sejak kedatangannya, Permadi dibuat
terheran kenapa sejak tadi Suyudana, para Kurawa dan keluarga Mandaraka
memandanginya. “itu dia. Dia penculik kakang mbok” teriak Rukmarata dan
Burisrawa. Raden Permadi terkejut, baru saja datang sudah dikira penculik “Apa
maksud semua ini? Saya baru datang tapi dikira penculik. Ada apa dengan kalian”
“tak usah bersembunyi dalam kepolosan, Permadi. Aku mendengar dari Rukmarata
dan Burisrawa bahwa kau menculik Srutikanti, calon tunanganku. Mereka melihat
bahawa ada seorang pemanah tampan datang kemari membawa lari Srutikanti dan
semua orang tau bila kau adalah pemanah yang berwajah tampan. Beritau aku,
kemana kau sembunyikan dia!?” Suyudana naik pitam lalu menyerang Permadi.
Sedangkan Burisrawa yang kesal karena kakaknya diculik melampiaskan
kekesalannya dengan menyerang Setyaki.
Pertarungan
mereka sangat sengit. Pukulan gada Kyai Inten milik Suyudana yang mengenai
Busur Gandiwa berhasil ditangkis Permadi. Begitupun pukulan gada Wesi Kuning
milik Setyaki berhasil melukai Arya Burisrawa dan membuatnya menyerah. Melihat
Burisrawa menyerah, Suyudana semakin mendidih darahnya lalu dia merapal ajian Sahashra Maushal lalu dipukulkan gadanya
ke bumi dengan keras.
Meskipun getaran akibat pukulan gada Suyudana amat kuat,
Permadi mencoba bertahan. Keraton Mandaraka ikut bergoncang hebat karenanya.
Sebelum hal yang tak diinginkan terjadi, Prabu Salya dan Prabu Yudhistira berusaha
melerai namun hal ini tak digubris Suyudana maupun Permadi. Keadaan mereka
semakin gawat, baik Permadi maupun Suyudana sama-sama terluka karena
perkelahian yang tak perlu. Tiba-tiba Permadi merapal ajian Sahashra Himavarsha dan setelah
menembakkan panahnya, beberapa panah berbentuk halilintar es mengurung Suyudana
namun rupanya Permadi lupa memperhitungkan dampak yang akan terjadi
selanjutnya. Keraton Mandaraka akan ikut terkena dampaknya. Panah-panah halilintar
es itu akan menghancurkan seluruh Mandaraka dan menyebarkan udara dingin ke
seluruh pulau Jawa selama puluhan pekan. Untunglah di saat itu, Ki lurah Semar
dan Prabu Kresna datang. Sebagai titisan Batara Wisnu dan Batara Ismaya yang
turun ke bumi, mereka segera menghentikan pertarungan yang tak perlu itu. Setelah
memohon diri pada Prabu Salya dan Prabu Yudhistira untuk melerai mereka, Prabu
Kresna segera mengeluarkan Cakra Widaksana miliknya dan seketika panah-panah
berbahaya itu terserap oleh putaran Cakra Widaksana. Meskipun demikian hujan
panah es itu tak henti-hentinya berjatuhan dari langit. Ki lurah Semar lalu
meminta Permadi menghentikan panah-panahnya“Permadi, kendalikan dirimu. Jiwa
muda boleh bergejolak tapi jangan sampai terbawa emosi yang tidak perlu. Cepat
hentikan ajianmu dan tarik panah-panah itu.” Permadi yang terkejut akan
kedatangan sang pamong segera menghentikan ajian itu dan seketika panah-panah
itu menghilang. Prabu Anom Suyudana pun terbebas dari kurungan panah es.
Prabu Kresna dan Ki Lurah Semar melerai pertengkaran Suyudana dan Permadi |
Walaupun
semua masih terkendali, rupanya Suyudana masih menganggap Permadi penculik
Srutikanti. Akhirnya Permadi tak mampu menahan marahnya “kakang Prabu Anom,
akan ku buktikan kalau bukan akau penculik rayi dewi Srutikanti.” Permadi
disertai Setyaki segera meninggalkan Mandaraka untuk mencari siapa yang
mencemarkan namanya. Karena dirasa kondisi masih kurang kondusif, Prabu
Puntadewa dan si kembar memohon izin untuk kembali ke Amarta. Singkat cerita,
mereka telah memasuki hutan Cahyapranawa. Di sana mereka melihat sebuah kereta
kencana yang indah cemerlangan melintas. Kereta itu dikusiri Arya Adimanggala
dan di kursi penumpang kereta itu duduklah Raden Suryaputra dan Dewi
Srutikanti. Baik Dewi Srutikanti maupun Raden Suryaputra, mereka nampak saling
mencintai. Mereka duduk bersanding di kursi penumpang sambil saling berpelukan.
Mereka segera mengejar kereta itu.
Setelah
mencari keberadaan kereta itu, mereka menemukannya dan mencegat mereka. Raden
Permadi segera meminta Suryaputra untuk menyerahkan Srutikanti “Suryaputra, kau
mencilik rayi Srutikanti. Berikan dia padaku untuk keserahkan ke orangtuanya!”
“tidak akan, rayi Permadi! Dia jodohku. Bila kau ingin membawanya kembali,
langkahi mayatku!” Permadi marah dengan penolakan itu lantas menyerang
Suryaputra. Begitupun Arya Setyaki, dia melawan Arya Adimanggala. Dewi
Srutikanti berusaha melerai mereka namun tak bisa. Pertarungan kedua ksatria
tampan itu tak dapat dilihat oleh mata biasa karena lajunya. Pertandingan
panah, tanding tangan kosong, semuanya sama. Tak ada yang kalah maupun yang
menang. Sementara itu di kahyangan para dewa, Batara Guru melihat dari
trinetra-nya. Pertarungan kedua saudara se-ibu nampaknya hanya akan berakhir
imbang.”kakang Narada lihatlah mereka berkelahi lagi. Lerai dan ingatkan mereka
bahwa mereka masih saudara.” “baik, adhi Guru.” Batara Narada segera turun ke
bumi melerai mereka. Di tengah jalan, Batara Narada bertemu dengan Ki Lurah
Semar yang mencari bendaranya.”Salam kakang Ismaya. Sepertinya kau sedang
mencari Permadi. Mari ikut aku. Aku tau dimana dia berada” “ayo, adhi Narada.”
Pertarungan
itu terus berlanjut. Kini mereka beradu keris. Permadi menggunakan Keris
Pulanggeni dan Suryaputra menggunakan Keris Kaladete. Serangan mereka sangat
kilat bahkan tak terlihat mata hingga pada suatu serangan, keris Pulanggeni
berhasil melukai pelipis kiri Suryaputra sehingga bagian itu menjadi pitak. Di
saat bersamaan itu terdengar suara dari langit “Hentikan!” lalu dari langit
turunlah Batara Narada dan Ki Lurah Semar.”Ndoro berdua, jangan berkelahi lagi.
Kalian kakak adik haruslah rukun.” “Ki Lurah, Permadi tak mengerti. Bagaimana
mungkin Suryaputra adslah kakakku?” Batara Narada kemudian menceritakan pada
Permadi “Permadi, ketahuilah. Suryaputra adalah putra tertua ibumu dengan
Batara Surya akibat Ajian Punta Wekasing Rahsa milik ibumu. Oleh perintah
kakekmu, Kuntiboja dan Resi Durwasa, ibumu melarung kakakmu ke Bengawan Gangga sehingga
diambil putra oleh Adiratha dan Rada.” Raden Permadi seketika tercekat
mendengarnya. Selama ini orang yang dianggapnya lawan yang harus dibasmi itu
kakaknya sendiri. Dengan perlahan-lahan dan sedikit wajah menahan tangis,
Permadi sungkem di hadapan Suryaputra “Terimalah sembah sungkemku, kakang.
Maafkan kebodohan adikmu ini yang tidak menyadari ini semua.” “ahh sudahlah,
adhi Permadi. Mari kita bermaafan agar dendam yang dulu segera luntur.” Mereka
kemudian berpelukan dengan erat. Ki Lurah Semar juga melerai Adimanggala dan
Setyaki.”Setyaki, ketahuilah yang kau serang itu kakakmu sendiri. Dua puluh
tahun yang lalu, ayahmu saat masih sebagai pangeran Mandura bernama Ugrasena
mendatangi Niken Yasoda di Widarakandang. Terjadilah hubungan gelap diantara
mereka. Sembilan bulan kemudian, kakakmu lahir. Dari hubungan ibu Yasoda, Kau
mempunyai dua kakak, Adimanggala yang sedang dihadapanmu dan Pragota yang kini
menjadi patih di Mandura. Karena perintah dewa, kakakmu Adimanggala mengabdi
pada Adiratha dan menjadi adik angkat Suryaputra.” Baik Setyaki maupun
Adimanggala terkejut bahwa mereka masih bersaudara. Merekapun saling meminta
maaf sesama sendiri. Batara Narada menjelaskan pada Permadi bahwa Srutikanti
adalah jodoh kakaknya. Maka dari itu, Permadi tak perlu untuk menghalangi
mereka.
Oleh Batara Narada, Suryaputra dianugerahi busana raja, mahkota indah
bernama Bukasri dan jamang emas bernama Kinantipa untuk menutupi bekas pitak di
pelipisnya. Setelah tugasnya selesai, Batara Narada segera kembali ke kahyangan
Jonggring Saloka.
Anugerah untuk Suryaputra |
Setelah
Batara Narada menghilang, Prabu Anom Suyudana bersama Patih Arya Sengkuni dan
Arya Dursasana datang menemukan mereka. Raden Suryaputra segera berlutut di
hadapan Suyudana “ampun, sahabatku. Maafkanlah saya karena sudah menculik calon
tunanganmu. Penggallah kepalaku bila kau tidak berkenan memaafkanku.” Arya
Dursasana dan Patih Arya Sengkuni memanas-manasi Suyudana”lihat itu kakang.
Rupanya sahabatmu sendiri yang menculik calon pengantinmu.” “benar,
keponakanku. Kau lihat dia. Dulu kau beri dia hati, dia sekarang merebut
jantungmu. Sungguh tak tahu malu. Kau angkat derajatnya, kini dia membalasmu
dengan perbuatan rendahan ini.” Mendengar ucapan Patih Sengkuni, Raden
Suryaputra menawarkan lehernya untuk dipenggal Prabu Anom Hastinapura itu. Hati
Suyudana menjadi bimbang karenanya. Lalu dia duduk dan bersemedi, merenungi apa
yang akan menjadi keputusannya. Jika dia
merelakan Srutikanti, maka hubungan sekutu Hastinapura-Mandaraka akan renggang.
Tapi bila dia merelakan Suryaputra dipenggal, maka dia akan kehilangan sahabat
yang dikasihi dan Hastianpura akan kehilangan sosok pemanah handal yang
mengimbangi Permadi. Sungguh pilihannya yang berat baginya. Di akhir semedinya,
Suyudana memberikan keputusannya “setelah menimbang, aku memaafkanmu dan aku rela
bila Srutikanti diperistri olehmu, sahabatku. Bagiku, persahabatan itu lebih
dari segalanya dan sejak awal, pertunangan ini adalah rancangan paman Patih untuk
merekatkan persukutuan politik. Pertunangan ataupun pernikahan yang didasari
oleh hal semacam itu tak akan berujung bahagia.” Raden Permadi dan Patih
Sengkuni terharu pada keputusan yang diambil Suyudana. Raden Suryaputra bahkan
meneteskan air mata dan memeluk sahabatnya itu seraya bersumpah “Terima kasih,
sahabatku. Mulai detik ini, aku akan tidak mengkhianatimu lagi untuk selamanya.
Aku berjanji akan selalu bersedia berkorban jiwa raga demi kemuliaan Hastinapura
dan rajanya.” Sumpah itu didengar dewata dengan jatuhnya bunga-bunga.
Tiba-tiba
di suasana haru tersebut, terdengarlah teriankan “Tolong, kakang Suryaputra!”
Semuanya menoleh ke kereta Jatisura. Mereka meilihat Dewi Srutikanti dibawa
terbang oleh seorang raksasa dan mengarah ke arah Awangga. Tanpa banyak bicara
lagi, mereka semua segera naik ke kereta Jatisura. Begitu Raden Suryaputra
melecutkan kuda-kudanya, kereta itu seketika terbang di angkasa mengejar kemana
raksasa itu pergi membawa sang calon istri. Setelah lama mengejar raksasa itu,
mereka sampai di Awangga. Suryaputra dan semuanya yang ada disitu terkejut
melihat Awangga telah dikuasai oleh pemberontak bernama Kalakarna dan
Karnamandra. Suyudana marah pada dirinya sendiri menyadari kelengahannya dalam
mengawasi negara. Dilihatnya Adipati Adirata, Dewi Rada, Raden Jaya dan Arya
Druwa dikurung dalam kerangkeng dan hendak di eksekusi mati oleh Prabu
Kalakarna di hadapan khalayak. Bukan hanya itu,Dewi Srutikanti hendak
dilecehkan oleh Prabu Kalakarna. Lalu Raden Suryaputra segera turun dari
keretanya dan menantang Prabu Kalakarna “hei, pemberontak. Kalau kau ingin
mengeksekusi ayahku, langkahi dulu mayatku. Aku menantangmu tanding satu lawan
satu.” “welehh, ada kroco dari adipati tua itu. Mari sini kau, kroco.” Pertarungan
satu lawan satu itu berlangsung sengit. Tak mau kalah dari kakaknya, Raden
Permadi dan Arya Adimanggala ikut melawan patih Karnamandra. Sementara Suyudana
dan yang lainnya melawan para prajurit pilihan Kalakarna. Baru sepuluh menit,
Suyudana, Dursasana, dan Setyaki mampu mengalahkan prajurit-prajurit itu.
Kekuatan gabungan Permadi dan Adimanggala juga tak bisa dianggap enteng.
Serangan keris dan tombak mereka membuat patih Karnamandra terdesak dan
akhirnya dia tewas dengan tubuh tertusuk tombak dan keris. Melihat patihnya
tewas, Prabu Kalakarna semakin marah besar dan serangannya semakin membabi
buta. namun karena dibakar amarah yang ledak-ledak, pertahanannya menjadi
terbuka. Raden Suryaputra segera membentangkan Busur Wijaya miliknya dan segera merapal aji Naracabala. Begitu panah ditembakkan, panah itu berbah menjadi
puluhan panah. Prabu Kalakarna yang lengah akhirnya terpenggal kepanya dan
tubuhnya diranjapi panah. Sisa-sisa prajurit yang membela Prabu Kalakarna
segera melarikan diri. Setelah cukup aman, mereka segera membebaskan Adipati
Adiratha dan semua orang yang masih setia kepadanya. Prabu Anom Suyudana dan
para Kurawa mohon pamit untuk mengantar pulang Srutikanti dan menjelaskan pada
Prabu Salya bahawa pertunangan Suyudana dibatalkan.
Setelah
para Kurawa pamit, Adipati Adiratha mendatangi kedua putranya. Dia sangat
bersyukur kedua putranya telah menyelamatkannya. Karena keadaan sudah kembali
aman, Adipati Adiratha merasa usianya telah tua dan segera mengangkat
Suryaputra sebagai pemmpin Awangga yang baru. Keesokan harinya, Suryaputra
dilantik sebagai adipati yang baru. Disaksikan oleh para Kurawa, Permadi, dan
Setyaki, Suryaputra dilantik menjadi sebagai adipati. Suryaputra pun memakai
nama yang diberikan ibunya sejak lahir, yaitu Adipati Karna Basusena dan atas
pertimbangannya, Adipati Karna menunjuk adik bungsunya, Adimanggala sebagai
patih dalam, Arya Druwa sebagai patih luar, dan Raden Jaya sebagai kepala
Bhayangkara kadipaten. Sorak sorai rakyat Awangga dan Hastinapura menambut sang
adipati baru.
Beberapa
hari kemudian, Adipati Karna, Suyudana, dan Permadi datang ke Amarta untuk
menemui para Pandawa. Saat itu Prabu Yudhistira dan adik-adiknya sedan brsama
Dewi Kunthi. Datangnya Adipati Karna ke Amarta untuk meminta restu Dewi Kunthi
“kanjeng ibu, aku putramu Karna meminta restu darimu untuk menikahi putri paman
Prabu Salya.” Dewi Kunthi menangis sesegukan terharu dengan kedatangan putra
tertuanya itu “putraku. Akhirnya kau telah kembali. Restuku akan selalu
menyertaimu.” Prabu Yudhistira, Arya Bratasena dan si kembar keheranan lalu
Dewi Kunthi bercerita asal-usul kelahiran dan pembuangan Karna dahulu. Setelah
mendengarkan cerita itu dengan saksama, mereka terharu dan segera memberi
sungkem pada kakak tertua mereka. Singkat cerita para Pandawa, Dewi Kunthi, dan
rombongan Adipati karna segera bertolak ke Mandaraka.
Prabu
Salya dihadap oleh putrinya Dewi Srutikanti dan Dewi Banowati. Saat itu
datanglah Suyudana, Adipati Karna, para Pandawa dan Dewi Kunthi. “Salam, paman
Prabu. Kedatangan hamba untuk menjelaskan alasan saya membatalkan pertunangan.
Saya membatalkan karana sahabat saya, Adipati Karna dan rayi Dewi Srutikanti
saling mencintai. Karena itu aku ingin paman Prabu menikahkan mereka.”
Mendengar hal itu, prabu Salya menghormati alasan itu dan dengan tangan terbuka
segera menikahkan Adipati Karna dengan putrinya. Beberapa hari kemudian
diselenggarakan upacara pernikahan antara Adipati Karna dengan Dewi Srutikanti. Hari itu, Adipati Karna duduk di pelaminan yang sangat indah gemerlapan, bersanding bersama dua isterinya, Wrusali dan Srutikanti. Mereka bagaikan Batara Surya yang diapit Dewi Sangya dan Dewi Chayya. Prabu Yudhistira, Prabu Baladewa, dan Prabu Kresna turut menjadi saksi atas
pernikahan itu. Pesta berlangsung sangat meriah selama beberapa malam di
Mandaraka.
*Sahashra
Maushal, ajian pukulan seribu gada
*Sahashra
Himavarsha, ajian seribu panah hujan es, mampu membuat hujan
panah berlapis es dan salju yang mengurung lawan hingga beku dan membuat lawan
menyerah karena kedinginan.
*Busur Wijaya, busur sakti milik Adipati Karna. Rentangan dan
kesaktian busur ini menandingi Busur Gandiwa milik Arjuna. Busur ini didapat
dari gurunya, Batara Ramabargawa (Parasurama).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar