Jumat, 14 Juni 2019

Wahyu Dharma (Jumenengan Puntadewa)


Holla semua, setelah libur akhirnya bisa menulis lagi. Kali ini sya melanjutkan kisah sebelumnya. Dalam kisah ini akan diceritakan penobatan Puntadewa sebagai raja Amarta bergelar Prabu Yudhistira yang sempat akan digagalkan oleh siasat licik Sengkuni. Dikisahkan pula pernikahan Arya Bratasena dengan Dewi Urangayu dan Dewi Rekathawati. Disini sumber yang saya pakai dari Kitab Mahabharata karya Mpu Vyasa, Kitab Pustakaraja Purwa, dan Lakon Peksi Dewata dengan pengembangan saya sendiri dan dipadukan dengan kisah Mahabharata versi Banyumasan.
Hari penobatan Raden Puntadewa menjadi raja negara Amarta semakin dekat. Undangan-undangan telah disebar ke berbagai negeri, termasuk ke Hastinapura. Hari itu Arya Widura yang baru pulang dari Amarta melaporkan keberhasilan para Pandawa membabat Kandaparasta menjadi negara yang makmur sekaligus datang dengan sukarela membawakan undangan dari keponakan-keponakannya kepada Prabu Dretarastra untuk memenuhi upacara pelantikan Puntadewa menjadi raja Amarta. Diantara hadirin yang berada di pisowanan agung itu, Patih Arya Sengkuni malah nyinyir pada Arya Widura “rayi Widura, dirimu kok mau banget ya diperintah para keponakanmu yang tak mau datang sendiri kesini. Nampaknya mereka sudah kehilangan unggah-ungguh sehingga memerintahkanmu” Arya Widura menimpali “Kakang Sengkuni, jaga bicaramu. Menurutku wajar saja aku menghantarkan undangan itu. Para keponakan kita, para Pandawa juga sangat sibuk menyiapkan sarana dan prasarana untuk hari penobatan. Lagipula aku menghantarkannya dengan sukarela tanpa paksaan.” Prabu Dretarastra merasa senang mendengarnya. Pada awalnya dia ragu akan keberhasilan para Pandawa, akan tetapi setelah mendengar dari Arya Widura, dirinya bangga dan akan segera datang ke Amarta “rayi Widura, panggilkan putramu Sanjaya. Kita akan segera berangkat Amarta.” Tanpa panjang lebar, setelah membubarkan pisowanan, Prabu Dretarastra, Maharani Dewi Gendari, Maharesi Bhisma, Resi Dorna beserta Arya Widura dan Arya Sanjaya, putra sulungnya segera berangkat ke Amarta karena perjalanan dari Hastinapura ke Amarta butuh dua hari perjalanan, sedangkan hari penobatan dilangsungkan empat hari lagi.
Patih Arya Sengkuni yang memutuskan tak ikut ke sana datang ke kesatriyan, menemui para Kurawa. Di sana Prabu Anom Suyudana yang mulai sembuh dari sakit bertanya “Paman Sengkuni! Bagaimana laporan dari paman Widura? Pasti kabar duka tentang para Pandawa yang tewas ketika membabat hutan... atau jangan-jangan para Pandawa mati ketika menyebrangi alam gaib di Kandaparasta....ohh aku tak sabar untuk bisa menaiki takhta ini dengan tenang!” “duhh....anak mas Suyudana,bukan kabar duka seperti itu yang aku dapatkan tapi kabar gembira. Arya Widura melaporkan kalau para Pandawa baik-baik saja bahkan sudah berhasil membabat Kandaparasta, malahan oleh Prabu Matsyapati diberikan tanah hutan Wanamarta yang luas, bahkan kini dua wilayah ini menjadi negara yang makmur. Kini sudah seperempat penduduk kita sudah pindah ke negara baru itu.” seketika setelah mendapat laporan itu, Prabu Anom Suyudana menjadi terkejut dan marah. Lalu Arya Dursasana menyabarkan kakak tertuanya itu “tenang, kangmas Prabu Anom. Kita seharusnya bersyukur karena para Pandawa  sudah pergi dari Hastinapura. Lagipula luas Amarta yang gabungan Kandaparasta dan Wanamarta masih sepertiga dari Hastinapura.” Bukannya berterima kasih, Prabu Anom Suyudana malah membentak adik nomor duanya itu “ Dursasana, kok situ malah membela Pandawa. Mau membuat makar?” Patih Sengkuni berusaha menyabarkan dua keponakannya itu. Kemudian, Patih Sengkuni mendapatkan sebuah ide untuk menggagalkan penobatan itu. “Anak mas Suyudana....hehehe jangan khawatir. Bukan namanya Patih Sengkuni kalau tidak  mempunyai ide-ide. Aku mendapat laporan dari telik sandiku bahwa dahulunya Hutan Wanamarta itu milik seorang raja raksasa dari Keraton Goawindu, Prabu Wisapati dan kebetulan dia kerajaannya tak jauh dari Amarta. Aku akan menghasutnya untuk menggagalkan penobatan itu, keponakanku.” Setelah berkata demikian, Patih Sengkuni mohon pamit pada sang keponkan tercinta dan segera menuju Keraton Goawindu diiringi para Kurawa yang lain.
Tersebutlah di sebuah gua besar menganga lebar namun didalamnya megah, mewah, dan indah bak istana raja di utara hutan Wanamarta. Itulah Keraton Goawindu yang berupa istana ilusi. Di atas singgasana yang terbuat dari batu kristal dan berlian duduklah Prabu Wisapati dan disebelahnya patih Mayasura yang kedatangan Patih Sengkuni. “heii, Patih Sengkuni. apa keperluanmu datang ke keratonku?” patih Sengkuni kemudian berbicara “Mohon ampun, gusti Prabu. Kedatangan hamba hanya memberitahukan bahwa Wanamarta milikmu telah diambil oleh para Pandawa dan kini dijadikan sebuah negara baru sainganmu” Prabu Wisapati seketika memalingkan muka karena tak ada urusan dengan para Pandawa dan berkata bahwa hutan Wanamarta bukan menjadi miliknya lagi. Patih Sengkuni tak hilang akal. Kemudian berkata bahwa dia tahu kalau Prabu Wisapati bersahabat dengan Prabu jin Yudhistira dan mengabarkan saat para Pandawa membangun Amarta dan membabat sebagian Wanamarta, mereka menghabisi Prabu jin Yudhistira bersaudara. Lalu Patih Sengkuni bertanya pada Prabu Wisapati “Apakah gusti prabu tega dan diam saja mengetahui bahwa sahabat gusti dimusnahkan begitu saja oleh Puntadewa bersaudara itu? Berarti gusti Prabu bukan orang yang tahu tentang arti persahabatan!” mendengar kata-kata itu, Prabu Wisapati sangat gusar dan marah lalu memerintahkan Patih Mayasura untuk menggempur Amarta. “Mayasura, segera siapkan pasukan. Kita gempur Amarta sekarang juga. Kita tangkap Puntadewa hidup-hidup dan akan ku eksekusi dengan tangan ku!” “Siap, gusti Prabu.” Patih Sengkuni tersenyum senang melihat kemarahan Prabu Wisapati.
Sementara itu, Kotaraja Indraprastha dan kerajaan Amarta benar-benar menampakkan kemilaunya. Raden Puntadewa kini sedang mempersiapkan penobatan dirinya sebagai raja dan dibantu oleh empat Pandawa dan para Kadang Braja dari Pringgandani. Semenjak hari pengabenan dan pemakaman Prabu Arimba, mereka belum balik ke Pringgandani dan membantu para Pandawa dengan membangun rumah-rumah untuk para penduduk, membangun jalan raya baru, menghias alun-alun kotaraja, serta taman-taman yang ada di kotaraja tanpa pamrih. Mereka juga membantu mengantarkan para penduduk baru yang berpindah dari Hastinapura dan negara-negara sekitarnya yang ingin tinggal di Amarta. Satu-satunya yang tak ada disana hanyalah Raden Permadi, Ki Lurah Semar, Nala Gareng, Petruk dan Bagong. Mereka berlima menyebarkan undangan kepada Maharesi Abiyasa di Saptaharga, Resi Durwasa di Banjarpatoman, Prabu Basudewa di Mandura, Prabu Matsyapati di Wirata, dan Prabu Salya di Mandaraka.
Tiba-tiba datanglah sepasukan raksasa menyerang dan merusak pembangunan di kastil terluar kotaraja. Rupanya itu mereka adalah pasukan dari Keraton Goawindu yang dipimin oleh patih Mayasura dan Prabu Wisapati sendiri. Arya Bratasena dan si kembar, Raden Pinten-Tangsen segera membantu para Kadang Braja. Arya Brajadentha segera memerintahkan adik-adiknya untuk membawa bala bantuan dari Pringgandani. Tak lama, Arya Brajamusthi dengan kekuatan sihirnya menciptakan pasukan ilusi untuk menyerang para raksasa Goawindu. Patih Mayasura tak menyangka bahwa para Pandawa dibantu oleh Pringgandani sehingga banyak pasukan Goawindu yang tewas dan lari menyelamatkan diri. “Gusti Prabu, izinkan saya yang menangkap Puntadewa itu dengan sihirku.” “lakukan lah bila hal itu bisa menekan mereka, adhi patihku.” Patih Mayasura yang juga menguasai sihir bahkan lebih tinggi dari Arya Brajamusthi menyelinap masuk ke keraton Indraprastha dan masuk ke sanggar pemujaan. Dilihatnya Raden Puntadewa yang sedang duduk bersila, bersemadi memohon restu dari Sanghyang Widhi. Tanpa banyak kata lagi, Patih Mayasura mematrapkan ilmu sihirnya kepada Raden Puntadewa. Seketika tubuh Raden Puntadewa berubah menjadi setitik cahaya lalu cahaya itu bergerak keluar dari sanggar yang gelap dan langsung menghilang di balik pintu yang terang benderang. Patih Mayasura berusaha mencari arah hilangnya cahaya itu.
Di tempat lain, tiba-tiba muncul seekor burung di keraton Indraprastha. Burung itu berbulu emas, merah, dan kuning di sayap dan ekornya bagaikan jubah pelindung. Wajah burung itu berwarna hijau bagai zamrud. Dada burung itu ditutupi bulu hitam yang pekat bagaikan arang di malam yang gelap dan paruhnya putih bagaikan gading. Kicauannya merdu sekali. Burung itu terbang berputar-putar di atas keraton Indraprastha lalu turun ke bawah mendekat ke tamansari.
Dewi Drupadi bertemu burung Paksi Dewata
Kebetulan burung itu terbang lalu hinggap di bahu Dewi Drupadi yang sedang bersantai-santai di tamansari. Sang calon maharani Amarta itu nampak senang melihat kedatangan burung itu. Tiba-tiba burung itu bercakap-cakap bagai manusia “Dewi Drupadi, permaisuri Puntadewa,  perkenalkan aku Paksi Dewata.....cuit..cuit...cuit” Dewi Drupadi terkejut melihat burung itu bisa bercakap “Astaga kau bisa bicara. Siapa kau sebenarnya? Apa kau makhluk kiriman orang jahat?” sang burung kemudian berkata “jangan takut, Drupadi. Aku bukan makhluk kiriman orang. Aku burung surgawi dari kahyangan...cuit...cuit. Kedatanganku kemari untuk memberitahukan sesuatu. Suamimu kini diculik oleh raksasa dari Goawindu. Beritahukan ipar-iparmu untuk mencarinya di Goawindu...cuit..cuit...cuit” Dewi Drupadi terkejut mendengarnya lalu mengecek sanggar pemujaan dan mendapati sang suami telah menghilang. Lalu burung yang tadi hinggap di bahunya itu juga ikut menghilang. Rupa-rupanya Patih Mayasura sudah mencuri burung cantik itu dengan aji Panglimunan dan membawanya ke Goawindu. Dewi Drupadi terkejut dan segera keluar keraton untuk memberitahu Arya Bratasena dan si kembar. Merasa kecolongan, Arya Bratasena dan Dewi Arimbi segera berangkat ke Goawindu. Sementara Raden Pinten dan Tangsen segera menyusul Raden Permadi.
Di tengah hutan di lereng Gunung Saptaharga, setelah menghantarkan seluruh undangan, Raden Permadi dan para punakawan bertemu dengan Maharesi Abiyasa. “Salam, Eyang Abiyasa. Kedatangan kami kemari untuk menjemput eyang ke Amarta untuk pelantikan kakang Puntadewa.” Tiba-tiba datanglah Raden Pinten dan Raden Tangsen “ Salam Eyang Abiyasa, Kakang Permadi dan Ki Lurah Semar. Ketiwasan, kakang Permadi. Kakang Puntadewa diculik orang dari Goawindu.....” “dan mengenai keadaan di keraton, saat ini keadaan keraton aman-aman saja. Tapi menurut keterangan kakang mbok Drupadi, kemungkinan si penculik menyelinap ke keraton menggunakan ilmu sihir.” Raden Permadi terkejut mendengarnya lalu dia pun meminta kedua adiknya, Petruk, dan Bagong untuk mengantar sang eyang ke Indraprastha, sementara dirinya, Ki Lurah Semar dan Nala Gareng akan mencari sang kakak. Sebelum pergi, Maharesi Abiyasa memberikan petunjuk “tunggu, Permadi cucuku. Aku akan memberitahu sesuatu. Keraton Goawindu berada di utara hutan Wanamarta. Keraton Goawindu sendiri bukan sembarangan keraton. Keraton ini berupa gua raksasa namun penuh dengan jebakan dan perangkap sihir. Akan banyak ilusi dan fatamorgana yang siap menjebakmu Jadi berhati-hatilah dan gunakan penangkal sihir.” Setelah itu, Raden Permadi segera menuju ke Goawindu dengan Aji Sepiangin diiringi Ki Lurah Semar dan Nala Gareng di belakangnya.
Sementara itu di hutan Jatigraha, Arya Bratasena dan Dewi Arimbi masih mengejar penculik yang membawa Raden Puntadewa. Tiba-tiba, Dewi Arimbi disambar oleh seekor naga raksasa. Dewi Arimbi yang tiada menduga dirinya diserang oleh naga raksasa segera merapal Aji Kawastrawam lalu berubah menjadi raksasi sehingga terjadilah pertarungan antara naga melawan raksasi. Raden Arya Bratasena tertegun dan berusaha melerai pertarungan itu. Lalu tak lama kemudian datang lagi seorang perempuan cantik dan kali ini diiringi seorang pria tampan berwibawa. Arya Bratasena mengenali mereka. Mereka adalah Dewi Urangayu dan sang ayah, Batara Mintuna, sang dewa air tawar. “Kakang Bratasena, Aku telah mendengar bahwa kalian bersaudara telah membangun kerajaan baru bernama Amarta. Jadi kedatanganku dan ayahku kemari ingin menagih janjimu hari itu di tepi bengawan Serayu. Nikahilah aku.” “Urangayu, aku gak pernah lupa janjiku itu, tapi sampai sekarang kakangku Puntadewa belum jadi raja dan kali ini dia ngilang diculik orang. Jadi aku belum bisa memenuhi janji kita. Saat ini istriku sedang berantem dengan seekor naga. Aku minta bantuanmu, tolong lerai mereka.” Dewi Urangayu menyanggupinya. Lalu sang dewi mengheningkan segala ciptanya lalu bertiwikrama berubah menjadi bidadari bersungut udang. Sungut itu melambai-lambai dan tangannya mampu menggerakkan air menciptakan ombak besar. Dewi Urangayu maju lalu mencambukkan sungut udang miliknya dan menggerakkan tangannya. Seketika muncul ombak raksasa dan sungut itu menyetrum naga dan raksasi yang bertarung.
Dewi Urangayu melerai naga dan raksasi yang bertarung
Keduanya langsung berhenti bertarung dan tergulung ombak. Setelah ombak itu sirna, keduanya makhluk itu terbaring lemas di tanah dan berubah wujud kembali menjadi wanita cantik. Sang raksasi kembali menjadi Dewi Arimbi sedangkan sang naga berubah menjadi Dewi Nagagini.
Raden Arya Bratasena terkejut bahwa sang naga yang menyerang Dewi Arimbi adalah Dewi Nagagini. Arya Bratasena dan Dewi Urangayu segera mendatangi Dewi Nagagini dan Dewi Arimbi lalu bertanya “Hei Nagagini, kenapa kau serang Arimbi?” “Kanda, kedatanganku kemari karena telah mendengar bahwa kau dan saudara-saudaramu telah berhasil membangun negeri Amarta dan kehamilanku ini sudah lewat dari sembilan bulan tapi belum lahir. Aku bersemadi dan mendapat wangsit agar anak kita bisa lahir, aku harus bermadu kasih lagi dengan kakanda. Jadi aku menyusul kanda ke Amarta. Tiba-tiba aku melihat kanda jalan dengan wanita lain, jelas-jelas aku cemburu jadi aku menyerangnya dengan wujud naga.” Dewi Arimbi terkejut mendengarnya lalu mohon maaf pada Dewi Nagagini  sembari berlutut dengan sopan“Ampun, kakak. Aku tak tahu kalau sebelumnya kanda Sena sudah menikah denganmu sebelumnya. Kalau saja aku tahu itu sejak awal, aku akan minta izinmu dahulu” Dewi Nagagini pun luluh hatinya dan ganti minta maaf karena telah menyerangnya. Lalu Dewi Nagagini bertanya lagi “kanda, siapa wanita yang tadi melerai kami?” “Ohh, perkenalkan. Saya Urangayu, putri Batara Mintuna. Saya calon istri ketiga kakang Bratasena. Kami dulu bertemu di saat kakang Bratasena dan saudara-saudaranya membangun Bengawan Serayu. Kakang Bratasena berjanji akan menikahi saya setelah kakang Puntadewa menjadi raja.” Dewi Arimbi menggerutu cemburu menyebut sang suami seorang pengobral janji. Dewi Nagagini yang tadinya cemburu menjadi tertawa senang melihat tingkah madu nomor duanya itu. Dewi Nagagini merestui Arya Bratasena menikah lagi. Arya Bratasena senang melihat ketiganya bisa rukun seperti itu.
Tak lama kemudian datanglah Raden Permadi, Ki lurah Semar dan Nala Gareng. “kakang Sena, aku sudah tahu kalau kakang Puntadewa diculik seseorang ke Goawindu. Adhi Pinten dan Tangsen yang memberitahukan ku. Mari ikutlah aku. Keraton Goawindu tak jauh dari sini. “ “Ayo, Jlamprong. Ki Lurah Semar, aku mau minta tolong padamu antarkanlah istri-istriku kembali ke Amarta. Biar aku dan Jlamprong saja yang ke Goawindu.” “Blegedang, blegedug... baik, ndoro Bima Bratasena. Gareng, mari kita kembali ke Amarta” Demikianlah, Ki lurah Semar dan Nala Gareng mengantarkan istri-istri Arya Bratasena dan batara Mintuna ke negara Amarta sementara Arya Bratasena dan Raden Permadi bergerak menuju Keraton Goawindu. Mereka mulai menelusuri seluruh hutan Kamiyaka dan Wanamarta. Setelah pencarian yang cukup lama, akhirnya mereka menemukan Keraton Goawindu. Dari luarnya hanya terlihat sebagai gua raksasa yang menyeramkan namun ketika memasukinya gua itu berubah menjadi istana megah.  Ketika Arya Bratasena menginjak jalan batu bata emas didepannya, seketika jalan itu berubah menjadi kolam air. Dengan sigap, Arya Bratasena melompat dan tak tercebur. Lalu Raden Permadi melihat dan berusaha memegang pepohonan dan bunga-bunga cantik namun dia salah, yang dia pegang adalah tombol jebakan lubang dan dia terjatuh ke dalamnya. Untungnya dengan Aji Sepiangin, dia bisa keluar dari lubang itu. Lalu mereka melihat jurang yang menganga di tengah jalan dengan api yang menyala-nyala. Teringat pesan sang eyang, Raden Permadi segera mengoleskan Lisah Jayengkaton ke kelopak matanya dan kelopak mata kakaknya, Arya Bratasena. Seketika, mereka mampu melihat segala jebakan sihir yang ada. Jalanan batu bata emas kini tampak aslinya, yaitu kolam air. Bunga-bunga yang indah yang tertata rapi ternyata adalah tombol jebakan dan jalanan mulus diantara mereka adalah lubang besar. Sementara jalan yang asli adalah jurang api yang menyala-nyala. Begitupun jebakan-jebakan lainnya, kini telah nampak aslinya. Setelah melewati semuanya, mereka segera mencari tempat dimana kakak mereka dikurung.
Akhirnya mereka sampai di balairung istana. Disana nampak Prabu Wisapati, Patih Mayasura dan burung Paksi Dewata yang sedang dikurung didalam kerangkeng. Kedua raksasa ini terkejut karena mereka telah berhasil melewati semua jebakan dan perangkap sihir. Terjadilah pertarungan diantara mereka. Arya Bratasena bertarung gada dengan Prabu Wisapati, sedangkan Raden Permadi dengan bersenjatakan Oyod Bayura melawan ilmu sihir dan ilusi yang diciptakan Patih Mayasura. Di dalam kerangkeng, burung Paksi Dewata terbang berputar-putar dan seketika muncul sebuah kitab melayang-layang di luar kerangkeng itu. Lalu kitab itu melayang dan menghantam kepala Prabu Wisapati dan Patih Mayasura. Seketika mereka limbung lalu pingsan namun karena tersenggol, Oyod Bayura yang dipegang Raden Permadi ikut terlempar, masuk kedalam celah kerangkeng dan mengenai tubuh burung Paksi Dewata. Lalu terjadilah sebuah keajaiban. Muncul seberkas cahaya terang dan asap putih menyelimuti burung Paksi Dewata. Tak berapa lama kemudian, tubuh burung Paksi Dewata berubah kembali menjadi Puntadewa. Bersamaan dengan itu, akibat terkena kitab sakti itu, tubuh Prabu Wisapati juga berubah, telah kembali ke wujud aslinya, yaitu seorang dewa bernama Batara Wiswakarma, dewanya ahli bangunan, arsiteknya para dewa. Kitab yang ternyata kitab Jamus Kalimahusada itu melayang lagi kembali ke tangan Puntadewa. Begitupun Oyod Bayura, telah kembali ke tangan Permadi.
Lalu datang Batara Dharma, ayah angkat Puntadewa membukakan pintu kerangkeng dengan kesaktiannya. Seketika mereka langsung menyembah kecuali Bratasena yang tak pernah terbiasa menyembah, hanya memberikan salam. Batara Dharma kemudian membawa sang putra angkat ke alam sunyaruri dan memberikan wejangan pada sang putra angkat “Anakku, Puntadewa. Kini kau telah teruji sebagai raja yang adil dan bijak. Ada beberapa petuah yang mungkin sering kau dengar dari ibumu tapi tetap aku akan kuberikan agar selalu diingat olehmu dan selalu ada dalam tindak-tandukmu, Dharmaputra. Pertama, sembahlah Sanghyang Widhi, Tuhan yang Maha Esa lagi Maha Kuasa dan jangan pernah menduakan-Nya. Kedua, hormati orang tuamu, guru-gurumu, dan mertuamu. Ketiga, berlaku lah ‘Sepi ing pamrih, rame ing gawe’ pada siapa saja utamanya pada yang membutuhkan. Keempat, jagalah amanah khususnya amanah dari kawula alit dan tanamkanlah kejujuran dalam hidupmu, anakku. Terakhir yang kelima, tebarkanlah cinta dan kasih pada siapa saja bahkan pada orang yang telah menyakitimu.”
Wejangan wahyu Dharma di alam sunyaruri
Seketika setelah memberikan wejangannya, Batara Dharma menghilang dan Puntadewa kembali ke alam nyata. . Begitu membuka matanya, Puntadewa terkejut melihat dirinya dan adik-adiknya telah berada di depan kotaraja Indraprastha. Batara Wiswakarma telah memindahkan mereka kembali ke Kerajaan Amarta dengan Aji Kemayan. Kemudian Batara Wiswakarma mendekati Puntadewa “Terima kasih, Puntadewa. Tuanku telah membebaskan saya dari kutukan yang memalukan ini. Dahulu kala sewaktu pertarungan diantara para dewa dan asura, aku tanpa sengaja mendukung para asura dengan membangun Benteng Tripura lalu bangsa asura kalah, saya ikut tertangkap dan Batara Guru menghukumku dengan kutukan yang membuatku berubah wujud menjadi raksasa. Batara Guru berpesan bahwa yang akan membebaskan saya dari kutukan adalah seorang ksatria sulung berdarah putih dari lima bersaudara, putra angkat Batara Dharma. Kini saya sudah terlepas dari kutukan, sebagai tanda terima kasih, saya akan menawarkan sebuah hadiah pada tuanku.” Puntadewa menolak karena dia menolong tanpa mengharap hadiah atau apapun jua dan mempersilahkan Batara Wiswakarma kembali ke kahyangan. Namun, karena terus didesak sang dewa arsitek itu, Puntadewa akhirnya meluluskan keinginan Batara Wiswakarma “Baiklah, pukulun. Saya meminta agar keempat adik saya dibuatkan puri masing-masing disamping Keraton Indraprastha.” “baiklah, Tuanku Puntadewa. Dengan senang hati saya bisa membuatkannya tak lama lagi.”
Sementara itu Patih Mayasura meminta untuk dibebaskan oleh Raden Permadi. Raden Permadi boleh membebaskannya asal ada syaratnya. “Baiklah, Mayasura. Aku akan membebaskanmu tapi dengan satu syarat. Aku meminta agar keraton Indraprastha dan seluruh sudut kerajaan Amarta diberi hiasan-hiasan ilusi dan sihir. Aku ingin kolam air yang ada di keraton terlihat bagaikan permadani yang menghampar dan balairung yang ada di keraton bisa menampung ribuan orang dengan sendirinya.” Patih Mayasura langsung menyanggupi permintaan Permadi “Jlamprong, Jlamprong. Permintaanmu itu aneh..duhh” Arya Bratasena hanya menggerutu gemas mendengar permintaan adiknya. Demikianlah, Patih Mayasura menambahkan segala hiasan-hiasan sihir dan ilusi, serta membuatkan sebuah balairung dan taman besar di dalam keraton yang mampu menampung ribuan orang dan dapat melebar dengan sendirinya tanpa merusak ataupun merombak bangunan keraton. Hiasan-hiasan sihir berupa ilusi mata dan fatamorgana dipasang di tiap sudut kotaraja Indraprastha. Sementara Batara Wiswakarma dengan kekuatan dewatanya dibantu pasukan gandarwa dan bidadara dari kahyangan mampu menciptakan keempat puri yang megah di sekeliling kotaraja Indraprastha dalam waktu singkat. Keempat puri itu dipersembahkan kepada Raden Puntadewa. Puri untuk Bratasena yang terletak di utara berdekatan dengan negara Pringgandani dinamainya Jodhipati atau Munggulpawenang, puri untuk Permadi terletak di ujung timur dekat bengawan Yamuna dinamai Madukara, puri untuk Pinten di sebelah selatan kotaraja dinamai Sawojajar sedangkan untuk Tangsen berada di barat kotaraja dinamai Baweratalun. Para Pandawa yang ada disitu terkagum-kagum melihat hasil karya Batara Wiswakarma dan Patih Mayasura. Setelah semua selesai, Batara Wiswakarma dan Patih Mayasura kembali ke kahyangan, bersatu dengan para dewa.
Beberapa hari kemudian, hari penobatan tiba. Tamu dari berbagai negara berdatangan, antara lain, Prabu Dretarastra dan Maharani Dewi Gendari dari Hastinapura, Prabu Basudewa dari Mandura, Prabu Matsyapati dari Wirata, Prabu Salya dari Mandaraka, Prabu Drupada dari Pancalaradya, dan Prabu Kresna dari Dwarawati. Hadir pula Arya Widura dan putranya, Arya Sanjaya dari Panggombakan, Adipati Adiratha dari Awangga, Resi Dorna, Resi Durwasa, Mpu Krepa, Maharesi Bhisma dan Maharesi Abiyasa. Hari itu Raden Puntadewa dinobatkan sebagai raja Amarta yang merdeka, bukan lagi dibawah Kerajaan Hastinapura. setelah prosesi penobatan selesai, Puntadewa mengumumkan sesuatu “Hari ini saya Puntadewa mengganti nama panggilan saya menjadi Yudhistira.” Sorak sorai membahana. Sejak itu pula Puntadewa menggunakan nama gelarnya pemberian raja jin Kerajaan Mertani, yaitu Prabu Puntadewa Yudhistira diikuti Raden Pinten dan Tangsen yang juga sejak saat itu memakai nama pemberian ayah mereka, Raden Nakula dan Raden Sadewa. Prabu Matsyapati mempersilahkan Prabu Yudhistira untuk memakai mahkota seperti halnya raja pada umumnya, namun Prabu Yudhistira menolak dan berkata dengan santun “ Mohon ampun, eyang prabu Matsya dan para hadirin. Saya lebih berkenan memakai jamang dan tetap bergelung rambut saja. Saya teringat ketika kecil, kanjeng ibu Kunthi dan Madrim selalu menggelung rambut saya, beliau berdua memberikan wejangan untuk selalu menjadi manusia utama. Begitu pula ketika romo Batara Dharma menyelamatkan saya dan memberikan wejangan itu di alam sunyaruri. Gelung ini adalah simbol dari Wahyu Dharma dari beliau-beliau.” Dewi Kunthi terharu mendengar penuturan putranya itu. Dirinya berharap dalam lubuk hatinya seandainya putra sulungnya, Raden Suryaputra alias Karna Basusena ikut hadir disini, pasti semakin bahagialah hatinya. Begitupun hadirin yang ada disitu ikut terharu. Bahkan Dewi Gendari yang selama ini begitu membenci para Pandawa hatinya luluh dan mulai membuka hatinya untuk berhenti membenci para Pandawa.
Puntadewa kini sudah dinobatkan sebagai raja Amarta bergelar Prabu Yudhistira, kini Arya Bratasena segera menuntaskan janjinya untuk menikahi Dewi Urangayu. Esok harinya pernikahan Arya Bratasena dengan Dewi Urangayu digelar. Pesta berlangsung sangat meriah. Keesokan paginya, Arya Bratasena beserta ketiga istrinya meminta izin untuk pergi berbulan madu sekaligus mengantar Dewi Urangayu ke Kisiknarmada karena dia ingin kelak anak mereka lahir di tanah kelahirannya. Prabu Yudhistira pun mengizinkan adiknya itu. Sebelumnya, Arya Bratasena kembali memadu kasih dengan Dewi Nagagini. Dengan kesaktian masing-masing, mereka akhirnya tiba di muara Bengawan Serayu. Mereka membangun pondok asmara disana. Dewi Arimbi dan Dewi Nagagini duduk di pinggir pantai menikmati semilir angin laut, sedangkan Arya Bratasena dan Dewi Urangayu berada didalam pondok asmara, tidur beralaskan pasir pantai. Tanpa sadar, Arya Bratasena berjinabah dengan Dewi Urangayu di pantai itu. Benih kama telah bertemu, manjing dalam gua garba sang bidadari putri Batara Mintuna itu.
Sisa cipratan kama benih Arya Bratasena jatuh ke pasir pantai dan tanpa sadar diminum oleh seekor kepiting betina. Seketika kepiting itu berubah wujud menjadi seorang wanita cantik. Arya Bratasena dan Dewi Urangayu terbangun terkejut melihat ada kepiting berubah menjadi wanita cantik. Dewi Wanita itu memperkenalkan diri “mohon ampun, tuanku berdua. Hamba bukan bermaksud lancang. Hamba Dewi Rekathawati, putra sang Batara Rekathatama. Hamba menjalani kutukan menjadi seekor kepiting dan hamba baru terbebas dari kutukan bila meminum air kama seorang ksatria tinggi besar bernama Bratasena. Sebagai konsekuensi dari sirnanya kutukan itu, hamba akan mengandung benih tuanku. Maka sebelum itu, maukah tuanku Bratasena menikahi hamba?” antara Bratasena dan Dewi Rekatahwati memang bersemi benih-benih cinta pada pandangan pertama, namun Arya Bratasena harus bertanya dulu pada ketiga istrinya. Tanpa diminta, Dewi Urangayu yang ada disebelahnya setuju bila Arya Bratasena menikah lagi “kanda, aku tak keberatan bila kau menikah lagi. Aku justru semakin senang dan mulai hari ini, Dinda Rekathawati boleh tinggal bersamaku di Kisiknarmada bersamaku. Kau dan aku adalah saudari sekarang” Lalu Arya Bratasena memanggil Dewi Nagagini dan Dewi Arimbi ke dalam pondok dan menjelaskan tentang Dewi Rekathawati. Setelah mengetahui duduk permasalahannya, Dewi Nagagini dan Dewi Arimbi mengerti dan setuju bila suami mereka mengambil istri lagi. Keesokan harinya pernikahan kembali digelar tapi dengan sederhana saja. Para resi dan penduduk sekitar muara Bengawan Serayu yang menjadi saksi atas pernikahan itu. Setelah dirasa bulan madu mereka selesai, Dewi Urangayu mengajak Dewi Rekathawati kembali ke kahyangan Kisiknarmada. Sementara Arya Bratasena dan Dewi Arimbi segera mengantar Dewi Nagagini ke Saptapertala karena sudah mau melahirkan. Saat itu, sebelum meninggalkan kahyangan Saptapertala, Arya Bratasena berpesan “Nagagini, istriku, jika anak kita lahir nanti laki-laki, namai dia Antareja.”setelah mohon diri, Arya Bratasena dan Dewi Arimbi kembali Ke Kerajaan Amarta karena banyak tugas yang harus segera ditunaikan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar