Senin, 03 Juni 2019

Babad Negara Amarta


Holla guys, kali ini saya akan menceritakan tentang pembagian negara Hastinapura diantara Pandawa dan Kurawa. Dalam versi India, para Pandava memilih kota Kandavaprastha yang gersang dan mengubahnya menjadi kota yang makmur lalu namanya diganti menjadi Indraprastha. Sedangkan dalam versi Jawa, Pandawa mendapatkan hutan Wanamarta dan mendirikan negara baru bernama Amarta disana. Di sini saya berusaha menggabungkan kedua versi tersebut. Disini juga dikisahkan bagaimana pertemuan dan pernikahan Bratasena dengan Dewi Arimbi, yang kelak akan melahirkan seorang ksatria yang gagah berotot kawat tulang besi, Gatotkaca. Disini saya memekai sumber Kitab Mahabharata karya Mpu Vyasa, Kitab Pustakaraja Purwa, karya Raden Ngabehi Ronggowarsito, serial kolosal Indonesia Karmapala karya Imam Tantowi dan serial kolosal India Mahabaharat Starplus.
Pada suatu hari, Prabu Dretarastra sedang bersidang dihadap Maharesi Bhisma, Arya Widura, Patih Arya Sengkuni, Resi Dorna dan, Mpu Krepa. Mereka membicarakan tentang perselisihan Pandawa dan Kurawa yang tak pernah mencapai titik terang. Terakhir saat sayembara membuat sungai, para Pandawa dinyatakan menang oleh Resi Dorna dan para Kurawa semakin tak terima. Keputusan Resi Dorna juga membuat anak kesayangan sang Prabu Dretarastra, Prabu Anom Suyudana menjadi sakit dan tak mau makan obat. Maharesi Bhisma merasa tak ada jalan lain kemudian berkata “Anak Prabu. Aku sendiri sudah bosan, sudah jemu sekali dengan perselisihan cucu-cucuku itu. Aku sudah lama mendengar tentang ramalan bahwa negeri kita tercinta ini akan hancur oleh Mahapralaya Bharatayudha dari rayi Abiyasa. Aku tak ingin itu terjadi. Kalau demi kepentingan bersama dan tidak ada pilihan lain, dengan sangat terpaksa aku rela kalau negeri Hastinapura ini kita sigar semangka, kita bagi dua.” Arya Widura merasa sayang bila negara di pisah namun karena sudah menjadi ketentuan sang paman, dia tak bisa lagi menolak. “lalu untuk wilayahnya, wilayah mana yang akan kita serahkan pada para Pandawa?” tanya Arya Widura. Patih Arya Sengkuni kemudian berkata “ Aku punya usulan bagaimana kalau kita akan memberikan kepada Puntadewa dan saudara-saudaranya wilayah Kandaparasta disebelah timur bengawan Gangga?” Arya Widura jelas saja tak terima bila para pandawa diberikan wilayah itu “Aku tak setuju. Kandaparasta adalah wilayah gersang dan lagi tempat itu sudah lama tidak ditempati manusia malah menjadi tempat angker yang menjadi kerajaan hantu. Lagi pula luas wilayah Kandaparasta kurang dari seperempatnya Hastinapura.” Patih Arya Sengkuni kemudian menjawab “kalau rayi Widura tak terima, tak mengapa. Yang menentukan pilhan kan Puntadewa bukan rayi Widura juga.” Prabu Dretarastra kemudian melerai dan memerintahkan Arya Widura untuk merundingkan hal ini dengan para Pandawa.
Di wisma tamu Kadilengleng, Para Pandawa, Dewi Kunthi, Dewi Drupadi, dan Ki Lurah Semar kedatangan Arya Widura. Tanpa membuang waktu, Arya Widura menyampaikan hasil sidang dan diputuskan bahwa untuk menghindari konflik, Kerajaan Hastinapura akan di bagi menjadi dua dan pihak Pandawa boleh memilih antara Kerajaan Hastinapura beserta kotaraja atau wilayah Kandaparasta yang tandus dan angker. Setelah berpikir matang-matang, Puntadewa memilih wilayah Kandaparasta. Arya Bratasena kecewa dengan pilihan kakaknya itu “ Haduh, kakang Puntadewa. Kok malah milih Kandaparasta. Mereka para Kurawa pasti kegirangan. Kakang tahukan kalau Kandaparasta itu wilayah angker. Banyak hantu dan jinnya. Lagipula luasnya kurang dari seperempatnya Hastinapura. Ini jelas tak adil. Izinkan aku matur minta keadilan pada Uwa Prabu” sebelum Bratasena berangkat, Raden Puntadewa balik menasihati adiknya itu “Adhi Bratasena, dengarkan aku. Aku sudah memikirkan ini dengan masak-masak. Kita kembali kesini tidak untuk menciptakan perang saudara tapi menghindarkan perang saudara. Mungkin bukan hanya aku, eyang Bhisma dan uwa Prabu tidak mau ramalan eyang Abiyasa tentang perang akbar Bharatayudha menjadi kenyataan. Lagipula kita cuma berlima ditambah ibu. Menurutku itu sudah lebih dari cukup. Ingat, adhi Bratasena, yang dikatakan adil itu tidak harus sama rata sama rasa. Adil itu sesuai dengan kebutuhan dan takarannya. Tak adil rasanya bila beban yang ditanggung anak muda diberikan pada seorang kakek tua. Jadi tak adil rasanya bila seratus orang diberikan wilayah hanya seperempat dari wilayah aslinya.” Arya Bratasena tak lagi membantah dan balik mendukung kakaknya itu. Kemudian Raden Puntadewa bertanya tentang pendapat adik-adiknya yang lain. Raden Permadi menjawab “awalnya aku sendiri tak setuju. Tapi bila itu sudah menjadi keputusan kakang, aku akan mendukung keputusan kakang Puntadewa. Ini juga demi Hastinapura, demi terciptanya perdamaian.” Sementara itu Raden Pinten dan  Raden Tangsen menjawab “aku dan adhi Tangsen sejak kecil sudah menganggap kakang Puntadewa sebagai pengganti ayahanda Pandu....” “apapun yang kakang Puntadewa telah putuskan, aku dan kakang Pinten siap mematuhi dan melaksanakannya.” Kemudian Raden Puntadewa meminta pertimbangan pada sang ibu, Dewi Kunthi dan Ki lurah Semar. Dewi Kunthi berkata ”apapun yang telah kau anggap baik, ibu hanya bisa merestui, anakku. Semoga Sanghyang Widhi merestui dan melindungi kalian” Ki Lurah Semar mendukung apa yang dikatakan Dewi Kunthi “dul mblegedag mblegedug sadulito, aku hanya seorang pemomong dan kawan ndoro sekalian. Aku sih hanya ikut saja selama hal itu benar untuk dilakukan. Sama seperti kanjeng ratu Kunthi, Aku selalu mendukung ndoro bila itu benar.“
Karena sudah diputuskan, setelah memohon izin pada uwa Prabu Dretarastra dan menerima serah terima, mereka segera berangkat ke Kandaparasta, meninggalkan segala kemewahan keraton dan teduhnya alam pertapaan. Sebelum sampai disana, mereka bertemu Prabu Matsyapati dari Wirata yang sedang sidak di perbatasan. Dia telah mendengar bahwa Pandawa dan Dewi Kunthi telah selamat dari Bale Sigala-gala dan bersyukur sekali”aduh, cucu-cucuku Pandawa. Syukurlah kalian telah selamat dari kebakaran Bale Sigala-gala. Ngomong-ngomong, kalian hendak pergi kemana?” Raden Puntadewa menjelaskan bahwa mereka hendak ke Kandaparasta untuk mendirikan kerajaan baru disana. Prabu Matsyapati merasa kurang adil saja bila para Pandawa hanya mendapat Kandaparasta maka dia menghadiahkan hutan Wanamarta, sebuah hutan tak bertuan yang sangat luas bersebelahan dengan Kandaparasta kepada mereka. Raden Puntadewa merasa tidak enak hati pada Prabu Matsyapati namun sang Prabu meyakinkan bahwa hadiah ini sebagai bentuk persahabatan.
Akhirnya Raden Puntadewa menerima wilayah hutan itu. Setelah mereka melanjutkan perjalanan yang sangat melelahkan, melewati gunung menuruni lembah, akhirnya merka sampai di gerbang kota Kandaparasta.
Kandaparasta yang telah hancur menyatu dengan Wanamarta
Walaupun disebut kota, tempat itu nampak seperti kota mati. Ditinggalkan, gersang, dan telah bersatu dengan hutan Wanamarta di sebelahnya. Bangunan keraton yang ada disitu nampak sudah menjadi reruntuhan dan ditumbuhi berbagai pepohonan hutan dan tumbuhan liar bahkan sebagian besar bangunan keraton sudah bersatu dengan hutan Wanamarta. Sementara bangunan-bangunan lain disekitarnya sudah hancur dan tak bersisa satupun. Tak ada sumber air yang bisa diminum di daerah itu. Tanah di kota itu amat keras, tandus, dan berbatu kasar. Susah untuk ditanami ataupun untuk bertani. Aura negatif di tempat itu begitu terasa,  membuat siapapun tak betah berlama-lama. Raden Puntadewa bertanya pada sang istri, Dewi Drupadi “Dinda, daerah ini sangat wingit dan berbahaya. Aku tak mau bila dinda sampai celaka. Apa kau bersedia untuk pulang sejenak ke Pancalaradya selama aku dan saudara-saudaraku masih membangun tempat ini?” Dewi Drupadi kemudian berkata “Kanda, jangankan memasuki Kandaparasta dan Wanamarta yang angker, ke dasar neraka pun aku ikut asalkan aku bisa tetap melayanimu, kanda. Jangan khawatirkan aku. Aku sudah siap laku prihatin asal tetap bersamamu. Biarkan aku menjaga persediaan makanan kita dan menemani ibu selagi kanda dan adik-adik membabat hutan” Raden Puntadewa berterima kasih kepada sang istri yang telah setia bersama dalam susah dan senang bahkan siap meninggalkan segala kemewahan. Sementara Raden Puntadewa, Raden Pinten, dan Tangsen membangun kemah, Arya Bratasena dan Raden Permadi mulai membabat pepohonan yang ada di Kandaparasta dan Wanamarta. Dengan Kuku Pancanaka miliknya, Arya Bratasena membabat segala pepohonan, semak belukar, dan sulur-sulur yang mengganggu. Di sisi lain, di belakang reruntuhan keraton Kandaparasta yang tertutup hutan Wanamarta, tersebutlah kerajaan jin bernama Mertani yang dipimpin oleh Prabu jin Yudhistira. Prabu jin Yudhistira dihadap oleh ke empat saudaranya, Jin Arya Dandunwacana, Arya Dananjaya, Arya Damagranti, dan Arya Tantripala. Sang raja jin merasa terusik karena ada laporan dari kawanan makhluk halus yang datang mengatakan bahwa hutan tempat tinggal mereka dibabat oleh lima orang manusia. Arya Dandunwacana segera berangkat membereskan manusia-manusia itu.
Di tempat lain, Raden Permadi yang juga sedang membabat sebagian hutan Wanamarta kedatangan dua makhluk halus yang kebetulan mau menampakkan diri kepadanya, yaitu Resi Wilawuk yang berwujud jin naga raksasa dan Gandarwa Anggaraparna. Resi Wilawuk datang bersama sang putri, Dewi Jimambang yang kecantikannya bagai putri keraton. Resi Wilawuk membawa Raden Permadi ke rumahnya, di Pertapaan Pringcendani. Raden Permadi kemudian berguru kepada Resi Wilawuk. Dalam waktu singkat, Raden Permadi dapat menguasai ajian Pedut Wisa. Sedangkan Gandarwa Anggaraparna mengajarkan cara-cara menghadapi makhluk tak kasat mata . Resi Wilawuk kemudian mengatakan alasannya mengajarkan ilmu itu “Anakku, Permadi. Sebenarnya kedatanganku dan Anggaraparna melatihmu untuk memenuhi wangsit dewata. Menurut wangsit itu, kelak akan ada salah seorang ksatria tampan yang akan mengubah nasib Kandaparasta dan Wanamarta menjadi lebih baik dan orang itu lah yang akan menjadi jodoh putriku.” Sejak lama, Permadi yang melihat putri Resi Wilawuk seperti ada rasa cinta bergejolak, begitupun sebaliknya, sang putri juga sering salah tingkah ketika melihat Raden Permadi. Kemudian Resi Wilawuk menikahkan mereka. Tak terasa satu bulan telah berlalu, hamillah sang istri. Permadi tak bisa mengajak sang istri pertama ke Wanamarta namun dirinya berwasiat “istriku, tolong jagalah anak kita. Kalau yang lahir laki-laki, berilah dia nama Gandawardaya.” Singkat cerita, Raden Permadi segera kembali ke Kandaparasta. Sebelum berangkat, Resi Wilawuk memberikannya cupu berisi minyak ajaib, yaitu Lisah Jayengkaton. Resi Wilawuk berkata bahwa bila minyak itu dibalurkan ke kelopak mata, maka mata itu akan mampu melihat alam niskala beserta penghuninya yang tak kasat mata. Sementara Gandarwa Anggaraparna memberikannya akar sakti bernama Oyod Bayura “Permadi, bawalah Oyod Bayura ini. Bila kau pukul akar ini, maka segala bentuk jebakan gaib, sihir, teluh, dan guna-guna akan runtuh dan terlihat kasat mata”
Disisi lain hutan Wanamarta, tersebutlah seorang raksasi yang sedang melakukan tapa rame. Namanya Dewi Arimbi. Walaupun wujudnya raksasi berwajah menakutkan, namun hatinya sangat baik dan tulus. Perangainya begitu sopan dan dewasa bak putri keraton. Sudah banyak orang yang ditolongnya, banyak yang berterima kasih padanya namun tak sedikit pula yang lari karena melihat wajahnya. Ketika sedang berjalan mencari air, dia tersasar ke wilayah Kandaparasta. disana dia melihat seorang pria yang tinggi besar sedang kesakitan karena diserang makhluk tak kasat mata. “Raden tidak apa-apa? marilah ikut saya. Saya akan obati luka-luka raden.” Ketika sang pria itu menoleh dan dilihatnya adalah seorang raksasi, dirinya langsung menampiknya dan memandang jijik padanya “Hei raksasi apa mau mu? Apa kau ingin menjebakku? Aku tak sudi ditolong olehmu dan jangan harap kau akan mendapatkan aku” kemudian sang pria itu lari meninggalkannya. Dewi Arimbi yang melihat sang pemuda gagah itu tersinggung dan langsung mengejarnya.
Dewi Arimbi kemudian bertemu Dewi Kunthi dan Dewi Drupadi yang kebetulan sedang berkeliling hutan dan bertanya dengan sopan “Permisi, saya mau bertanya. Apakah bibi dan kakak pernah melihat seorang pemuda tinggi besar yang lewat sini?” Dewi Kunthi terkesan ada seorang raksasi namun memiliki sopan santun dan subasita. “ohh, pemuda tinggi besar yang kamu cari itu putraku yang nomor dua. Namanya Bima tapi lebih sering dipanggil Bratasena. Namaku Kunthi dan dia Drupadi, menantuku. Kami datang dari Hastinapura. Saya istri pertama mendiang kanda Pandu Dewanata.” Begitu nama Pandu Dewanata disebut, Dewi Arimbi menyembah hormat pada Dewi Kunthi “aduh ampun, bibi prameswari. Saya tidak tahu kalau anda istri paman Prabu Pandu. Perkenalkan nama saya Arimbi, putri kedua ayahanda Prabu Tremboko, raja Pringgandani.” Dewi Kunthi kemudian memeluk Dewi Arimbi bagai anak sendiri. Dewi Arimbi kemudan bercerita pada Dewi Kunthi tentang nasibnya dan kerajaannya“sejak merenggangnya hubungan Hastinapura dan Pringgandani puluhan tahun lalu, kerajaan menjadi terkucilkan dari pergaulan. Terlebih lagi kakang saya, Prabu Arimba. Sejak kematian ayahanda dan menjadi raja, dia sangat membenci orang Hastinapura,terutama paman Pandu yang dianggapnya telah mengadu domba negara. Sekarang saya melakukan tapa rame agar dosa-dosa ayahanda dan paman Pandu menjadi lunas. Saat saya kesasar kesini, kebetulan putra bibi minta bantuan tapi dia malah langsung lari. Saya ingin tau apa alasannya berbuat demikian. Saya hanya ingin menolong”
Dewi Arimbi berubah menjadi gadis cantik 
Dewi Kunthi sangat bangga sekaligus prihatin kepada Dewi Arimbi seraya berkata “Duhh, cantiknya jiwamu itu. Semoga kecantikanmu yang dari dalam itu memancar keluar.” Tak lama, Tiba-tiba muncul sebuah keajaiban. Sanghyang Widhi menurunkan karomah kepada salah satu hamba-Nya. Muncul seberkas cahya dan kabut menyelimuti seluruh tubuh Dewi Arimbi. Setelah cahya itu pudar, wujud Dewi Arimbi berubah, dari seorang raksasi berwajah mengerikan menjadi gadis cantik rupawan. Wajahnya bercahaya bak bulan purnama. Kecantikannya sebanding dengan kecantikan bidadari kahyangan.
Tak berapa lama, Arya Bratasena datang dan bercerita bahwa dia dikejar seorang raksasi. Dewi Kunthi berkata bahwa raksasi itu ada dihadapannya sekarang. Arya Bratasena tak percaya bahwa gadis cantik yang ada dihadapannya itu raksasi yang mengejarnya “raden, ini aku, raksasi yang mengejarmu tadi.” Dewi Kunthi kemudian menjelaskan “Anakku, inilah raksasi yang mengejarmu. Namanya Dewi Arimbi, putri dari Pringgandani. Dia putri dari Prabu Tremboko. Sebuah keajaiban telah terjadi padanya sehingga wujudnya berubah menjadi cantik.” Begitu memandang, Tiba-tiba muncul getaran di hati Bratasena. Begitupun Dewi Arimbi. Cinta bersemi didalam hati mereka berdua.
Tak lama kemudian datanglah Raden Permadi, Raden Puntadewa, Raden Pinten, dan Raden Tangsen. Mereka melihat seberkas cahaya dan mendatanginya. Belum sempat Dewi Kunthi menjelaskan, tiba-tiba para Pandawa diserang oleh sesuatu yang tak kasat mata. Sebelum mereka semakin parah, Raden Permadi segera membalurkan Lisah Jayengkaton pemberian mertuanya ke kelopak matanya dan saudara-saudaranya. Setelah dibalurkan, mereka melihat makhluk niskala berwajah mirip mereka. Mereka adalah Prabu Jin Yudhistira, jin Arya Dandunwacana, jin Arya Dananjaya, jin Arya Damagranti,dan jin Arya Tantripala. Di belakang mereka terlihat sebuah istana yang sangat megah. Mereka baru menyadari bahwa Kandaparasta dan Wanamarta adalah kerajaan hantu dan jin yang sangat besar. Karena sudah kepalang basah, mereka saling menyerang satu sama lain. Permadi menyerang mereka dengan Oyod Bayura sehingga mereka menjadi kesakitan. Lalu muncullah Batara Indra, ayah angkat Permadi. Batara Indra menolong lima jin itu “Anakku, Permadi. Apa yang kau lakukan? Para jin ini berada dibawah lindunganku.” “Mohon ampun, Romo Pukulun. Aku akan membakar hutan ini untuk dijadikan negara baru. Siapa yang menghalangiku akan aku tak segan melawan sekuat tenaga” Permadi mulai merentangkan busur Gandiwa dan mengeluarkan panah Agneyastra. Seketika begitu panah melesat, Kandaparasta dan hutan Wanamarta terbakar. Batara Indra segera menembakkan panah Tirta Sakethi ke arah awan. Seketika turunlah hujan deras. Padamlah sebagian api itu. Permadi kembali menembakkan panah Agneyastra dan berubahlah menjadi payung api yang menguapkan seluruh hujan yang diciptakan Batara Indra.
Karena sudah tak mampu bersabar lagi, Batara Indra mengeluarkan tombak Bajra miliknya. Tak ingin kalah, Raden Permadi segera merentangkan busur Gandiwa dan merapal ajian panah Sirsha.
Prabu Kresna melerai Batara Indra dan Raden Permadi
Seketika, alam bergejolak. Bumi gonjang-ganjing, langit kolap-kalip. Badai dan topan menyapu sebagian hutan Kandaparasta dan Wanamarta. Halilintar yang dikeluarkan Bajra dan Panah Sirsha saling beradu menciptakan badai api yang mengerikan. Di saat yang sedemikian gentingnya, datanglah seorang raja berkulit gelap. Mahkotanya indah dengan jamang emas berhiaskan sebuah bulu merak. Dialah Prabu Kresna. Prabu Kresna mengeluarkan senjata andalannya, Cakra Widaksana. Cakra Widaksana mulai berputar menyerap halilintar dan badai api. Prabu Kresna kemudian berkata”Hentikan, pukulun Batara. Perbuatan pukulun akan menghancurkan dunia. Aku datang kemari untuk mencegah kehancuran akibat perbuatan kalian. Tariklah senjata kalian.” Begitu mereka menarik senjata masing-masing, badai api menghilang. Prabu jin Yudhistira menampakkan diri lalu berkata pada Prabu Kresna bahwa mereka melawan para Pandawa untuk memastikan saja bahwa mereka benar adalah orang yang ditakdirkan memiliki kerajaan Mertani. Jauh sebelum para Pandawa dewasa, Batara Indra telah menciptakan sebuah istana megah beserta kota besarnya yang diberi nama “Indraprastha” di wilayah Kandaparasta dan Wanamarta. Istana itu dipersiapkan untuk menjadi istana para Pandawa. Lalu oleh Batara Indra, kelima jin itu ditugaskan olehnya menjaga istana itu di alam niskala dan kini karena para Pandawa sudah datang, mereka minta izin pada Batara Indra untuk kembali ke alam niskala. Batara Indra mengizinkannya. Sebelum kelima jin itu menghilang, kelima jin itu mempersilahkan para Pandawa memakai nama mereka sebagai bentuk kenang-kenangan. Sebelum kembali ke kahyangan, Batara Indra menganugerahkan panah Sangkali kepada putra angkatnya, Permadi.
Seketika kemudian, tanah Kandaparasta dan Wanamarta bergoncang. Tiba-tiba, muncul sebuah keraton yang sangat megah di bekas reruntuhan Kandaparasta dan sebagian hutan Wanamarta berubah menjadi alun-alun dan kota yang sangat indah lengkap dengan dinding kastil yang kokoh. Tanah yang tadinya tandus berbatu berubah menjadi subur. Sumber air yang tadinya tidak ada airnya berubah menjadi sumur-sumur indah berair jernih.
Terbukanya Kandaparasta dan Wanamarta
Tempat yang tadinya panas dan ber-aura negatif berubah 180 derajat menjadi kawasan ibukota yang sejuk bila mata memandang dan ber-aura sangat positif. Demikianlah, para Pandawa memasuki keraton Indraprastha diiringi, Dewi Kunthi, Dewi Drupadi, Dewi Arimbi, Prabu Kresna, dan ki Lurah Semar.
Ketika mereka sedang melihat-lihat isi keraton, tiba datanglah dua orang raksasa masuk ke keraton. Dewi Arimbi mengenali mereka. Mereka adalah Arya Brajamusthi dan Arya Kalabendana. Ketika Dewi Arimbi menghampiri kedua adiknya itu, mereka terkejut melihat sang kakak perempuan bisa berubah menjadi sangat cantik. Dewi Arimbi kemudian menjelaskan dirinya bisa secantik ini karena kemurahan Sanghyang Widhi. Brajamusthi kemudian berkata “kakang Mbok Arimbi, marilah kita pulang ke Pringgandani. Prabu Arimba sangat marah mendengar penuturan telik sandi bahwa kakang mbok bersama orang dari Hastinapura di hutan ini.” Dewi Arimbi mengatakan dia butuh waktu untuk berpikir. Arya Kalabendana yang tak mau berpisah dengan sang kakak memilih tinggal dan Arya Brajamusthi segera meninggalkan keraton. Sempat terlihat disamping Dewi Arimbi, selain Kalabendana ada seorang pemuda gagah tinggi besar menggandeng tangan Dewi Arimbi.
Sementara itu di perkemahan di hutan Wanamarta, Prabu Arimba bersama adik-adiknya yang lain yaitu Arya Brajadentha, Arya Brajawikalpa, dan Arya Prabakesha yang sedang mencari keberadaan Dewi Arimbi menerima kedatangan Arya Brajamusthi. Arya Brajamusthi menjelaskan bahawa Kalabendana mengikuti Dewi Arimbi lalu berkata “Ampun, kakang Prabu. Kakang mbok Arimbi sekarang berada di sebuah keraton di pinggir hutan ini. Dari yang aku lihat, Di dalamnya ada keluarga paman Prabu Pandu dan nampaknya Dewi Arimbi jatuh cinta pada salah satu putranya.” Meledaklah kemarahan Prabu Arimba mendengar laporan adiknya itu. Digebraknya meja kayu di dekatnya sehingga pecah dan hancur”Apa?? Adikku bersama keluarga pembunuh itu?? tak bisa dibiarkan!! Aku sendiri yang akan melabrak dan memaksanya pulang.” Brajamusthi berusaha mencegah kakak sulungnya itu namun terlambat, sang kakak sudah pergi duluan.
Sesampainya di Keraton Indraprastha, Prabu Arimba mendapati seorang wanita sedang jalan bersama dengan seorang pria tinggi besar di tamansari. Berkat kekuatan batin yang kuat, dia dapat mengenali bahwa wanita itu adiknya, Dewi Arimbi dan sang pria adalah Arya Bratasena, putra kedua Pandu Dewanata. Lalu dengan marah-marah, dilabraklah Dewi Arimbi lalu dijambak dan diseretnya adik perempuannya itu “ Arimbi, apa yang kau lakukan dengan keluarga pembunuh ayahanda? Jatuh cinta? Atau kau mau berkhianat dari negaramu? Dariku, Adik kurang ajar” Dewi Arimbi mengakuinya sambil mengerang kesakitan “Ampun kakang prabu. Aku akui diriku telah jatuh cinta pada kakang Bratasena. Aku mohon kakang, lupakan dendammu. Paman prabu Pandu sudah tiada, begitu juga ayahanda. Jangan nodai nama besar ayahanda. Jangan membuatnya malu di swargaloka” Namun Prabu Arimba tak bergeming seakan tak peduli. Dendam telah merasuk ke dalam hatinya. Arya Bratasena menarik tangan Prabu Arimba dan membebaskan Dewi Arimbi dari jambakan kakaknya itu. “Hei, Arimba. Ayahmu meski berwujud raksasa tapi berbudi dewata. Sedangkan kau.....memuliakan adik perempuanmu kau tidak bisa. Kau bukan raja tapi iblis. Kau tak pantas menjadi kakaknya.” Memuncaklah kemarahan Prabu Arimba mendengarnya lalu diseretnya Arya Bratasena ke tengah alun-alun. Para Pandawa, Dewi Kunti, Dewi Drupadi dan yang lainnya ikut menyaksikan. Mereka saling bertarung, saling tendang, saling sikut, saling cakar, dan beradu senjata gada satu sama lain. Masing-masing dari mereka tak ada yang menang maupun kalah. Keduanya berimbang sampai Prabu Arimba menggunakan ajian Bayuntaka, ajian andalannya. Seketika tubuh Bratasena lemas begitu mendekati Prabu Arimba seakan tenaganya tersedot dan menyusut dengan cepat. Bratasena berhasil menghindar namun badannya masih lemas. Dewi Arimbi datang mengipasinya. Seketika Bratasena kembali kuat. Mereka kembali bertarung namun begitu tangannya menyentuh Prabu Arimba lagi, tenaganya susut lagi. Bratasena kembali lemas dan Dewi Arimbi dengan tulus mengipasinya. Prabu Arimba yang melihatnya merasa iba namun dendam rupanya telah mendarah daging, menjalar dalam kalbu dan urat nadi sang raja Pringgandani itu.
Pertandingan kembali dilanjutkan. Kali ini Prabu Arimba semakin beringas dan kejam bagai denawa hutan. Tak kenal ampun lagi. Bratasena sudah tahu rahasia Prabu Arimba. Karena itu, Bratasena mulai mengurangi kontak fisik dan mulai menyabetkan Kuku Pancanka. Namun tiada diduga, karena ajian Bayuntaka pula, kulit Prabu Arimba sangat alot bagaikan kulit badak. Senjata bahkan Kuku Pancanaka miliknya hanya memberikan goresan kecil saja. Hari mulai berangkat siang. Dewi Arimbi semakin khawatir kepada mereka keduanya. Dilema melanda hatinya, antara sang kakak yang disayanginya atau sang kekasih yang dicintainya. Kemudian dia melihat ada pohon aren didekat alun-alun. Tiba-tiba Arimbi berteriak, “Tusuk pusarnya lalu pukul dia ke pohon aren itu.” Keduanya terkejut. Kemudian Prabu Arimba melihat matahari mulai bergeser dari puncaknya ke arah barat. Kesempatan itu digunakan Bratasena, Prabu Arimba dibenturkannya ke pohon aren lalu ditusukkan kuku saktinya itu ke pusarnya. Raja Pringgandani itu seketika mengerang kesakitan dengan luku menganga di pusarnya dan badan remuk terkena pohon aren. Dengan sempoyongan, Prabu Arimba berusaha mendekati Dewi Arimbi. Dewi Arimbi semakin cemas. Dengan kepasrahan totalnya, dia menanti apa yang akan dilakukan sang kakak pada dirinya. Dewi Kunthi sangat cemas dengan Arimbi segera mendekatinya sambil memeluknya diiringi Permadi dan Prabu Kresna dibelakangnya. Tak lama kemudian datanglah para Kadang Braja, adik-adik Prabu Arimba dan Dewi Arimbi dipimpin oleh Arya Brajadentha dan Brajamusthi. Ternyata yang terjadi diluar dugaan. Prabu Arimba tak meluapkan amarahnya malah berkata “Adikku, Dinda Arimbi. Aku tak marah..... aku sangat tersentuh melihatmu .....menyayangi Bratasena setulus hati......maafkan aku. Aku merestui hubungan kalian.” Tangis Arimbi pecah mendengarnya dan Bratasena segera memeluknya. Prabu Arimba merasa ajalnya telah dekat berkata kepada Bratasena “Bratasena.... aku tititipkan Arimbi, adik-adikku dan negara Pringgandani.... jagalah mereka......sebelum aku pergi.....aku akan memberikan kenang-kenangan.........karena kau telah bertarung denganku sebuas serigala..... maka aku menjulukimu sang Wrekodara.....” demikianlah Prabu Arimba meninggal dunia.
Prabu Arimba gugur
Para Kadang Braja terutama Dewi Arimbi semakin sedih. Tangisnya semakin pecah. Ditinggalkan sang kakak yang telah menjadi pengganti orangtua. Para Kadang Braja sudah mengaku ikhlas atas  kekalahan Prabu Arimba dan tak akan ada dendam lagi. Para kadang Braja minta izin pada Raden Puntadewa untuk melakukan pengabenan jenazah Prabu Arimba di Keraton Indraprastha. Setelah semuanya siap, api pancaka dinyalakan. Api berkobar mennebarkan hawa panas.
Tujuh hari setelah berkabung, sebagian Hutan Wanamarta telah dibuka menjadi negara baru dan sebagian lagi tetap dibiarkan menjadi hutan. Bersamaan hari pembukaan itu, dilangsungkanlah pernikahan Bratasena dan Dewi Arimbi. Pestanya berlangsung sangat meriah. Setelah resepsi tiga hari selesai,. Raden Puntadewa mengganti nama kerajaan Mertani menjadi Amarta dengan wilayah Kandaparasta sebagai kotaraja. Namun Raden Permadi tak setuju bila nama itu terus dipakai karena akan meninggalkan kesan buruk masa lalu. Maka oleh Raden Puntadewa, nama Kandaparasta diganti menjadi Indraprastha. Raden Puntadewa kemudian menunjuk Arya Bratasena sebagai raja Amarta namun Arya Bratasena menolak. Dirinya berkata “Kakang sudah bertindak sebagai kakak yang baik. Kakang adalah penurus ayahanda Pandu dan lagi kakang juga cakap memimpinku dan adik-adik. Kami adik-adikmu setuju kalau kakang jadi raja. Betul gak, Jlamprong? Pinten? Tangsen?” Raden Permadi, Raden Pinten dan Tangsen setuju bahkan mereka sampai berlutut. Hanya Bratasena saja yang tak berlutut hanya memberikan salamnya tanda memohon. Awalnya Raden Puntadewa tak setuju. Prabu Kresna berusaha mendukung perkataan Bratasena “Ayolah, rayi Puntadewa. Adik-adikmu setuju. Bahkan aku pun setuju. Negara Dwarawati setuju. Kau sudah terbukti cakap dan hebat memimpin. Sudah saatnya paman Pandu mendapatkan pewarisnya.” Namun Raden Puntadewa masih tak bergeming. Lalu Dewi Kunthi berkata pada putra sulungnya itu “putraku Dwijakangka, kau sudah membuktikan dirimu pantas menjadi pemimpin. Dukungan dari negara lain, dari keponakanku Kresna sudah ada didepan mata. Adik-adikmu juga yang menginginkannya tanpa keterpaksaan. Jadi kabulkan permohonan mereka. Aku sebagai ibu hanya bisa merestuimu.” Hati Puntadewa luluh dan tersentuh sambil memeluk keempat adiknya. Raden Puntadewa setuju untuk menjadi raja Amarta. Setelah itu, mereka segera mempersiapkan diri untuk menyiapkan dan menentukan hari penobatan. Kelak setelah hari penobatan, negeri Amarta akan menjadi negara merdeka, bukan lagi bawahan Kerajaan Hastinapura.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar