Senin, 27 Mei 2019

Serayu Winangun


Hai semua, akhirnya bisa nulis lagi. Nah kali ini saya akan menceritakan tentang sayembara ulang yang dilakukan Pandawa dan Kurawa. Disini juga diceritakan legenda Sungai Serayu di daerah Banyumas yang memang berhubungan dengan Pandawa dan Kurawa. Sumber cerita saya bersumber dari Kitab Pustakaraja Purwa dan ditambah dengan kisah-kisah legenda Sungai Serayu dan Tuk Bima Lukar yang ada di internet yang kemudian diubah dan diperhalus. 
Berita tentang Arya Bratasena yang berhasil selamat dari tipu daya Resi Dorna bahkan mendapatkan ilmu berharga membuat Prabu Anom Suyudana dan para Kurawa semakin geram pada para Pandawa. Mereka terutama Prabu Anom Suyudana geram karena takut takhta Hastinapura akan jatuh ke tangan Puntadewa. Kebencian itu membuat para tetua Hastinapura yang sedang bersidang semakin pusing untuk mencari cara mendamaikan mereka. Lalu Patih Arya Sengkuni memberikan usulan di sidang itu “raka prabu, kalau saya boleh berbicara, saya mengusulkan agar para Pandawa diajak kembali ke Hastinapura soal permasalahan itu biarlah kakang Resi Dorna yang menentukan jalan tengah penyelesaiannya”. Maharesi Bhisma kurang setuju dengan usulan itu, namun sebelum dia menyanggahnya, Prabu Dretarastra menyetujui usulan itu. Lalu Prabu Dretarastra mengutus adiknya, Arya Widura untuk mengundang para Pandawa, Dewi Kunthi, dan Dewi Drupadi kembali ke Hastinapura.
Sementara itu, di pertapaan Saptarengga, Maharesi Abiyasa datang dari rumahnya di puncak Saptaharga ditemani Ki lurah Semar membawa benda-benda pusaka miliknya. Para Pandawa, para Punakawan, Dewi Kunthi, dan Dewi Drupadi menyembah hormat padanya. Sebagai kakek dari Pandawa maupun Kurawa, dia berkata tak ingin memihak siapapun, karena cucu-cucunya itu punya sisi baik dan buruk masing-masing. Justru dia khawatir akan keberadaan Patih Sengkuni dan tipu dayanya yang semakin hari semakin mengobrak-abrik kedamaian Hastinapura karena dia titisan Wasi Dwapara, dewanya adu domba dan perselisihan. Kemudian Maharesi melanjutkan “Cucu-cucuku Pandawa, kedatanganku kesini selain mengingatkan akan keberadaan Patih Sengkuni, aku ingin mewariskan pusaka-pusaka ini pada kalian. Pusaka-pusaka ini adalah warisan para leluhur Hastinapura, dari Prabu Baharata dan Resi Sakri. Menurut cerita, pusaka-pusaka ini konon didapat setelah leluhur kita mengalahkan musuh kahyangan bernama Kalimantara dan sekarang aku akan mewariskan pada kamu berdua, Puntadewa dan Permadi karena aku melihat kalian berdualah yang mampu menjaga pusaka-pusaka ini.” Maharesi Abiyasa pun menyerahkan pusaka-pusakanya.Puntadewa mendapat pusaka berupa kitab bernama Jamus Kalimahusada, tombak Kyai Karawelang, dan payung agung Kyai Tunggulnaga, sedangkan Raden Permadi mendapatkan panah Ardadedali, panah Sarotama, dan keris Pulanggeni. Kedua cucu Maharesi Abiyasa itu berterima kasih dan akan menggunakan pusaka-pusaka itu untuk menegakkan jalan dharma. Tak berapa lama kemudian datanglah Arya Widura untuk menjemput Para Pandawa, Dewi Kunthi, Dewi Drupadi dan para Punakawan untuk kembali ke keraton Hastinapura untuk membahas tentang pewarisan takhta Hastinapura dan solusi untuk perdamaian Pandawa-Kurawa. Demikianlah, rombongan para Pandawa dan Arya Widura mohon pamit kepada Maharesi Abiyasa untuk kembali ke Hastinapura.
Sesampainya di Hastinapura, rombongan Dewi Kunthi dan para Pandawa tidak mau masuk keraton dipersilahkan tinggal di wisma tamu dekat Taman Kadilengleng oleh Arya Widura. Beberapa hari kemudian para Pandawa dan Kurawa berkumpul di taman Kadilengleng dipanggil oleh Resi Dorna “Anak-anakku Pandawa dan Kurawa. Aku mewakili para tetua dan Prabu Dretarastra sudah suntuk, sudah lelah melihat kalian tak pernah akur karena soal takhta. Aku disini akan membuat sayembara ulang untuk menentukan siapa yang pantas menjadi penerus Prabu Dretarastra.” Kemudian Prabu Anom Suyudana disusul para Kurawa dan Pandawa bertanya “ Apa sayembaranya, guru?” Sejenak, Resi Dorna bersemadi. Beberapa saat kemudian dia bangun dan berkata “Anak-anakku aku mendapat penglihatan dari dewata tentang sebuah pohon jambu raksasa di tengah hutan Ara Gumiling. Kebetulan pohon jambu itu berbuah dengan lima warna berbeda. Ini adalah sayembara pertama kalian. Petikkan aku buah jambu lima warna itu.” Tanpa ba-bi-bu lagi para Kurawa segera bergegas ke hutan Warnawata mencari pohon jambu yang dimaksud, sementara para Pandawa memohon restu kepada Resi Dorna, Maharesi Bhisma, Prabu Dretarastra,  dan Dewi Kunthi lebih dahulu.
Tak butuh waktu lama, para Kurawa yang sudah mencari ke setiap sudut hutan Ara Gumuling menemukan pohon jambu raksasa dengan buah lima warna berbeda. Pohon itu bercahaya terang menyilaukan. Tanpa permisi dulu, para Kurawa memanjatnya beramai-ramai. Tiba-tiba muncul kabut dingin beracun dari dalam lubang pohon yang membuat para Kurawa jatuh pingsan semua. Tak berapa lama, para Pandawa telah sampai di hutan Ara Gumiling dan melihat ada kabut aneh di pojok hutan. Mereka melihat banyak tanaman membeku tertutup es dan mengering. Terkejutlah mereka melihat sepupu mereka jatuh pingsan di dekat sebuah pohon jambu raksasa. Raden Puntadewa segera mengajak adik-adiknya untuk berlutut memberi hormat kepada pohon jambu ajaib itu. Tiba-tiba dari atas pohon muncul sesosok makhluk halus yang diselimuti kabut biru datang menghampiri para Pandawa.” Wahai para putra Pandu, aku terkesan akan keluhuran budi kalian. Namaku Gandarwa Mayanila. Karena sikap kalian yang santun pada pohon tempat tinggalku ini, aku persilahkan untuk mengambil buah jambu lima warna yang ada di pohon ini.” Raden Puntadewa berterima kasih pada kemurahan hati sang Gandarwa. Begitu mendapatkan izin, Arya Bratasena segera maju memeluk batang pohon jambu raksasa itu lalu Raden Permadi memanjat bahu Arya Bratasena. Kemudian Raden Pinten naik ke bahu Raden Permadi sehingga yang paling atas adalah Raden Tangsen. Raden Tangsen kemudian memetik buah jambu lima warna itu lalu turun ke tanah dipersambahkan pada sang kakak tertua, Raden Puntadewa.
Batu mulia Panca Mayaretna
Setelah mereka semua berkumpul, Gandarwa Mayanila menjelaskan kepada Puntadewa dan adik-adiknya tentang buah jambu yang telah mereka petik itu “ anak-anak Pandu, buah jambu yang kalian petik itu sebenarnya adalah Panca Mayaretna, lima batu mulia kahyangan . Aku sebenarnya ditunjuk para dewa untuk menjaga lima permata ini. Permata berwarna putih itu bisa mengeluarkan air bah besar dengan ombak dahsyatnya. Permata yang hitam mampu membuat bumi bergoncang hebat dan retak-retak bagaikan gempa. Lalu permata berwarna kuning, permata itu mampu mengeluarkan badai topan dan angin kencang. Kemudian permata berwarna merah itu mampu mengeluarkan gejolak api dan lahar panas. Sementara permata hijau mampu mengeluarkan akar-akar kuat, sulur, dan tumbuhan rambat yang membelit. Sekarang aku serahkan batu-batu mulia ini pada kalian” Raden Puntadewa berterima kasih sekali lagi namun sebelum Gandarwa Mayanila pergi, dia meminta satu hal padanya “tunggu tuan Gandarwa. Sebelum kau kembali ke alammu. Aku meminta satu hal. Tolong hilangkan pengaruh kabut dingin beracunmu agar sepupu-sepupuku yang kau buat pingsan bisa  sembuh” Gandarwa Mayanila mengerti dan segera menghilang. Seketika setelah sang gandarwa menghilang, kabut beracun pun ikut hilang sirna tertiup angin kencang. Tanaman-tanaman yang tadinya layu dan membeku perlahan bersemi lagi dan para Kurawa yang tadinya pingsan mulai terbebas dari pengaruh kabut beracun.
Bersamaan dengan menghilangnya Gandarwa Mayanila, Resi Dorna dan Patih Arya Sengkuni datang. Raden Puntadewa segera mempersembahkan batu mulia Panca Mayaretna yang berbentuk buah jambu lima warna kepada Resi Dorna. Prabu Anom Suyudana yang baru berdiri buru-buru menyelat dan berkata bahwa para Kurawa telah dicurangi para Pandawa dengan diberi siasat kabut beracun. Resi Dorna nampak bimbang terlebih ada Patih Arya Sengkuni. Kemudian Resi Dorna duduk bersemadi di bawah pohon jambu raksasa untuk meminta pertimbangan dari dewata agung. Tiba-tiba muncul sebuah papan traju* yang terbuat dari baja sepanjang seratus depa dan terpasang pada batu besar di dekat pohon jambu itu. Resi Dorna kemudian memerintahkan para Pandawa dan Kurawa untuk naik papan traju itu lalu berkata “Siapapun yang bebannya lebih berat maka dia lah yang menang”. Para Kurawa segera menaiki sisi kanan papan traju semantara para Pandawa naik ke sisi kiri sambil mengerah kesaktian masing-masing dan sungguh ajaib, seratus orang ditimbang empat orang hasilnya seimbang. Arya Bratasena kemudian meloncat ke papan traju sambil mengerahkan ajian Angkusa Prana dan Bayu Bajra. Sekali hentak, para Kurawa yang berdiri di ujung papan menjadi terpental. Para Kurawa yang terpental antara lain Arya Bogadenta, Arya Wersaya, Arya Wikataboma dan Bomawikata, Raden Anuwinda, Arya Naranurwinda, Arya Surtayu dan Surtayuda, Arya Gardapati, Arya Gardapura, dan Arya Widandini. Prabu Anom Suyudana dibantu sang paman, Sengkuni segera mengumpulkan adik-adiknya. Prabu Anom Suyudana terus mencari-cari adiknya yang terpental namun belum ketemu juga. Rupanya hentakan itu membawa para Kurawa yang terpental ke negeri-negeri kecil di sekitar Hastinapura.
Para Kurawa yang tersisa kembali menghadap ke Resi Dorna agar diadakan sayembara ulang. Tekanan yang dialami Resi Dorna terlebih dengan adanya Patih Sengkuni membuatnya tak bisa lagi menyimpan uneg-uneg terdalamnya. Resi Dorna segera mengumumkan sayembara barunya“ siapapun yang bisa membuat sungai yang bersumber dari Gunung Dihyang, puncak pegunungan Himayan dan bermuara ke Laut Selatan, dialah pemenangnya. Setelah selesai, kita akan berkumpul lagi di tegal Kurusetra!” seketika hening sejenak. Para Kurawa terdiam begitupun para Pandawa. Namun keheningan itu pecah setelah Patih Arya Sengkuni mengajak Prabu Anom Suyudana dan adik-adiknya untuk mempersiapkan peralatan-peralatannya dan mereka segera pergi ke puncak Dihyang. Sementara itu, para Pandawa memohon izin dan restu dari sang guru. Setelah itu mereka juga pergi ke puncak gunung Dihyang. Sesampainya disana, mereka melihat para Kurawa sudah mulai menggali sungai dan mencari sumber mata air. Dibandingkan dengan para Kurawa yang menggunakan kekuatan otot, para Pandawa memilih untuk bersemadi di puncak Gunung Dihyang sisi sebelah timur, memohon petunjuk dari Sanghyang Widhi. Setelah cukup lama bersemadi, tiba-tiba muncullah sinar terang dihadapan mereka. Batara Narada turun dari langit memenuhi semadi para Pandawa “Holah dalah, cucu-cucuku Pandawa. Tapa dan semadi kalian aku terima. Apa yang membuat kalian bersemadi sedemikian kerasnya?” sulung Pandawa, Raden Puntadewa kemudian menjelaskan bahwa mereka ingin membuat sebuah sungai dari puncak gunung Dihyang tembus ke laut Selatan dan mereka bersemadi agar usaha mereka direstui oleh Sanghyang Widhi. Batara Narada paham dan berkata “Cucuku, keinginan kalian telah mendapat restu. Sekarang kamu Bratasena, tanggalkan pakaianmu lalu kencing dan mandi suci di kubangan itu. Permadi, keluarkan panah Sarotama. Kalian akan menggali sungai secara ajaib. Puntadewa dan si kembar, kalian akan kuajari mantra mengubah air kotor menjadi air bersih.” Setelah mengajarkan mantra itu, Batara Narada segera kembali ke kahyangan Jonggring Saloka.
Sesuai dengan petunjik dari Batara Narada, Arya Bratasena segera menanggalkan pakaiannya, bertelanjang lalu kencing di sebuah lubang, lalu Arya Bratasena mandi suci di kubangan dan mengalirkan air bekas mandinya ke lubang bekas tempatnya kencing. Setelah Puntadewa, Pinten, dan Tangsen menjapa mantra dari Batara Narada, terjadilah sebuah keajaiban. Atas seizin Sanghyang Widhi, air bekas kencing dan mandi suci Arya Bratasena berubah menjadi air bersih dan muncul sebagai air mancur raksasa dari dalam lubang membanjiri seluruh kubangan dan membuat kubangan penuh dengan air bagaikan air bah. Raden Puntadewa menandai lubang kubangan tempat Arya Bratasena kencing dan mandi suci lalu menamai tempat itu Tuk Bima Lukar. Agar air bah itu tidak menghancurkan lereng Gunung Dihyang dan daerah sekitarnya, Raden Permadi segera merentangkan Busur Gandiwa dan menembakkan panah Sarotama. Seketika tanah yang dilewati panah itu tersibak, berubah menjadi jalur sungai ke arah selatan. Untuk membantu adiknya dan mempercepat waktu, Arya Bratasena yang masih telanjang bulat membantu menggali sungai itu dengan ehm maaf, “lingga”nya sampai di muaranya di Laut Selatan. Sementara Puntadewa dan si kembar yang berjalan di belakang terus membacakan mantra agar air bah jelmaan kencing dan air bekas mandi suci itu tetap bersih sampai di Laut Selatan.
Tak terasa panah Sarotama yang ditembakkan Permadi dan Arya Bratasena yang ikut membantu menggali tanah telah menciptakan muara di ujung pesisir pantai selatan. Tiba-tiba saja laju panah Sarotama terhenti karena terhalang benda keras. Ketika diperiksa, ternyata panah itu membentur seekor udang raksasa terdampar di pinggir pantai. Ketika berniat membawa udang itu ke laut, tiba-tiba udang raksasa itu berubah menjadi seorang wanita cantik. Wanita itu datang ke arah para Pandawa. Arya Bratasena yang masih bertelanjang bulat menjadi malu dan bersembunyi dibalik punggung saudara-saudaranya sambil menutup auratnya. Sang wanita juga tersipu malu lalu memalingkan mukanya. Lalu dengan kesaktiannya, wanita itu menggerakkan panah Sarotama dan begitu panah bergerak, panah itu menyibak tanah dan pasir yang menutupi muara. Tak lama kemudian air bah jelmaan kencing yang telah bersih itu datang mengisi sungai dari hulu sampai ke laut. Sungai itu telah selesai dibuat dan Arya Bratasena bisa kembali memakai pakaiannya. Setelah berpakaian, Arya Bratasena mendatangi sang wanita. Seolah ada getaran cinta bergelora, Arya Bratasena berkata “duh ni sanak, sira ayu. Kamu cantik. Siapa sebenarnya ni sanak?“
Pertemuan dengan Dewi Urangayu
Tersadar karena belum memperkenalkan dirnya, sang wanita mundur sedikit dan memperkenalkan dirinya “ohh maaf, saya lupa memperkenalkan diri. Perkenalkan nama saya Urangayu. Saya putri dari Batara Mintuna, dewa air tawar. Saya masih keponakan Batara Baruna, dewa air laut. Saya sengaja duduk bersemadi di tepi pantai ini karena saya mendapat petunjuk akan bertemu jodoh saya di tepi pantai ini. Wangsit yang saya dapatkan mengatakan bahwa jodoh saya adalah seorang pangeran Hastinapura, ksatria bertubuh tinggi besar bernama Raden Arya Bima.” Kemudian Bratasena menjelaskan bahwa dia adalah orang yang dia cari. Dia mengatakan bahwa memang memiliki nama asli Raden Arya Bima. Petunjuk dewata menjadi kenyataan dan Dewi Urangayu meminta agar Arya Bratasena segera menikahinya. Arya Bratasena menjelaskan bawa dia sendiri sudah menikah” maaf ni sanak. Aku sudah beristeri satu, namanya Nagagini, putri Batara Anantaboga. Apa kamu mau dimadu?” Dewi Urangayu kemudian menjawab bahwa dia tak keberatan bila dimadu. Arya Bratasena akhirnya menyanggupi untuk menikahinya tapi kemudian berkata “Nini Dewi, aku bersedia, aku sanggup menikahimu tapi nanti setelah kakakku, Puntadewa menjadi raja. Apa kau sanggup menunggu ?” kemudian Dewi Urangayu menyanggupinya “ aku sanggup menunggu, kangmas Bratasena.” Setelah semua selesai, para Pandawa bersama Dewi Urangayu berangkat menuju tegal Kurusetra, tempat yang telah disepakati untuk berkumpulnya Pandawa-Kurawa
Tak lama kemudian setelah mereka sampai di pinggir tegal Kurusetra, datanglah Resi Dorna dan Patih Arya Sengkuni bersama para Kurawa. Resi Dorna memeriksa hasil kerja para muridnya itu dan hasilnya sungai buatan para Pandawa lah yang sampai ke Laut Selatan sedangkan sungai buatan para Kurawa tidak menuju ke Laut Selatan, malah justru menyatu dengan sungai buatan para Pandawa. Maka, Resi dorna menyatakan bahwa para Pandawa yang menjadi pemenangnya dan berhak atas takhta Hastinapura. Prabu Anom Suyudana kemudian berkeringat dingin dan jatuh pingsan mendengar keputusan itu. Para Kurawa dan patih Sengkuni segera membawa sang putra mahkota Hastinapura itu kembali ke keraton. Resi Dorna yang terjepit diantara para Kurawa menjadi limbung dan jatuh di pertemuan dua sungai. Resi Dorna terlihat megap-megap tak mampu berenang ke pinggir karena arus kedua sungai yang bertemu terlalu kuat. Arya Bratasena segera menolong sang guru dan membawanya ke tempat selamat. Arca lingga-yoni yang dibawa Resi Dorna terbawa arus dan terhempas air bah sungai hingga batu arca itu terdampar di seberang sungai. Oleh Resi Dorna tempat dimana lingga-yoni itu terdampar dinamai Panembahan Drona. Setelah para Kurawa dan Patih Arya Sengkuni benar-benar pergi, Resi Dorna memberikan hadiah atas kemenangan mereka berupa batu mulia Panca Mayaretna yang mereka dapatkan tadi. Raden Puntadewa mendapat permata putih, Arya Bratasena mendapat permata kuning, Raden Permadi mendapatkan permata merah. Sementara permata hitam dan hijau diberikan kepada Raden Pinten dan Raden Tangsen. Kelima Pandawa berterima kasih pada sang guru atas kemurahan hati dan kebijaksanaannya. Setelah itu, Dewi Urangayu memohon pamit kepada para Pandawa dan Resi Dorna untuk kembali ke Kahyangan Kisiknarmada. Setelah itu Resi Dorna menamai sungai buatan Pandawa itu Bengawan Serayu, karena pada saat mereka selesai membangun sungai, Arya Bratasena bertemu dan langsung jatuh cinta dengan Dewi Urangayu lalu Bratasena berkata “sira ayu”padanya dan sungai buatan Kurawa yang menyatu dengan Bengawan Serayu dinamai Bengawan Klawing alias Cing cing Gumuling. Resi Dorna kemudian memberikan peringstan”anak-anakku Pandawa. Jangan sampai kalian melangkahi apalagi mencebur ke bengawan buatan para Kurawa ini. Nanti kalian terkena sial karena para Kurawa membuat bengawan ini penuh dengan hawa nafsu dan dendam pada kalian. Berhati-hatilah, anak-anakku.” Para Pandawa mengerti lalu kemudian mengajak sang guru itu untuk kembali menghadap pada uwa Prabu Dretarastra dan eyang Maharesi Bhisma di Hastinapura.
* papan jungkat-jungkit ; papan timbangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar