Holla guys, kali ini saya akan menceritakan tentang pembagian negara Hastinapura diantara Pandawa dan Kurawa. Dalam versi India, para Pandava memilih kota Kandavaprastha yang gersang dan mengubahnya menjadi kota yang makmur lalu namanya diganti menjadi Indraprastha. Sedangkan dalam versi Jawa, Pandawa mendapatkan hutan Wanamarta dan mendirikan negara baru bernama Amarta disana. Di sini saya berusaha menggabungkan kedua versi tersebut. Disini juga dikisahkan bagaimana pertemuan dan pernikahan Bratasena dengan Dewi Arimbi, yang kelak akan melahirkan seorang ksatria yang gagah berotot kawat tulang besi, Gatotkaca. Disini saya memekai sumber Kitab Mahabharata karya Mpu Vyasa, Kitab Pustakaraja Purwa, karya Raden Ngabehi Ronggowarsito, serial kolosal Indonesia Karmapala karya Imam Tantowi dan serial kolosal India Mahabaharat Starplus.
Pada
suatu hari, Prabu Dretarastra sedang bersidang dihadap Maharesi Bhisma, Arya
Widura, Patih Arya Sengkuni, Resi Dorna dan, Mpu Krepa. Mereka membicarakan
tentang perselisihan Pandawa dan Kurawa yang tak pernah mencapai titik terang.
Terakhir saat sayembara membuat sungai, para Pandawa dinyatakan menang oleh
Resi Dorna dan para Kurawa semakin tak terima. Keputusan Resi Dorna juga
membuat anak kesayangan sang Prabu Dretarastra, Prabu Anom Suyudana menjadi
sakit dan tak mau makan obat. Maharesi Bhisma merasa tak ada jalan lain
kemudian berkata “Anak Prabu. Aku sendiri sudah bosan, sudah jemu sekali dengan
perselisihan cucu-cucuku itu. Aku sudah lama mendengar tentang ramalan bahwa
negeri kita tercinta ini akan hancur oleh Mahapralaya Bharatayudha dari rayi Abiyasa.
Aku tak ingin itu terjadi. Kalau demi kepentingan bersama dan tidak ada pilihan
lain, dengan sangat terpaksa aku rela kalau negeri Hastinapura ini kita sigar semangka, kita bagi dua.” Arya
Widura merasa sayang bila negara di pisah namun karena sudah menjadi ketentuan
sang paman, dia tak bisa lagi menolak. “lalu untuk wilayahnya, wilayah mana
yang akan kita serahkan pada para Pandawa?” tanya Arya Widura. Patih Arya
Sengkuni kemudian berkata “ Aku punya usulan bagaimana kalau kita akan
memberikan kepada Puntadewa dan saudara-saudaranya wilayah Kandaparasta
disebelah timur bengawan Gangga?” Arya Widura jelas saja tak terima bila para
pandawa diberikan wilayah itu “Aku tak setuju. Kandaparasta adalah wilayah
gersang dan lagi tempat itu sudah lama tidak ditempati manusia malah menjadi
tempat angker yang menjadi kerajaan hantu. Lagi pula luas wilayah Kandaparasta
kurang dari seperempatnya Hastinapura.” Patih Arya Sengkuni kemudian menjawab
“kalau rayi Widura tak terima, tak mengapa. Yang menentukan pilhan kan
Puntadewa bukan rayi Widura juga.” Prabu Dretarastra kemudian melerai dan
memerintahkan Arya Widura untuk merundingkan hal ini dengan para Pandawa.
Di
wisma tamu Kadilengleng, Para Pandawa, Dewi Kunthi, Dewi Drupadi, dan Ki Lurah
Semar kedatangan Arya Widura. Tanpa membuang waktu, Arya Widura menyampaikan
hasil sidang dan diputuskan bahwa untuk menghindari konflik, Kerajaan
Hastinapura akan di bagi menjadi dua dan pihak Pandawa boleh memilih antara
Kerajaan Hastinapura beserta kotaraja atau wilayah Kandaparasta yang tandus dan
angker. Setelah berpikir matang-matang, Puntadewa memilih wilayah Kandaparasta.
Arya Bratasena kecewa dengan pilihan kakaknya itu “ Haduh, kakang Puntadewa.
Kok malah milih Kandaparasta. Mereka para Kurawa pasti kegirangan. Kakang
tahukan kalau Kandaparasta itu wilayah angker. Banyak hantu dan jinnya.
Lagipula luasnya kurang dari seperempatnya Hastinapura. Ini jelas tak adil.
Izinkan aku matur minta keadilan pada Uwa Prabu” sebelum Bratasena berangkat,
Raden Puntadewa balik menasihati adiknya itu “Adhi Bratasena, dengarkan aku.
Aku sudah memikirkan ini dengan masak-masak. Kita kembali kesini tidak untuk
menciptakan perang saudara tapi menghindarkan perang saudara. Mungkin bukan
hanya aku, eyang Bhisma dan uwa Prabu tidak mau ramalan eyang Abiyasa tentang
perang akbar Bharatayudha menjadi kenyataan. Lagipula kita cuma berlima
ditambah ibu. Menurutku itu sudah lebih dari cukup. Ingat, adhi Bratasena, yang
dikatakan adil itu tidak harus sama rata sama rasa. Adil itu sesuai dengan
kebutuhan dan takarannya. Tak adil rasanya bila beban yang ditanggung anak muda
diberikan pada seorang kakek tua. Jadi tak adil rasanya bila seratus orang
diberikan wilayah hanya seperempat dari wilayah aslinya.” Arya Bratasena tak
lagi membantah dan balik mendukung kakaknya itu. Kemudian Raden Puntadewa
bertanya tentang pendapat adik-adiknya yang lain. Raden Permadi menjawab
“awalnya aku sendiri tak setuju. Tapi bila itu sudah menjadi keputusan kakang,
aku akan mendukung keputusan kakang Puntadewa. Ini juga demi Hastinapura, demi
terciptanya perdamaian.” Sementara itu Raden Pinten dan Raden Tangsen menjawab “aku dan adhi Tangsen
sejak kecil sudah menganggap kakang Puntadewa sebagai pengganti ayahanda
Pandu....” “apapun yang kakang Puntadewa telah putuskan, aku dan kakang Pinten
siap mematuhi dan melaksanakannya.” Kemudian Raden Puntadewa meminta
pertimbangan pada sang ibu, Dewi Kunthi dan Ki lurah Semar. Dewi Kunthi berkata
”apapun yang telah kau anggap baik, ibu hanya bisa merestui, anakku. Semoga
Sanghyang Widhi merestui dan melindungi kalian” Ki Lurah Semar mendukung apa
yang dikatakan Dewi Kunthi “dul mblegedag mblegedug sadulito, aku hanya seorang
pemomong dan kawan ndoro sekalian. Aku sih hanya ikut saja selama hal itu benar
untuk dilakukan. Sama seperti kanjeng ratu Kunthi, Aku selalu mendukung ndoro
bila itu benar.“
Karena
sudah diputuskan, setelah memohon izin pada uwa Prabu Dretarastra dan menerima
serah terima, mereka segera berangkat ke Kandaparasta, meninggalkan segala
kemewahan keraton dan teduhnya alam pertapaan. Sebelum sampai disana, mereka
bertemu Prabu Matsyapati dari Wirata yang sedang sidak di perbatasan. Dia telah
mendengar bahwa Pandawa dan Dewi Kunthi telah selamat dari Bale Sigala-gala dan
bersyukur sekali”aduh, cucu-cucuku Pandawa. Syukurlah kalian telah selamat dari
kebakaran Bale Sigala-gala. Ngomong-ngomong, kalian hendak pergi kemana?” Raden
Puntadewa menjelaskan bahwa mereka hendak ke Kandaparasta untuk mendirikan
kerajaan baru disana. Prabu Matsyapati merasa kurang adil saja bila para
Pandawa hanya mendapat Kandaparasta maka dia menghadiahkan hutan Wanamarta,
sebuah hutan tak bertuan yang sangat luas bersebelahan dengan Kandaparasta
kepada mereka. Raden Puntadewa merasa tidak enak hati pada Prabu Matsyapati
namun sang Prabu meyakinkan bahwa hadiah ini sebagai bentuk persahabatan.
Akhirnya
Raden Puntadewa menerima wilayah hutan itu. Setelah mereka melanjutkan
perjalanan yang sangat melelahkan, melewati gunung menuruni lembah, akhirnya merka
sampai di gerbang kota Kandaparasta.
Walaupun disebut kota, tempat itu nampak seperti
kota mati. Ditinggalkan, gersang, dan telah bersatu dengan hutan Wanamarta di sebelahnya.
Bangunan keraton yang ada disitu nampak sudah menjadi reruntuhan dan ditumbuhi
berbagai pepohonan hutan dan tumbuhan liar bahkan sebagian besar bangunan
keraton sudah bersatu dengan hutan Wanamarta. Sementara bangunan-bangunan lain
disekitarnya sudah hancur dan tak bersisa satupun. Tak ada sumber air yang bisa
diminum di daerah itu. Tanah di kota itu amat keras, tandus, dan berbatu kasar.
Susah untuk ditanami ataupun untuk bertani. Aura negatif di tempat itu begitu
terasa, membuat siapapun tak betah
berlama-lama. Raden Puntadewa bertanya pada sang istri, Dewi Drupadi “Dinda,
daerah ini sangat wingit dan berbahaya. Aku tak mau bila dinda sampai celaka.
Apa kau bersedia untuk pulang sejenak ke Pancalaradya selama aku dan
saudara-saudaraku masih membangun tempat ini?” Dewi Drupadi kemudian berkata
“Kanda, jangankan memasuki Kandaparasta dan Wanamarta yang angker, ke dasar
neraka pun aku ikut asalkan aku bisa tetap melayanimu, kanda. Jangan
khawatirkan aku. Aku sudah siap laku prihatin asal tetap bersamamu. Biarkan aku
menjaga persediaan makanan kita dan menemani ibu selagi kanda dan adik-adik
membabat hutan” Raden Puntadewa berterima kasih kepada sang istri yang telah
setia bersama dalam susah dan senang bahkan siap meninggalkan segala kemewahan.
Sementara Raden Puntadewa, Raden Pinten, dan Tangsen membangun kemah, Arya
Bratasena dan Raden Permadi mulai membabat pepohonan yang ada di Kandaparasta
dan Wanamarta. Dengan Kuku Pancanaka miliknya, Arya Bratasena membabat segala
pepohonan, semak belukar, dan sulur-sulur yang mengganggu. Di sisi lain, di belakang
reruntuhan keraton Kandaparasta yang tertutup hutan Wanamarta, tersebutlah
kerajaan jin bernama Mertani yang dipimpin oleh Prabu jin Yudhistira. Prabu jin
Yudhistira dihadap oleh ke empat saudaranya, Jin Arya Dandunwacana, Arya
Dananjaya, Arya Damagranti, dan Arya Tantripala. Sang raja jin merasa terusik
karena ada laporan dari kawanan makhluk halus yang datang mengatakan bahwa
hutan tempat tinggal mereka dibabat oleh lima orang manusia. Arya Dandunwacana
segera berangkat membereskan manusia-manusia itu.
Kandaparasta yang telah hancur menyatu dengan Wanamarta |
Di
tempat lain, Raden Permadi yang juga sedang membabat sebagian hutan Wanamarta
kedatangan dua makhluk halus yang kebetulan mau menampakkan diri kepadanya,
yaitu Resi Wilawuk yang berwujud jin naga raksasa dan Gandarwa Anggaraparna.
Resi Wilawuk datang bersama sang putri, Dewi Jimambang yang kecantikannya bagai
putri keraton. Resi Wilawuk membawa Raden Permadi ke rumahnya, di Pertapaan
Pringcendani. Raden Permadi kemudian berguru kepada Resi Wilawuk. Dalam waktu
singkat, Raden Permadi dapat menguasai ajian Pedut Wisa. Sedangkan Gandarwa
Anggaraparna mengajarkan cara-cara menghadapi makhluk tak kasat mata . Resi
Wilawuk kemudian mengatakan alasannya mengajarkan ilmu itu “Anakku, Permadi.
Sebenarnya kedatanganku dan Anggaraparna melatihmu untuk memenuhi wangsit
dewata. Menurut wangsit itu, kelak akan ada salah seorang ksatria tampan yang
akan mengubah nasib Kandaparasta dan Wanamarta menjadi lebih baik dan orang itu
lah yang akan menjadi jodoh putriku.” Sejak lama, Permadi yang melihat putri
Resi Wilawuk seperti ada rasa cinta bergejolak, begitupun sebaliknya, sang
putri juga sering salah tingkah ketika melihat Raden Permadi. Kemudian Resi
Wilawuk menikahkan mereka. Tak terasa satu bulan telah berlalu, hamillah sang
istri. Permadi tak bisa mengajak sang istri pertama ke Wanamarta namun dirinya
berwasiat “istriku, tolong jagalah anak kita. Kalau yang lahir laki-laki,
berilah dia nama Gandawardaya.” Singkat cerita, Raden Permadi segera kembali ke
Kandaparasta. Sebelum berangkat, Resi Wilawuk memberikannya cupu berisi minyak
ajaib, yaitu Lisah Jayengkaton. Resi Wilawuk berkata bahwa bila minyak itu
dibalurkan ke kelopak mata, maka mata itu akan mampu melihat alam niskala
beserta penghuninya yang tak kasat mata. Sementara Gandarwa Anggaraparna
memberikannya akar sakti bernama Oyod Bayura “Permadi, bawalah Oyod Bayura ini.
Bila kau pukul akar ini, maka segala bentuk jebakan gaib, sihir, teluh, dan guna-guna
akan runtuh dan terlihat kasat mata”
Disisi
lain hutan Wanamarta, tersebutlah seorang raksasi yang sedang melakukan tapa
rame. Namanya Dewi Arimbi. Walaupun wujudnya raksasi berwajah menakutkan, namun
hatinya sangat baik dan tulus. Perangainya begitu sopan dan dewasa bak putri
keraton. Sudah banyak orang yang ditolongnya, banyak yang berterima kasih
padanya namun tak sedikit pula yang lari karena melihat wajahnya. Ketika sedang
berjalan mencari air, dia tersasar ke wilayah Kandaparasta. disana dia melihat
seorang pria yang tinggi besar sedang kesakitan karena diserang makhluk tak
kasat mata. “Raden tidak apa-apa? marilah ikut saya. Saya akan obati luka-luka
raden.” Ketika sang pria itu menoleh dan dilihatnya adalah seorang raksasi,
dirinya langsung menampiknya dan memandang jijik padanya “Hei raksasi apa mau
mu? Apa kau ingin menjebakku? Aku tak sudi ditolong olehmu dan jangan harap kau
akan mendapatkan aku” kemudian sang pria itu lari meninggalkannya. Dewi Arimbi
yang melihat sang pemuda gagah itu tersinggung dan langsung mengejarnya.
Dewi
Arimbi kemudian bertemu Dewi Kunthi dan Dewi Drupadi yang kebetulan sedang
berkeliling hutan dan bertanya dengan sopan “Permisi, saya mau bertanya. Apakah
bibi dan kakak pernah melihat seorang pemuda tinggi besar yang lewat sini?”
Dewi Kunthi terkesan ada seorang raksasi namun memiliki sopan santun dan
subasita. “ohh, pemuda tinggi besar yang kamu cari itu putraku yang nomor dua.
Namanya Bima tapi lebih sering dipanggil Bratasena. Namaku Kunthi dan dia
Drupadi, menantuku. Kami datang dari Hastinapura. Saya istri pertama mendiang
kanda Pandu Dewanata.” Begitu nama Pandu Dewanata disebut, Dewi Arimbi
menyembah hormat pada Dewi Kunthi “aduh ampun, bibi prameswari. Saya tidak tahu
kalau anda istri paman Prabu Pandu. Perkenalkan nama saya Arimbi, putri kedua
ayahanda Prabu Tremboko, raja Pringgandani.” Dewi Kunthi kemudian memeluk Dewi
Arimbi bagai anak sendiri. Dewi Arimbi kemudan bercerita pada Dewi Kunthi tentang
nasibnya dan kerajaannya“sejak merenggangnya hubungan Hastinapura dan
Pringgandani puluhan tahun lalu, kerajaan menjadi terkucilkan dari pergaulan.
Terlebih lagi kakang saya, Prabu Arimba. Sejak kematian ayahanda dan menjadi
raja, dia sangat membenci orang Hastinapura,terutama paman Pandu yang dianggapnya
telah mengadu domba negara. Sekarang saya melakukan tapa rame agar dosa-dosa
ayahanda dan paman Pandu menjadi lunas. Saat saya kesasar kesini, kebetulan
putra bibi minta bantuan tapi dia malah langsung lari. Saya ingin tau apa
alasannya berbuat demikian. Saya hanya ingin menolong”
Dewi Kunthi sangat
bangga sekaligus prihatin kepada Dewi Arimbi seraya berkata “Duhh, cantiknya jiwamu
itu. Semoga kecantikanmu yang dari dalam itu memancar keluar.” Tak lama, Tiba-tiba
muncul sebuah keajaiban. Sanghyang Widhi menurunkan karomah kepada salah satu
hamba-Nya. Muncul seberkas cahya dan kabut menyelimuti seluruh tubuh Dewi
Arimbi. Setelah cahya itu pudar, wujud Dewi Arimbi berubah, dari seorang
raksasi berwajah mengerikan menjadi gadis cantik rupawan. Wajahnya bercahaya
bak bulan purnama. Kecantikannya sebanding dengan kecantikan bidadari
kahyangan.
Dewi Arimbi berubah menjadi gadis cantik |
Tak
berapa lama, Arya Bratasena datang dan bercerita bahwa dia dikejar seorang
raksasi. Dewi Kunthi berkata bahwa raksasi itu ada dihadapannya sekarang. Arya
Bratasena tak percaya bahwa gadis cantik yang ada dihadapannya itu raksasi yang
mengejarnya “raden, ini aku, raksasi yang mengejarmu tadi.” Dewi Kunthi
kemudian menjelaskan “Anakku, inilah raksasi yang mengejarmu. Namanya Dewi
Arimbi, putri dari Pringgandani. Dia putri dari Prabu Tremboko. Sebuah
keajaiban telah terjadi padanya sehingga wujudnya berubah menjadi cantik.” Begitu
memandang, Tiba-tiba muncul getaran di hati Bratasena. Begitupun Dewi Arimbi. Cinta
bersemi didalam hati mereka berdua.
Tak
lama kemudian datanglah Raden Permadi, Raden Puntadewa, Raden Pinten, dan Raden
Tangsen. Mereka melihat seberkas cahaya dan mendatanginya. Belum sempat Dewi
Kunthi menjelaskan, tiba-tiba para Pandawa diserang oleh sesuatu yang tak kasat
mata. Sebelum mereka semakin parah, Raden Permadi segera membalurkan Lisah
Jayengkaton pemberian mertuanya ke kelopak matanya dan saudara-saudaranya.
Setelah dibalurkan, mereka melihat makhluk niskala berwajah mirip mereka.
Mereka adalah Prabu Jin Yudhistira, jin Arya Dandunwacana, jin Arya Dananjaya,
jin Arya Damagranti,dan jin Arya Tantripala. Di belakang mereka terlihat sebuah
istana yang sangat megah. Mereka baru menyadari bahwa Kandaparasta dan Wanamarta
adalah kerajaan hantu dan jin yang sangat besar. Karena sudah kepalang basah, mereka
saling menyerang satu sama lain. Permadi menyerang mereka dengan Oyod Bayura
sehingga mereka menjadi kesakitan. Lalu muncullah Batara Indra, ayah angkat
Permadi. Batara Indra menolong lima jin itu “Anakku, Permadi. Apa yang kau
lakukan? Para jin ini berada dibawah lindunganku.” “Mohon ampun, Romo Pukulun.
Aku akan membakar hutan ini untuk dijadikan negara baru. Siapa yang
menghalangiku akan aku tak segan melawan sekuat tenaga” Permadi mulai
merentangkan busur Gandiwa dan mengeluarkan panah
Agneyastra. Seketika begitu panah melesat, Kandaparasta dan hutan Wanamarta
terbakar. Batara Indra segera menembakkan panah Tirta Sakethi ke arah awan. Seketika turunlah hujan deras. Padamlah
sebagian api itu. Permadi kembali menembakkan panah Agneyastra dan berubahlah
menjadi payung api yang menguapkan seluruh hujan yang diciptakan Batara Indra.
Karena
sudah tak mampu bersabar lagi, Batara Indra mengeluarkan tombak Bajra miliknya.
Tak ingin kalah, Raden Permadi segera merentangkan busur Gandiwa dan merapal
ajian panah Sirsha.
Seketika, alam
bergejolak. Bumi gonjang-ganjing, langit kolap-kalip. Badai dan topan menyapu
sebagian hutan Kandaparasta dan Wanamarta. Halilintar yang dikeluarkan Bajra
dan Panah Sirsha saling beradu
menciptakan badai api yang mengerikan. Di saat yang sedemikian gentingnya,
datanglah seorang raja berkulit gelap. Mahkotanya indah dengan jamang emas berhiaskan
sebuah bulu merak. Dialah Prabu Kresna. Prabu Kresna mengeluarkan senjata
andalannya, Cakra Widaksana. Cakra Widaksana mulai berputar menyerap halilintar
dan badai api. Prabu Kresna kemudian berkata”Hentikan, pukulun Batara.
Perbuatan pukulun akan menghancurkan dunia. Aku datang kemari untuk mencegah
kehancuran akibat perbuatan kalian. Tariklah senjata kalian.” Begitu mereka
menarik senjata masing-masing, badai api menghilang. Prabu jin Yudhistira menampakkan
diri lalu berkata pada Prabu Kresna bahwa mereka melawan para Pandawa untuk
memastikan saja bahwa mereka benar adalah orang yang ditakdirkan memiliki
kerajaan Mertani. Jauh sebelum para Pandawa dewasa, Batara Indra telah menciptakan
sebuah istana megah beserta kota besarnya yang diberi nama “Indraprastha” di
wilayah Kandaparasta dan Wanamarta. Istana itu dipersiapkan untuk menjadi
istana para Pandawa. Lalu oleh Batara Indra, kelima jin itu ditugaskan olehnya
menjaga istana itu di alam niskala dan kini karena para Pandawa sudah datang,
mereka minta izin pada Batara Indra untuk kembali ke alam niskala. Batara Indra
mengizinkannya. Sebelum kelima jin itu menghilang, kelima jin itu
mempersilahkan para Pandawa memakai nama mereka sebagai bentuk kenang-kenangan.
Sebelum kembali ke kahyangan, Batara Indra menganugerahkan panah Sangkali
kepada putra angkatnya, Permadi.
Prabu Kresna melerai Batara Indra dan Raden Permadi |
Seketika
kemudian, tanah Kandaparasta dan Wanamarta bergoncang. Tiba-tiba, muncul sebuah
keraton yang sangat megah di bekas reruntuhan Kandaparasta dan sebagian hutan
Wanamarta berubah menjadi alun-alun dan kota yang sangat indah lengkap dengan
dinding kastil yang kokoh. Tanah yang tadinya tandus berbatu berubah menjadi
subur. Sumber air yang tadinya tidak ada airnya berubah menjadi sumur-sumur
indah berair jernih.
Tempat yang tadinya panas dan ber-aura negatif berubah 180
derajat menjadi kawasan ibukota yang sejuk bila mata memandang dan ber-aura sangat
positif. Demikianlah, para Pandawa memasuki keraton Indraprastha diiringi, Dewi
Kunthi, Dewi Drupadi, Dewi Arimbi, Prabu Kresna, dan ki Lurah Semar.
Terbukanya Kandaparasta dan Wanamarta |
Ketika
mereka sedang melihat-lihat isi keraton, tiba datanglah dua orang raksasa masuk
ke keraton. Dewi Arimbi mengenali mereka. Mereka adalah Arya Brajamusthi dan
Arya Kalabendana. Ketika Dewi Arimbi menghampiri kedua adiknya itu, mereka terkejut
melihat sang kakak perempuan bisa berubah menjadi sangat cantik. Dewi Arimbi
kemudian menjelaskan dirinya bisa secantik ini karena kemurahan Sanghyang
Widhi. Brajamusthi kemudian berkata “kakang Mbok Arimbi, marilah kita pulang ke
Pringgandani. Prabu Arimba sangat marah mendengar penuturan telik sandi bahwa
kakang mbok bersama orang dari Hastinapura di hutan ini.” Dewi Arimbi
mengatakan dia butuh waktu untuk berpikir. Arya Kalabendana yang tak mau
berpisah dengan sang kakak memilih tinggal dan Arya Brajamusthi segera
meninggalkan keraton. Sempat terlihat disamping Dewi Arimbi, selain Kalabendana
ada seorang pemuda gagah tinggi besar menggandeng tangan Dewi Arimbi.
Sementara
itu di perkemahan di hutan Wanamarta, Prabu Arimba bersama adik-adiknya yang
lain yaitu Arya Brajadentha, Arya Brajawikalpa, dan Arya Prabakesha yang sedang
mencari keberadaan Dewi Arimbi menerima kedatangan Arya Brajamusthi. Arya
Brajamusthi menjelaskan bahawa Kalabendana mengikuti Dewi Arimbi lalu berkata
“Ampun, kakang Prabu. Kakang mbok Arimbi sekarang berada di sebuah keraton di
pinggir hutan ini. Dari yang aku lihat, Di dalamnya ada keluarga paman Prabu
Pandu dan nampaknya Dewi Arimbi jatuh cinta pada salah satu putranya.”
Meledaklah kemarahan Prabu Arimba mendengar laporan adiknya itu. Digebraknya
meja kayu di dekatnya sehingga pecah dan hancur”Apa?? Adikku bersama keluarga
pembunuh itu?? tak bisa dibiarkan!! Aku sendiri yang akan melabrak dan
memaksanya pulang.” Brajamusthi berusaha mencegah kakak sulungnya itu namun
terlambat, sang kakak sudah pergi duluan.
Sesampainya
di Keraton Indraprastha, Prabu Arimba mendapati seorang wanita sedang jalan
bersama dengan seorang pria tinggi besar di tamansari. Berkat kekuatan batin
yang kuat, dia dapat mengenali bahwa wanita itu adiknya, Dewi Arimbi dan sang
pria adalah Arya Bratasena, putra kedua Pandu Dewanata. Lalu dengan
marah-marah, dilabraklah Dewi Arimbi lalu dijambak dan diseretnya adik
perempuannya itu “ Arimbi, apa yang kau lakukan dengan keluarga pembunuh
ayahanda? Jatuh cinta? Atau kau mau berkhianat dari negaramu? Dariku, Adik
kurang ajar” Dewi Arimbi mengakuinya sambil mengerang kesakitan “Ampun kakang
prabu. Aku akui diriku telah jatuh cinta pada kakang Bratasena. Aku mohon
kakang, lupakan dendammu. Paman prabu Pandu sudah tiada, begitu juga ayahanda.
Jangan nodai nama besar ayahanda. Jangan membuatnya malu di swargaloka” Namun
Prabu Arimba tak bergeming seakan tak peduli. Dendam telah merasuk ke dalam
hatinya. Arya Bratasena menarik tangan Prabu Arimba dan membebaskan Dewi Arimbi
dari jambakan kakaknya itu. “Hei, Arimba. Ayahmu meski berwujud raksasa tapi
berbudi dewata. Sedangkan kau.....memuliakan adik perempuanmu kau tidak bisa.
Kau bukan raja tapi iblis. Kau tak pantas menjadi kakaknya.” Memuncaklah
kemarahan Prabu Arimba mendengarnya lalu diseretnya Arya Bratasena ke tengah
alun-alun. Para Pandawa, Dewi Kunti, Dewi Drupadi dan yang lainnya ikut
menyaksikan. Mereka saling bertarung, saling tendang, saling sikut, saling
cakar, dan beradu senjata gada satu sama lain. Masing-masing dari mereka tak
ada yang menang maupun kalah. Keduanya berimbang sampai Prabu Arimba
menggunakan ajian Bayuntaka, ajian
andalannya. Seketika tubuh Bratasena lemas begitu mendekati Prabu Arimba seakan
tenaganya tersedot dan menyusut dengan cepat. Bratasena berhasil menghindar
namun badannya masih lemas. Dewi Arimbi datang mengipasinya. Seketika Bratasena
kembali kuat. Mereka kembali bertarung namun begitu tangannya menyentuh Prabu
Arimba lagi, tenaganya susut lagi. Bratasena kembali lemas dan Dewi Arimbi
dengan tulus mengipasinya. Prabu Arimba yang melihatnya merasa iba namun dendam
rupanya telah mendarah daging, menjalar dalam kalbu dan urat nadi sang raja
Pringgandani itu.
Pertandingan
kembali dilanjutkan. Kali ini Prabu Arimba semakin beringas dan kejam bagai
denawa hutan. Tak kenal ampun lagi. Bratasena sudah tahu rahasia Prabu Arimba.
Karena itu, Bratasena mulai mengurangi kontak fisik dan mulai menyabetkan Kuku
Pancanka. Namun tiada diduga, karena ajian Bayuntaka pula, kulit Prabu Arimba
sangat alot bagaikan kulit badak. Senjata bahkan Kuku Pancanaka miliknya hanya
memberikan goresan kecil saja. Hari mulai berangkat siang. Dewi Arimbi semakin
khawatir kepada mereka keduanya. Dilema melanda hatinya, antara sang kakak yang
disayanginya atau sang kekasih yang dicintainya. Kemudian dia melihat ada pohon
aren didekat alun-alun. Tiba-tiba Arimbi berteriak, “Tusuk pusarnya lalu pukul
dia ke pohon aren itu.” Keduanya terkejut. Kemudian Prabu Arimba melihat
matahari mulai bergeser dari puncaknya ke arah barat. Kesempatan itu digunakan
Bratasena, Prabu Arimba dibenturkannya ke pohon aren lalu ditusukkan kuku
saktinya itu ke pusarnya. Raja Pringgandani itu seketika mengerang kesakitan
dengan luku menganga di pusarnya dan badan remuk terkena pohon aren. Dengan
sempoyongan, Prabu Arimba berusaha mendekati Dewi Arimbi. Dewi Arimbi semakin
cemas. Dengan kepasrahan totalnya, dia menanti apa yang akan dilakukan sang
kakak pada dirinya. Dewi Kunthi sangat cemas dengan Arimbi segera mendekatinya
sambil memeluknya diiringi Permadi dan Prabu Kresna dibelakangnya. Tak lama
kemudian datanglah para Kadang Braja, adik-adik Prabu Arimba dan Dewi Arimbi
dipimpin oleh Arya Brajadentha dan Brajamusthi. Ternyata yang terjadi diluar
dugaan. Prabu Arimba tak meluapkan amarahnya malah berkata “Adikku, Dinda
Arimbi. Aku tak marah..... aku sangat tersentuh melihatmu .....menyayangi
Bratasena setulus hati......maafkan aku. Aku merestui hubungan kalian.” Tangis
Arimbi pecah mendengarnya dan Bratasena segera memeluknya. Prabu Arimba merasa
ajalnya telah dekat berkata kepada Bratasena “Bratasena.... aku tititipkan
Arimbi, adik-adikku dan negara Pringgandani.... jagalah mereka......sebelum aku
pergi.....aku akan memberikan kenang-kenangan.........karena kau telah
bertarung denganku sebuas serigala..... maka aku menjulukimu sang
Wrekodara.....” demikianlah Prabu Arimba meninggal dunia.
Para Kadang Braja
terutama Dewi Arimbi semakin sedih. Tangisnya semakin pecah. Ditinggalkan sang
kakak yang telah menjadi pengganti orangtua. Para Kadang Braja sudah mengaku
ikhlas atas kekalahan Prabu Arimba dan
tak akan ada dendam lagi. Para kadang Braja minta izin pada Raden Puntadewa
untuk melakukan pengabenan jenazah Prabu Arimba di Keraton Indraprastha.
Setelah semuanya siap, api pancaka dinyalakan. Api berkobar mennebarkan hawa
panas.
Prabu Arimba gugur |
Tujuh
hari setelah berkabung, sebagian Hutan Wanamarta telah dibuka menjadi negara
baru dan sebagian lagi tetap dibiarkan menjadi hutan. Bersamaan hari pembukaan
itu, dilangsungkanlah pernikahan Bratasena dan Dewi Arimbi. Pestanya
berlangsung sangat meriah. Setelah resepsi tiga hari selesai,. Raden Puntadewa
mengganti nama kerajaan Mertani menjadi Amarta dengan wilayah Kandaparasta
sebagai kotaraja. Namun Raden Permadi tak setuju bila nama itu terus dipakai
karena akan meninggalkan kesan buruk masa lalu. Maka oleh Raden Puntadewa, nama
Kandaparasta diganti menjadi Indraprastha. Raden Puntadewa kemudian menunjuk
Arya Bratasena sebagai raja Amarta namun Arya Bratasena menolak. Dirinya
berkata “Kakang sudah bertindak sebagai kakak yang baik. Kakang adalah penurus
ayahanda Pandu dan lagi kakang juga cakap memimpinku dan adik-adik. Kami
adik-adikmu setuju kalau kakang jadi raja. Betul gak, Jlamprong? Pinten?
Tangsen?” Raden Permadi, Raden Pinten dan Tangsen setuju bahkan mereka sampai
berlutut. Hanya Bratasena saja yang tak berlutut hanya memberikan salamnya
tanda memohon. Awalnya Raden Puntadewa tak setuju. Prabu Kresna berusaha
mendukung perkataan Bratasena “Ayolah, rayi Puntadewa. Adik-adikmu setuju.
Bahkan aku pun setuju. Negara Dwarawati setuju. Kau sudah terbukti cakap dan
hebat memimpin. Sudah saatnya paman Pandu mendapatkan pewarisnya.” Namun Raden
Puntadewa masih tak bergeming. Lalu Dewi Kunthi berkata pada putra sulungnya
itu “putraku Dwijakangka, kau sudah membuktikan dirimu pantas menjadi pemimpin.
Dukungan dari negara lain, dari keponakanku Kresna sudah ada didepan mata.
Adik-adikmu juga yang menginginkannya tanpa keterpaksaan. Jadi kabulkan permohonan
mereka. Aku sebagai ibu hanya bisa merestuimu.” Hati Puntadewa luluh dan
tersentuh sambil memeluk keempat adiknya. Raden Puntadewa setuju untuk menjadi
raja Amarta. Setelah itu, mereka segera mempersiapkan diri untuk menyiapkan dan
menentukan hari penobatan. Kelak setelah hari penobatan, negeri Amarta akan
menjadi negara merdeka, bukan lagi bawahan Kerajaan Hastinapura.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar