Holla semua, setelah libur akhirnya bisa menulis lagi. Kali ini sya melanjutkan kisah sebelumnya. Dalam kisah ini akan diceritakan penobatan Puntadewa sebagai raja Amarta bergelar Prabu Yudhistira yang sempat akan digagalkan oleh siasat licik Sengkuni. Dikisahkan pula pernikahan Arya Bratasena dengan Dewi Urangayu dan Dewi Rekathawati. Disini sumber yang saya pakai dari Kitab Mahabharata karya Mpu Vyasa, Kitab Pustakaraja Purwa, dan Lakon Peksi Dewata dengan pengembangan saya sendiri dan dipadukan dengan kisah Mahabharata versi Banyumasan.
Hari
penobatan Raden Puntadewa menjadi raja negara Amarta semakin dekat.
Undangan-undangan telah disebar ke berbagai negeri, termasuk ke Hastinapura.
Hari itu Arya Widura yang baru pulang dari Amarta melaporkan keberhasilan para
Pandawa membabat Kandaparasta menjadi negara yang makmur sekaligus datang
dengan sukarela membawakan undangan dari keponakan-keponakannya kepada Prabu
Dretarastra untuk memenuhi upacara pelantikan Puntadewa menjadi raja Amarta.
Diantara hadirin yang berada di pisowanan agung itu, Patih Arya Sengkuni malah
nyinyir pada Arya Widura “rayi Widura, dirimu kok mau banget ya diperintah para
keponakanmu yang tak mau datang sendiri kesini. Nampaknya mereka sudah
kehilangan unggah-ungguh sehingga memerintahkanmu” Arya Widura menimpali
“Kakang Sengkuni, jaga bicaramu. Menurutku wajar saja aku menghantarkan
undangan itu. Para keponakan kita, para Pandawa juga sangat sibuk menyiapkan
sarana dan prasarana untuk hari penobatan. Lagipula aku menghantarkannya dengan
sukarela tanpa paksaan.” Prabu Dretarastra merasa senang mendengarnya. Pada
awalnya dia ragu akan keberhasilan para Pandawa, akan tetapi setelah mendengar
dari Arya Widura, dirinya bangga dan akan segera datang ke Amarta “rayi Widura,
panggilkan putramu Sanjaya. Kita akan segera berangkat Amarta.” Tanpa panjang
lebar, setelah membubarkan pisowanan, Prabu Dretarastra, Maharani Dewi Gendari,
Maharesi Bhisma, Resi Dorna beserta Arya Widura dan Arya Sanjaya, putra
sulungnya segera berangkat ke Amarta karena perjalanan dari Hastinapura ke
Amarta butuh dua hari perjalanan, sedangkan hari penobatan dilangsungkan empat
hari lagi.
Patih
Arya Sengkuni yang memutuskan tak ikut ke sana datang ke kesatriyan, menemui
para Kurawa. Di sana Prabu Anom Suyudana yang mulai sembuh dari sakit bertanya
“Paman Sengkuni! Bagaimana laporan dari paman Widura? Pasti kabar duka tentang
para Pandawa yang tewas ketika membabat hutan... atau jangan-jangan para
Pandawa mati ketika menyebrangi alam gaib di Kandaparasta....ohh aku tak sabar
untuk bisa menaiki takhta ini dengan tenang!” “duhh....anak mas Suyudana,bukan
kabar duka seperti itu yang aku dapatkan tapi kabar gembira. Arya Widura melaporkan
kalau para Pandawa baik-baik saja bahkan sudah berhasil membabat Kandaparasta, malahan
oleh Prabu Matsyapati diberikan tanah hutan Wanamarta yang luas, bahkan kini dua
wilayah ini menjadi negara yang makmur. Kini sudah seperempat penduduk kita
sudah pindah ke negara baru itu.” seketika setelah mendapat laporan itu, Prabu
Anom Suyudana menjadi terkejut dan marah. Lalu Arya Dursasana menyabarkan kakak
tertuanya itu “tenang, kangmas Prabu Anom. Kita seharusnya bersyukur karena
para Pandawa sudah pergi dari
Hastinapura. Lagipula luas Amarta yang gabungan Kandaparasta dan Wanamarta
masih sepertiga dari Hastinapura.” Bukannya berterima kasih, Prabu Anom
Suyudana malah membentak adik nomor duanya itu “ Dursasana, kok situ malah
membela Pandawa. Mau membuat makar?” Patih Sengkuni berusaha menyabarkan dua
keponakannya itu. Kemudian, Patih Sengkuni mendapatkan sebuah ide untuk
menggagalkan penobatan itu. “Anak mas Suyudana....hehehe jangan khawatir. Bukan
namanya Patih Sengkuni kalau tidak mempunyai
ide-ide. Aku mendapat laporan dari telik sandiku bahwa dahulunya Hutan
Wanamarta itu milik seorang raja raksasa dari Keraton Goawindu, Prabu Wisapati
dan kebetulan dia kerajaannya tak jauh dari Amarta. Aku akan menghasutnya untuk
menggagalkan penobatan itu, keponakanku.” Setelah berkata demikian, Patih
Sengkuni mohon pamit pada sang keponkan tercinta dan segera menuju Keraton
Goawindu diiringi para Kurawa yang lain.
Tersebutlah
di sebuah gua besar menganga lebar namun didalamnya megah, mewah, dan indah bak
istana raja di utara hutan Wanamarta. Itulah Keraton Goawindu yang berupa
istana ilusi. Di atas singgasana yang terbuat dari batu kristal dan berlian
duduklah Prabu Wisapati dan disebelahnya patih Mayasura yang kedatangan Patih
Sengkuni. “heii, Patih Sengkuni. apa keperluanmu datang ke keratonku?” patih
Sengkuni kemudian berbicara “Mohon ampun, gusti Prabu. Kedatangan hamba hanya
memberitahukan bahwa Wanamarta milikmu telah diambil oleh para Pandawa dan kini
dijadikan sebuah negara baru sainganmu” Prabu Wisapati seketika memalingkan
muka karena tak ada urusan dengan para Pandawa dan berkata bahwa hutan
Wanamarta bukan menjadi miliknya lagi. Patih Sengkuni tak hilang akal. Kemudian
berkata bahwa dia tahu kalau Prabu Wisapati bersahabat dengan Prabu jin
Yudhistira dan mengabarkan saat para Pandawa membangun Amarta dan membabat
sebagian Wanamarta, mereka menghabisi Prabu jin Yudhistira bersaudara. Lalu
Patih Sengkuni bertanya pada Prabu Wisapati “Apakah gusti prabu tega dan diam
saja mengetahui bahwa sahabat gusti dimusnahkan begitu saja oleh Puntadewa bersaudara
itu? Berarti gusti Prabu bukan orang yang tahu tentang arti persahabatan!”
mendengar kata-kata itu, Prabu Wisapati sangat gusar dan marah lalu
memerintahkan Patih Mayasura untuk menggempur Amarta. “Mayasura, segera siapkan
pasukan. Kita gempur Amarta sekarang juga. Kita tangkap Puntadewa hidup-hidup
dan akan ku eksekusi dengan tangan ku!” “Siap, gusti Prabu.” Patih Sengkuni
tersenyum senang melihat kemarahan Prabu Wisapati.
Sementara
itu, Kotaraja Indraprastha dan kerajaan Amarta benar-benar menampakkan
kemilaunya. Raden Puntadewa kini sedang mempersiapkan penobatan dirinya sebagai
raja dan dibantu oleh empat Pandawa dan para Kadang Braja dari Pringgandani.
Semenjak hari pengabenan dan pemakaman Prabu Arimba, mereka belum balik ke
Pringgandani dan membantu para Pandawa dengan membangun rumah-rumah untuk para
penduduk, membangun jalan raya baru, menghias alun-alun kotaraja, serta
taman-taman yang ada di kotaraja tanpa pamrih. Mereka juga membantu
mengantarkan para penduduk baru yang berpindah dari Hastinapura dan
negara-negara sekitarnya yang ingin tinggal di Amarta. Satu-satunya yang tak
ada disana hanyalah Raden Permadi, Ki Lurah Semar, Nala Gareng, Petruk dan
Bagong. Mereka berlima menyebarkan undangan kepada Maharesi Abiyasa di
Saptaharga, Resi Durwasa di Banjarpatoman, Prabu Basudewa di Mandura, Prabu
Matsyapati di Wirata, dan Prabu Salya di Mandaraka.
Tiba-tiba
datanglah sepasukan raksasa menyerang dan merusak pembangunan di kastil terluar
kotaraja. Rupanya itu mereka adalah pasukan dari Keraton Goawindu yang dipimin
oleh patih Mayasura dan Prabu Wisapati sendiri. Arya Bratasena dan si kembar,
Raden Pinten-Tangsen segera membantu para Kadang Braja. Arya Brajadentha segera
memerintahkan adik-adiknya untuk membawa bala bantuan dari Pringgandani. Tak
lama, Arya Brajamusthi dengan kekuatan sihirnya menciptakan pasukan ilusi untuk
menyerang para raksasa Goawindu. Patih Mayasura tak menyangka bahwa para
Pandawa dibantu oleh Pringgandani sehingga banyak pasukan Goawindu yang tewas
dan lari menyelamatkan diri. “Gusti Prabu, izinkan saya yang menangkap
Puntadewa itu dengan sihirku.” “lakukan lah bila hal itu bisa menekan mereka,
adhi patihku.” Patih Mayasura yang juga menguasai sihir bahkan lebih tinggi
dari Arya Brajamusthi menyelinap masuk ke keraton Indraprastha dan masuk ke
sanggar pemujaan. Dilihatnya Raden Puntadewa yang sedang duduk bersila,
bersemadi memohon restu dari Sanghyang Widhi. Tanpa banyak kata lagi, Patih
Mayasura mematrapkan ilmu sihirnya kepada Raden Puntadewa. Seketika tubuh Raden
Puntadewa berubah menjadi setitik cahaya lalu cahaya itu bergerak keluar dari
sanggar yang gelap dan langsung menghilang di balik pintu yang terang benderang.
Patih Mayasura berusaha mencari arah hilangnya cahaya itu.
Di
tempat lain, tiba-tiba muncul seekor burung di keraton Indraprastha. Burung itu
berbulu emas, merah, dan kuning di sayap dan ekornya bagaikan jubah pelindung. Wajah
burung itu berwarna hijau bagai zamrud. Dada burung itu ditutupi bulu hitam
yang pekat bagaikan arang di malam yang gelap dan paruhnya putih bagaikan
gading. Kicauannya merdu sekali. Burung itu terbang berputar-putar di atas
keraton Indraprastha lalu turun ke bawah mendekat ke tamansari.
Kebetulan
burung itu terbang lalu hinggap di bahu Dewi Drupadi yang sedang
bersantai-santai di tamansari. Sang calon maharani Amarta itu nampak senang melihat
kedatangan burung itu. Tiba-tiba burung itu bercakap-cakap bagai manusia “Dewi Drupadi,
permaisuri Puntadewa, perkenalkan aku
Paksi Dewata.....cuit..cuit...cuit” Dewi Drupadi terkejut melihat burung itu
bisa bercakap “Astaga kau bisa bicara. Siapa kau sebenarnya? Apa kau makhluk
kiriman orang jahat?” sang burung kemudian berkata “jangan takut, Drupadi. Aku
bukan makhluk kiriman orang. Aku burung surgawi dari kahyangan...cuit...cuit.
Kedatanganku kemari untuk memberitahukan sesuatu. Suamimu kini diculik oleh
raksasa dari Goawindu. Beritahukan ipar-iparmu untuk mencarinya di Goawindu...cuit..cuit...cuit”
Dewi Drupadi terkejut mendengarnya lalu mengecek sanggar pemujaan dan mendapati
sang suami telah menghilang. Lalu burung yang tadi hinggap di bahunya itu juga
ikut menghilang. Rupa-rupanya Patih Mayasura sudah mencuri burung cantik itu
dengan aji Panglimunan dan membawanya
ke Goawindu. Dewi Drupadi terkejut dan segera keluar keraton untuk memberitahu
Arya Bratasena dan si kembar. Merasa kecolongan, Arya Bratasena dan Dewi Arimbi
segera berangkat ke Goawindu. Sementara Raden Pinten dan Tangsen segera
menyusul Raden Permadi.
Dewi Drupadi bertemu burung Paksi Dewata |
Di
tengah hutan di lereng Gunung Saptaharga, setelah menghantarkan seluruh
undangan, Raden Permadi dan para punakawan bertemu dengan Maharesi Abiyasa.
“Salam, Eyang Abiyasa. Kedatangan kami kemari untuk menjemput eyang ke Amarta
untuk pelantikan kakang Puntadewa.” Tiba-tiba datanglah Raden Pinten dan Raden
Tangsen “ Salam Eyang Abiyasa, Kakang Permadi dan Ki Lurah Semar. Ketiwasan,
kakang Permadi. Kakang Puntadewa diculik orang dari Goawindu.....” “dan
mengenai keadaan di keraton, saat ini keadaan keraton aman-aman saja. Tapi
menurut keterangan kakang mbok Drupadi, kemungkinan si penculik menyelinap ke
keraton menggunakan ilmu sihir.” Raden Permadi terkejut mendengarnya lalu dia
pun meminta kedua adiknya, Petruk, dan Bagong untuk mengantar sang eyang ke
Indraprastha, sementara dirinya, Ki Lurah Semar dan Nala Gareng akan mencari
sang kakak. Sebelum pergi, Maharesi Abiyasa memberikan petunjuk “tunggu,
Permadi cucuku. Aku akan memberitahu sesuatu. Keraton Goawindu berada di utara
hutan Wanamarta. Keraton Goawindu sendiri bukan sembarangan keraton. Keraton
ini berupa gua raksasa namun penuh dengan jebakan dan perangkap sihir. Akan
banyak ilusi dan fatamorgana yang siap menjebakmu Jadi berhati-hatilah dan
gunakan penangkal sihir.” Setelah itu, Raden Permadi segera menuju ke Goawindu
dengan Aji Sepiangin diiringi Ki Lurah Semar dan Nala Gareng di belakangnya.
Sementara
itu di hutan Jatigraha, Arya Bratasena dan Dewi Arimbi masih mengejar penculik
yang membawa Raden Puntadewa. Tiba-tiba, Dewi Arimbi disambar oleh seekor naga
raksasa. Dewi Arimbi yang tiada menduga dirinya diserang oleh naga raksasa
segera merapal Aji Kawastrawam lalu
berubah menjadi raksasi sehingga terjadilah pertarungan antara naga melawan
raksasi. Raden Arya Bratasena tertegun dan berusaha melerai pertarungan itu. Lalu
tak lama kemudian datang lagi seorang perempuan cantik dan kali ini diiringi
seorang pria tampan berwibawa. Arya Bratasena mengenali mereka. Mereka adalah
Dewi Urangayu dan sang ayah, Batara Mintuna, sang dewa air tawar. “Kakang
Bratasena, Aku telah mendengar bahwa kalian bersaudara telah membangun kerajaan
baru bernama Amarta. Jadi kedatanganku dan ayahku kemari ingin menagih janjimu
hari itu di tepi bengawan Serayu. Nikahilah aku.” “Urangayu, aku gak pernah
lupa janjiku itu, tapi sampai sekarang kakangku Puntadewa belum jadi raja dan
kali ini dia ngilang diculik orang. Jadi aku belum bisa memenuhi janji kita.
Saat ini istriku sedang berantem dengan seekor naga. Aku minta bantuanmu,
tolong lerai mereka.” Dewi Urangayu menyanggupinya. Lalu sang dewi mengheningkan
segala ciptanya lalu bertiwikrama berubah menjadi bidadari bersungut udang.
Sungut itu melambai-lambai dan tangannya mampu menggerakkan air menciptakan
ombak besar. Dewi Urangayu maju lalu mencambukkan sungut udang miliknya dan
menggerakkan tangannya. Seketika muncul ombak raksasa dan sungut itu menyetrum
naga dan raksasi yang bertarung.
Keduanya langsung berhenti bertarung dan
tergulung ombak. Setelah ombak itu sirna, keduanya makhluk itu terbaring lemas
di tanah dan berubah wujud kembali menjadi wanita cantik. Sang raksasi kembali
menjadi Dewi Arimbi sedangkan sang naga berubah menjadi Dewi Nagagini.
Dewi Urangayu melerai naga dan raksasi yang bertarung |
Raden
Arya Bratasena terkejut bahwa sang naga yang menyerang Dewi Arimbi adalah Dewi
Nagagini. Arya Bratasena dan Dewi Urangayu segera mendatangi Dewi Nagagini dan
Dewi Arimbi lalu bertanya “Hei Nagagini, kenapa kau serang Arimbi?” “Kanda,
kedatanganku kemari karena telah mendengar bahwa kau dan saudara-saudaramu
telah berhasil membangun negeri Amarta dan kehamilanku ini sudah lewat dari sembilan
bulan tapi belum lahir. Aku bersemadi dan mendapat wangsit agar anak kita bisa
lahir, aku harus bermadu kasih lagi dengan kakanda. Jadi aku menyusul kanda ke
Amarta. Tiba-tiba aku melihat kanda jalan dengan wanita lain, jelas-jelas aku
cemburu jadi aku menyerangnya dengan wujud naga.” Dewi Arimbi terkejut
mendengarnya lalu mohon maaf pada Dewi Nagagini
sembari berlutut dengan sopan“Ampun, kakak. Aku tak tahu kalau
sebelumnya kanda Sena sudah menikah denganmu sebelumnya. Kalau saja aku tahu
itu sejak awal, aku akan minta izinmu dahulu” Dewi Nagagini pun luluh hatinya
dan ganti minta maaf karena telah menyerangnya. Lalu Dewi Nagagini bertanya
lagi “kanda, siapa wanita yang tadi melerai kami?” “Ohh, perkenalkan. Saya
Urangayu, putri Batara Mintuna. Saya calon istri ketiga kakang Bratasena. Kami
dulu bertemu di saat kakang Bratasena dan saudara-saudaranya membangun Bengawan
Serayu. Kakang Bratasena berjanji akan menikahi saya setelah kakang Puntadewa
menjadi raja.” Dewi Arimbi menggerutu cemburu menyebut sang suami seorang
pengobral janji. Dewi Nagagini yang tadinya cemburu menjadi tertawa senang
melihat tingkah madu nomor duanya itu. Dewi Nagagini merestui Arya Bratasena
menikah lagi. Arya Bratasena senang melihat ketiganya bisa rukun seperti itu.
Tak
lama kemudian datanglah Raden Permadi, Ki lurah Semar dan Nala Gareng. “kakang
Sena, aku sudah tahu kalau kakang Puntadewa diculik seseorang ke Goawindu. Adhi
Pinten dan Tangsen yang memberitahukan ku. Mari ikutlah aku. Keraton Goawindu
tak jauh dari sini. “ “Ayo, Jlamprong. Ki Lurah Semar, aku mau minta tolong
padamu antarkanlah istri-istriku kembali ke Amarta. Biar aku dan Jlamprong saja
yang ke Goawindu.” “Blegedang, blegedug... baik, ndoro Bima Bratasena. Gareng,
mari kita kembali ke Amarta” Demikianlah, Ki lurah Semar dan Nala Gareng
mengantarkan istri-istri Arya Bratasena dan batara Mintuna ke negara Amarta
sementara Arya Bratasena dan Raden Permadi bergerak menuju Keraton Goawindu. Mereka
mulai menelusuri seluruh hutan Kamiyaka dan Wanamarta. Setelah pencarian yang
cukup lama, akhirnya mereka menemukan Keraton Goawindu. Dari luarnya hanya
terlihat sebagai gua raksasa yang menyeramkan namun ketika memasukinya gua itu
berubah menjadi istana megah. Ketika
Arya Bratasena menginjak jalan batu bata emas didepannya, seketika jalan itu
berubah menjadi kolam air. Dengan sigap, Arya Bratasena melompat dan tak
tercebur. Lalu Raden Permadi melihat dan berusaha memegang pepohonan dan
bunga-bunga cantik namun dia salah, yang dia pegang adalah tombol jebakan lubang
dan dia terjatuh ke dalamnya. Untungnya dengan Aji Sepiangin, dia bisa keluar
dari lubang itu. Lalu mereka melihat jurang yang menganga di tengah jalan
dengan api yang menyala-nyala. Teringat pesan sang eyang, Raden Permadi segera
mengoleskan Lisah Jayengkaton ke kelopak matanya dan kelopak mata kakaknya,
Arya Bratasena. Seketika, mereka mampu melihat segala jebakan sihir yang ada.
Jalanan batu bata emas kini tampak aslinya, yaitu kolam air. Bunga-bunga yang
indah yang tertata rapi ternyata adalah tombol jebakan dan jalanan mulus
diantara mereka adalah lubang besar. Sementara jalan yang asli adalah jurang
api yang menyala-nyala. Begitupun jebakan-jebakan lainnya, kini telah nampak
aslinya. Setelah melewati semuanya, mereka segera mencari tempat dimana kakak
mereka dikurung.
Akhirnya
mereka sampai di balairung istana. Disana nampak Prabu Wisapati, Patih Mayasura
dan burung Paksi Dewata yang sedang dikurung didalam kerangkeng. Kedua raksasa
ini terkejut karena mereka telah berhasil melewati semua jebakan dan perangkap
sihir. Terjadilah pertarungan diantara mereka. Arya Bratasena bertarung gada
dengan Prabu Wisapati, sedangkan Raden Permadi dengan bersenjatakan Oyod Bayura
melawan ilmu sihir dan ilusi yang diciptakan Patih Mayasura. Di dalam
kerangkeng, burung Paksi Dewata terbang berputar-putar dan seketika muncul
sebuah kitab melayang-layang di luar kerangkeng itu. Lalu kitab itu melayang
dan menghantam kepala Prabu Wisapati dan Patih Mayasura. Seketika mereka
limbung lalu pingsan namun karena tersenggol, Oyod Bayura yang dipegang Raden
Permadi ikut terlempar, masuk kedalam celah kerangkeng dan mengenai tubuh
burung Paksi Dewata. Lalu terjadilah sebuah keajaiban. Muncul seberkas cahaya
terang dan asap putih menyelimuti burung Paksi Dewata. Tak berapa lama kemudian,
tubuh burung Paksi Dewata berubah kembali menjadi Puntadewa. Bersamaan
dengan itu, akibat terkena kitab sakti itu, tubuh Prabu Wisapati juga berubah, telah
kembali ke wujud aslinya, yaitu seorang dewa bernama Batara Wiswakarma, dewanya
ahli bangunan, arsiteknya para dewa. Kitab yang ternyata kitab Jamus
Kalimahusada itu melayang lagi kembali ke tangan Puntadewa. Begitupun Oyod
Bayura, telah kembali ke tangan Permadi.
Lalu
datang Batara Dharma, ayah angkat Puntadewa membukakan pintu kerangkeng dengan
kesaktiannya. Seketika mereka langsung menyembah kecuali Bratasena yang tak
pernah terbiasa menyembah, hanya memberikan salam. Batara Dharma kemudian membawa
sang putra angkat ke alam sunyaruri dan memberikan
wejangan pada sang putra angkat “Anakku, Puntadewa. Kini kau telah teruji
sebagai raja yang adil dan bijak. Ada beberapa petuah yang mungkin sering kau
dengar dari ibumu tapi tetap aku akan kuberikan agar selalu diingat olehmu dan
selalu ada dalam tindak-tandukmu, Dharmaputra. Pertama, sembahlah Sanghyang
Widhi, Tuhan yang Maha Esa lagi Maha Kuasa dan jangan pernah menduakan-Nya.
Kedua, hormati orang tuamu, guru-gurumu, dan mertuamu. Ketiga, berlaku lah
‘Sepi ing pamrih, rame ing gawe’ pada siapa saja utamanya pada yang
membutuhkan. Keempat, jagalah amanah khususnya amanah dari kawula alit dan
tanamkanlah kejujuran dalam hidupmu, anakku. Terakhir yang kelima, tebarkanlah
cinta dan kasih pada siapa saja bahkan pada orang yang telah menyakitimu.”
Seketika setelah memberikan wejangannya, Batara Dharma menghilang dan Puntadewa
kembali ke alam nyata. . Begitu membuka
matanya, Puntadewa terkejut melihat dirinya dan adik-adiknya telah berada di
depan kotaraja Indraprastha. Batara Wiswakarma telah memindahkan mereka kembali
ke Kerajaan Amarta dengan Aji Kemayan. Kemudian Batara Wiswakarma
mendekati Puntadewa “Terima kasih, Puntadewa. Tuanku telah membebaskan saya
dari kutukan yang memalukan ini. Dahulu kala sewaktu pertarungan diantara para
dewa dan asura, aku tanpa sengaja mendukung para asura dengan membangun Benteng
Tripura lalu bangsa asura kalah, saya ikut tertangkap dan Batara Guru
menghukumku dengan kutukan yang membuatku berubah wujud menjadi raksasa. Batara
Guru berpesan bahwa yang akan membebaskan saya dari kutukan adalah seorang
ksatria sulung berdarah putih dari lima bersaudara, putra angkat Batara Dharma.
Kini saya sudah terlepas dari kutukan, sebagai tanda terima kasih, saya akan
menawarkan sebuah hadiah pada tuanku.” Puntadewa menolak karena dia menolong
tanpa mengharap hadiah atau apapun jua dan mempersilahkan Batara Wiswakarma
kembali ke kahyangan. Namun, karena terus didesak sang dewa arsitek itu,
Puntadewa akhirnya meluluskan keinginan Batara Wiswakarma “Baiklah, pukulun.
Saya meminta agar keempat adik saya dibuatkan puri masing-masing disamping
Keraton Indraprastha.” “baiklah, Tuanku Puntadewa. Dengan senang hati saya bisa
membuatkannya tak lama lagi.”
Wejangan wahyu Dharma di alam sunyaruri |
Sementara
itu Patih Mayasura meminta untuk dibebaskan oleh Raden Permadi. Raden Permadi
boleh membebaskannya asal ada syaratnya. “Baiklah, Mayasura. Aku akan
membebaskanmu tapi dengan satu syarat. Aku meminta agar keraton Indraprastha
dan seluruh sudut kerajaan Amarta diberi hiasan-hiasan ilusi dan sihir. Aku
ingin kolam air yang ada di keraton terlihat bagaikan permadani yang menghampar
dan balairung yang ada di keraton bisa menampung ribuan orang dengan
sendirinya.” Patih Mayasura langsung menyanggupi permintaan Permadi “Jlamprong,
Jlamprong. Permintaanmu itu aneh..duhh” Arya Bratasena hanya menggerutu gemas
mendengar permintaan adiknya. Demikianlah, Patih Mayasura menambahkan segala
hiasan-hiasan sihir dan ilusi, serta membuatkan sebuah balairung dan taman besar
di dalam keraton yang mampu menampung ribuan orang dan dapat melebar dengan
sendirinya tanpa merusak ataupun merombak bangunan keraton. Hiasan-hiasan sihir
berupa ilusi mata dan fatamorgana dipasang di tiap sudut kotaraja Indraprastha.
Sementara Batara Wiswakarma dengan kekuatan dewatanya dibantu pasukan gandarwa
dan bidadara dari kahyangan mampu menciptakan keempat puri yang megah di sekeliling
kotaraja Indraprastha dalam waktu singkat. Keempat puri itu dipersembahkan
kepada Raden Puntadewa. Puri untuk Bratasena yang terletak di utara berdekatan
dengan negara Pringgandani dinamainya Jodhipati atau Munggulpawenang, puri
untuk Permadi terletak di ujung timur dekat bengawan Yamuna dinamai Madukara, puri
untuk Pinten di sebelah selatan kotaraja dinamai Sawojajar sedangkan untuk
Tangsen berada di barat kotaraja dinamai Baweratalun. Para Pandawa yang ada
disitu terkagum-kagum melihat hasil karya Batara Wiswakarma dan Patih Mayasura.
Setelah semua selesai, Batara Wiswakarma dan Patih Mayasura kembali ke
kahyangan, bersatu dengan para dewa.
Beberapa
hari kemudian, hari penobatan tiba. Tamu dari berbagai negara berdatangan,
antara lain, Prabu Dretarastra dan Maharani Dewi Gendari dari Hastinapura,
Prabu Basudewa dari Mandura, Prabu Matsyapati dari Wirata, Prabu Salya dari
Mandaraka, Prabu Drupada dari Pancalaradya, dan Prabu Kresna dari Dwarawati.
Hadir pula Arya Widura dan putranya, Arya Sanjaya dari Panggombakan, Adipati
Adiratha dari Awangga, Resi Dorna, Resi Durwasa, Mpu Krepa, Maharesi Bhisma dan
Maharesi Abiyasa. Hari itu Raden Puntadewa dinobatkan sebagai raja Amarta yang
merdeka, bukan lagi dibawah Kerajaan Hastinapura. setelah prosesi penobatan
selesai, Puntadewa mengumumkan sesuatu “Hari ini saya Puntadewa mengganti nama
panggilan saya menjadi Yudhistira.” Sorak sorai membahana. Sejak itu pula
Puntadewa menggunakan nama gelarnya pemberian raja jin Kerajaan Mertani, yaitu
Prabu Puntadewa Yudhistira diikuti Raden Pinten dan Tangsen yang juga sejak
saat itu memakai nama pemberian ayah mereka, Raden Nakula dan Raden Sadewa.
Prabu Matsyapati mempersilahkan Prabu Yudhistira untuk memakai mahkota seperti
halnya raja pada umumnya, namun Prabu Yudhistira menolak dan berkata dengan
santun “ Mohon ampun, eyang prabu Matsya dan para hadirin. Saya lebih berkenan
memakai jamang dan tetap bergelung rambut saja. Saya teringat ketika kecil,
kanjeng ibu Kunthi dan Madrim selalu menggelung rambut saya, beliau berdua memberikan
wejangan untuk selalu menjadi manusia utama. Begitu pula ketika romo Batara Dharma
menyelamatkan saya dan memberikan wejangan itu di alam sunyaruri. Gelung ini
adalah simbol dari Wahyu Dharma dari beliau-beliau.” Dewi Kunthi terharu
mendengar penuturan putranya itu. Dirinya berharap dalam lubuk hatinya
seandainya putra sulungnya, Raden Suryaputra alias Karna Basusena ikut hadir
disini, pasti semakin bahagialah hatinya. Begitupun hadirin yang ada disitu
ikut terharu. Bahkan Dewi Gendari yang selama ini begitu membenci para Pandawa
hatinya luluh dan mulai membuka hatinya untuk berhenti membenci para Pandawa.
Puntadewa
kini sudah dinobatkan sebagai raja Amarta bergelar Prabu Yudhistira, kini Arya
Bratasena segera menuntaskan janjinya untuk menikahi Dewi Urangayu. Esok
harinya pernikahan Arya Bratasena dengan Dewi Urangayu digelar. Pesta berlangsung
sangat meriah. Keesokan paginya, Arya Bratasena beserta ketiga istrinya meminta
izin untuk pergi berbulan madu sekaligus mengantar Dewi Urangayu ke
Kisiknarmada karena dia ingin kelak anak mereka lahir di tanah kelahirannya.
Prabu Yudhistira pun mengizinkan adiknya itu. Sebelumnya, Arya Bratasena
kembali memadu kasih dengan Dewi Nagagini. Dengan kesaktian masing-masing,
mereka akhirnya tiba di muara Bengawan Serayu. Mereka membangun pondok asmara
disana. Dewi Arimbi dan Dewi Nagagini duduk di pinggir pantai menikmati semilir
angin laut, sedangkan Arya Bratasena dan Dewi Urangayu berada didalam pondok
asmara, tidur beralaskan pasir pantai. Tanpa sadar, Arya Bratasena berjinabah
dengan Dewi Urangayu di pantai itu. Benih kama telah bertemu, manjing dalam gua
garba sang bidadari putri Batara Mintuna itu.
Sisa
cipratan kama benih Arya Bratasena jatuh ke pasir pantai dan tanpa sadar
diminum oleh seekor kepiting betina. Seketika kepiting itu berubah wujud
menjadi seorang wanita cantik. Arya Bratasena dan Dewi Urangayu terbangun terkejut
melihat ada kepiting berubah menjadi wanita cantik. Dewi Wanita itu
memperkenalkan diri “mohon ampun, tuanku berdua. Hamba bukan bermaksud lancang.
Hamba Dewi Rekathawati, putra sang Batara Rekathatama. Hamba menjalani kutukan
menjadi seekor kepiting dan hamba baru terbebas dari kutukan bila meminum air
kama seorang ksatria tinggi besar bernama Bratasena. Sebagai konsekuensi dari
sirnanya kutukan itu, hamba akan mengandung benih tuanku. Maka sebelum itu,
maukah tuanku Bratasena menikahi hamba?” antara Bratasena dan Dewi Rekatahwati
memang bersemi benih-benih cinta pada pandangan pertama, namun Arya Bratasena
harus bertanya dulu pada ketiga istrinya. Tanpa diminta, Dewi Urangayu yang ada
disebelahnya setuju bila Arya Bratasena menikah lagi “kanda, aku tak keberatan bila
kau menikah lagi. Aku justru semakin senang dan mulai hari ini, Dinda
Rekathawati boleh tinggal bersamaku di Kisiknarmada bersamaku. Kau dan aku
adalah saudari sekarang” Lalu Arya Bratasena memanggil Dewi Nagagini dan Dewi
Arimbi ke dalam pondok dan menjelaskan tentang Dewi Rekathawati. Setelah
mengetahui duduk permasalahannya, Dewi Nagagini dan Dewi Arimbi mengerti dan
setuju bila suami mereka mengambil istri lagi. Keesokan harinya pernikahan
kembali digelar tapi dengan sederhana saja. Para resi dan penduduk sekitar
muara Bengawan Serayu yang menjadi saksi atas pernikahan itu. Setelah dirasa bulan
madu mereka selesai, Dewi Urangayu mengajak Dewi Rekathawati kembali ke
kahyangan Kisiknarmada. Sementara Arya Bratasena dan Dewi Arimbi segera
mengantar Dewi Nagagini ke Saptapertala karena sudah mau melahirkan. Saat itu,
sebelum meninggalkan kahyangan Saptapertala, Arya Bratasena berpesan “Nagagini,
istriku, jika anak kita lahir nanti laki-laki, namai dia Antareja.”setelah
mohon diri, Arya Bratasena dan Dewi Arimbi kembali Ke Kerajaan Amarta karena
banyak tugas yang harus segera ditunaikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar